peraturan:sedp:03pj.042009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, terdapat beberapa perubahan perlakuan
administrasi dan tindakan penagihan piutang pajak. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan
amanat Undang-Undang tersebut dan demi meningkatkan tertib administrasi, validitas data
piutang pajak serta mencapai target pencairan piutang pajak Nasional maka dengan ini
disampaikan kebijakan penagihan pajak sebagai berikut:
I. KEBIJAKAN UMUM
1. Kebijakan yang menyangkut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (KUP), Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994 (PBB), Undang-Undang
Nomor 20 TAHUN 2000 (BPHTB), dan Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
2. Kebijakan yang menyangkut Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan mulai
Tahun Pajak 2008, penentuan saat mulainya penyampaian surat teguran
setelah piutang pajak jatuh tempo dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui
sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 80 TAHUN 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
3. Kebijakan yang menyangkut Batas Waktu Penerbitan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat
Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan serta Daluwarsa Penagihan Pajak
Bumi dan Bangunan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE-48/PJ./2008 tanggal 5 September 2008.
4. Kebijakan yang menyangkut Penyisihan, Pengakuan, dan Rekonsiliasi Piutang
Pajak berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-08/PJ./2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang
Pajak.
II. KEBIJAKAN KHUSUS
II.1 Tertib Administrasi
II.1.1 Penataan Berkas Penagihan
Dalam rangka pembenahan administrasi piutang pajak dan penataan
berkas penagihan, maka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berkewajiban
untuk:
a. Menyediakan tempat/ruangan khusus untuk penyimpanan
rumah berkas penagihan yang memiliki alat pengaman yang
cukup kuat dan menunjuk petugas di Seksi Penagihan sebagai
penanggung jawabnya;
b. Membuat rumah berkas penagihan per Wajib Pajak yang
disusun sesuai dengan tahun pajaknya dan masing-masing
berisi:
1) Surat ketetapan pajak, termasuk STP/STP PBB/STB/SKP
PBB/SKBKB/SKBKBT;
2) Keputusan Keberatan;
3) Keputusan Pembetulan (Pasal 16 UU KUP);
4) Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi dan pengurangan dan atau pembatalan
surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 UU
KUP)
5) Putusan Banding;
6) Putusan Peninjauan Kembali;
7) Putusan Gugatan;
8) Bukti pembayaran tunggakan pajak dari Wajib
Pajak/Penanggung Pajak (WP/PP) antara lain berupa
Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Tanda Terima Setoran
(STTS), SSP PBB, Surat Setoran BPHTB (SSB), dan print
out MPN/hasil konfirmasi bank;
9) Bukti Pemindahbukuan (PbK);
10) Dokumen tindakan penagihan;
11) Berkas penagihan lainnya;
12) Khusus untuk Wajib Pajak PBB yang tidak mempunyai
NPWP, dibuatkan rumah berkas tersendiri per NOP
dengan perincian berkas sesuai dengan angka 1 s.d. 11
tersebut di atas.
II.1.2 Akurasi Data Piutang Pajak
Dalam proses akurasi data piutang pajak, KPP diwajibkan untuk:
1. Menyelesaikan perekaman seluruh data piutang pajak
berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007.
2. Melanjutkan proses pemutakhiran data piutang pajak secara
berkesinambungan dan wajib melaporkan data perkembangan
perekaman terakhir setiap bulan melalui email ke Kanwil dan
subdit penagihan Direktorat P2 KPDJP. Tata cara perekaman
dapat dilakukan dengan melanjutkan input data pada aplikasi
program SiMIAP atau dalam format excel seperti yang sudah
diberikan sebelumnya (format laporan terlampir).
3. Terhadap KPP yang sudah menyelesaikan perekaman seluruh
data piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi
per 30 Juni 2007 agar segera membuat berita acara
penyelesaian perekaman (format Berita Acara terlampir).
4. Menginventarisasikan jumlah piutang pajak yang disisihkan
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
1) Wajib Pajak sudah meninggal dunia;
2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi
yang dibuktikan dengan adanya surat dukungan
dari instansi berwenang di wilayahnya;
3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA
setempat;
4) Telah daluwarsa; dan
5) Karena sebab lain seperti:
a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau
tidak dapat ditelusuri lagi disebabkan
keadaan yang tidak dapat dihindari seperti
bencana alam, kebakaran, dan sebagainya.
b. Untuk Wajib Pajak Badan
1) Bubar, liquidasi, atau pailit dan pengurus,
direksi, pemegang saham, pemilik modal atau
pihak lain yang dibebani untuk melakukan
pemberesan sudah tidak ditemukan;
2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi
yang dibuktikan dengan adanya surat dukungan
dari instansi berwenang di wilayahnya;
3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA
setempat;
4) Telah daluwarsa, dan
5) Karena sebab lain seperti:
a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau
tidak dapat ditelusuri lagi disebabkan
keadaan yang tidak dapat dihindari seperti
bencana alam, kebakaran, dan sebagainya.
