User Tools

Site Tools


peraturan:uu:14tahun1985
                                                    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
                                                                NOMOR 14 TAHUN 1985 
                                                                         TENTANG 
                                                                  MAHKAMAH AGUNG
                                                   DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
 
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.  bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 
    Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib;
b.  bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara 
    dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang 
    mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;
c.  bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang 
    selama ini masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 13. Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi dengan 
    jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;
    d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 telah 
    dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang 
    menggantikannya mulai berlaku;
e.   bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan undang-
    undang yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku 
    bagi Mahkamah Agung;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan 
    Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 
    (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
 
                                        Dengan persetujuan 
                            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                            MEMUTUSKAN :
Menetapkan :                UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG.

                                                BAB I 
                                            KETENTUAN UMUM
                                            Bagian Pertama 
                                        Kedudukan Mahkamah Agung
                                               Pasal 1
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978.

                                               Pasal 2
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam 
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

                                             Bagian Kedua 
                                          Tempat Kedudukan
                                               Pasal 3
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

                                               BAB II 
                                       SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG
                                            Bagian Pertama 
                                                Umum
                                               Pasal 4
Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah 
Agung.

                                               Pasal 5
(1) Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua 
    Muda.
(2) Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.

                                               Bagian Kedua 
                                    Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, 
                                    dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
                                               Pasal 6
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara yang 
    melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.
(2) Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam 
    Undang-undang ini.

                                                   Pasal 7
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    a.  warganegara Indonesia; 
    b.  bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
    c.  setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, kepada 
        Proklamasi 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan bangsa 
        Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat; 
    d.  bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau 
        bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI" 
        atau organisasi terlarang lainnya; 
    e.  berijazah sarjana hukum atau sarjana lain dan mempunyai keahlian di bidang hukum; 
    f.  berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun; 
    g.  berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 
        (sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding; 
    h.  berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
        (2) Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan 
        atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima 
        belas) tahun di bidang hukum.

                                               Pasal 8
(1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh 
    Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat 
    kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah 
    Agung dan Pemerintah.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim 
    Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan rakyat.
(4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara diantara Hakim Agung yang 
    diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, 
    diusulkan masing-masing 2 (dua) orang calon.

                                                   Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung 
    wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut Agama atau Kepercayaannya yang berbunyi sebagai berikut : 
    "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, 
    langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau 
    menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga". 
    "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada 
    sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". 
    "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan 
    Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta 
    peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". 
    "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama 
    dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
    baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Anggota 
    Mahkamah Agung. yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung mengucapkan sumpah atau janji dihadapan 
    Presiden selaku Kepala Negara.
(3) Hakim Anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

                                               Pasal 10
(1) Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi :
    a. pelaksana putusan Mahkamah Agung; 
    b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa 
        olehnya; 
    c. penasihat hukum; 
    d. pengusaha.
(2) Kecuali larangan perangkapan jabatan lain yang telah diatur dalam Undang-undang, maka jabatan yang 
    tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung selain jabatan tersebut ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan 
    Pemerintah.

                                               Pasal 11
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari 
    jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung karena :
    a. permintaan sendiri; 
    b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; 
    c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; 
    d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
(2) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung yang meninggal dunia dengan 
    sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara.

                                               Pasal 12
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat 
    dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan :
    a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; 
    b. melakukan perbuatan tercela; 
    c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; 
    d. melanggar sumpah atau janji jabatan; 
    e. melanggar larangan yang dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan tersebut dalam ayat (1) huruf b sampai 
    dengan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri 
    dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah. Agung diatur oleh Mahkamah 
    Agung.

                                               Pasal 13
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung sebelum diberhentikan tidak 
    dengan hormat sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya 
    oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara yang dimaksudkan ayat (1) berlaku juga ketentuan 
    sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (2).

                                               Pasal 14
(1) Apabila terhadap seorang Hakim Agung ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan 
    sendirinya Hakim Agung tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim Agung dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana seperti tercantum dalam 
    Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara 
    dari jabatannya.

                                               Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, 
dan pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang diberhentikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                                               Pasal 16
(1) Kedudukan protokol Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur 
    dengan Undang-undang.
(2) Hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur 
    dengan Undang-undang.

