User Tools

Site Tools


peraturan:sedp:18pj.311992
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                   10 September 1992      

                      SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                           NOMOR SE - 18/PJ.31/1992

                        TENTANG

                PENEGASAN PERLAKUAN PPh ATAS PEMINDAHTANGANAN HARTA

                          DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan, 
antara perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, dengan ini disampaikan penegasan 
sebagai berikut :

1.  Pemindahtanganan harta dapat dilakukan dalam bentuk :
    -   penjualan,
    -   pengalihan/tukar menukar,
    -   hibah,
    -   warisan dan
    -   penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind perticipation).

2.  Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 
    7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1991 (selanjutnya 
    disebut UU PPh 1984) yaitu dalam :
    - Pasal 4 ayat (1) huruf d,
    - Pasal 4 ayat (3) huruf a, b, e dan f,
    - Pasal 6 ayat (1) huruf d,
    - Pasal 9 ayat (1) huruf f,
    - Pasal 10 ayat (1),
    - Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8),
    serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1985.
    Oleh karena itu Surat Edaran ini merupakan penegasan dan penjelasan atas ketentuan-ketentuan 
    dalam pasal-pasal tersebut di atas.

3.  Keuntungan karena pemindahtanganan harta termasuk obyek PPh.
    3.1.    Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 diatur bahwa yang menjadi obyek Pajak Penghasilan 
        adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau 
        diperoleh Wajib Pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
        Wajib Pajak, dengan nama dan dalam  bentuk apapun, baik yang berasal dari Indonesia 
        maupun luar Indonesia (broad income concept dan world-wide income concept).
        Walaupun demikian, dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984 diatur jenis-jenis penghasilan yang 
        tidak termasuk sebagai obyek Pajak Penghasilan.

    3.2.    Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena penjualan atau 
        karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan 
        dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta 
        karena likwidasi, adalah obyek Pajak Penghasilan.

    3.3.    Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena pengalihan 
        harta dari orang pribadi, anggota firma, anggota perseroan komanditer atau kongsi kepada 
        perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya tidak termasuk sebagai 
        obyek PPh sepanjang memenuhi syarat :
        3.3.1.  pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama 
            memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
        3.3.2.  pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
        3.3.3.  pengenaan pajak di kemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
            Ketiga persyaratan tersebut bersifat kumulatif, dan penilaian harta yang 
            dipindahtangankan itu harus mengikuti ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a 
            UU PPh 1984 (lihat contoh 8).

    3.4.    Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh 1984 diatur, bahwa harta yang diterima oleh 
        perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti 
        penyertaan modal tidak termasuk obyek PPh, dengan syarat dasar penilaiannya harus 
        memenuhi ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU PPh 1984.

    3.5.    Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 1984 diatur bahwa pemindahtanganan 
        harta karena hibah atau bantuan yang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan dari 
        pihak yang bersangkutan, dan warisan, tidak termasuk obyek PPh bagi penerimanya, dan 
        bagi pemberinya (sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1984) harta yang 
        dihibahkan, bantuan dan warisan dimaksud tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto 
        untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.

        Bagi penerimanya, sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984, dasar penilaian 
        harta yang diperoleh dari hibah, bantuan atau warisan adalah sama dengan dasar penilaian 
        bagi yang menyerahkan.

4.  Kerugian karena pemindahtanganan harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan 
    merupakan biaya.
    4.1.    Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa kerugian yang diderita karena 
        penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam 
        perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan 
        dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan besarnya penghasilan kena 
        pajak. Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa tidak semua kerugian karena pemindahtanganan 
        harta boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak, 
        melainkan hanya terbatas pada kerugian dari pemindahtanganan harta yang dimiliki dan 
        dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan saja.

    4.2.    Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1984 ditentukan bahwa harta yang dihibahkan, 
        diberikan sebagai bantuan/sumbangan dan diwariskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
        4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 1984, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto 
        untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.

