KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
SURAT EDARAN
NOMOR SE-17/PJ/2020
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTER! KEUANGAN
NOMOR **186/PMK.03/2019** TENTANG KLASIFIKASI OBJEK PAJAK DAN
TATA CARA PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Yth.
1. Pejabat Eselon II di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
2. Kepala Kantor Wilayah di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
A.
Umum
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor **186/PMK.03/2019** tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PMK-186/2019), perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud.
B.
Maksud dan Tujuan
1.
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP), dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam melaksanakan PMK-186/2019.
2.
Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan:
a.
keseragaman pemahaman dan pelaksanaan; dan
b.
penjelasan mengenai pelaksanaan klasifikasi objek pajak, tata cara penetapan Nilai Jual Objek Pajak. (NJOP), pelaksanaan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), prosedur kerja, dan bentuk formulir, serta tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Kanwil DJP, dan KPP, sehubungan dengan pelaksanaan PMK-186/2019.
C.
Ruang Lingkup
1.
Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Objek Pajak;
2.
Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan NJOP;
3.
Petunjuk Pelaksanaan Pengenaan PBB; dan
4.
Prosedur Kerja.
D.
Dasar
1.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;dan
2.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor **186/PMK.03/2019** tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
E.
Materi
1.
Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Objek Pajak
Kepala KPP melakukan klasifikasi objek pajak sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
a.
PBB Sektor Perkebunan
Bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Perkebunan.
1)
Kawasan perkebunan meliputi:
a)
areal sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Perkebunan Budidaya, lzin Usaha Perkebunan, lzin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan, dan/atau Hak Guna Usaha untuk perkebunan; dan
b)
areal di luar areal sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan dan secara fisik tidak terpisahkan.
2)
Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) meliputi:
a.
areal berupa perkebunan, emplasemen, atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) dengan atau tanpa pembatas; atau
b.
areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) melalui sungai, parit, jalan, atau jembatan dengan penjelasan sebagai berikut:
(1)
yang dimaksud dengan terhubung melalui sungai, parit, atau jalan yaitu dihubungkan oleh lebar sungai, lebar parit, atau lebar jalan, sepanjang areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a);
(2)
yang dimaksud dengan terhubung melalui jembatan yaitu dihubungkan oleh panjang jembatan; dan
(3)
termasuk dalam pengertian jembatan yaitu jembatan dengan segala jenis bahan dan konstruksi.
b.
PBB Sektor Perhutanan
Bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Perhutanan.
1)
Kawasan perhutanan meliputi:
a)
areal sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dan/atau lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam, lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam, lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman lndustri dan/atau lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b)
areal di luar areal sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan dan secara fisik tidak terpisahkan.
2)
Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) meliputi:
a)
areal berupa hutan, emplasemen, atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memifiki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) dengan atau tan pa pembatas; atau
b)
areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) melalui sungai, parit, jalan, atau jembatan dengan penjelasan
sebagaiberikut:
(1)
yang dimaksud dengan terhubung melalui sungai, parit, atau jalan yaitu dihubungkan oleh lebar sungai, lebar parit, atau lebar jalan, sepanjang areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a);
(2)
yang dimaksud dengan terhubung melalui jembatan yaitu dihubungkan oleh panjang jembatan; dan
(3)
termasuk dalam pengertian jembatan yaitu jembatan dengan segala jenis bahan dan konstruksi.
c.
PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan gas bumi diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
1)
Kawasan pertambangan minyak dan gas bumi meliputi:
a)
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Sama; dan
b)
areal di luar Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan.
2)
Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf b) meliputi:
a)
areal berupa emplasemen atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a) dengan atau tanpa pembatas; atau
b)
areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a) melalui sungai, jalan, jaringan pipa, atau jembatan dengan penjelasan sebagai berikut:
(1)
yang dimaksud dengan terhubung melalui sungai atau jalan yaitu dihubungkan oleh lebar sungai atau lebar jalan, sepanjang areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a);
(2)
yang dimaksud dengan terhubung melalui jaringan pipa atau jembatan yaitu dihubungkan oleh panjang jaringan pipa atau panjang jembatan;
(3)
termasuk dalam pengertian jaringan pipa yaitu jaringan pipa yang dikuasai oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan segala jenis bahan dan konstruksi yang di›unakan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan
(4)
termasuk dalam pengertian jembatan yaitu jembatan dengan segala jenis bahan dan konstruksi.
