peraturan:sdp:894pj.532004
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 25 Oktober 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 894/PJ.53/2004 TENTANG TANGGAPAN TERHADAP SURAT DARI ASOSIASI DAN PULP DAN KERTAS INDONESIA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat dari Asosiasi ABC Nomor 228/APKI/XI/2003 tanggal 4 Nopember 2003 hal Pengusaha Eksportir Produsen Tertentu (PEPT) kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang salah satu tembusannya ditujukan kepada kami, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut dikemukakan bahwa : a. Asosiasi ABC mengusulkan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk menerbitkan suatu Peraturan Pemerintah atau sejenisnya berdasarkan Pasal 16B ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 18 TAHUN 2000 mengingat salah satu hambatan di bidang ekspor adalah lambatnya proses restitusi Pajak Pertambahan Nilai atas kelebihan pembayaran Pajak Masukan yang dianggap sangat merugikan kegiatan ekspor karena mengganggu cash flow perusahaan. Adapun usulan Asosiasi ABC adalah sebagai berikut : - Atas penyerahan bahan baku, bahan pembantu dan atau barang jadi serta atas penyerahan jasa kepada PEPT dari Pengusaha Kena Pajak dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut. - Yang dimaksud dengan PEPT adalah: 1. Perusahaan Eksportir Produsen 2. Jumlah ekspor dalam 2 tahun terakhir di atas 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah produksinya. 3. Dalam 2 tahun terakhir, memasukkan SPT PPh Badan dan SPT PPh Pasal 21 tepat pada waktunya, dan 4. Tidak mempunyai tunggakan pajak. - PEPT yang memenuhi syarat ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas usul Kepala Kantor Wilayah tempat PEPT berdomisili. - Yang dimaksud dengan barang jadi adalah barang yang sama dengan hasil produksi dari PEPT yang bersangkutan. - Apabila eksportir tidak mengekspor Barang Kena Pajak hasil produksinya atau Barang Kena Pajak yang dibelinya dari produsen lain, tetapi menjualnya di dalam negeri, maka atas penyerahan lokal tersebut terutang PPN sebesar 10% (sepuluh persen). - Kelebihan pembayaran mungkin terjadi pada supplier bahan baku dan atau bahan pembantu dan produsen barang jadi yang hasil produksinya dijual kepada PEPT, dan oleh karena itu apabila terdapat lebih bayar Pajak Pertambahan Nilai maka proses restitusinya dipercepat. b. APKI berpendapat dengan usulan di atas tidak akan berakibat mengurangi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dan memberikan kemudahan bagi eksportir berupa cash flow eksportir terpelihara karena terhindar dari kelebihan pembayaran Pajak Masukan dan waktu eksportir tidak tersita oleh kesibukan untuk mengurus restitusi Pajak Pertambahan Nilai. 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000 (UU KUP), antara lain mengatur : a. Pasal 17C ayat (1), bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai. b. Pasal 17C ayat (2), bahwa kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. c. Pasal 17C ayat (3), bahwa Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 3. Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 18 TAHUN 2000, antara lain mengatur : a. Pasal 9 ayat (4), bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. b. Pasal 16B ayat (1) huruf a, bahwa dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean. Di dalam memori penjelasannya diuraikan bahwa salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional. 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 37/KMK.04/2002, antara lain mengatur : a. Pasal 1 angka 1, bahwa Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. b. Pasal 3 ayat (1), bahwa perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan : - dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); - dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing; - Non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); - Yayasan. c. Pasal 3 ayat (2), bahwa untuk mendapatkan persetujuan PKB, perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mempunyai kawasan yang berlokasi di kawasan industri; d. Pasal 3 ayat (3), bahwa dalam hal kawasan yang dimiliki perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di dalam daerah yang tidak mempunyai kawasan industri, maka kawasan tersebut harus termasuk di dalam kawasan peruntukkan industri yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II. e. Pasal 14, bahwa terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari KB diberikan fasilitas sebagai berikut : 1) atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) termasuk PKB merangkap sebagai Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) diberikan penangguhan Bea Masuk (BM), tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) dan; Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor; 2) atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan, produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 Impor; 3) atas impor barang dan atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 Impor; 4) atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPn BM; 5) atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPn BM; 6) atas pengeluaran barang dan atau bahan dan PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontraktor, tidak dipungut PPN dan PPn BM; 7) atas penyerahan BKP hasil pengerjaan subkontrak oleh PKP di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPn BM; 8) atas peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPn BM; 9) atas pemasukan BKC dan DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai; 10) penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor; 11) pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka impor, diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 Impor. 