5.  Penyusutan/amortisasi sebagai akibat pemindahtanganan harta.
    5.1.    Dalam Pasal 11 UU PPh 1984 diatur mengenai penyusutan dan amortisasi.
        UU PPh 1984 menganut dua metode penyusutan, yaitu :
        -   metode menurun secara berimbang (declining balance) untuk harta Golongan 1, 
            Golongan 2 dan Golongan 3; dan
        -   metode garis lurus (straight line) untuk golongan bangunan.
            Sedangkan mengenai amortisasi dianut dua metode, yaitu :
        -   metode menurun secara berimbang dengan tarif sesuai dengan tarif penyusutan 
            harta Golongan 1, atau Golongan 2 atau Golongan 3, sesuai dengan masa manfaat 
            harta tak berwujud yang bersangkutan; dan
        -   metode satuan produksi, terbatas atas biaya untuk memperoleh hak penambangan 
            dan hak pengusahaan hutan.

    5.2.    Dengan adanya pemindahtanganan harta, maka terjadi perubahan besarnya dasar 
        penyusutan setiap golongan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UU PPh 1984. 
        Ketentuan yang berkaitan dengan perlakuan PPh atas keuntungan/kerugian 
        pemindahtanganan harta ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 kalimat ke dua, 
        yang berbunyi:
        "Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung 
        dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b."

    5.3.    Pasal 11 ayat (7) UU PPh 1984 hanya mengatur perlakuan PPh mengenai penarikan harta dari 
        pemakaian atas harta yang dapat disusutkan dengan metode menurun secara berimbang. 
        Dalam pasal tersebut tidak diatur perlakuan PPh atas keuntungan atau kerugian dari 
        pemindahtanganan harta tidak berwujud dan pemindahtanganan harta yang disusutkan 
        dengan metode garis lurus (golongan bangunan). Penyusutan/amortisasi karena penarikan 
        harta Golongan Bangunan dan harta tidak berwujud diatur dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5) 
        dan ayat (6) PP Nomor 42 TAHUN 1985.

    5.4.    Dalam Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8) UU PPh 1984 diatur bahwa penarikan harta dari 
        pemakaian dibedakan dalam 2 (dua) sebab, yaitu :
        5.4.1.  Karena sebab luar biasa :
            a.  karena bencana;
            b.  karena perusahaan menghentikan sebagian besar usahanya karena sebab-
                sebab di luar kekuasaan perusahaan (lihat juga penjelasan Pasal 11 ayat (7) 
                UU PPh 1984), misalnya karena peraturan pemerintah.

        5.4.2.  Karena sebab biasa, yaitu sebab-sebab selain sebab luar biasa, misalnya karena 
            dijual atau ditukar dengan harta lain.

    5.5.    Penghitungan keuntungan atau kerugian karena pemindahtanganan harta diatur menjadi satu 
        dengan metode penyusutannya, sebagai berikut :
        5.5.1.  Karena sebab luar biasa :
            Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, maka untuk 
            memperoleh dasar penyusutan, suatu jumlah sebesar harga sisa buku dikurangkan 
            dari jumlah awal, dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam 
            tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian 
            asuransinya merupakan penghasilan (Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984). 
            Selanjutnya lihat contoh 1 dan 2.

        5.5.2.  Karena sebab biasa :
            Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian karena sebab biasa, maka untuk 
            memperoleh dasar penyusutan, penerimaan netto dari (pemindahtanganan) harta 
            yang bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal (Pasal 11 ayat (7) huruf b UU 
            PPh 1984). Jika pengurangan dimaksud dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar 
            penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol, 
            dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu harus ditambahkan pada penghasilan 
            dalam tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (8) UU PPh 1984). Selanjutnya 
            lihat contoh 3, 4, 5, dan 6.

    5.6.    Mengenai pemindahtanganan harta Golongan Bangunan, perlakuan pajaknya diatur dalam 
        Pasal 3 ayat (5) PP Nomor 42 TAHUN 1985, yaitu bahwa apabila terjadi penarikan harta 
        Golongan Bangunan dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar 
        biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, harga perolehan dikurangkan dari jumlah
        awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya dibebankan sebagai biaya 
        pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut, dan jumlah sebesar nilai jual atau harga jual 
        atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan (lihat contoh 7).

