User Tools

Site Tools


peraturan:sedp:17pj.511999
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                              2 November 1999

                      SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                           NOMOR SE - 17/PJ.51/1999

                        TENTANG

          PENGENAAN PPn BM ATAS KENDARAAN BERMOTOR TERHITUNG MULAI 1 JULI 1999 
              (PENYEMPURNAAN KE-2 ATAS SURAT EDARAN SERI PPN 10-95)

                          DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dalam rangka menunjang kebijaksanaan Pemerintah di bidang otomotif, maka dengan Peraturan Pemerintah 
Nomor 59 TAHUN 1999 tanggal 24 Juni 1999 telah dilakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 50 
Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 
1998. Perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah ketentuan Pasal 23 yang mengatur ketentuan 
mengenai pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang berupa kendaraan bermotor yang 
dikenakan PPn BM.

Sebagai pelaksanaannya kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 348/KMK.04/1999 tanggal 
24 Juni 1999 yang fotokopinya bersama ini disampaikan kepada Saudara. Keputusan Menteri Keuangan ini 
mengatur kembali ketentuan tentang macam dan jenis kendaraan bermotor yang dikenakan PPn BM terhitung 
mulai tanggal 1 Juli 1999, sekaligus mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 272/KMK.04/1995 tanggal 
28 Juni 1995.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1.  Lapisan tarif pengenaan PPn BM.
    a.  Lapisan tarif yang berlaku semula tiga lapisan tarif sekarang menjadi lima lapisan tarif, yaitu 
        dari 20%, 25% dan 35% menjadi 10%, 15%, 30%, 40% dan 50%;
    b.  Berdasarkan hal tersebut maka tarif tertinggi PPn BM atas Kendaraan Bermotor adalah 
        sebesar 50%.

2.  Berdasarkan kapasitas silinder (cc)/berat kotor kendaraan (GVW), Kendaraan Bermotor yang 
    dikenakan PPn BM diklasifikasikan sebagai berikut :
    a.  Angkutan orang kurang dari 10 orang :
        1). Sedan/St. Wagon             : 30 - 50%
        2). Dengan sistem penggerak 1 (satu) gandar (4 x 2) : 10 - 30%
        3). Dengan sistem penggerak 2 (dua) gandar (4 x 4)  : 30 - 50%

    b.  Angkutan orang lebih dari 10 orang
        Bus                         : 10% (semua ukuran)

    c.  Angkutan Barang Semua ukuran                : 0%

    d.  Kendaraan Roda Dua
        1). Sepeda Motor diatas 250 cc          : 50%
        2). Sepeda Motor s/d 250 cc             : 0% (tidak dikenakan)

    Daftar jenis kendaraan bermotor yang atas penyerahannya/impornya dikenakan PPn BM terlampir 
    (Lampiran I).

3.  Kendaraan dalam keadaan terurai (CKD) :
    a.  Atas impor semua jenis kendaraan bermotor dalam keadaan terurai (CKD) oleh ATPM atau 
        Industri Perakitan Kendaraan Bermotor, tidak dikenakan PPn BM.
    b.  Atas penyerahan kendaraan bermotor hasil rakitan Industri Perakitan terutang PPn BM sesuai 
        ketentuan yang berlaku.

4.  Kendaraan CBU :
    a.  Dalam ketentuan sekarang ini, impor kendaraan dalam bentuk CBU lebih terbuka 
        dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.
    b.  Atas impor kendaraan bermotor dalam keadaan CBU terutang PPn BM kecuali jenis kendaraan 
        bermotor yang tidak dikenakan PPn BM dan yang dikecualikan dari pengenaan sebagaimana 
        disebut dalam butir 6 Surat Edaran ini.

5.  Kandungan lokal.
    Insentif tarif untuk kendaraan bermotor rakitan dalam negeri yang memenuhi prosentase kandungan 
    lokal tertentu tidak diberikan lagi.

6.  Dikecualikan dari pengenaan PPn BM.
    Yang dikecualikan dari pengenaan PPn BM atas impor dan/atau penyerahan di Daerah Pabean adalah :
    a.  Semua jenis kendaraan bermotor untuk kendaraan dinas TNI/POLRI dan untuk tujuan 
        protokoler kenegaraan, sepanjang dananya berasal dari APBN/APBD, serta kendaraan 
        bermotor yang dipergunakan untuk kendaraan ambulan, tahanan, pemadam kebakaran dan 
        jenazah.

    b.  Kendaraan angkutan umum.
        Yang dimaksud dengan kendaraan angkutan umum adalah kendaraan bermotor yang 
        dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk 
        umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan, baik dalam trayek maupun 
        tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar nomor polisi dengan warna kuning.

    c.  Kendaraan angkutan barang.
        Yang dimaksud dengan kendaraan angkutan barang adalah kendaraan bermotor dalam 
        bentuk kendaraan bak terbuka ataupun kendaraan bak tertutup, dengan jumlah penumpang 
        tidak lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kegiatan 
        pengangkutan barang baik yang disediakan untuk umum maupun pribadi.