                                               Pasal 17
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan 
    hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal :
    a.  tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau; 
    b.  berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam 
        dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan tersebut ayat (1) huruf a dan huruf b selambat-lambatnya dalam 
    waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.

                                             Bagian Ketiga 
                                       Panitera Mahkamah Agung
                                               Pasal 18
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera dan dibantu 
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

                                               Pasal 19
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung ditetapkan 
dengan Keputusan Presiden.

                                               Pasal 20
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat 
    sebagai berikut :
    a.  warga negara Indonesia; 
    b.  bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
    c.  setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 
    d.  berijazah sarjana hukum; 
    e.  berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 
        (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 15 (lima belas) tahun sebagai Panitera Muda 
        Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
    syarat sebagai berikut : 
    a.  syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; 
    b.  berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 7 (tujuh) 
        tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai panitera Muda Mahkamah 
        Agung.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
    syarat sebagai berikut : 
    a.  syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, dan huruf d; 
    b.  berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 5 (lima) 
        tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Mahkamah 
        Agung.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
    syarat sebagai berikut :
    a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1)huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; 
    b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.

                                               Pasal 21
Panitera, Wakil Panitera Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua 
Mahkamah Agung.

                                               Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya 
oleh Ketua Mahkamah Agung.

                                               Pasal 23
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah 
Agung.

                                               Pasal 24
Sebelum memangku jabatannya Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diambil sumpah 
atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

                                            Bagian Keempat 
                                   Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
                                               Pasal 25
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris 
Jenderal dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

                                               Pasal 26
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung 
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
                                               Pasal 27
Panitera Mahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.

                                               BAB III 
                                       KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG
                                               Pasal 28
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
    a. permohonan kasasi; 
    b. sengketa tentang kewenangan mengadili; 
    c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung 
menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung.

                                               Pasal 29
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat 
Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan.

                                               Pasal 30
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari 
semua Lingkungan Peradilan karena :
    a.  tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; 
    b.  salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 
    c.  lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam 
        kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

                                                       Pasal 31
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-
    undangan di bawah ini Undang-undang
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat 
    yang lebih rendah daripada Undang-undang atasalasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 
    yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil 
    berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. 
    Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi 
    yang bersangkutan.

                                                   Pasal 32
(1) Mahkamah Agang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua 
    lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam 
    menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis 
    peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada 
    Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak 
    boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

                                                   Pasal 33
(1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan 
    mengadili :
    a.  antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain; 
    b.  antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari 
        Lingkungan Peradilan yang sama; 
    c.  antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan 
        Peradilan yang berlainan.
(2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul 
    karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan 
    yang berlaku.

                                               Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir 
atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur 
dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini. 

                                               Pasal 35
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian 
atau penolakan grasi.

                                               Pasal 36
Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.
 
                                               Pasal 37
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun 
tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.

                                               Pasal 38
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada Pengadilan di semua 
Lingkungan Peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14 
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

                                               Pasal 39
Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan 
kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

                                                BAB IV 
                                    HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH AGUNG
                                            Bagian Pertama 
                                                 Umum
                                               Pasal 40
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga).orang Hakim.
(2) Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

                                               Pasal 41
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terdapat hubungan keluarga 
    sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan 
    salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada Majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1).
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga 
    sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan 
    Penuntut Umum, Oditur Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga antara Hakim Agung 
    dan/atau Panitera Mahkamah Agung dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Pertama serta Hakim 
    dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Banding, yang telah mengadili perkara yang sama.
(4) Jika seorang Hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah 
    menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
(5) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus diganti, dan 
    apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka putusan tersebut 
    batal dan perkara tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan Majelis yang lain.

                                               Pasal 42
(1) Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung 
    maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas 
    kehendak sendiri maupun atas permintaan Penuntut Umum, Oditur Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, 
    Tergugat atau Penggugat. 
(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut ayat (1), maka :
    a.  Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan; 
    b.  dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu 
        panitia, yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan di antara Hakim Agung yang tertua dalam jabatan.

                                              Bagian Kedua 
                                           Pemeriksaan Kasasi
                                               Paragraf 1 
                                                 Umum
                                               Pasal 43
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya 
    hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

                                               Pasal 44
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat diajukan oleh :
    a.  pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau 
        perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di 
        Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; 
    b.  Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam 
        perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di 
        Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa 
    Agung karena jabatannya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.