    5.7.    Mengenai pemindahtanganan harta tak berwujud, perlakuan pajaknya diatur dalam Pasal 3 
        ayat (6) PP Nomor 42 TAHUN 1985. Apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari 
        pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar biasa, maka untuk 
        memperoleh dasar amortisasi, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta tak berwujud 
        dikurangkan dari jumlah awal dan jumlah yang dikurangkan tersebut dibebankan sebagai 
        biaya dalam tahun terjadinya penarikan. Jumlah sebesar nilai penggantian atau harga 
        penggantian atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan.

    5.8.    Dalam Pasal 3 ayat (4) PP Nomor 42 TAHUN 1985 diatur bahwa apabila terjadi penarikan 
        harta berwujud dari pemakaian karena dihibahkan, disumbangkan, atau diwariskan kepada 
        pihak lain, maka dasar penyusutan dihitung sebagai berikut :
        5.8.1.  Untuk harta golongan bukan bangunan, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta
            yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut, dikurangkan dari jumlah 
            awal masing-masing golongan harta yang bersangkutan. Jumlah sebesar harga sisa 
            buku tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya;
        5.8.2.  Untuk harta Golongan Bangunan, jumlah sebesar harga perolehan dari bangunan 
            yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut dikurangkan dari jumlah
            awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya tidak boleh 
            dikurangkan sebagai biaya.

6.  Dasar penilaian harta.
    6.1.    Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta tidak dapat dipisahkan dari ketentuan mengenai 
        penilaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984. Ketentuan umumnya 
        adalah bahwa dalam melakukan penyusutan atau amortisasi terhadap harta dan 
        penghitungan keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi oleh 
        hubungan istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan, 
        sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya     adalah jumlah yang seharusnya 
        dikeluarkan.

    6.2.    Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 
        1984 (lihat butir 3.3.), dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh 
        pihak yang mengalihkan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut 
        pembukuan pihak yang mengalihkan tersebut. Perlu ditambahkan, apabila dikemudian hari 
        saham atau bukti penyertaan lainnya tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungannya 
        adalah obyek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984.

    6.3.    Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh 
        1984, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari 
        harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan. Perlu ditambahkan bahwa 
        apabila di kemudian hari harta tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungan karena 
        penjualan atau pengalihan harta tersebut oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya 
        adalah obyek PPh sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984.

    6.4.    Yang dimaksud dengan nilai menurut pembukuan sebagaimana dikemukakan diatas adalah
        harga sisa buku sesuai dengan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.

    6.5.    Penilaian harta yang diterima karena hibah, sumbangan atau warisan, bagi penerimanya 
        diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 yang berbunyi : "dalam hal penyerahan
        harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang 
        digunakan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan."
        Dalam memori penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 antara lain dijelaskan bahwa 
        dalam hal harta tersebut adalah harta yang boleh disusutkan maka nilai perolehan bagi yang 
        menerima hibah, sumbangan, atau warisan adalah harga sisa buku harta tersebut pada saat 
        dialihkan. Sedangkan bila harta tersebut adalah harta yang tidak boleh disusutkan (misalnya 
        tanah, saham), maka nilai yang dimaksud adalah nilai perolehan dari pihak yang memberi 
        hibah, sumbangan, atau warisan. Nilai perolehan bagi penerima dimaksud merupakan jumlah 
        awal dasar penyusutan apabila harta tersebut dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, 
        menagih dan memelihara penghasilan.

7.  Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta oleh Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan 
    pembukuan.
    7.1.    Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU PPh 1984 Wajib Pajak yang peredaran brutonya 
        tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan 
        Norma Penghitungan, dan mereka tidak wajib menyelenggarakan pembukuan melainkan 
        hanya wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya 
        saja.

    7.2.    Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, tidak perlu melakukan 
        pencatatan mengenai penyusutan atas harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam usaha. 
        Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984, maka keuntungan penjualan/
        pengalihan harta adalah sebesar selisih lebih antara harga jual/nilai pengalihan dikurangi 
        dengan harga sisa buku dari harta tersebut pada saat penjualan. Harga sisa buku dihitung 
        dari harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutannya sesuai dengan penggolongan harta 
        sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU PPh 1984.