3)
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi berupa Permukaan Bumi Offshore merupakan areal offshore pertambangan minyak dan gas bumi berupa areal perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk daerah terlarang yang dikuasai oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai landas kontinen.
d.
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
Bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
1)
Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi meliputi:
a)
Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam lzin Panas Bumi, Kuasa Penqusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, lzin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi; dan
b)
areal di luar Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk pengusahaan panas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan.
2)
Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) meliputi:
a)
areal berupa emplasemen atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) dengan atau tanpa pembatas; atau
b)
areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) melalui sungai, jalan, jaringan pipa, atau jembatan dengan penjelasan sebagai berikut:
(1)
yang dimaksud dengan terhubung melalui sungai atau jalan yaitu dihubungkan oleh lebar sungai atau lebar jalan, sepanjang areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a);
(2)
yang dimaksud dengan terhubung melalui jaringan pipa atau jembatan yaitu dihubungkan oleh panjang jaringan pipa atau panjang jembatan;
(3)
termasuk dalam pengertian jaringan pipa yaitu jaringan pipa yang dikuasai oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan segala jenis bahan dan konstruksi yang digunakan dalam pengusahaan panas bumi; dan
(4)
termasuk dalam pengertian jembatan yaitu jembatan dengan segala jenis bahan dan konstruksi.
e.
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
Bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara.
1)
Kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi:
a)
areal sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Pertambangan, lzin Usaha Pertambangan Khusus, lzin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; dan
b)
areal di luar areal sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara dan secara fisik tidak terpisahkan.
2)
Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf b) meliputi:
a)
areal berupa emplasemen atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama dengan titik, koordinat areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a) dengan atau tanpa pembatas; atau
b)
areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) huruf a) melalui sungai, jalan, jaringan pipa, konveyor, atau jembatan dengan penjelasan sebagai berikut:
(1)
yang dimaksud dengan terhubung melalui sungai atau jalan yaitu dihubungkan oleh lebar sungai atau lebar jalan, sepanjang areal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a);
(2)
yang dimaksud dengan terhubung melalui jaringan pipa, konveyor atau jembatan yaitu dihubungkan oleh panjang jaringan pipa, panjang konveyor atau panjang jembatan;
(3)
termasuk dalam pengertian jaringan pipa dan konveyor yaitu jaringan pipa dan konveyor yang dikuasai oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan segala jenis bahan dan konstruksi yang digunakan dalam kegiatan pertambangan mineral atau batubara; dan
(4)
termasuk dalam pengertian jembatan yaitu jembatan dengan segala jenis bahan dan konstruksi.
f.
PBB Sektor Lainnya
Bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain yang dikenakan PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan PBS Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, serta PBB Perdesaan dan Perkotaan, diklasifikasikan menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya.
1)
Objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan merupakan permukaan bumi berupa perairan yang dikuasai dan/atau diperoleh manfaatnya oleh pemegang Surat lzin Usaha Perikanan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perlkanan,
2)
Objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan, meliputi permukaan bumi berupa perairan dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau diperoleh manfaatnya oleh pemegang izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
3)
Bangunan sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan,
termasuk bangunan penunjangnya.
2.
Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan NJOP
a.
NJOP PBB merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan.
b.
Penilaian objek pajak untuk penetapan NJOP bumi dan NJOP bangunan dilakukan oleh Penilai Pajak.
c.
Pendekatan Penilaian.