                                                   Pasal 45
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam 
    perkara perdata atau tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau 
    Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf a.
(2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.

                                              Paragraf 2 
                                            Peradilan Umum
                                               Pasal 46
(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera 
    Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari 
    sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.
(2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang 
    diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam 
    buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara.
(4) Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan 
    Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan 
    itu kepada pihak lawan.
                                               
                                               Pasal 47
(1) Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat 
    alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat 
    dalam buku daftar.
(2) Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan tanda terima atas 
    penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam 
    perkara yang dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
(3) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap .memori kasasi kepada Panitera sebagaimana 
    dimaksudkan ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori 
    kasasi.
                                               
                                               Pasal 48
(1) Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 
    47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, 
    memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam 
    waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan 
    membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan 
    melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 49
(1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut 
    kembali oleh pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi 
    dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau.
(2) Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dilakukan sebelum berkas perkaranya 
    dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 50
(1) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang 
    perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat 
    Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para 
    saksi.
(2) Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka 
    dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama.

                                               Pasal 51
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf a, maka 
    Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan 
    memutusnya.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, 
    maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu.
                                               
                                               Pasal 52
Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon 
kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.

                                               Pasal 53
(1) Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut.
(2) Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak 
    selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat 
    Pertama tersebut.
                                               
                                               Pasal 54
Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab 
Undang-undang Hukum Acara Pidana.

                                              Paragraf 3 
                              Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, 
                                           Peradilan Militer
                                               Pasal 55
(1) Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau yang 
    diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan Undang-
    undang ini.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer 
    digunakan hukum acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Militer.

                                              Bagian Ketiga 
                                     Pemeriksaan Sengketa Tentang 
                                         Kewenangan Mengadili
                                               Paragraf 1 
                                                 Umum
                                               Pasal 56
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili sebagaimana 
    dimaksudkan Pasal 33 ayat (1).
(2) Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :
    a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama; 
    b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.

                                              Paragraf 2 
                                            Peradilan Umum
                                               Pasal 57
(1) Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata, 
    diajukan secara tertulis kepada Mah-kamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
    a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan; 
    b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam buku daftar sengketa tentang 
    kewenangan mengadili perkara perdata dan atas perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan salinannya 
    kepada pihak lawan yang berperkara dengan pemberitahuan bahwa ia dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) 
    hari setelah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan jawaban tertulis kepada Mahkamah 
    Agung disertai pendapat dan alasan-alasannya.
(3) Setelah permohonan tersebut diterima maka pemeriksaan perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya 
    ditunda sampai sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
(4) Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada :
    a. para pihak melalui Ketua Pengadilan; 
    b. Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

                                               Pasal 58
Permohonan untuk memeriksa dan memutuskan sengketa kewenangan megadili perkara pidana, diajukan 
secara tertulis oleh Penuntut Umum atau terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.
                                               
                                               Pasal 59
(1) Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58 diajukan oleh Penuntut Umum maka surat 
    permohonan dan berkas perkaranya dikirimkan oleh Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung, sedangkan 
    salinannya dikirimkan kepada Jaksa Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejaksaan lain 
    serta kepada terdakwa.
(2) Penuntut Umum pada Kejaksaan lain, demikian pula terdakwa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari 
    setelah menerima salinan permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyampaikan pendapat 
    masing-masing kepada Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 60
(1) Apabila permohonan diajukan oleh terdakwa, maka surat permohonannya diajukan melalui Penuntut Umum 
    yang bersangkutan, yang selanjutnya meneruskan permohonan tersebut beserta pendapat dan berkas 
    perkaranya kepada Mahkamah Agung.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) mengirimkan salinan surat permohonan dan 
    pendapatnya kepada Penuntut Umum lainnya.
(3) Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2) mengirimkan pendapatnya kepada Mahkamah 
    Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan tersebut.
                                               
                                               Pasal 61
(1) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1) secepat-cepatnya menyampaikan salinan 
    permohonan tersebut kepada para Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
(2) Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya 
    ditunda sampai sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 62
(1) Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang memeriksa perkara meminta keterangan dari 
    terdakwa tentang hal-hal yang dianggap perlu.
(2) Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah tersebut ayat (1) segera memuat berita acara 
    pemeriksaan dan mengirimkannya kepada Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 63
(1) Dalam hal sengketa kewenangan sebagaimana dimaksudkan Pasal 58, Mahkamah Agung memutus 
    sengketa tersebut setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.
(2) Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat (1) kepada terdakwa dan Penuntut Umum dalam 
    perkara tersebut.

