KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Yth.
1.
2.
3.
4.
5.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
Para Direktur dan Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan KPDJP
Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
Para Kepala Kanwil DJP
Para Kepala KPP
seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
NOMOR SE-06/PJ/2016
TENTANG
KEBIJAKAN PEMERIKSAAN
A. Umum Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **206.2/PMK.01/2014** tentang Organisasi dan Tata Kerja lnstansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta menimbang putusan Mahkamah Agung Nomor 73/P/HUM/2013, serta dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan pemeriksaan agar dapat menghasilkan volume hasil pemeriksaan yang tinggi dengan kualitas yang baik, sehingga memberikan kontribusi penerimaan yang optimal dari hasil pemeriksaan dan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, maka dipandang perlu dibuat kebijakan pemeriksaan.
B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Kebijakan pemeriksaan dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan sebagai acuan dalam melakukan pemeriksaan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2).
2. Tujuan Kebijakan pemeriksaan bertujuan:
a. tertib administrasi pemeriksaan; b. meningkatkan audit coverage ratio (ACR); dan c. meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan. C. Ruang Lingkup Kebijakan pemeriksaan dalam Surat Edaran ini meliputi:
1. Revitalisasi kegiatan pemeriksaan;
2. Kebijakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
3) Kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain. D. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor **6 TAHUN 1983** tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor **16 TAHUN 2009** (UU KUP);
2. Undang-Undang Nomor **8 TAHUN 1983** tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor **42 TAHUN 2009** (UU PPN);
3. Peraturan Pemerintah Nomor **74 TAHUN 2011** tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP Nomor **74 TAHUN 2011**);
4. Peraturan Pemerintah Nomor **79 TAHUN 2010** tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015**;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor **206.2/PMK.01/2014** tentang Organisasi dan Tata Kerja lnstansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor **239/PMK.03/2014** tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor **256/PMK.03/2014** tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan.
E. Revitalisasi Kegiatan Pemeriksaan 1. Revitalisasi Proses Bisnis Pemeriksaan
a. Proses bisnis pemeriksaan dapat digambarkan sebagai berikut: b. Revitalisasi proses bisnis pemeriksaan ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pemeriksaan sehingga kegiatan pemeriksaan mampu mendorong pertumbuhan penerimaan pajak yang berkelanjutan.
c. Dalam rangka menjadikan kegiatan pemeriksaan sebagai instrumen untuk mendorong pertumbuhan penerimaan pajak yang berkelanjutan, Kepala UP2 harus:
1) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan; 2) melakukan pembinaan dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Pemeriksa sehingga menjadi pemeriksa yang handal (bangga dan berkarakter);
3) meningkatkan kemampuan SDM Pemeriksa dalam penerapan ketentuan di bidang pemeriksaan khususnya dalam hal metode dan teknik pemeriksaan.
2. Peningkatan Kualitas Wajib Pajak yang diperiksa a. Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dan menimbulkan efek jera, setiap Kepala UP2 harus menentukan prioritas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Khusus, yaitu Wajib Pajak yang memiliki potensi pajak besar dan ketidakpatuhan tinggi, penanggung pajak diketahui keberadaannya serta masih memiliki kegiatan usaha aktif, dan memperhatikan riwayat pemeriksaan (diprioritaskan Wajib Pajak yang belum pernah dilakukan pemeriksaan);
b. Penentuan Wajib Pajak yang memiliki potensi pajak besar didasarkan pada data dan informasi baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, antara lain berupa bukti potong, alat keterangan, data Pajak Keluaran dan Pajak Masukan (PKPM), devisa hasil ekspor, hasil visit, hasil pengamatan, dan data kepemilikan aset;
c. Penentuan prioritas Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala KPP, Kepala Seksi Pemeriksaan, Supervisor Pemeriksa Pajak, dan Kepala Seksi yang melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak;
d. Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan terdapat indikasi transaksi khusus (transfer pricing, grup, sumber daya alam), pemilihan Wajib Pajak dikoordinasikan dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP);
e. Dalam rangka menciptakan manajemen perencanaan pemeriksaan, Kepala KPP, Kepala Seksi Pemeriksaan, dan Supervisor Pemeriksa Pajak harus:
1) menyiapkan Daftar Sasaran Pemeriksaan Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk dilakukan Pemeriksaan Khusus;
2) melakukan pengelolaan atas penyampaian usulan Pemeriksaan Khusus, dan 3) melakukan pengelolaan distribusi lnstruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus kepada Pemeriksa Pajak;
f. Dalam menentukan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Khusus, Kepala UP2 harus mempertimbangkan sebaran Wajib Pajak yang akan diperiksa untuk menciptakan efektivitas efek jera.
3. Pembinaan dan Pengelolaan SDM di Bidang Pemeriksaan a. Pembinaan dan Pengelolaan Fungsional Pemeriksa Pajak 1) Kepala UP2 harus melakukan alokasi Pemeriksa Pajak secara tepat untuk mencapai pemeriksaan yang efektif sehingga dapat merealisasikan target penerimaan dari kegiatan pemeriksaan;
2) Kepala UP2 harus melakukan pengawasan secara periodik terhadap progress pemeriksaan untuk meningkatkan produktivitas Pemeriksa Pajak;
3) Kepala UP2 harus melakukan pengelolaan hubungan kerja antara Pemeriksa Pajak yang berasal dari Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak sehingga pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dapat berjalan lebih efektif;
4) Dalam rangka meningkatkan efektivitas kinerja pemeriksaan, Kepala UP2 harus melakukan analisis kebutuhan Pemeriksa Pajak untuk disampaikan kepada Kepala Kanwil DJP dengan tembusan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan (P2) setiap 6 (enam) bulan sekali, baik Pemeriksa Pajak yang berasal dari Fungsional Pemeriksa Pajak maupun dari Petugas Pemeriksa Pajak;
5) Kepala UP2 harus melakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan sekali terhadap kinerja Pemeriksa Pajak dan menyampaikannya kepada Direktur P2 dengan tembusan kepada Kepala Kanwil DJP untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam rangka melakukan pembinaan kepada Pemeriksa Pajak.
b. Pembinaan dan Pengelolaan Petugas Pemeriksa Pajak Dalam rangka meningkatkan efektivitas pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dan untuk meningkatkan produktivitas pemeriksaan di KPP, ditegaskan haI-haI sebagai berikut:
1) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di setiap KPP dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas pemeriksaan di KPP sehingga kebutuhan akan pelaksanaan pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sepenuhnya merupakan kewenangan Kepala KPP;
2) Dalam hal Kepala KPP memandang perlu untuk menunjuk Petugas Pemeriksa Pajak sebagai pelaksana pemeriksaan, Kepala KPP harus mengelola hubungan kerja antara Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak sehingga produktivitas pemeriksaan di KPP meningkat.
c. Keterlibatan Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan 1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas kegiatan pemeriksaan untuk sektor-sektor tertentu, seperti sektor properti, pertambangan, perkebunan, kehutanan dan kelautan, Kepala UP2 melibatkan Fungsional Penilai sebagai Tenaga Ahli dalam kegiatan pemeriksaan;
2) Untuk kegiatan pemeriksaan selain sektor sebagaimana dimaksud pada angka 1), apabila dipandang perlu Kepala UP2 dapat melibatkan Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan sebagai Tenaga Ahli;
3) Dalam hal tidak terdapat Fungsional Penilai pada UP2, Kepala UP2 dapat mengajukan permintaan bantuan Fungsional Penilai kepada Kepala Kanwil DJP atau Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian.
F. Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan 1. Kebijakan Umum a. Ruang Lingkup Pemeriksaan 1) Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan jenis pajak yang diperiksa dan periode pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan;
2) Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi
a) Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak, yaitu pemeriksaan yang cakupan jenis pajak yang diperiksa meliputi satu jenis pajak atau beberapa jenis pajak, untuk satu atau beberapa Masa Pajak, satu Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
b) Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak (all taxes), yaitu pemeriksaan yang cakupan jenis pajak yang diperiksa meliputi seluruh jenis pajak untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
b. Kriteria Pemeriksaan Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan, yaitu: 1) Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, tanpa memerlukan analisis risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak;
2) Pemeriksaan Khusus, meliputi: a) Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret, merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan keterangan lain berupa data konkret menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
b) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
c. Jenis Pemeriksaan Pemeriksaan dapat dilakukan melalui 2 (dua) jenis pemeriksaan, yang meliputi: 1) Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak; atau
2) Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
d. Perubahan Jenis Pemeriksaan 1) Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, atau atas pertimbangan Kepala UP2, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor dapat diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan;
2) Dalam hal Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Tim Pemeriksa Pajak melalui Kepala KPP mengajukan surat permohonan perubahan jenis pemeriksaan dari Pemeriksaan Kantor menjadi Pemeriksaan Lapangan kepada Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.1 Surat Edaran ini;
b) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala Kanwil DJP melakukan penelitian dan evaluasi serta menentukan apakah usulan perubahan jenis pemeriksaan disetujui atau ditolak;
c) Surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.2 Surat Edaran ini;
d) Surat penolakan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.3 Surat Edaran ini;
e) Setelah menerima surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai perubahan jenis pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.4 Surat Edaran ini;
f) Berdasarkan surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Kepala Seksi Pemeriksaan mengadministrasikan perubahan Kode Pemeriksaan pada aplikasi Sistem lnformasi DJP (SIDJP).
3) Jangka waktu pengujian terhadap pemeriksaan yang diubah dari Pemeriksaan Kantor menjadi Pemeriksaan Lapangan, tetap dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
e. Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) 1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak di UP2, yaitu KPP, Kanwil DJP, atau Direktorat P2;
2) KPP dapat bertindak sebagai UP2 Domisili atau UP2 Lokasi sesuai dengan wilayah kerjanya;
3) Kanwil DJP dan Direktorat P2 bertindak sebagai UP2 Domisili; 4) UP2 Domisili adalah UP2 yang melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan domisili;
5) UP2 Lokasi adalah UP2 yang melakukan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan lokasi dan/atau terhadap kegiatan usaha di lokasi selain domisili Wajib Pajak;
6) Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Domisili, UP2 tersebut dapat melakukan Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak atau Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak;
7) Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Lokasi, UP2 tersebut hanya dapat melakukan Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak;
8) Dalam hal UP2 Lokasi sedang melakukan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 5), UP2 Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili juga melakukan penghitungan besarnya peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di lokasi UP2 Lokasi, dan mengirimkan hasil perhitungannya dalam bentuk Alat Keterangan kepada UP2 Domisili.
f. Pemeriksa Pajak 1) Pemeriksa Pajak pada UP2 terdiri dari: a) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak; b) Petugas Pemeriksa Pajak yang diangkat oleh Kepala UP2; dan/atau c) Tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan.
2) Pemeriksa Pajak diberikan kartu tanda pengenal pemeriksa pajak. 3) Tim Pemeriksa Pajak dapat terdiri dari: a) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak; b) Petugas Pemeriksa Pajak; c) Gabungan antara Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak.
4) Petugas Pemeriksa Pajak a) Petugas Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan DJP, selain Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, yang ditunjuk oleh Kepala KPP atau Kepala Kanwil DJP, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh Dirjen Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan.
b) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di KPP ditetapkan sebagai berikut: i. Kepala Seksi Pemeriksaan dan Pelaksana pada Seksi Pemeriksaan di setiap KPP harus ditunjuk sebagai Petugas Pemeriksa Pajak;
ii. Petugas Pemeriksa Pajak selain dimaksud pada huruf i ditunjuk sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP.
c) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di Kanwil DJP dilakukan sesuai dengan pertimbangan Kepala Kanwil DJP.
d) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di KPP atau Kanwil DJP dilakukan dengan menggunakan surat keputusan Kepala KPP atau Kepala Kanwil DJP.
e) Terhadap Petugas Pemeriksa Pajak yang ditunjuk harus diberikan pelatihan teknis sehingga memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
f) Seluruh dokumentasi kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dilakukan di Seksi Pemeriksaan.
g) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-27/PJ/2015** tentang Pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dinyatakan tidak berlaku.
g. Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan SP2 Perubahan 1) SP2 diterbitkan berdasarkan: a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan dari Kepala Kanwil DJP atau Direktur P2;
b) persetujuan pemeriksaan dari Kepala KPP; c) surat permintaan Pemeriksaan Lokasi oleh UP2 Domisili; atau d) surat persetujuan pengalihan pemeriksaan. 2) Susunan tim Pemeriksa Pajak paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Supervisor dan 1 (satu) orang Ketua Tim yang merangkap sebagai Anggota Tim. Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak diubah, Kepala UP2 harus menerbitkan SP2 Perubahan.
3) Pemeriksa Pajak wajib memperlihatkan SP2 Perubahan kepada Wajib Pajak. h. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal SP2.
2) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan kepada Wajib Pajak melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal SP2.
i. Tenaga Ahli 1) Dalam hal Tim Pemeriksa Pajak dibantu oleh Tenaga Ahli, maka Tenaga Ahli tersebut bertugas berdasarkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak atau pejabat yang ditunjuk Dirjen Pajak.