Tatacara penyisihan piutang pajak selengkapnya diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009.
5. Melakukan rekonsiliasi data piutang pajak antara Laporan
Perkembangan Piutang Pajak (LP3) dan Laporan Perkembangan
Piutang PBB dan BPHTB dengan Laporan Keuangan Piutang
Pajak (LKPP) setiap bulan.
6. Melakukan pembenahan piutang PBB sesuai dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ./2008 tanggal
31 Desember 2008 tentang Pemutakhiran Data Pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan
yang dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian data
tunggakan PBB.
7. Terhitung mulai Januari 2009, format laporan rutin piutang pajak
menggunakan format laporan sesuai surat Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-28/PJ.045/2009.
8. Dalam hal terdapat permasalahan yang berkaitan dengan
SIDJP/SIP/SIPMOD/SISMIOP, agar disampaikan kepada Direktur
Teknologi Informasi Perpajakan dengan mengacu pada Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-73/PJ./2008 tanggal
16 Desember 2008 tentang Kebijakan Perubahan Data
SIP/SIPMOD/SISMIOP.
II.1.3 Prosedur Migrasi Berkas Wajib Pajak
Sehubungan dengan masih terdapatnya permasalahan dalam
pemindahan Wajib Pajak karena pemecahan KPP atau pembentukan
KPP baru, maka Kanwil/KPP diingatkan kembali untuk memperhatikan:
1. Prosedur administrasi untuk WP pindah sesuai dengan surat
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-14/PJ.0451/2007
tanggal 25 Januari 2007;
2. Pelaksanaan tertib administrasi penagihan terkait dengan
pembentukan KPP baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
sesuai dengan surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
nomor S-33/PJ.045/2008 tanggal 2 April 2008
II.2 Fokus dan Strategi Penagihan
II.2.1 Fokus Penagihan
1. Fokus pencarian piutang pajak tahun 2009 lebih diprioritaskan
kepada KPP di unit Kanwil Wajib Pajak Besar (LTO), KPP di Unit
Kanwil Jakarta Khusus, dan Kantor-Kantor Pelayanan Pajak
Madya di seluruh Indonesia (34 KPP dari 331 KPP di Indonesia),
dengan pertimbangan kondisi likuiditas Wajib Pajak dan jumlah
piutang pajak yang mencapai lebih dari 50% jumlah piutang
pajak Nasional berada di wilayah KPP tersebut diatas.
2. Kegiatan penagihan pada KPP Pratama tetap dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku terutama terhadap 200
Penunggak Pajak terbesar.
II.2.2 Strategi Penagihan
Untuk menunjang peningkatan realisasi pencarian piutang pajak,
Kanwil dan KPP agar melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
1. KPP diwajibkan untuk melakukan bedah tunggakan terhadap
200 penunggak pajak terbesar kemudian dibuat profilnya
mengenai kondisi WP tersebut lengkap dengan daftar harta
kekayaan yang masih dimiliki dan dilengkapi dengan pohon
kepemilikan dalam perusahaan yang bersangkutan dimiliki oleh
grup perusahaan (format terlampir).
2. Berdasarkan profil tersebut, KPP kemudian melakukan analisis
probabilitas pencairan piutang pajak terhadap 200 penunggak
pajak terbesar di wilayah kerjanya dan melaporkan ke Kanwil
atasannya (format terlampir).
3. Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada angka
2, KPP menetapkan prioritas tindakan penagihan.
4. KPP wajib melaksanakan tindakan penagihan aktif secara
optimal terutama untuk piutang pajak yang akan mendekati
daluwarsa namun tindakan penagihannya belum dan/atau tidak
dapat dilaksanakan, atau sebab lainnya.
5. Terhadap tindakan penagihan sebagaimana dimaksud pada
angka 4 di atas yang terhenti pelaksanaannya, perlu dilakukan
penelitian administrasi dan/atau penelitian setempat kemudian
dituangkan dalam berita acara dan laporan penelitian setempat
dengan disertai alasan dan bukti pendukungnya (format
terlampir).