                                               Paragraf 3 
                            Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, 
                                          Peradilan Militer
                                               Pasal 64
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan yang terjadi :
    a. di lingkungan Peradilan Agama; 
    b. di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dilakukan menurut ketentuan Pasal 57
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer, 
    dilakukan menurut ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.

                                              Paragraf 4 
                              Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan 
                                Mengadili Antar Lingkungan Peradilan
                                               Pasal 65
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara :
    a.  Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan 
        Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; 
    b.  Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; 
        dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum 
    dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer dilakukan menurut ketentuan Pasal 58 sampai dengan pasal 
    63.
                                               
                                             Bagian Keempat 
                                  Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan 
                                    Pengadilan Yang Telah Memperoleh 
                                         Kekuatan Hukum Tetap
                                              Paragraf 1 
                                                 Umum
                                               Pasal 66
(1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut 
    permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
                                               
                                              Paragraf 2 
                                            Peradilan Umum
                                               Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat 
diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah 
    perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu 
    perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh 
    Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang 
    lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
                                               
                                               Pasal 68
(1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya 
    atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat 
    dilanjutkan oleh ahli warisnya.
                                               
                                               Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana 
dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana 
    memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus 
    dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah 
    diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan 
    hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

                                               Pasal 70
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua 
    Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang 
    diperlukan.
(2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.
                                               
                                               Pasal 71
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-
    jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang 
    memutus perkara dalam tingkat pertama.
(2) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan 
    Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua 
    Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut.

                                               Pasal 72
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan 
    peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari 
    memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
    a.  dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 
        huruf a atau huruf b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya; 
    b.  dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal 67 huruf 
        c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
(2) Tenggang waktu bagi fihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a 
    adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali.
(3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama 
    dan pada surat jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang 
    salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui.
(4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada 
    Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
(5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain 
    dengan Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 73
(1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat 
    Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala 
    keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud.
(2) Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas 
    penyidikan apabila diperlukan.
(3) Pengadilan yang dimaksudkan ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera 
    mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksudkan ayat (1), 
    kepada Mahkamah Agung.
                                               
                                               Pasal 74
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung 
    membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta 
    memutus sendiri perkaranya.
(2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat 
    bahwa permohonan itu tidak beralasan.
(3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) disertai pertimbangan-
    pertimbangan.
                                               
                                               Pasal 75
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada Pengadilan 
Negeri yang memutus perkara dalam Tingkat Pertama dan. selanjutnya Panitera Pengadilan Nigeri yang 
bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada 
pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
                                               
                                               Pasal 76
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan 
hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam kitab Undang-undang Hukum 
Acara Pidana.
                                               
                                               Paragraf 3 
                                Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, 
                                           Peradilan Militer
                                               Pasal 77
(1) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan 
    Agama atau oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan 
    kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75.
(2) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan 
    Militer, digunakan hukum acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum 
    Acara Pidana.

                                            Bagian Kelima 
                                       Pemeriksaan Sengketa Yang 
                                    Timbul Karena Perampasan Kapal
                                               Pasal 78
Pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik 
Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-undang.

                                                BAB V 
                                            KETENTUAN LAIN
                                               Pasal 79
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan 
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
                                               
                                                BAB VI 
                                        KETENTUAN PERALIHAN
                                               Pasal 80
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai 
Mahkamah Agung dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum 
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
                                              
                                                BAB VII 
                                          KETENTUAN PENUTUP
                                               Pasal 81
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan 
Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sepanjang mengenai ketentuan tentang Mahkamah 
Agung dinyatakan tidak berlaku.
                                               
                                               Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 30 Desember 1985 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 30 Desember 1985 
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 
REPUBLIK INDONESIA
 