2) Dalam hal Tenaga Ahli bukan pegawai DJP, maka Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diterbitkan oleh Dirjen Pajak.
3) Dalam hal Tenaga Ahli merupakan pegawai DJP maka Pejabat yang ditunjuk Dirjen Pajak untuk menerbitkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah:
a) Kepala UP2, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai UP2 yang melaksanakan pemeriksaan;
b) Kepala Kanwil DJP, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai di luar KPP yang melaksanakan pemeriksaan tetapi masih dalam satu wilayah Kanwil DJP yang bersangkutan; atau
c) Sekretaris DJP, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai selain huruf a) dan b).
4) Permintaan Tenaga Ahli ditujukan kepada: a) Kepala Kanwil DJP dalam hal sebagaimana dimaksud angka 3) huruf b); a tau
b) Direktur P2 dalam hal sebagaimana dimaksud angka 2) dan 3) huruf c), dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.5 Surat Edaran ini.
5) Masa tugas Tenaga Ahli berlaku sampai dengan berakhirnya pemeriksaan. j. Bimbingan Teknis (Bimtek) Pemeriksaan 1) Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP atasan KPP dapat melakukan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pemeriksaan baik dengan atau tanpa permintaan dari tim Pemeriksa Pajak.
2) Kepala KPP dapat menugaskan Fungsional Pemeriksa Pajak untuk melakukan Bimtek Pemeriksaan terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak
3) Bimtek Pemeriksaan merupakan asistensi teknis yang bersifat konsultatif dan tidak mengikat tim Pemeriksa Pajak.
4) Bimtek Pemeriksaan dilakukan untuk: a) pemeriksaan Wajib Pajak yang memerlukan keahlian khusus antara lain pemeriksaan Wajib Pajak perbankan, pertambangan, dan Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi yang terkait dengan transfer pricing; atau
b) pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak. 5) Permintaan Bimtek Pemeriksaan oleh tim Pemeriksa Pajak dilakukan dengan menyampaikan surat yang berisi permintaan Bimtek Pemeriksaan kepada Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP melalui Kepala KPP.
6) Pelaksanaan Bimtek Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara Bimtek Pemeriksaan yang ditandatangani kedua belah pihak sebagaimana contoh dalam Lampiran I.6 Surat Edaran ini.
k. Jangka Waktu Pengujian dan Perpanjangannya Dalam rangka meningkatkan produktivitas pemeriksaan, perlu dilakukan percepatan penyelesaian pemeriksaan dengan menetapkan jangka waktu pengujian pemeriksaan menjadi sebagai berikut:
1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Khusus berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
2) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama adalah:
a) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
b) Untuk Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
3) Jangka waktu pengujian pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP selain KPP Pratama adalah:
a) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
b) Untuk Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
4) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Khusus Bea Meterai terhadap Wajib Pajak yang mendapatkan izin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi paling lama 2 (dua) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
5) Jangka waktu pemeriksaan terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P-3) atas Wajib Pajak yang tidak mengembalikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sesuai dengan ketentuan Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian PBB.
6) Jangka waktu pemeriksaan selain pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai dengan angka 4) sesuai dengan ketentuan Tata Cara Pemeriksaan Pajak yang berlaku.
7) Jangka waktu pengujian untuk Pemeriksaan Lapangan yang terkait dengan: a) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi (KKKS Migas),
b) Wajib Pajak dalam satu grup, atau c) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan
dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan dan paling banyak 2 (dua) kali. 8) Khusus untuk pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak, maka jangka waktu pengujian pemeriksaan paling lama 2 (dua) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
9) Prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian diatur sebagai berikut: a) Pemeriksa Pajak harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian kepada Kepala UP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.7 Surat Edaran ini.
b) Permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf a) harus disampaikan sebelum jangka waktu pengujian berakhir.
c) Persetujuan atau penolakan perpanjangan jangka waktu pengujian harus disampaikan oleh Kepala UP2 kepada Pemeriksa Pajak sebelum jangka waktu pengujian berakhir dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.8 atau Lampiran I.9 Surat Edaran ini.
d) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian disetujui, Pemeriksa Pajak harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan tersebut kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.10 Surat Edaran ini.
e) Dalam hal perpanjangan jangka waktu pengujian terkait pemeriksaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 6), perpanjangan jangka waktu pengujian dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
i. prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian harus dilakukan setiap kali akan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian; dan
ii. dilakukan sebelum jangka waktu perpanjangan sebelumnya berakhir. 10) Dalam hal Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor dilakukan berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu pemeriksaan harus tetap memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP.
l. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) 1) Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan;
2) Dalam hal terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap pada saat pengujian, maka Pemeriksa Pajak dapat melakukan revisi atas SPHP sepanjang:
a) data tersebut baru ditemukan setelah penyampaian SPHP, misalnya data hasil konfirmasi dari pihak ketiga;
b) undangan pembahasan akhir belum dikirimkan kepada Wajib Pajak; dan c) masih dalam jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
3) Revisi atas SPHP hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. 4) Dalam hal dilakukan revisi SPHP maka atas Wajib Pajak tetap diberikan hak untuk menyampaikan tanggapan tertulis atas revisi SPHP tersebut, termasuk perpanjangannya.
5) Format SPHP sekurang-kurangnya sesuai dengan contoh format dalam ketentuan Tata Cara Pemeriksaan yang berlaku.
m. Penyelesaian Pemeriksaan 1) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015**, dilakukan dalam hal:
a) untuk Pemeriksaan Lapangan, dengan ketentuan: i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak ditemukan dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf k;
ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada angka romawi i sekurang-kurangnya dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau dari pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;
iii. LHP Sumir dapat mulai dibuat setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tim Pemeriksa Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan; dan
iv. LHP Sumir harus dilampiri dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada angka romawi ii.
b) untuk Pemeriksaan Kantor, dengan ketentuan: i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan adalah apabila dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf k sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan, Surat Panggilan tersebut dikembalikan oleh pihak pas atau jasa pengiriman lainnya; dan
ii. LHP Sumir harus dilampiri dengan bukti pengembalian Surat Panggilan tersebut oleh pihak pos atau jasa pengiriman lainnya.
c) fotokopi LHP Sumir sebagaimana dimaksud pada huruf a) atau huruf b) harus dikirimkan kepada Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait atau Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak memanfaatkan Pasal 8 ayat (3), Pasal 44B, atau diterbitkan SKPKB Pasal 13A UU KUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dilakukan dengan ketentuan:
a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
3) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak memanfaatkan Pasal 44B UU KUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dilakukan dengan ketentuan:
a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah penyidikan dihentikan; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
4) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir terkait dengan Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
5) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena pertimbangan Dirjen Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dapat dilakukan terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang telah diterbitkan SP2 namun telah daluwarsa penetapannya atau karena adanya pertimbangan lain dari Dirjen Pajak.
6) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena pertimbangan Dirjen Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) penyelesaian pemeriksaan hanya dapat dilakukan setelah ada surat perintah Dirjen Pajak kepada Kepala UP2 untuk menyelesaikan pemeriksaan dengan LHP Sumir; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
7) Terhadap pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2) selain yang diterbitkan SKPKB sesuai dengan Pasal 13A UU KUP, angka 3), dan angka 5), dapat dilakukan pemeriksaan kembali di kemudian hari melalui prosedur Pemeriksaan Khusus dan atas pemeriksaan dimaksud bukan merupakan Pemeriksaan Ulang.
8) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dilakukan dengan ketentuan:
a) Pemeriksaan Lapangan: i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak ditemukan dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud dalam huruf k;
ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i sekurang-kurangnya dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau dari pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak; dan
iii. meskipun Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i, pemeriksaan harus diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak (skp), dengan terlebih dahulu melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b) Pemeriksaan Kantor: i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak datang dalam memenuhi surat panggilan dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud dalam huruf k; dan
ii. meskipun Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan, pemeriksaan harus diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan skp, dengan terlebih dahulu melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
9) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP karena Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan tidak terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e dan huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** dilakukan dengan ketentuan:
a) perpanjangan jangka waktu pengujian paling lama 2 (dua) bulan; dan b) proses penyelesaian pemeriksaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
10) Apabila Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak yang diperiksa telah daluwarsa penetapannya, namun belum daluwarsa penuntutan dan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka Pemeriksa Pajak dapat mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
n. Perluasan Pemeriksaan 1) Pemeriksaan diperluas ke Tahun-Tahun Pajak atau Masa-Masa Pajak yang belum dilakukan pemeriksaan, dalam hal:
a) Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya yang menyatakan rugi; atau
b) SPT Masa PPN untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya menyatakan lebih bayar yang dikompensasikan (SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi).
2) Perluasan pemeriksaan yang disebabkan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal Kepala KPP akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis pajak atas suatu Tahun Pajak maka:
i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan harus melakukan penelitian terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis pajak dimaksud;
b) dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 maka:
i. setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan harus segera melakukan penelitian terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan perluasan pemeriksaan dilakukan melalui: i) mekanisme pengusulan Pemeriksaan Rutin dalam hal Pemeriksaan Khusus sedang dilakukan oleh KPP; atau
ii) mekanisme pengusulan Pemeriksaan Khusus dalam hal Pemeriksaan Khusus sedang dilakukan oleh selain KPP.
c) pengusulan pemeriksaan terhadap SPT yang menyatakan Rugi dapat dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi atau Pemeriksaan Khusus.
3) Perluasan pemeriksaan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal Kepala KPP akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin atas suatu SPT Masa PPN maka:
i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan harus melakukan penelitian terhadap SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; dan
iii. pengusulan perluasan pemeriksaan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan Pemeriksaan Rutin;
b) dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 maka:
i. segera setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan harus melakukan penelitian terhadap SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan perluasan pemeriksaan dilakukan melalui pengusulan Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus untuk satu jenis pajak.
c) pengusulan perluasan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar atau Pemeriksaan Khusus.
o. Pemeriksaan Lokasi 1) Pemeriksaan Lokasi adalah pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan dan/atau kegiatan usaha di lokasi selain domisili Wajib Pajak.
2) Pemeriksaan Lokasi dilakukan oleh: a) UP2 Lokasi; dan/atau b) UP2 Domisili sesuai dengan kewenangan wilayah kerjanya. 3) UP2 Lokasi dapat melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan: a) permintaan dari UP2 Domisili, atau b) kriteria Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus 4) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lapangan untuk seluruh jenis pajak maka UP2 Domisili dapat melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi dan permintaan penghitungan peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di tempat kegiatan Wajib Pajak di lokasi kepada UP2 Lokasi yang telah ditetapkan dalam Audit Plan.
5) Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan dengan mengacu pada kriteria pemeriksaan yang dilakukan oleh UP2 Domisili, yaitu Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
6) SP2 untuk Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 4) diterbitkan berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili setelah Audit Plan dibuat.
7) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4) harus dikirim dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan atau Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor dikirim kepada Wajib Pajak Domisili (WP Domisili), dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.11 Surat Edaran ini.
8) Tanggal pengiriman Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 7) adalah tanggal pada cap pos atau tanggal terima faksimili.
9) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi harus disertai dengan fotokopi Audit Plan, fotokopi tanda terima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau fotokopi bukti pengiriman Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor.
10) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lokasi paling lama 2 (dua) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
11) Setelah pemeriksaan oleh UP2 Lokasi selesai, Kepala UP2 Lokasi mengirimkan salinan LHP dan/atau Alat Keterangan perihal besarnya peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di tempat kegiatan Wajib Pajak di lokasi kepada Kepala UP2 Domisili paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
12) Dalam hal terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi maka hasil pemeriksaan UP2 Domisili harus mencakup hasil pemeriksaan Lokasi, kecuali:
a) SPT Tahunan PPh WP Domisili menunjukan lebih bayar dan akan segera jatuh tempo; atau
b) Pemeriksaan Lokasi belum diselesaikan sampai dengan LHP UP2 Domisili di buat.
13) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia yaitu Direktorat P2, UP2 di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, dan UP2 di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Pemeriksaan Lokasi dapat dilakukan oleh:
a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi; dan/atau
b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili. 14) Dalam hal UP2 Domisili yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia yaitu Direktorat P2, UP2 di lingkungan Kanwil OJP Wajib Pajak Besar, dan UP2 di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi dan sampai dengan pemeriksaan UP2 Domisili akan selesai namun Pemeriksaan Lokasi belum diselesaikan, maka:
a) UP2 Domisili dapat membatalkan permintaan Pemeriksaan Lokasi; b) UP2 Domisili melakukan pemeriksaan dan menghitung kewajiban perpajakan UP2 Lokasi berdasarkan data yang ada; dan
c) UP2 Domisili mengirimkan LHP dan Nota Penghitungan (Nothit) kepada UP2 Lokasi.
15) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya meliputi satu Kanwil DJP, yaitu KPP Madya, Pemeriksaan Lokasi di dalam wilayah kerjanya dapat dilakukan oleh:
a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi; dan/atau
b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili. 16) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 13) huruf a), angka 14, dan angka 15) huruf a), UP2 Domisili harus menyampaikan pemberitahuan kepada UP2 Lokasi.