7.  Tidak Dikenakan PPn BM
    Yang tidak dikenakan PPn BM atas impor dan/atau penyerahan di Daerah Pabean adalah :
    a.  Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan motor penggerak yang isi silindernya sampai dengan 
        250 cc.
    b.  Kendaraan Sasis.

8.  Kendaraan Sasis.
    Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 348/KMK.04/1999 hanya disebutkan bahwa kendaraan 
    bermotor jenis angkutan orang dan van yang diubah dari kendaraan sasis dikenakan PPn BM sesuai 
    ketentuan.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila kendaraan sasis diubah menjadi kendaraan bermotor 
    angkutan orang dan van, maka kendaraan bermotor angkutan orang dan van tersebut merupakan 
    barang mewah dan harus dikenakan PPn BM sesuai ketentuan.

9.  Saat terutang PPn BM
    a.  Atas Impor Kendaraan Bermotor dalam bentuk CBU.
        Saat terutangnya PPn BM atas impor Barang Kena Pajak adalah saat barang itu dimasukkan 
        ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean, 
        sedangkan saat pemungutan pajaknya adalah bersamaan dengan saat pemungutan Bea 
        Masuk. Dengan demikian atas impor kendaraan bermotor dalam bentuk CBU yang memungut 
        PPn BM adalah Ditjen Bea dan Cukai.

    b.  Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor :
        1). Kendaraan bermotor hasil rakitan eks impor dalam bentuk terurai (CKD).
            a)  Apabila impor kendaraan bermotor dalam bentuk terurai (CKD) dilakukan 
                oleh ATPM/Industri Perakitan, PPn BM terutang pada saat penyerahan 
                kendaraan bermotor hasil rakitan dari ATPM/Industri Perakitan
            b)  Apabila impor kendaraan bermotor dalam bentuk terurai (CKD) dilakukan 
                oleh Non-ATPM/Non-Industri Perakitan, PPn BM terutang pada saat 
                penyerahan kendaraan bermotor hasil rakitan dari Industri Perakitan/
                Karoseri.

        2). Kendaraan bermotor yang diubah dari kendaraan sasis atau angkutan barang.
            Kendaraan sasis atau angkutan barang yang diubah menjadi kendaraan angkutan 
            orang atau van oleh Industri Perakitan/Karoseri, maka atas penyerahan kendaraan 
            angkutan orang dan van tersebut terutang PPn BM.
            a)  Apabila yang menyuruh melakukan pengubahan adalah ATPM/Industri 
                Perakitan, maka PPn BM terutang pada saat penyerahan kendaraan bermotor 
                tersebut dari ATPM/Industri Perakitan kepada pihak lain.
            b)  Apabila yang menyuruh melakukan pengubahan adalah Non-ATPM/Non-
                Industri Perakitan, maka PPn BM terutang pada saat penyerahan kendaraan 
                bermotor tersebut dari Industri Perakitan/Karoseri kepada Non-ATPM/Non-
                Industri Perakitan.

10. Dasar Pengenaan Pajak untuk Menghitung PPn BM.

    a.  Dalam hal impor CBU, Dasar Pengenaan Pajaknya adalah sebesar nilai impor yang dipakai 
        sebagai dasar penghitungan Bea Masuk, ditambah Bea Masuk dan pungutan lainnya yang 
        dikenakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan pabean yang berlaku.

    b.  Dalam hal penyerahan kendaraan bermotor hasil rakitan eks CKD :
        1)  Apabila penyerahan dilakukan oleh ATPM/Industri Perakitan sebagaimana dimaksud 
            dalam butir 9 huruf b angka 1) huruf a), Dasar Pengenaan Pajaknya adalah harga 
            jual yang diminta atau seharusnya diminta oleh ATPM/Industri Perakitan.
        2)  Apabila penyerahan dilakukan oleh Industri Perakitan/Karoseri sebagaimana 
            dimaksud dalam butir 9 huruf b angka 1) huruf b), Dasar Pengenaan Pajaknya adalah 
            Nilai impor CKD ditambah biaya perakitan yang diminta atau seharusnya diminta.