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 73
 
                                             PENJELASAN 
                                                ATAS 
                                    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
                                          NOMOR 14 TAHUN 1985 
                                               TENTANG 
                                            MAHKAMAH AGUNG
 
I.  UMUM
1.  Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara 
    adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia 
    yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang 
    sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Suasana perikehidupan tersebut di atas merupakan bagian dari 
    gambaran terhadap tata kehidupan bangsa Indonesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian 
    upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan berkesinambungan. Namun demikian pengalaman dalam 
    kehidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan 
    perikehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling berkait satu dengan lainnya. Cita 
    tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan 
    hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya 
    adalah, bahwa hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan dibidang hukum 
    dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini pula, maka salah satu 
    pendekatan yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 
2.  Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang 
    Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi 
    Negara dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 
    Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk : 
    a.  memeriksa dan memutus: 
        1) permohonan kasasi; 
        2) sengketa tentang kewenangan mengadili; 
        3) permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 
    b.  memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi 
        Negara; 
    c. memberikan nasehat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi; 
    d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; 
    e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang. 
    Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah 
    Agung melaksanakan hal-hal sebagai berikut : 
    a.  wewenang pengawasan meliputi : 
        1) jalannya peradilan; 
        2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim di semua Lingkungan Peradilan; 
        3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan; 
        4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang diperlukan. 
    b.  meminta keterangan dan pertimbangan dari : 
        1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan; 
        2) Jaksa Agung; 
        3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana. 
    c.  membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan 
        bagi kelancaran jalannya peradilan. 
    d.  mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi peradilan maupun administrasi umum.
3.  Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 
    ditegaskan bahwa : 
    a.  Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna 
        menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik 
        Indonesia; 
    b.  penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan di lingkungan: 
        - Peradilan Umum; 
        - Peradilan Agama; 
        - Peradilan Militer; 
        - Peradilan Tata Usaha Negara. 
    c.  Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan 
        Pengadilan. 
    Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung seperti tersebut di atas, perlu diberikan 
    pengaturan yang mantap, jelas, dan tegas kepada lembaga ini. 
    Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, adalah bahwa peradilan 
    harus memnuhi harapan para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, 
    tepat, adil, dan biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta sebagai upaya untuk mewujudkan 
    sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di negara hukum 
    Republik Indonesia, maka dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan 
    Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan. 
4.  Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, 
    baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini. 
    Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup. 
    Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang 
    tidak didasarkan sistem karier. Untuk Hakim Agung yang didasarkan sistem karier berlaku ketentuan Pasal 11 
    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara 
    Nomor 3041). Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik- baiknya bagi 
    penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula 
    dibuat suatu undang- undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau 
    ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan 
    yang dikenal sebagai "Contempt of Court". 
5.  Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksanakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga 
    memberikan kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri pembidangan tugas dalam susunan 
    organisasinya sehingga dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah yang berasal dari 
    berbagai lingkungan peradilan. 
    Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka untuk memberi dukungan administrasi 
    yang sebaik-baiknya, dalam Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap oleh 
    Panitera Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa dengan demikian 
    penyelenggaraan pelayanan administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan dapat dilakukan dengan lebih 
    efektif dan terpadu. Untuk itu, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Panitera Mahkamah Agung dibantu oleh 
    Wakil Panitera Mahkamah Agung untuk tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah 
    Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan 
    administrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian, peralatan, pemeliharaan, dan lain-lain. 
    Dengan pemisahan ini, maka panitera dapat lebih memusatkan perhatian- nya kepada tugas-tugas yang 
    bersifat teknis peradilan, sedangkan pemberian dukungan administrasi yang meliputi administrasi keuangan, 
    kepegawaian peralatan, pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal.
 