8.  Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan.
    Harta yang tidak boleh disusutkan adalah tanah, saham dan harta yang tidak dipergunakan untuk 
    mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan 
    bahwa tanah tidak dapat disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan 
    dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan 
    (misalnya tanah yang dipergunakan sebagai bahan untuk membuat semen, genteng, batu bata).
    Dengan demikian dalam hal terjadi pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan, keuntungan
    yang diterima atau diperoleh adalah selisih antara harga pengalihan dengan harga perolehan. 
    Ketentuan ini berlaku terhadap Wajib Pajak, baik yang wajib melakukan pembukuan sebagaimana 
    diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983, maupun yang penghasilan 
    nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU 
    PPh 1984.

9.  Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih 
    dan memelihara penghasilan oleh Wajib Pajak Perseorangan. Dalam hal pemindahtanganan harta yang 
    dimiliki oleh Wajib Pajak Perseorangan dan harta tersebut  tidak dipergunakan untuk mendapatkan, 
    menagih dan memelihara penghasilan, maka pengenaan pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara 
    harga pengalihan dengan harga perolehan, dilakukan dengan menerapkan tarif efektif rata-rata (TER) 
    sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1985.
    Untuk menentukan harga perolehan pada saat penjualan, maka harga perolehan pada tahun 
    pembelian dikalikan dengan faktor penyesuaian yang setiap tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan 
    sesuai dengan Pasal 7 PP Nomor 42 TAHUN 1985.

10. Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
    Pertukaran saham dengan saham dapat dilakukan antara perseroan biasa (unlisted company) dengan
    perseroan publik (listed company), atau antar perseroan biasa, atau antar perseroan publik.
    Dalam hal terjadi pertukaran saham dengan saham, nilai yang dipakai sebagai dasar untuk 
    menentukan perlakuan pajaknya adalah nilai pasar. Apabila nilai pasar dari saham yang dipertukarkan 
    tidak diketahui karena tidak diperdagangkan di bursa, maka nilai yang dipakai adalah nilai yang 
    dihitung berdasar kekayaan bersih (net-worth) dari perseroan yang bersangkutan, yaitu selisih antara 
    seluruh harta dikurangi dengan seluruh kewajiban pada saat terjadinya transaksi (lihat contoh 9).

11. Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta dalam hal terdapat hubungan istimewa.
    Dalam hal ada hubungan istimewa antara pihak yang menjual atau yang mengalihkan dengan pihak 
    pembeli atau yang menerima pengalihan, yang mengakibatkan nilai/harga yang menjadi dasar 
    pemindahtanganan tidak wajar maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh 1984
    Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau 
    pengurangan. Dengan kata lain Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali harga 
    jual atau harga/nilai pengalihan harta yang dijual atau dialihkan itu. Jika Saudara menemukan kasus-
    kasus seperti ini supaya diajukan langsung ke Kantor Pusat untuk memperoleh keputusan.
12  Untuk memudahkan penerapan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dibawah ini 
    diberikan contoh-contoh penerapannya.

    Contoh 1 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana.
    PT. X mempunyai harta Golongan 2, yang jumlah awalnya pada tahun 1984 adalah Rp.800 juta. 
    Dalam tahun 1984 terjadi penambahan harta, yaitu pembelian bus AA dengan harga perolehan 
    Rp. 200 juta yang diasuransikan sebesar Rp. 175 juta. Pada pertengahan tahun 1985 bus AA tersebut 
    terbakar.
    Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
    1)  Penyusutan :
        Jumlah awal 1-1-1984        Rp.   800 juta
        Pembelian bus AA tahun 1984 Rp.   200 juta
                        ----------------
        Dasar penyusutan tahun 1984 Rp. 1.000 juta
        Penyusutan tahun 1984 (25%) Rp.   250 juta
                        ----------------
            Jumlah awal 1-1-1985    Rp.   750 juta
        Pengurangan : sebesar harga sisa
        buku bus AA yang terbakar
        pertengahan tahun 1985      Rp.   150 juta
                        ----------------
        Dasar penyusutan tahun 1985 Rp.   600 juta

    2)  Penghasilan penggantian asuransi :
        Harga sisa buku bus AA sebesar Rp. 150 juta merupakan  kerugian, sedangkan penggantian 
        asuransi sebesar Rp. 175 juta merupakan penghasilan pada tahun pajak saat klaim asuransi 
        tersebut diakui.