17) Dalam hal UP2 Lokasi sedang melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili, Pemeriksa Pajak UP2 Domisili baik KPP Pratama atau KPP Madya yang WP Lokasinya terdaftar di luar wilayah kerjanya dapat melakukan pemeriksaan di lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak tersebut dengan terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala UP2 Lokasi dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.12 Surat Edaran ini.
18) Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 17), Kepala UP2 Lokasi menerbitkan surat tugas pendampingan kepada tim Pemeriksa Pajak Lokasi untuk mendampingi tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.13 Surat Edaran ini.
19) Pemeriksaan oleh tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 17) harus dilakukan secara bersamaan dengan tim Pemeriksa Pajak UP2 Lokasi.
20) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lokasi maka UP2 Domisili harus menyampaikan fotokopi LHP yang telah direkam pada aplikasi SIDJP beserta Nota Penghitungan (Nothit) kepada Kepala UP2 Lokasi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
p. Pengalihan Pemeriksaan 1) Pengalihan pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak pindah tempat terdaftar (domisili) dari satu KPP ke KPP lain sepanjang:
a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan telah diterbitkan; dan b) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
2) Pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dalam rangka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP yang batas waktu penerbitan skp-nya kurang dari 6 (enam) bulan, dan pemeriksaan tersebut harus diselesaikan oleh UP2 lama.
3) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain tetapi masih dalam wilayah kerja Kanwil DJP yang sama, dilakukan oleh:
a) Direktur P2 untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuannya diterbitkan oleh Dirjen Pajak atau Direktur P2;
b) Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuan/penugasannya diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP; atau
c) Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk Pemeriksaan Lokasi karena adanya permintaan dari UP2 Domisili.
4) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain di luar wilayah kerja Kanwil DJP atasan KPP lama, dilakukan oleh Direktur P2.
5) Usulan pengalihan pemeriksaan disampaikan oleh Kepala UP2 lama kepada Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.14 Surat Edaran ini.
6) Dalam hal usulan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) disetujui, maka persetujuan disampaikan kepada Kepala UP2 baru dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.15 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala UP2 lama, Kepala Kanwil DJP atasan UP2 baru dan/atau UP2 lama.
7) Dalam hal usulan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) ditolak, maka penolakan disampaikan kepada Kepala UP2 lama dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.16 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar.
8) Surat persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 6) digunakan sebagai dasar penerbitan SP2 pada UP2 baru.
9) Terhadap pemeriksaan yang ditolak pengalihan pemeriksaannya sebagaimana dimaksud pada angka 7) atau tidak dapat dialihkan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) pemeriksaan tetap diselesaikan oleh UP2 lama sampai dengan penerbitan Nothit;
b) LHP dan Nothit harus menggunakan identitas baru; c) terhadap pemeriksaan yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP maka LHP dan Nothit sudah harus dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan
d) terhadap pemeriksaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf c, LHP dan Nothit harus dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
10) Terhadap pemeriksaan yang disetujui untuk dialihkan, UP2 lama yang pemeriksaannya dialihkan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) tidak dibuatkan LHP Sumir; dan b) dalam hal sudah dilakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi ke UP2 Lokasi, maka berdasarkan tembusan surat persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 6), UP2 lama memberitahukan kepada seluruh UP2 Lokasi bahwa pemeriksaannya sudah dialihkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.17 Surat Edaran ini.
q. Pembatalan Penugasan Pemeriksaan 1) Pembatalan penugasan pemeriksaan dilakukan dengan alasan sebagai berikut: a) terdapat kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error), seperti kesalahan:
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
nama Wajib Pajak;
NPWP;
Jenis Pajak;
Masa Pajak;
Tahun Pajak;
kode pemeriksaan;
tujuan pemeriksaan; atau
penunjukan UP2
sepanjang SPHP belum disampaikan kepada Wajib Pajak; b) pemeriksaan belum dimulai dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Lebih Bayar menjadi selain SPT Lebih Bayar;
c) berdasarkan pertimbangan Dirjen Pajak. 2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan Pembetulan SPT selain sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) sebelum Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan oleh Pemeriksa Pajak, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan penyesuaian Audit Plan.
3) Pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang diterbitkan oleh:
i. Dirjen Pajak, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Dirjen Pajak;
ii. Direktur P2, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Direktur P2; dan
iii. Kepala Kanwil DJP, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP;
iv. Kepala KPP, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Kepala KPP.
b) usulan pembatalan penugasan pemeriksaan oleh Kepala UP2 kepada Dirjen Pajak, Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.18 Surat Edaran ini.
c) Dirjen Pajak, Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pembatalan penugasan pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.19 atau Lampiran I.20 Surat Edaran ini;
d) Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP selaku pihak yang menerbitkan instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan, dapat melakukan pembatalan penugasan pemeriksaan tanpa berdasarkan usulan dari Kepala UP2;
e) pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d) dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.21 Surat Edaran ini;
f) terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuatkan LHP Sumir.
4) Pembatalan persetujuan atau instruksi Pemeriksaan Ulang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pembatalan dapat dilakukan sepanjang skp hasil pemeriksaan belum diterbitkan;
b) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan surat Dirjen Pajak mengenai pembatalan penugasan pemeriksaan;
c) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: i. Dirjen Pajak memberikan perintah kepada Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP untuk membatalkan penugasan pemeriksaan;
ii. Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP membuat konsep surat Dirjen Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.22 Surat Edaran ini;
iii. Dirjen Pajak menandatangani surat Dirjen Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala UP2; dan
iv. terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuat LHP Sumir.
5) Dalam hal pemeriksaan yang dibatalkan penugasannya sebagaimana dimaksud pada angka 3) atau angka 4) terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) berdasarkan surat pembatalan penugasan pemeriksaan, Kepala UP2 Domisili mengirimkan surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala UP2 Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.23 Surat Edaran ini;
b) berdasarkan surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Domisili, Kepala UP2 Lokasi mengajukan permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya sepanjang UP2 Lokasi belum:
i. menyampaikan SPHP, terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf a); atau
ii. menerbitkan skp, terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf c),
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.24 Surat Edaran ini;
c) surat pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf b), digunakan oleh Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk melakukan pembatalan Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2) dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.25 Surat Edaran ini.