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 
Cukup jelas 
Pasal 2 
Cukup jelas 
Pasal 3 
Cukup jelas 
Pasal 4 
Cukup jelas 
Pasal 5 
Cukup jelas 
Pasal 6 
Cukup jelas 
Pasal 7 
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam 
hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas 
sistem karier. 
Yang dimaksud dengan sarana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum sebagaimana dimaksudkan 
ayat (1) huruf e adalah mereka yang mempunyai keahlian seperti dibidang hukum pidana, hukum perdata, 
hukum agama, hukum militer, dan hukum tata usaha negara. 
Persyaratan seperti dimaksudkan ayat (1) kecuali huruf g berlaku pula bagi pengangkatan Hakim Agung 
berdasarkan ayat (2). 
Pasal 8 
Ayat (1) 
Daftar nama calon Hakim Agung.yang berasal baik dari kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan 
Hakim karier disusun ber- dasarkan konsultasi antara Dewan Perwaikilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah 
Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing. 
Ayat (2) 
Yang dimaksudkan dengan "Pemerintah" adalah Menteri yang bersangkutan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 9 
Ayat (1) 
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan Agama masing-masing, 
misalnya untuk penganut Agama Islam kata-kata "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk penganut 
Agama Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 10 
Ayat (1) 
huruf a 
Cukup jelas 
huruf b 
Cukup jelas 
huruf c 
Cukup jelas 
huruf d 
Yang dimaksudkan dengan "pengusaha" ialah Hakim Agung yang misalnya mempunyai perusahaan, menjadi 
pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 11 
Ayat (1) 
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung. 
Pemberhentian dengan hormat para Hakim Agung atas permintaan sendiri, mencakup pengertian pengunduran 
diri dengan alasan Hakim Agung yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan 
rumah tangganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana dan keteraturan hidup di rumah tangga 
setiap Hakim Agung merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu 
meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim Agung dan ini harus dimulai dari tertib kehidupan rumah tangga 
Hakim Agung itu sendiri. 
Yang dimaksudkan dengan "sakit jasmani atau rohani terus menerus" ialah yang menyebabkan si penderita 
ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik. 
Yang dimaksudkan dengan "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar 
dalam menjalankan tugasnya. 
Pemberhentian menurut Pasal ini diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 12 
Ayat (1) 
Yang dimaksudkan dengan "Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung. 
Yang dimaksudkan dengan dipidana menurut Pasal 12 ayat (1) huruf a ialah dipidana dengan pidana penjara 
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 
Yang dimaksudkan dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena 
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim. 
Yang dimaksudkan dengan "tugas pekerjaannya" ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang 
bersangkutan. 
Ayat (2) 
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindak pidana 
kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang 
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan. 
Ayat (3) 
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung dalam ayat (1) dan ayat (3) dalam pasal ini adalah Pimpinan 
Mahkamah Agung. 
Pasal 13 
Ayat (1) 
Yang dimaksudkan dengan "Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung. 
Ayat (2) 
Pemberhentian sementara dari jabatan berdasarkan alasan tersebut Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, 
dan huruf e paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan lagi. 
Bila jangka waktu pemberhentian sementara yang terakhir telah habis dan yang bersangkutan tidak diusulkan 
untuk diberhentikan dengan tidak dengan hormat, maka ia harus direhabilitasi. 
Pasal 14 
Cukup jelas 
Pasal 15 
Cukup jelas 
Pasal 16 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksudkan dengan hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota 
Mahkamah Agung ialah semua hak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980. (Lembaran 
Negara Tahun 1980 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3182), sedangkan pangkat dan tunjangan- 
tunjangan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri diatur tersendiri. 
Pasal 17 
Cukup jelas 
Pasal 18 
Cukup jelas 
Pasal 19 
Keputusan Presiden yang dimaksudkan pasal ini ditetapkan atas usul Mahkamah Agung. 
Pasal 20 
Ayat (1) 
Yang dimaksudkan dengan "sarjana hukum" dalam pasal ini termasuk sarjana lain di bidang hukum yang 
dianggap cakap untuk jabatan itu. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 21 
Cukup jelas 
Pasal 22 
Bunyi sumpah atau janji Panitera Mahkamah Agung dan Wakil Panitera Mahkamah Agung pada dasarnya 
sebagaimana dimaksudkan pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan 
Pokok Kekuasaan Kehakiman. 
Pasal 23 
Cukup jelas 
Pasal 24 
Bunyi sumpah atau janji Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung pada dasarnya 
sebagaimana dimaksudkan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan 