    Contoh 2 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa di luar contoh 1 di atas. PT. X memiliki 
    mesin dan beberapa harta lain dalam golongan yang sama, dengan nilai sisa buku pada tanggal 
    1 Januari 1991 adalah Rp. 680 juta. Nilai sisa buku mesin tersebut adalah Rp. 660 juta. Mesin tersebut 
    kemudian dijual kepada PT. Y (karena berdasarkan Peraturan Pemerintah lokasinya dilarang sebagai 
    lokasi industri) dengan harga Rp. 800 juta. Setelah penjualan mesin tersebut PT. X tidak lagi 
    melakukan usaha walaupun secara formal tidak dibubarkan (dilikuidasi). Penjualan mesin tersebut 
    merupakan penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, yang perlakuan pajaknya 
    tunduk pada Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984.
    Perlakuan PPh nya bagi PT. X atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut :   
    1)  Penyusutan :
        Jumlah awal (1-1-1991)          Rp. 680 juta
        Penambahan selama tahun 1991        Rp.   -
                            --------------
                            Rp. 680 juta
        Pengurangan : harga sisa buku mesin yang 
        dijual ke PT. Y pada 1-1-1992 sebesar   Rp. 660 juta
                            --------------
        Dasar penyusutan 1-1-1991       Rp.   20 juta
        Penyusutan tahun 1991 (25%)     Rp.     5 juta
                            --------------
            Jumlah awal (1-1-1992)      Rp.   15 juta

    2)  Penghasilan penjualan mesin.
        Harga sisa buku sebesar Rp. 660 juta harus dibukukan sebagai kerugian tahun 1991 
        sedangkan harga penjualan sebesar Rp. 800 juta merupakan penghasilan pada tahun yang 
        bersangkutan.

    Contoh 3 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan keuntungan.
    PT. X mempunyai beberapa jenis harta golongan 2 bukan bangunan yang salah satunya mempunyai 
    nilai buku Rp. 100 juta. Harta tersebut dijual kepada PT. Y dengan harga Rp.200 juta.
    Perlakuan PPh bagi PT. X :
    Bagi PT. X perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :
    Jumlah awal                     Rp. 1.000 juta
    Pengurangan :
    penerimaan netto penjualan harta  kepada PT. Y      Rp.   200 juta
                                ----------------
    Jumlah awal untuk tahun pajak berikutnya        Rp.   800 juta

    Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, setelah terjadi penjualan harta, PT. X hanya 
    dapat menyusutkan hartanya atas dasar nilai sebesar Rp. 800 juta, sehingga biaya penyusutan akan 
    lebih kecil dari pada sebelum terjadi penjualan tersebut.
    Perlakuan PPh bagi PT. Y :
    Bagi PT. Y dasar penyusutan atas harta yang dibeli dari PT. X adalah Rp. 200 juta, yaitu sebesar 
    harga perolehannya sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.

    Contoh 4 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan kerugian.
    Seandainya harta PT. X dijual dengan nilai Rp. 50 juta sedangkan nilai sisa bukunya adalah Rp. 100 
    juta, maka perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :
    Jumlah awal                 Rp. 1.000 juta
    Pengurangan : penerimaan netto penjualan 
    salah satu jenis harta kepada PT. Y     Rp.      50 juta
                            -----------------
    Dasar penyusutan                Rp.    950 juta

    Bila dibandingkan dengan contoh 3, maka dalam hal diderita kerugian, dasar penyusutannya lebih 
    besar dari pada seandainya  diperoleh keuntungan. Dengan demikian jumlah penyusutannya menjadi 
    lebih besar yang berarti bahwa kerugian yang diderita tidak dibebankan sekaligus tetapi bertahap 
    melalui metode penyusutan.