    c.  Dalam hal penyerahan kendaraan bermotor angkutan orang dan van yang diubah dari 
        kendaraan sasis atau angkutan barang.
        1)  Apabila yang menyuruh merubah adalah ATPM/Industri Perakitan sebagaimana 
            dimaksud dalam butir 9 huruf b angka 2) huruf a), Dasar Pengenaan Pajaknya adalah 
            harga jual yang diminta atau seharusnya diminta oleh ATPM/Industri Perakitan.
        2)  Apabila yang menyuruh merubah adalah Non-ATPM/Non-Industri Perakitan 
            sebagaimana dimaksud dalam butir 9 huruf b angka 2) huruf b), Dasar Pengenaan 
            Pajaknya adalah sebesar harga kendaraan sasis/angkutan barang ditambah nilai 
            penggantian yang diminta atau seharusnya diminta atas pengubahan kendaraan 
            tersebut.

11. Hubungan Istimewa.
    Dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Pabrikan dengan ATPM atau Distributor yang 
    menyebabkan harga jual dari Pabrikan menjadi lebih rendah dari harga jual yang seharusnya, maka 
    Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPn BM yang terutang adalah sebesar harga jual dari ATPM 
    atau Distributor kepada pihak lain.

    Hubungan istimewa diartikan sebagai hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak 
    yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana ditentukan 
    dalam Pasal 2 Undang-undang PPN 1994.

    Dalam rangka melaksanakan Pasal 4 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 348/KMK.04/1999, 
    prosentase perbedaan harga jual ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen). Apabila perbedaan 
    harga jual Pabrikan dengan harga jual ATPM atau Distributor kepada pihak lain melebihi 10 % maka 
    Dasar Pengenaan Pajaknya sebesar harga jual ATPM atau Distributor.

    Contoh :
    Pabrikan A menjual kendaraan bermotor kepada distributor B yang mempunyai hubungan istimewa 
    dengan pabrikan A (misalnya hubungan kepemilikan sebesar 25 %) seharga Rp. 200.000.000,-. 
    Kendaraan tersebut dijual oleh distributor B seharga Rp. 225.000.000,- kepada pembeli. Selisih harga 
    jual Rp. 225.000.000,- - Rp. 200.000.000,- = Rp. 25.000.000,- atau 25/200 x 100 % = 12,5 %

    Karena antara Pabrikan A dan distributor B ada hubungan istimewa dan prosentase selisih harga jual 
    melebihi 10 % yang ditetapkan, maka DPP PPn BM untuk Pabrikan A adalah sebesar harga jual 
    kendaraan bermotor distributor B kepada pembeli, yaitu Rp.225.000.000,-

12. Surat Keterangan Bebas PPn BM.
    a.  Atas permohonan pembeli kendaraan sebagaimana dimaksud pada butir 6 huruf a, Direktur 
        Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penjualan atas Barang 
        Mewah.

        Adapun pelaksanaannya yaitu pembeli mengajukan surat permohonan kepada Direktur 
        Jenderal Pajak c.q. Direktur PPN dan PTLL, dengan dilengkapi dokumen-dokumen yang 
        menyatakan :
        1). Tujuan penggunaan kendaraan dimaksud.
        2). Asal dana yang digunakan untuk pengadaan kendaraan dimaksud bagi kendaraan 
            dinas TNI/POLRI dan untuk tujuan protokoler kenegaraan (fotocopy DIK/SKOP).
        3). Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) untuk pengadaan kendaraan dimaksud.

    b.  Atas permohonan pembeli kendaraan sebagaimana dimaksud pada butir 6 huruf b, Direktur 
        Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penjualan atas Barang 
        Mewah.

        Adapun pelaksanaannya yaitu pembeli mengajukan surat permohonan kepada Direktur 
        Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat pemilik kendaraan berdomisili, 
        dengan dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut :
        1). Fotokopi kartu NPWP.
        2). Perjanjian jual-beli kendaraan bermotor angkutan umum yang memuat keterangan-
            keterangan antara lain :
            -   Nama penjual,
            -   Nama pembeli,
            -   Jenis dan spesifikasi kendaraan yang dibeli.
        3). Ijin Usaha dan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang
        4). Surat pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan diubah 
            penggunaannya dan apabila ternyata diubah, bersedia dikenakan sanksi sesuai 
            dengan ketentuan yang berlaku.