1)
Pendekatan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis
Penilaian objek pajak dengan pendekatan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis dilakukan dengan cara:
a)
mengumpulkan data objek pembanding berupa transaksi jual beli, tanggungan, penawaran, lelang, atau lainnya, menggunakan Formulir Data Pembanding dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
b)
melakukan analisis terhadap data objek pembanding sebagaimana dimaksud pada huruf a) untuk menentukan nilai jual bumi per meter persegi data objek pembanding, dengan melakukan penyesuaian jenis data dan waktu, menggunakan formulir Analisis Penentuan Nilai Jual Bumi Per Meter Persegi Objek Pembanding dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
c)
melakukan penyesuaian nilai antara objek pembanding dengan objek yang dinilai yang meliputi penyesuaian faktor lokasi, fisik (kontur tanah, ketersediaan infrastruktur, dan jenis tanah), jenis penggunaan tanah, dan keluasan, untuk menentukan NJOP bumi per meter persegi objek yang dinilai untuk:
(1)
areal belum produktif pada Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
(2)
areal belum dimanfaatkan pada Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara;
(3)
areal tidak produktif pada Sektor Perkebunan; dan/atau
(4)
areal emplasemen pada Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara,
menggunakan formulir Analisis Penentuan NJOP Bumi Per Meter Persegi Areal dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf C angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
d)
melakukan penyesuaian nilai antara objek pembanding dengan objek yang dinilai yang meliputi penyesuaian faktor lokasi, fisik (kontur tanah, ketersediaan infrastruktur, dan jenis tanah), jenis penggunaan tanah, dan keluasan, serta menghitung nilai pengembangan tanah untuk menentukan NJOP bumi per meter persegi objek yang dinilai untuk:
(1)
areal produktif pada Sektor Perkebunan; atau
(2)
areal produktif pada Sektor Perhutanan untuk Hutan Tanaman,
menggunakan formulir Analisis Penentuan NJOP Bumi Per Meter Persegi Areal Produktif Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan dan Sektor Perhutanan untuk Hutan Tanaman dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf C angka 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini; dan
e)
melakukan penyesuaian NJOP areal belum produktif sebagaimana dimaksud pada huruf c) angka ( 1 ) dan/atau areal belum dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud pada huruf c) angka (2) dengan objek yang dinilai yang meliputi penyesuaian faktor lokasi, fisik (kontur tanah, ketersediaan infrastruktur, dan jenis tanah), jenis penggunaan tanah, dan keluasan, untuk menentukan NJOP bumi per meter persegi untuk:
(1)
areal produktif pada Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
(2)
areal cadangan produksi pada Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara;
(3)
areal tidak produktif pada Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara; dan/atau
(4)
areal pengaman pada Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara,.
menggunakan formulir Analisis Penentuan NJOP Bumi Per Meter Persegi Areal Berdasarkan Penyesuaian NJOP Areal Belum Produktif atau Areal Belum Dimanfaatkan dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
2)
Pendekatan Nilai Jual Pengganti.
a)
Pendekatan Nilai Jual Pengganti berbasis pendapatan bersih dilakukan dengan cara:
(1)
menghitung pendapatan kotor;
(2)
menghitung biaya produksi;
(3)
menghitung pendapatan bersih dengan cara mengurangkan pendapatan kotor dengan biaya produksi; dan
(4)
menghitung NJOP dengan mengalikan pendapatan bersih dan Angka Kapitalisasi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
b)
Pendekatan Nilai Jual Pengganti berbasis pendapatan kotor dilakukan dengan cara:
(1)
menghitung pendapatan kotor; dan
(2)
menghitung NJOP dengan mengalikan pendapatan kotor dan Angka Kapitalisasi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
3)
Pendekatan Nilai Perolehan Baru.
Penilaian objek pajak dengan pendekatan Nilai Perolehan Baru dilakukan dengan cara:
(a)
menghitung Biaya Pembangunan Baru atau Biaya Penggantian Baru, yaitu:
(1)
untuk bangunan kelompok I dilakukan dengan teknik meter persegi atau teknik unit terpasang menggunakan aplikasi daftar biaya komponen bangunan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, atau teknik lain dalam Penilaian; dan
(2)
untuk bangunan kelompok II dilakukan dengan teknik survei kuantitas atau teknik lain dalam Penilaian;
(b)
menghitung penyusutan bangunan berdasarkan kondisi fisik; dan
©
menghitung NJOP bangunan dengan cara mengurangkan Biaya Pembangunan Baru atau Biaya Penggantian Baru dengan penyusutan.