6) Dalam hal Pemeriksaan Lokasi dibatalkan penugasannya, WP Lokasi tidak terdaftar di wilayah kerja UP2 Lokasi dimaksud, atau terhadap WP Lokasi sudah pernah dilakukan pemeriksaan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Permohonan pembatalan pemeriksaan Lokasi dilakukan Kepala UP2 Lokasi kepada Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi dengan mengirimkan surat permohonan sebagaimana contoh dalam Lampiran I.26 Surat Edaran ini;
b) Berdasarkan surat Permohonan Pembatalan Pemeriksaan Lokasi, Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi membuat dan mengirimkan surat Persetujuan atau Penolakan Pembatalan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi sebagaimana contoh dalam Lampiran I.27 atau Lampiran I.28 Surat Edaran ini;
c) Dalam hal Kanwil DJP menyetujui Pembatalan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf b), Kepala UP2 Lokasi mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kepala UP2 Domisili yang menyatakan bahwa UP2 Lokasi tidak dapat melakukan Pemeriksaan Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.29 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi dan Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Domisili;
d) dalam hal terhadap WP Lokasi sudah pernah dilakukan pemeriksaan maka bersamaan dengan surat sebagaimana dimaksud pada huruf c) dilampirkan fotokopi LHP Lokasi;
e) surat permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf a), digunakan oleh Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk melakukan pembatalan NP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.30 Surat Edaran ini.
7) Dalam hal dilakukan pembatalan penugasan pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor telah disampaikan kepada Wajib Pajak, Kepala UP2 memberitahukan pembatalan penugasan pemeriksaan tersebut kepada Wajib Pajak dengan mengunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.31 Surat Edaran ini.
r. Pembatalan Hasil Pemeriksaan 1) Pembatalan skp dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** ditindaklanjuti dengan pembatalan LHP dan Nothit.
2) Pembatalan skp dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
3) Pembatalan LHP dan Nothit diatur sebagai berikut: a) berdasarkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Kepala UP2 membuat Nata Dinas kepada Kepala Seksi Pemeriksaan untuk membatalkan LHP dan Nothit;
b) Kepala Seksi Pemeriksaan membuat berita acara pembatalan LHP dan Nothit dan disampaikan kepada Direktur Teknologi dan lnformasi Perpajakan;
4) Terhadap pemeriksaan yang skp-nya dibatalkan sebagaimana dimaksud pada angka 1), ditindaklanjuti dengan menyampaikan SPHP dan/atau melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Keputusan Pelaksanaan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diterbitkan.
6) Jangka waktu pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) berlaku ketentuan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015**.
7) dalam hal pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP, pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
a) skp sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP belum terlewati; atau
b) Surat Ketetapan Pajak Lebih 8ayar sesuai dengan SPT apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP terlewati.
8) Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan pemeriksaan berbeda dengan susunan tim Pemeriksa Pajak sebelumnya, pemeriksaan dilanjutkan setelah diterbitkan SP2 Perubahan kepada Pemeriksa Pajak yang ditunjuk.
s. Tim Quality Assurance (QA) Pemeriksaan 1) Tim QA Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** ditetapkan dengan Keputusan Dirjen Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.32 Surat Edaran ini.
2) Tim QA Pemeriksaan ditetapkan pada setiap awal tahun. 3) Susunan Tim QA Pemeriksaan terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 3 (tiga) orang anggota.
4) Ketua Tim QA Pemeriksaan diisi oleh pejabat eselon Ill, dengan ketentuan: a) pada Direktorat P2, dijabat oleh kepala subdirektorat di lingkungan Direktorat P2; dan
b) pada Kanwil DJP, dijabat oleh kepala bidang. 5) Sekretaris Tim QA Pemeriksaan diisi oleh pejabat eselon IV, dengan ketentuan: a) pada Direktorat P2, dijabat oleh kepala seksi di lingkungan Direktorat P2; dan
b) pada Kanwil DJP, dijabat oleh kepala seksi di lingkungan Kanwil DJP. 6) Anggota Tim QA Pemeriksaan diisi oleh PNS di lingkungan DJP, dengan ketentuan:
a) pada Direktorat P2, diisi oleh: i. kepala seksi di lingkungan Direktorat P2; dan/atau ii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Direktorat P2; b) pada Kanwil DJP, diisi oleh: i. kepala seksi di lingkungan Kanwil DJP; dan/atau ii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Kanwil DJP; c) penunjukan Anggota Tim QA Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan kompetensi pegawai yang bersangkutan; dan
d) dalam hal dipandang perlu Anggota Tim QA Pemeriksaan dapat diisi oleh kepala seksi/Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak pada KPP di lingkungan Kanwil DJP.
7) Tim QA Pemeriksaan bertugas membahas perbedaan pendapat terkait dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan memberikan simpulan serta keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak.
8) Masa tugas Tim QA Pemeriksaan dimulai sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Dirjen Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2) dan berakhir pada tanggal 31 Desember untuk tahun yang bersangkutan.
9) Dalam hal dipandang perlu, Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP dapat mengubah susunan Tim QA Pemeriksaan.
10) Pengadministrasian surat atau dokumen yang terkait dengan Tim QA Pemeriksaan dilakukan oleh Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan pada Direktorat P2 atau Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan pada Kanwil DJP.
11) Pengadministrasian surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 10) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal terdapat permohonan pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan maka Kepala Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi Bimbingan Pemeriksaan membuat undangan pembahasan dan menyampaikan undangan tersebut kepada Wajib Pajak dan tim Pemeriksa Pajak, penyampaian undangan harus memperhatikan jangka waktu dimulainya pembahasan oleh Tim QA Pemeriksaan;
b) Kepala Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan membuat surat tugas yang ditandatangani oleh Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP untuk menunjuk Tim QA Pemeriksaan yang ditugaskan untuk melakukan pembahasan;
c) surat tugas diterbitkan dengan menggunakan format surat tugas sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pedoman tata naskah dinas; dan
d) setiap Risalah Tim QA Pemeriksaan yang dibuat oleh Tim QA Pemeriksaan diadministrasikan pada Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan.
12) Tim QA Pemeriksaan yang melakukan pembahasan adalah Tim QA Pemeriksaan yang di dalamnya tidak terdapat Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan.
13) Pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan tidak dilakukan dalam hal jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015** telah berakhir.
14) Terkait dengan permohonan Wajib Pajak untuk dilakukan pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pemeriksa Pajak harus segera menginformasikan kepada Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, lntelijen, dan Penyidikan mengenai permohonan Wajib Pajak tersebut; dan
b) setelah mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, lntelijen, dan Penyidikan harus memantau surat permohonan Wajib Pajak tersebut untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
t. Penetapan Untuk Masa Pajak Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan belum dikukuhkan sebagai PKP dan ditemukan potensi PPN terutang, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Selain mengusulkan penerbitan skp dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak:
a) harus mengusulkan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang sedang dilakukan; dan
b) mengusulkan pemeriksaan untuk Masa Pajak yang terdapat potensi PPN berdasarkan analisis risiko.