6. KPP melaksanakan tindakan penagihan kepada Wajib
Pajak/Penanggung Pajak terutama yang non kooperatif,
dengan memprioritaskan;
a. Penyitaan atas harta kekayaan Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan
Direktur Jenderal Pajak nomor PER-109/PJ./2007 tanggal
6 Agustus 2007 dengan skala prioritas 200 Penunggak
Pajak terbesar dengan prinsip kehati-hatian dan
memperhatikan ada tidaknya upaya hukum yang
diajukan Wajib Pajak dengan urutan sebagai berikut:
1) Melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak
yang bersangkutan terlebih dahulu; dan
2) Apabila piutang pajak belum lunas, maka
pemblokiran dapat dilakukan kepada rekening
para Direksi dan pemegang saham mayoritasnya
sebagai penanggung pajaknya;
b. Pencegahan dilakukan secara selektif dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain:
1) Ada tidaknya upaya hukum Wajib
Pajak/Penanggung Pajak;
2) Validitas data mengenai status/legalitas
Penanggung Pajak dalam kedudukannya selaku
Penanggung Pajak suatu badan usaha;
3) Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu
Penanggung Pajak, KPP dapat
mempertimbangkan untuk tidak mengusulkan
pencegahan terhadap seluruh Penanggung
Pajak yang ada, tetapi usul pencegahan dapat
dilakukan secara bergantian dengan
memperhatikan skala prioritas.
7. Untuk mendukung upaya penagihan melalui pemblokiran
rekening, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bekerja sama
dengan Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dalam
menyediakan daftar Cabang Bank tempat Wajib Pajak yang
bersangkutan membayar kewajiban pajaknya. Data tersebut
dapat dilihat pada portal subdit penagihan.
8. KPP wajib melakukan pengawasan secara intensif dan
melaksanakan hak mendahulu atas piutang pajak terhadap
Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi,
dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator, orang
atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera
setelah diperoleh informasinya.
9. Kantor Wilayah DJP;
Sebagai pengawas dan pembina suatu wilayah kerja,
diharapkan agar Kantor Wilayah DJP lebih meningkatkan
peranan dan fungsinya untuk membimbing, mengawasi dan
mendukung tindakan penagihan yang dilakukan oleh KPP, oleh
karena itu Kanwil diwajibkan untuk melaksanakan hal-hal
sebagai berikut:
a. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas jumlah
piutang pajak selain PBB dan BPHTB di wilayah kerjanya
berdasarkan kategori umur piutang pajak sebagaimana
yang tercantum dalam S-28/PJ.045/2009 tanggal
3 Maret 2009 tentang Laporan Rutin Penagihan;
b. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas
piutang pajak PBB dan BPHTB di wilayah kerjanya, yang
didasarkan atas beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Sektor ketetapan (sektor pedesaan, perkotaan,
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan);
2) Wilayah kerja (kabupaten/kotamadya,
kecamatan, desa/kelurahan);
3) Tahun Pajak;
4) Buku Ketetapan, yaitu buku ketetapan I s.d.
buku ketetapan V;
c. Melaksanakan pengawasan melekat untuk mencegah
terjadinya kesalahan prosedur atau penyalahgunaan
wewenang dan jabatan dalam pelaksanaan tindakan
penagihan;
d. Melakukan pengawasan atas bedah tunggakan
terhadap 200 penunggak pajak terbesar dan profiling
penunggak pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya;
e. Melakukan penelitian dan evaluasi atas analisis
probabilitas pencairan piutang terhadap 200 penunggak
pajak terbesar yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya;
f. Melakukan pengawasan dan pemantauan proses
kegiatan penagihan dan pencairan piutang pajak
dengan prioritas 200 penunggak pajak terbesar yang
dilaporkan oleh masing-masing KPP di wilayah kerjanya;
g. Mengawasi dan meneliti saldo piutang pajak pada
masing-masing laporan rutin penagihan secara periodik
dan berkesinambungan sehingga terjadi kesesuaian
angka, khususnya yang berkaitan dengan Wajib Pajak
pindah dan pembentukan KPP baru;
h. Meneliti daftar klasifikasi kualitas piutang pajak yang
dibuat oleh KPP terutama untuk kriteria piutang pajak
kurang lancar, perhatian khusus, diragukan dan macet,
serta melihat kondisi piutang pajak dan
permasalahannya. Selanjutnya hasil penelitian tersebut
dapat digunakan untuk melakukan reklasifikasi kriteria
kualitas piutang pajak sesuai dengan kondisi yang
seharusnya;
i. Mengawasi pelaksanaan perekaman seluruh data
piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi
per 30 Juni 2007 yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya dan melaporkan pelaksanaan kegiatan validasi
piutang pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya tersebut ke KPDJP (format laporan terlampir);
j. Melakukan pengujian kembali Daftar Usulan
Penghapusan Piutang Pajak yang diusulkan dari KPP
antara lain:
1. Tindakan penagihan terakhir terkait dengan
jangka waktu daluwarsa penagihan;
2. Kesesuaian antara daftar rincian piutang pajak
yang diusulkan untuk dihapuskan dengan jumlah
rekapitulasi piutang yang diusulkan untuk
dihapuskan; dan
3. Kelengkapan data-data pendukung sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
KMK 539 dan KEP-15
k. Menetapkan standar prestasi jurusita dengan
mempertimbangkan kondisi masing-masing KPP yang
berada di wilayah kerjanya;
l. Meningkatkan koordinasi regional/lokal dengan instansi
terkait untuk kelancaran kegiatan penagihan
berdasarkan prinsip kebersamaan tugas sebagaimana
yang telah disepakati pada MoU antara Dirjen Pajak
dengan Kapolri/Menteri Kehakiman dan
HAM/Gubernur/Walikota/Bupati serta kerja sama dengan
pihak perbankan dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 34 UU KUP.