13. Tatacara Restitusi atas PPn BM yang terlanjur dipungut.

    a.  Atas pembelian kendaraan sebagaimana dimaksud pada butir 6 huruf a dan b,
        Distributor/Dealer/Agen/Penyalur yang menjual kendaraan bermotor yang dipergunakan 
        untuk kendaraan dinas TNI/POLRI dan untuk tujuan Protokoler Kenegaraan, kendaraan 
        ambulan, kendaraan tahanan, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan jenazah dan 
        kendaraan angkutan umum yang memperoleh SKB PPn BM, dapat mengajukan surat 
        permohonan restitusi atas PPn BM yang telah dibayarnya kepada Kepala KPP di tempat 
        Distributor atau Dealer atau Agen atau Penyalur dikukuhkan dengan dilengkapi dokumen-
        dokumen sebagai berikut :
        1). Fotocopy kartu NPWP dan fotocopy pengukuhan sebagai PKP;
        2). Fotocopy Faktur Pajak yang diterbitkan oleh pabrikan atau importir kepada distributor 
            atau dealer atau agen atau Penyalur;
        3). Asli bukti pungutan PPn BM;
        4). Bukti SKB PPn BM atas nama pembeli kendaraan bermotor dimaksud;
        5). Kontrak atau SPK atau Perjanjian Jual-Beli untuk pengadaan kendaraan bermotor 
            dimaksud

    b.  Pengajuan permohonan pengembalian atau restitusi PPn BM ini, harus dilakukan paling lambat 
        12 bulan setelah bulan terjadinya penyerahan kendaraan kepada pembeli.

    c.  Konfirmasi kebenaran Faktur Pajak.
        Untuk memperoleh kepastian bahwa PPn BM yang telah dipungut telah disetor ke kas Negara, 
        maka KPP yang memproses permohonan restitusi tersebut di atas harus melakukan 
        konfirmasi ke KPP dimana pemungut PPn BM dikukuhkan sebagai PKP.

14. Mengingat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 348/KMK.04/1999 berlaku mulai 1 Juli 1999, maka 
    atas impor atau penyerahan yang dilakukan pada atau setelah tanggal 1 Juli 1999 harus menggunakan 
    ketentuan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tersebut diatas. Dalam hal telah terjadi 
    pemungutan PPn BM yang tidak sesuai dengan ketentuan baru tersebut, maka dengan ini ditegaskan 
    sebagai berikut :
    a.  Apabila jumlah PPn BM yang telah dipungut lebih kecil dari yang seharusnya dipungut, maka 
        kekurangannya harus dipungut dan selanjutnya disetor oleh pemungut PPn BM.

    b.  Apabila jumlah PPn BM yang telah dipungut lebih besar dari yang seharusnya dipungut dan 
        telah dilaporkan dalam SPT Masa, maka atas kelebihan tersebut harus diperhitungkan dengan 
        PPn BM pada masa pajak berikutnya dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa yang 
        bersangkutan.

    c.  Dalam hal jumlah PPn BM yang telah dipungut lebih besar dari yang seharusnya dipungut, 
        maka pihak yang terpungut dapat meminta pengembalian atas jumlah yang lebih dibayar 
        tersebut.

    d.  Khusus untuk penyerahan kendaraan sasis.
        1). Apabila pada waktu penyerahan kendaraan sasis (pembelian) PPn BM telah dipungut 
            berdasarkan ketentuan sebelumnya, maka PPn BM yang telah dipungut tidak dapat 
            diminta kembali, dan apabila kendaraan sasis tersebut kemudian diubah menjadi 
            kendaraan bermotor angkutan orang/van, maka pada saat penyerahannya tidak lagi 
            terutang PPn BM.
        2). Apabila pada waktu penyerahan kendaraan sasis (pembelian) belum dipungut 
            PPn BM, maka atas penyerahan kendaraan bermotor hasil pengubahan yang 
            dilakukan oleh perusahaan karoseri pada atau setelah tanggal Surat Edaran ini,  
            terutang PPn BM dan Perusahaan Karoseri diwajibkan untuk memungutnya.

15. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 
    SE-11/PJ.51/1995 tanggal 21 Maret 1995 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 
    SE-51/PJ.51/1995 tanggal 16 Oktober 1995 dinyatakan tidak berlaku.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan serta disebarluaskan di wilayah kerja masing-masing.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

A. ANSHARI RITONGA
peraturan/sedp/17pj.511999.txt · Last modified: 2023/02/05 21:01 by 127.0.0.1