2) Berdasarkan usulan Tim Pemeriksa Pajak, Kepala KPP melalui Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan mengukuhkan PKP secara jabatan.
3) Penetapan/penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)/STP untuk Masa Pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP dan Pasal 24 PP Nomor **74 TAHUN 2011**.
4) Penetapan/penerbitan SKPKB/STP untuk Masa Pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP juga dapat dilakukan apabila pengukuhan PKP dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP serta Pasal 24 PP Nomor **74 TAHUN 2011**.
u. Pemeriksaan Untuk Masa Pajak Sebelum PKP Melakukan Pemusatan Tempat Terutang PPN
1) Terhadap kewajiban PPN untuk Masa Pajak sebelum dan Masa Pajak setelah PKP melakukan pemusatan tempat terutang PPN dapat dilakukan pemeriksaan.
2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan untuk Masa Pajak sebelum PKP melakukan pemusatan tempat terutang PPN, pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a) UP2 yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah UP2 tempat pemusatan dilakukan (UP2 baru);
b) dalam hal dilakukan pemeriksaan terhadap salah satu cabang yang dipusatkan, maka terhadap kewajiban PPN dari seluruh cabang yang dipusatkan harus dilakukan pemeriksaan secara bersamaan;
c) pengusulan dan penugasan pemeriksaan, penerbitan SP2, pembuatan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) dan LHP, penerbitan skp dan/atau STP, dan penerbitan dokumen administratif lainnya dilakukan dengan menggunakan identitas PKP yang melakukan pemusatan;
d) prosedur pengusulan pemeriksaan dilakukan dengan mekanisme Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
2. Pemeriksaan Rutin a. Kebijakan Umum 1) Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
a) diwajibkan oleh UU KUP; atau b) dapat dilakukan oleh Dirjen Pajak (berdasarkan skala prioritas), sehubungan dengan pengujian pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
2) Dalam rangka menjamin terpenuhinya kewajiban pelaksanaan Pemeriksaan Rutin, Kepala KPP melalui Kepala Seksi Pemeriksaan harus membuat daftar persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Rutin dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.33 Surat Edaran ini dan memutakhirkan daftar tersebut setiap awal bulan berikutnya.
3) Pemeriksaan Rutin dapat dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
4) Penerbitan penugasan Pemeriksaan Rutin harus dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, agar penyelesaian pemeriksaannya tidak melewati daluwarsa penetapan.
5) Dapat dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak.
b. Alasan Pemeriksaan Rutin Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal: 1) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 17B UU KUP; atau b) Pasal 17C UU KUP tetapi memilih untuk tidak dilakukan pengembalian dengan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan meminta untuk direstitusikan, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
2) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 17B UU KUP; b) Pasal 17C UU KUP tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP; atau
c) Pasal 9 ayat (4c) UU PPN tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
3) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
4) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi; 5) Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;
6) Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi; 7) Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan
8) Wajib Pajak melakukan: a) perubahan tahun buku; b) perubahan metode pembukuan; dan/atau c) penilaian kembali aktiva tetap. 9) Wajib Pajak tidak mengembalikan SPOP PBB. c. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib; 2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu penerbitan skp sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;
3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan (WP go public) dan menyampaikan SPT Tahunan PPh dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A UU KUP;
b) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan: i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
c) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih menghitung pajak terutang dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
d) Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a), b), dan c) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi; iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak;
iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh tepat waktu; atau vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian);
e) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a) sampai dengan d) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
4) Akuntan Publik sebagaimana yang dimaksud pada angka 3) huruf b) angka romawi i adalah Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Akuntan Publik;
5) ruang lingkup pemeriksaan terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dengan memperhatikan potensi pajak, beban kerja pemeriksa, dan jangka waktu pengujian;
6) dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan dilakukan Pemeriksaan Kantor, maka pengujian dilakukan terhadap pos-pos yang sebagai berikut:
a) Penghasilan Bruto/Peredaran Usaha; b) Kredit Pajak; dan c) pos-pos lainnya tidak bersifat wajib, namun dapat dilakukan dalam hal Pemeriksa Pajak memandang perlu untuk melakukan pengujian pos dimaksud yang memiliki potensi ketidakpatuhan tinggi.
d. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Pemeriksaan Rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib; 2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu penerbitan skp sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;
3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan: i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
b) PKP selain sebagaimana dimaksud pada huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kempos; ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi; iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak;
iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis PKP;
v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan/atau
vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak);
c) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan b) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
4) dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi yang terdapat kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya, maka pemeriksaan harus mencakup seluruh Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi tersebut dengan menerbitkan 2 (dua) SP2, yaitu 1 (satu) SP2 untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi dan 1 (satu) SP2 untuk Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi;
5) dalam hal Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka 4) mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, maka SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk setiap Tahun Pajak;
6) mengingat hanya PKP tertentu saja yang dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak, maka pengusulan dan penugasan pemeriksaan harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4a) dan ayat (4b) UU PPN;
7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak yaitu PPN; 8) dalam hal terhadap PKP dilakukan Pemeriksaan Kantor, maka pengujian dilakukan terhadap Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dan Pajak yang dapat diperhitungkan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kebijakan pemeriksaan atas SPT Masa PPN Lebih Bayar;
e. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP.
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib; 2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan; 3) penerbitan ketetapan pajak harus dilakukan sebelum daluwarsa penetapan; 4) dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; dan 5) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dengan memperhatikan potensi pajak, beban kerja pemeriksa, dan jangka waktu pengujian.
f. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas; 2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap SPT/PKP sebagai berikut: a) terdapat data dan/atau informasi pada aplikasi SIDJP yang menunjukkan bahwa SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar;
b) PKP non Pedagang Eceran yang melakukan penyerahan dengan Faktur Pajak tidak lengkap;
c) terdapat indikasi dan/atau pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak tidak sah;
d) memiliki susunan pengurus/direksi yang sama dengan PKP yang terdapat indikasi dan/atau pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak tidak sah; atau
e) PKP selain dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN yang memiliki nilai kompensasi di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
3) penentuan pemeriksaan terhadap SPT/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak dan beban kerja Pemeriksa Pajak;
4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap SPT masa PPN Lebih Bayar Kompensasi selain sebagaimana dimaksud pada angka 2), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP;
5) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT masa PPN Lebih Bayar Kompensasi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan: i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
b) PKP selain sebagaimana dimaksud huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kempos; ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi; iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak;
iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak);
c) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan b) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
6) dalam hal SPT Masa PPN yang diperiksa mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, maka SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk tiap-tiap Tahun Pajak;
7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak yaitu PPN; 8) dalam hal pemeriksaan terhadap PKP dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor, maka dilakukan pengujian terhadap Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan Pajak yang dapat diperhitungkan.
g. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak yang Telah Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas; 2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak/PKP yang memiliki potensi pajak signifikan;
3) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan:
a) signifikansi nilai pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang telah diberikan kepada Wajib Pajak/PKP; dan b) tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak; 4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP selain sebagaimana dimaksud pada angka 3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP;
5) pelaksanaan pemeriksaan harus memperhatikan beban kerja Pemeriksa Pajak; 6) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; dan 7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak; h. Pemeriksaan Rutin atas SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi adalah SPT Tahunan PPh orang pribadi atau SPT Tahunan PPh badan yang menunjukkan adanya kerugian fiskal pada bagian penghasilan neto fiskal;
2) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas; 3) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi yang: a) kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto pada SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak berikutnya; b) kerugiannya paling sedikit selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; atau c) berdasarkan SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi tersebut terdapat transaksi signifikan dengan pihak lain yang memiliki hubungan istimewa; 4) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak dan beban kerja Pemeriksa Pajak; 5) pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud pada angka 3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP; 6) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan; dan 7) ruang lingkup pemeriksaan dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dengan memperhatikan potensi pajak, beban kerja pemeriksa, dan jangka waktu pengujian. i. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak Badan yang Melakukan Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Likuidasi atau Pembubaran Usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi Akan Meninggalkan Indonesia Untuk Selama-Lamanya
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib; 2) dapat dilakukan berdasarkan informasi dari media massa/pihak lain atau karena permohonan Wajib Pajak; 3) pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha dapat dilakukan terhadap seluruh Wajib Pajak yang terlibat, dengan prioritas pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang bertindak sebagai entitas yang akan mengakhiri aktivitas bisnisnya; 4) pemeriksaan dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pada saat Wajib Pajak badan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
5) terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang:
a) terdapat potensi yang signifikan berdasarkan hasil analisis risiko Wajib Pajak; dan
b) Wajib Pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan untuk Tahun-Tahun Pajak tersebut;
6) pemeriksaan terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya sebagaimana dimaksud pada angka 5) dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus;
7) dalam hal dilakukan pemeriksaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran, maka UP2 yang melaksanakan pemeriksaan tersebut harus mengirimkan LHP kepada KPP tempat Wajib Pajak yang terlibat dalam aksi korporasi tersebut terdaftar; 8) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan; 9) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak; 10) dalam hal pemeriksaan disertai dengan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus membuat usulan tentang penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dalam LHP; 11) dalam hal pemeriksaan terkait juga dengan permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan penghapusan dan/atau pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) UU KUP; dan 12) berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada angka 10), Pemeriksa Pajak harus mengirimkan usulan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP kepada Kepala KPP c.q. Kepala Seksi Pelayanan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.34 Surat Edaran ini. j. Pemeriksaan Rutin atas Wajib Pajak yang Melakukan Perubahan Tahun Buku, Perubahan Metode Pembukuan atau Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib; 2) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; 3) dalam hal pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan perubahan tahun buku, maka pemeriksaannya dilakukan atas Bagian Tahun Pajak sampai dengan perubahan tahun buku dilakukan; misalnya: tahun buku Wajib Pajak adalah Januari s.d Desember 2014 diubah menjadi Oktober 2014 s.d September 2015, maka pemeriksaannya dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak Januari s.d September 2014; dan 4) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak. k. Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak yang tidak mengembalikan SPOP PBB Pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) dilakukan dalam hal Subjek Pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP; 2) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat prioritas sepanjang tidak terdapat keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian PBB; 3) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; 4) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak; dan 5) dilakukan sesuai dengan ketentuan Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian PBB. l. Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pemeriksaan Rutin 1) Pemeriksaan Rutin diusulkan oleh Kepala KPP kepada Kepala Kanwil DJP atasannya. 2) Pengusulan Pemeriksaan Rutin dilakukan dengan menggunakan Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa (Daftar Nominatif), yang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.35 dan Lampiran I.36 Surat Edaran ini. 3) Daftar Nominatif dibuat berdasarkan daftar persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Rutin sebagaimana dimaksud pada angka 2).
4) Daftar Nominatif dikirimkan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4), terhadap: a) SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi; b) SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi; atau c) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf i angka 10). Daftar Nominatif dapat dibuat dan dikirimkan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya setiap saat.
6) Kepala Seksi Pemeriksaan melakukan pengecekan terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar dan/atau SPT Masa PPN Lebih Bayar dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.37 Surat Edaran ini. 7) Pengusulan Daftar Nominatif ke Kepala Kanwil DJP dilakukan setelah SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN direkam pada aplikasi SIDJP.
8) Terhadap Wajib Pajak yang diusulkan untuk diperiksa, yang ruang lingkup pemeriksaannya melebihi 1 (satu) Tahun Pajak, maka usulan tersebut harus diperinci per Tahun Pajak.
9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi terdapat kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya maka dalam Daftar Nominatif harus diperinci menjadi 2 (dua) usulan, yaitu:
a) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi; dan
b) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi.
m. Petunjuk Pelaksanaan Penugasan Pemeriksaan Rutin
1) Penugasan Pemeriksaan Rutin merupakan kewenangan Kepala Kanwil DJP berdasarkan usulan dari Kepala KPP.
2) Berdasarkan Daftar Nominatif dari Kepala KPP, Kepala Kanwil DJP membuat dan mengirimkan Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin dan mengirimkan surat penugasan tersebut kepada Kepala KPP yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.38 dan Lampiran I.39 Surat Edaran ini.
3) Apabila dalam Daftar Nominatif yang disampaikan oleh Kepala KPP terdapat usulan yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Rutin, Kepala Kanwil DJP membuat dan mengirimkan Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.40 dan Lampiran I.41 Surat Edaran ini.
4) Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin atau Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin harus dikirimkan oleh Kepala Kanwil DJP paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya Daftar Nominatif dari Kepala KPP.
5) Kepala Kanwil DJP dapat memberikan penugasan Pemeriksaan Rutin secara langsung tanpa melalui Daftar Nominatif dalam hal Kepala Kanwil DJP memperoleh informasi mengenai:
a) Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan/atau
b) Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan atau melakukan penilaian kembali aktiva tetap.
3. Pemeriksaan Khusus a. Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan berdasarkan: 1) Keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015**; atau
2) Analisis risiko (risk based audit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h dan huruf i Peraturan Menteri Keuangan Nomor **17/PMK.03/2013** sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **184/PMK.03/2015**.
b. Keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1) adalah data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa:
1) hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak; 2) bukti pemotongan Pajak Penghasilan; 3)