II.3 Target Pencarian
Target pencarian piutang pajak secara nasional untuk tahun 2009 akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Selanjutnya
alokasi target pencarian per KPP ditetapkan oleh masing-masing Kantor
Wilayah DJP atasannya.
III Lain-lain
1. Dalam melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian setempat
sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II.2.2 angka 5, langkah-langkah
yang perlu dilakukan adalah:
a. Membuat daftar usulan penelitian setempat ke Kantor Wilayah
atasannya;
b. Melakukan koordinasi dengan KPP lawan transaksi dari Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang akan dilakukan penelitian setempat
untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang transaksi terakhir
yang dilakukan, untuk memastikan apakah masih ada aktifitas atau
tidak;
c. Meminta informasi dan keterangan dari pihak pengelola gedung atau
instansi yang berwenang di wilayah tempat Wajib Pajak menjalankan
usahanya untuk mendukung keberadaan Wajib Pajak/Penanggung
Pajak yang dilakukan penelitian setempat;
d. Meminta informasi dan keterangan mengenai Wajib Pajak/Penanggung
Pajak kepada Dinas Kependudukan, Direktorat Jenderal Imigrasi atau
instansi terkait lainnya apabila diperlukan.
2. Kepala KPP harus memperhatikan jumlah sumber daya manusia yang ada di
seksi penagihan dikaitkan beban kerja seksi penagihan guna mendukung
kelancaran pelaksanaan kegiatan penagihan. Adapun jumlah minimal Jurusita
di masing-masing KPP adalah sebagai berikut:
a. 3 (tiga) orang Jurusita untuk:
- KPP di lingkungan Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar;
- KPP di lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus;
- KPP Madya
b. 2 (dua) orang Jurusita untuk setiap KPP Pratama dengan
mempertimbangkan luasnya wilayah kerja dan jumlah tunggakan.
3. Bagi KPP yang mengalami kekurangan tenaga pelaksana Jurusita pajak dapat
menunjuk dan mengangkat Jurusita dari pelaksana pada Seksi Penagihan,
Kepala Seksi Penagihan, atau Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan, sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak. Apabila jumlah Jurusita
belum juga terpenuhi dan kebutuhan akan Jurusita sangat mendesak Kanwil
dapat mengajukan permohonan penambahan penempatan Jurusita ke KPDJP.
4. Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan
penagihan, KPP agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi
Bimbingan Penagihan dan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Bantuan
Hukum di Kantor Wilayah atasannya.
5. Kemungkinan adanya pemakaian seragam Jurusita pajak, maka Kepala KPP
agar menganggarkan biayanya dalam DIPA KPP untuk minimal 3 potong
pakaian seragam per Jurusita, dengan desain sebagaimana terlampir.
6. Dalam hal keperluan penghitungan KPI, maka diinformasikan bahwa saldo awal
piutang pajak yang digunakan untuk KPI adalah saldo awal piutang pajak
setelah dikurangi dengan cadangan piutang yang disisihkan dimana tata cara
penyisihannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-08/PJ./2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang
Pajak.
7. Sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dalam rangka tindakan penagihan
agar mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan dalam Negeri Bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tetap, dalam Bab I Pasal 1 ayat (5)
diatur bahwa Perjalanan dinas dalam negeri yang selanjutnya disebut
perjalanan dinas adalah perjalanan ke luar tempat kedudukan baik
perseorangan maupun secara bersama yang jaraknya sekurang-kurangnya
5 (lima) kilometer dari batas kota yang dilakukan dalam wilayah RI untuk
kepentingan Negara atas perintah pejabat yang berwenang termasuk
perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk
bertolak ke luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke
tempat yang dituju di dalam negeri. Selanjutnya dalam ayat (10) diatur bahwa
Wilayah Jabatan adalah wilayah kerja dalam menjalankan tugas.
Dengan berlakunya Surat Edaran Kebijakan Penagihan ini, maka Surat Edaran Kebijakan
Penagihan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Direktur Jenderal,
ttd,
Darmin Nasution
NIP 130605098
Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
peraturan/sedp/03pj.042009.txt · Last modified: by 127.0.0.1