Pengelompokan bangunan ke dalam bangunan kelompok I dan kelompok II, yaitu sebagaimana diatur di dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai surat pemberitahuan objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
d.
Penetapan NJOP PBB Sektor Perkebunan.
1)
Penetapan NJOP bumi dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
2)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian objek pajak
sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
e.
Penetapan NJOP PBB Sektor Perhutanan.
1)
Penetapan NJOP bumi dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian
2)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian objek pajak
sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
f.
Penetapan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
1)
Penetapan NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Permukaan Bumi Onshore hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
2)
Penetapan NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Offshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Offshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Permukaan Bumi Offshore yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi dalam hal terdapat hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
5)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi dalam hal belum atau tidak mempunyai hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebesar NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
6)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
g.
Penetapan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi.
1)
Penetapan NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Permukaan Bumi Onshore hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
2)
Penetapan NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Offshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Offshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Perrnukaan Bumi Offshore yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Panas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi dalam hal terdapat hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Panas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian
5)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi dalam hal belum atau tidak mempunyai hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas Wilayah Kerja Panas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebesar NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
6)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
h.
Penetapan PBS Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
1)
Penetapan NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Permukaan Bumi Onshore hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
2)
Penetapan NJOP bumi untuk Perrnukaan Bumi Offshore dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi untuk Permukaan Bumi Offshore dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Permukaan Bumi Offshore yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi dilakukan dengan cara mengalikan luas wilayah sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Pertambangan/lzin Usaha Pertambangan Khusus/lzin Pertambangan Rakyat dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi dalam hal terdapat hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas wilayah sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Pertambangan/lzin Usaha Pertambangan Khusus/lzin Pertambangan Rakyat dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi hasil penilaian objek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
5)
Penetapan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi dalam hal belum atau tidak mempunyai hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas wilayah sebagaimana tercantum dalam lzin Usaha Pertambangan/lzin Usaha Pertambangan Khusus/lzin Pertambangan Rakyat dengan NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi sebesar NJOP bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplerasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
6)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian objek pajak
sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
i.
Penetapan PBS Sektor Lainnya.
1)
Penetapan NJOP bumi untuk bumi berupa perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan dalam hal terdapat hasil preduksi dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi hasil penilaian ebjek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laporan Penilaian.
2)
Penetapan NJOP bumi untuk bumi berupa perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan dalam hal tidak terdapat hasil produksi dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang tidak terdapat hasil produksi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3)
Penetapan NJOP bumi untuk bumi berupa perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, jalan tel, dan fasilitas penyimpanan dan pengelahan dilakukan dengan cara mengalikan luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi pada perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengelahan yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4)
Penetapan NJOP bangunan dilakukan dengan cara mengalikan luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi hasil penilaian ebjek pajak sebagaimana tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian dan/atau Laperan Penilaian.
j.
KPP menuangkan hasil penetapan NJOP ke dalam Fermulir Data Masukan (FDM) dengan format sebagaimana dalam Lampiran I huruf E sampai dengan huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
k.
KPP melakukan perekaman FDM ke dalam aplikasi SIDJP NINE.
l.
NJOP bumi per meter persegi dan NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam huruf d sampai dengan huruf i dibulatkan ke bawah dalam puluhanrupiah penuh.
3.
Petunjuk Pelaksanaan Pengenaan PBB
a.
Pengenaan PBB dilakukan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKP PBB}.
b.
Luas bumi dan luas bangunan yang tercantum dalam SPPT yang digunakan untuk penetapan NJOP merupakan luas sebagaimana yang tercantum dalam SPOP.
c.
Luas bumi dan luas bangunan yang tercantum dalam SKP PBB yang digunakan untuk penetapan NJOP merupakan luas sebagaimana tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atau Laporan Hasil Penelitian PBB.
d.
KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak melakukan pengenaan PBB untuk:
1)
PBB Sektor Perkebunan;
2)
PBB Sektor Perhutanan;
3)
PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore;
4)
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore;
5)
PBS Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Onshore;
6)
PBS Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore;
7)
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi yang berada di bawah Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore;
8)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Onshore;
9)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Onshore;
10)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore; dan
11)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi yang berada di bawah Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore.
e.
KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Subjek Pajak atau Wajib Pajak melakukan pengenaan PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan.
f.
KPP Minyak dan Gas Bumi melakukan pengenaan PBB untuk:
1)
PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore;
2)
PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk tubuh bumi;
3)
PBB Sektor Lainnya untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan; dan
4)
PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan dalam hak Wajib Pajak tidak terdaftar pada KPP Pratama.
g.
KPP Pratama yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan pengenaan PBB untuk:
1)
PBB Sektor Perkebunan dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten/kota;
2)
PBB Sektor Perhutanan dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten/kota;
3)
PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten/kota atau wilayah Daerah Khusus lbukota Jakarta;
4)
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten/kota atau wilayah Daerah Khusus lbukota Jakarta;
5)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Onshore dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten/kota atau wilayah Daerah Khusus lbukota Jakarta;
6)
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore;
7)
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Offshore;
8)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Offshore; dan
9)
PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Offshore.
h.
Penerbitan SPPT
1)
Atas dasar SPOP yang disampaikan atau dikembalikan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, KPP menerbitkan SPPT paling lambat:
a)
untuk Tahun Pajak 2020:
(1)
tanggal 1 5 April 2020 untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi; atau
(2)
tanggal 15 Juni 2020 untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya;
b)
untuk Tahun Pajak 2021 dan Tahun Pajak berikutnya:
(1)
tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi; atau
(2)
tanggal 31 Mei Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya;
c)
tanggal 1 5 April Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dalam hal terdapat penundaan pengembalian SPOP dan/atau klarifikasi;
d)
tanggal 15 Juni Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya, dalam hal terdapat penundaan pengembalian SPOP dan/atau klarifikasi; dan
e)
30 (tiga puluh) hari setelah SPOP diterima oleh KPP dalam hal terdapat pendaftaran objek pajak baru. Penerbitan SPPT atas objek pajak baru dilakukan untuk masing-masing tahun pajak sejak terpenuhinya persyaratan sebagai objek pajak dan Subjek Pajak PBB. Contoh:
(1)
Objek pajak dan Subjek Pajak PBB Sektor Perkebunan telah memenuhi persyaratan sebagai objek pajak dan Subjek Pajak PBB sejak tanggal 2 Februari 2020 dan baru terdaftar (SPOP diterima oleh KPP) pada tanggal 2 Maret 2020. Atas objek pajak tersebut tidak diterbitkan SPPT untuk tahun pajak 2020, dan akan diterbitkan SPPT untuk tahun pajak 2021 paling lambat 31 Maret 2021 berdasarkan SPOP yang dikembalikan pada tahun 2021.
(2)
Objek pajak dan Subjek Pajak PBB Sektor Perkebunan telah memenuhi persyaratan sebagai objek pajak dan Subjek Pajak PBB sejak tanggal 1 Juni 2018 dan baru terdaftar (SPOP diterima oleh KPP) pada tanggal 2 Maret 2020. Atas objek pajak tersebut diterbitkan SPPT paling lambat tanggal 1 April 2020 untuk tahun pajak 2019 dan 2020.
(3)
Objek pajak dan Subjek Pajak PBB Sektor Perkebunan telah memenuhi persyaratan sebagai objek pajak dan Subjek Pajak PBS sejak tanggal 1 Januari 2018 dan baru terdaftar (SPOP diterima oleh KPP) pada tanggal 3 Maret 2020. Atas objek pajak tersebut diterbitkan SPPT paling lambat tanggal 2 April 2020 untuk tahun pajak 2018, 2019, dan 2020.