    Contoh 5 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan harta bukan 
    saham.
    PT. X mempunyai harta yang terdiri dari beberapa jenis mesin, yang nilai bukunya adalah sebagai 
    berikut :
    Mesin 1         Rp.   500 juta
    Mesin 2         Rp.   300 juta
    Mesin 3         Rp. 1.000 juta
                ----------------
    Dasar penyusutan    Rp. 1.800 juta

    Mesin 2, yang harga pasarnya adalah Rp. 500 juta, ditukar dengan Mesin B milik PT. Y yang nilai 
    bukunya adalah Rp. 400 juta tetapi harga pasarnya adalah Rp. 500 juta.
    Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, perlakuan pajaknya melalui metode penyusutan
    adalah sebagai berikut :

    Bagi PT. X :
    Perhitungan dasar penyusutannya adalah :
    Jumlah awal                     Rp. 1.800 juta
    Pengurangan :
    Harga pasar Mesin 2 yang dialihkan ke PT. Y     Rp.    500 juta
                                ----------------
                                Rp. 1.300 juta
    Penambahan :
    Sebesar harga pasar Mesin B yang diterima dari PT. Y    Rp    500 juta
                                ----------------
                    Dasar penyusutan    Rp. 1.800 juta

    Bagi PT. Y :
    Perhitungan dasar penyusutannya adalah :
    Mesin A                             Rp.   600 juta
    Mesin B                             Rp.   400 juta
                                    ----------------
                        Jumlah awal     Rp. 1.000 juta
    Pengurangan :
    Sebesar harga pasar Mesin B yang dialihkan kepada PT.X      Rp.   500 juta
                                    ----------------
                                    Rp.   500 juta
    Penambahan :
    Sebesar harga pasar Mesin 2 yang diterima dari PT. X        Rp.   500 juta
                                    ----------------
                        Dasar penyusutan    Rp. 1.000 juta 

    Contoh 6 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan saham.
    PT. X               PT. Y
    Aktiva              Aktiva
    Harta       1.000       Harta           4.000
                    Saham dalam portepel    1.000
            -------                 -------
            1.000                   5.000
    Pasiva              Pasiva
    Hutang       400        Modal saham     5.000
    Modal saham      600
            -------                 -------
            1.000                   5.000

    Setelah terjadi pengalihan, pembukuan fiskalnya adalah :
    PT. X               PT. Y
    Aktiva              Aktiva
    Harta        900        Harta           4.000
    Saham PT. Y  100        Saham dalam portepel       900
                    Harta PT. X        100
            ------                  -------
            1.000                   5.000 
    Pasiva              Pasiva
    Hutang      400     Modal saham     5.000
    Modal saham 600 
            -------                 -------
            1.000                   5.000

    Contoh 7 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian.
    PT. A mempunyai harta Golongan Bangunan dengan perincian sebagai berikut :
    Harga perolehan (tidak termasuk harga tanah)

    Bangunan X :    Rp.   2.000 juta
    Bangunan Y :    Rp. 10.000 juta
            ------------------
            Rp. 12.000 juta
    Akumulasi penyusutan
    Bangunan X :    Rp.     400 juta
    Bangunan Y :    Rp.  1.600 juta
            -----------------
            Rp.  2.000 juta
    Nilai buku 1-1-1992 :
    Bangunan X :    Rp.  1.600 juta
    Bangunan Y :    Rp.  8.400 juta
            -----------------
            Rp. 10.000 juta

    Tahun 1992 Bangunan X dijual seharga Rp. 2.000 juta (tidak termasuk harga tanah), sehingga 
    perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
    1)  Jumlah awal 1-1-1992            Rp. 12.000 juta
        Bangunan X dijual, harga perolehannya   Rp.   2.000 juta
                            ------------------
        Dasar penyusutan 1992           Rp. 10.000 juta

    2)  Harga sisa buku Bangunan X sebesar Rp. 1.600 juta dibebankan sebagai biaya untuk tahun
        1992.
    3)  Hasil penjualan sebesar Rp. 2.000 juta merupakan penghasilan tahun 1992.

    Contoh 8 :
    Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam 
    Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984.

    Tuan A dan Tuan B adalah Wajib Pajak Perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, bersama-
    sama menyertakan hartanya kepada PT. X, oleh karena itu Tuan A dan Tuan B memperoleh saham 
    PT. X. Nilai buku harta Tuan A adalah Rp. 200 juta, sedangkan nilai pasarnya adalah Rp. 250 juta. 
    Nilai buku harta Tuan B Rp. 20 juta dan nilai pasarnya adalah Rp. 30 juta.