Pokok Kekuasaan Kehakiman. 
Pasal 25 
Cukup jelas 
Pasal 26 
Cukup jelas 
Pasal 27 
Cukup jelas 
Pasal 28 
Cukup jelas 
Pasal 29 
Cukup jelas 
Pasal 30 
Cukup jelas 
Pasal 31 
Ayat (1) 
Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang 
lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya 
suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 
Ayat (2) 
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung 
mengambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah daripada 
Undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung 
secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 32 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Kewenangan untuk melaksanakan pengawasan oleh Mahkamah Agung dapat didelegasikan kepada Pengadilan 
Tingkat Banding.di semua Lingkungan Peradilan. 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 33 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksudkan dengan kapal ialah kapal laut dan kapal udara. 
Pasal 34 
Cukup jelas 
Pasal 35 
Pemberian nasihat hukum yang dimaksudkan pasal ini dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. 
Pasal 36 
Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggungjawab 
Pemerintah. 
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasehat Hukum dan 
Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. 
Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian 
Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. 
Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa 
pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing 
terlebih dahulu didengar pendapatnya. 
Pasal 37 
Cukup jelas 
Pasal 38 
Cukupjelas 
Pasal 39 
Yang dimaksud dengan "tugas dan kewenangan lain" dalam pasal ini misalnya arbitrase dan sebagainya. 
Pasal 40 
Ayat (1) 
Apabila Majelis bersidang dengan lebih dari 3 (tiga) orang Hakim jumlahnya harus selalu ganjil. 
Ayat (2) 
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini batal menurut hukum. 
Pasal 41 
Cukup jelas 
Pasal 42 
Cukup jelas 
Pasal 43 
Ayat (1) 
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh 
Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 44 
Ayat (1) 
huruf a 
Cukup jelas 
huruf b 
Istilah "perkara pidana" yang dimaksudkan huruf b pasal ini diartikan pula perkara pidana militer. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 45 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Yang dimaksudkan dengan "tidak boleh merugikan pihak yang berperkara" tersebut ayat (3) ialah tidak 
menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 
Pasal 46 
Cukup jelas 
Pasal 47 
Ayat (1) 
Mengajukan suatu memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi adalah suatu syarat mutlak 
untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 (empat 
belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 48 
Cukup jelas 
Pasal 49 
Cukupjelas 
Pasal 50 
Ayat (1) 
Yang dimaksudkan dengan "surat-surat" meliputi pula berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dipandang 
perlu. 
Ayat (2) 
Pada prinsipnya pemeriksaan kasasi seperti tersebut ayat (1) dilakukan berdasarkan nomor urut daftar 
pemeriksaan perkara. 
Pasal 51 
Cukup jelas 
Pasal 52 
Cukup jelas 
Pasal 53 
Ayat (1) 
Salinan putusan dikirim juga kepada Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut dalam tingkat banding. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 54 
Cukup jelas 
Pasal 55 
Cukup jelas 
Pasal 56 
Cukup jelas 
Pasal 57 
Cukup jelas 
Pasal 58 
Cukup jelas 
Pasal 59 
Cukup jelas 
Pasal 60 
Cukup jelas 
Pasal 61 
Cukup jelas 
Pasal 62 
Cukup jelas 
Pasal 63 
Cukup jelas 
Pasal 64 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63 di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya 
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer. 
Pasal 65 
Ayat(1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63 di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya 
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer. 
Pasal 66 
Cukup jelas 
Pasal 67 
Cukup jelas 
Pasal 68 
Cukup jelas 
Pasal 69 
Huruf a 
Hari dan tanggal diketahuinya kebohongan dan tipu muslihat itu harus dibuktikan secara tertulis. 
Huruf b 
Cukup jelas 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Cukup jelas 
Pasal 70 
Cukup jelas 
Pasal 71 
Cukup jelas 
Pasal 72 
Cukup jelas 
Pasal 73 
Cukup jelas 
Pasal 74 
Cukup jelas 
Pasal 75 
Cukup jelas 
Pasal 76 
Cukup jelas 
Pasal 77 
Cukup jelas 
Pasal 78 
Cukup jelas 
Pasal 79 
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah 
Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. 
Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian 
suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini. 
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun 
oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya 
merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan 
mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak 
pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian. 
Pasal 80 
Cukup jelas 
Pasal 81 
Cukup jelas 
Pasal 82 
Cukup jelas
                           TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3316 
peraturan/uu/14tahun1985.txt · Last modified: 2023/02/05 20:50 by 127.0.0.1