2)
KPP menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak.
a)
Untuk PBS Sektor Perkebunan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi dilakukan paling lambat tanggal 30 April Tahun Pajak PBB terutang.
b)
Untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni Tahun Pajak PBB terutang.
c)
Untuk objek pajak baru dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal penerbitan SPPT.
3)
KPP menyampaikan SPPT PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi kepada Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian paling lambat minggu kedua bulan Mei Tahun Pajak PBB terutang.
4)
KPP melakukan pemberkasan SPOP, FDM, dan arsip SPPT per objek pajak.
i.
Penerbitan SKP PBB dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan SKP PBB.
j.
Dalam hal Wajib Pajak meminta informasi Rincian Perhitungan NJOP (RPN) objek pajak, KPP mencetak RPN atas objek pajak dimaksud. RPN dibuat sesuai dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf K sampai dengan huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
k.
Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, KPP:
1)
meneliti kelengkapan surat pemberitahuan terkait pengembalian Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam PMK-186/2019;
2)
tidak menyampaikan SPOP kepada Wajib Pajak dan tidak menerbitkan SPPT, dalam ha! surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dinyatakan lengkap; dan
3)
meminta kelengkapan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) kepada Wajib Pajak, atau satuan kerja atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) dinyatakan tidak lengkap.
l.
Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Panas Bumi, KPP:
1)
meneliti kelengkapan surat pemberitahuan terkait pengembalian Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam PMK-186/2019;
2)
tidak menyampaikan SPOP kepada Wajib Pajak dan tidak menerbitkan SPPT, dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dinyatakan lengkap; dan
3)
meminta kelengkapan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) kepada Wajib Pajak, atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ) dinyatakan tidak lengkap.
4.
Prosedur Kerja
a.
Prosedur Penilaian Objek Pajak di Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf A;
b.
Prosedur Penetapan NJOP PBB untuk Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) di Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf B;
c.
Prosedur Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf C;
d.
Prosedur Penyelesaian Permohonan Cetak Ulang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf D;
e.
Prosedur Penerbitan Kembali Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 1 huruf E;
f.
Prosedur Penyelesaian Permohonan Pencetakan Rincian Perhitungan NJOP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf F;
g.
Prosedur Penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Biaya lnvestasi Tanaman, Rasio Biaya Produksi, Angka Kapitalisasi, Nilai Jual Objek Pajak Bumi Per Meter Persegi, Harga Uap dan Harga Listrik, dan Luas Areal Penangkapan lkan Per Kapal untuk Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf G;
h.
Prosedur Pembuatan Usulan Penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan KPP Pratama yang Melakukan Pengenaan PBB sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf H;
i.
Prosedur Penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan KPP Pratama yang Melakukan Pengenaan PBB sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II huruf I;
j.
Contoh Format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Biaya lnvestasi Tanaman, Rasio Biaya Produksi, Angka Kapitalisasi, Nilai Jual Objek Pajak Bumi Per Meter Persegi, Harga Uap dan Harga Listrik, dan Luas Areal Penangkapan lkan Per Kapal untuk Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf J;
k.
Contoh Format Nota Dinas Kepala Kantor Wilayah DJP mengenai usu Ian penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan KPP Pratama yang Melakukan Pengenaan PBB dan Lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf K;
l.
Contoh Format Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan KPP Pratama yang Melakukan Pengenaan PBB dan Lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf L; dan
m.
Contoh Format Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan KPP Pratama yang Melakukan Pengenaan PBB dan Lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf M,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
F.
Penutup
Pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal ini berlaku:
1.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-64/PJ/2013** tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;
2.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-36/PJ/2014** tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomer **PER-27/PJ/2014** tentang Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
3.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomer **SE-42/PJ/2014** tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor **PER-31/PJ/2014** tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan;
4.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-33/PJ/2015** tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nemer **PER-20/PJ/2015** tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya;
5.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nemer **SE-05/PJ/2016** tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nemer **PER-42/PJ/2015** tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan; dan
6.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-53/PJ/2016** tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2020
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
SURYO UTOMO
KP: PJ.024/PJ.0201/2020