    Tuan A memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 200 juta sedangkan Tuan B memperoleh saham PT. 
    X sebesar Rp. 20 juta. Dalam pembukuannya PT. X harus mencatat sebagai berikut :

    PT. X
    Aktiva              Pasiva
    Harta       220     Modal Tn A  200
                    Modal Tn B    20
            ----                -----
            220             220

    Setelah pengalihan, Tuan A dan Tuan B secara bersama-sama memiliki 100% dari modal yang 
    disetor di PT. X.

    Tuan A dan  Tuan B masing-masing akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila mereka dikemudian 
    hari menjual saham-sahamnya dengan nilai yang melebihi nilai perolehannya. Demikian pula apabila 
    harta tersebut kemudian oleh PT. X dijual, maka keuntungannya merupakan Obyek Pajak. Perlakuan 
    pajak tersebut juga berlaku dalam hal harta yang dialihkan adalah tanah, yaitu badan usaha yang 
    menerima pengalihan harus membukukannya dengan harga perolehan pihak yang mengalihkan (Tuan
    A dan Tuan B).

    Contoh 9 :
    Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
    Tuan X adalah pemegang saham PT. A, yang jumlah penyetorannya adalah Rp. 250 juta. Saham 
    Tuan X pada PT. A tersebut ditukar dengan saham pada PT. B yang dimiliki oleh Tuan Y.
    Sebelum terjadi pertukaran :
    PT A                    PT. B
    Aktiva                  Aktiva
    Harta       Rp. 500 juta        Harta       Rp. 1.000 juta
            --------------              -----------------
            Rp. 500 juta                Rp. 1.000 juta

    Pasiva                  Pasiva
    Kewajiban   Rp. 200 juta        Kewajiban   Rp.   150 juta
    Modal saham             Modal saham
    (Tn X)      Rp. 250 juta        (Tn Y)      Rp.   750 juta
    Laba ditahan    Rp.   50 juta       Laba ditahan    Rp.   100 juta
            --------------              ----------------
            Rp. 500 juta                Rp. 1.000 juta

    Seluruh saham Tn X pada PT A ditukar dengan saham Tn Y pada PT B, dengan nilai Rp.300 juta.

    Setelah terjadi pertukaran, neraca fiskal kedua PT adalah sebagai berikut :
    PT. A                   PT. B
    Aktiva                  Aktiva
    Harta       Rp. 500 juta        Harta       Rp. 1.000 juta
            --------------              -----------------
            Rp. 500 juta                Rp. 1.000 juta

    Pasiva                  Pasiva
    Kewajiban   Rp. 200 juta        Kewajiban   Rp.   150 juta
    Modal saham             Modal saham
    (Tn Y)      Rp. 300 juta        (TN Y)      Rp.   450 juta
                        (Tn X)      Rp.   300 juta
                        Laba ditahan    Rp.   100 juta
            --------------              ----------------
            Rp. 500 juta                Rp. 1.000 juta

    Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
    Bagi Tuan X selisih antara nilai saham PT. B (Rp. 300 juta) dengan modal yang disetornya pada PT. A 
    (Rp. 250 juta) merupakan keuntungan karena pengalihan saham (Rp. 50 juta) yang berdasarkan 
    Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 adalah obyek PPh.
    Perlu ditegaskan bahwa contoh-contoh pembukuan yang diberikan dalam Surat Edaran ini adalah 
    tata cara pembukuan yang diselenggarakan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.

13. Berdasarkan penegasan diatas, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 6 Tahun 
    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, kepada Saudara diinstruksikan untuk 
    melakukan penelitian material atas SPT Tahunan PPh untuk 5 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak 
    yang berdasarkan data/informasi yang ada telah melakukan transaksi pemindahtanganan harta, dan 
    melakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Demikian untuk dilaksanakan.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. MAR'IE MUHAMMAD
peraturan/sedp/18pj.311992.txt · Last modified: 2023/02/05 20:06 by 127.0.0.1