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.04/2003, antara lain mengatur : a. Pasal 1 ayat (1), bahwa Wajib Pajak dapat diberikan pengembalian pendahuluan pembayaran pajak dalam hal memenuhi persyaratan/kriteria sebagai berikut : 1) tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir; 2) dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; 3) SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam butir 2 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; 4) tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak; - kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; - tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir; 5) tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan 6) dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. b. Pasal 1 ayat (2), bahwa dalam hal laporan keuangan diaudit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir 6, maka laporan audit harus : 1) disusun dalam bentuk panjang (long form report); 2) menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. c. Pasal 1 ayat (3), bahwa dalam hal laporan keuangan tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai, Wajib Pajak Kriteria Tertentu, sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir 1, 2, 3, 4, dan 5, serta syarat lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. d. Pasal 1 ayat (6), bahwa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, apabila : 1) terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; 2) Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak; 3) dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih 3 (tiga) masa pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. 4) Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak atau 5) dalam suatu Masa Pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) butir 5 sejak masa pajak yang bersangkutan. 6. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 sampai dengan butir 5, serta memperhatikan isi surat APKI pada butir 1, dengan ini ditegaskan bahwa : a. Pada prinsipnya perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap semua Wajib Pajak adalah sama di mana untuk penyerahan dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) sedangkan untuk ekspor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen). Dengan demikian, usul APKI agar kepada PEPT diberikan fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dengan menyesal tidak dapat dikabulkan karena tidak sesuai dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. b. Perlu kami beritahukan bahwa untuk mendorong ekspor, Saudara dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Kawasan Berikat di mana terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari KB diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam butir 4. c. Selain itu, dalam rangka percepatan proses penyelesaian restitusi bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh sebagaimana dimaksud dalam butir 5, mendapat pelayanan di bidang restitusi berupa pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak di mana Kepala Kantor Pelayanan Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan, pembayaran pajak, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak saat diterimanya permohonan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Adapun syarat-syarat untuk dapat memenuhi sebagai kriteria Wajib Pajak Patuh sama dengan syarat-syarat yang diusulkan oleh Saudara sebagaimana dimaksud dalam butir 1. d. Dalam hal PEPT tidak dapat memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Patuh, maka tidak tertutup kemungkinan untuk mendapat pelayanan pemeriksaan SPT PPN Lebih Bayar dalam jangka waktu yang singkat, yaitu 2 (dua) minggu sejak tanggal dipenuhi Surat Panggilan oleh Pengusaha Kena Pajak apabila PEPT dapat memenuhi kriteria antara lain : 1) tidak pernah terlibat sebagai penerbit dan atau pengguna faktur pajak fiktif; 2) tidak termasuk Pengusaha Kena Pajak dalam suspect list Program PK-PM; 3) jumlah lebih bayarnya sebanyak-banyaknya 0,5% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Keluaran; 4) koreksi DPP Pajak Keluaran dari hasil pemeriksaan sebelumnya tidak lebih dari 10%; 5) koreksi Pajak Masukan dari hasil pemeriksaan sebelumnya tidak lebih dari 5%; 6) tidak memiliki tunggakan pajak kecuali PBB dan STP PPN dua masa terakhir; 7) tidak sedang dalam proses keberatan dan banding untuk semua jenis pajak kecuali PBB; 8) pernah mengajukan permohonan restitusi PPN paling sedikit 3 kali; 9) dalam tahun terakhir, penyampaian SPT Masa PPN yang terlambat tidak lebih dari 3 masa pajak dan tidak berturut-turut; 10) tidak pernah terlambat menyetorkan PPN dalam 12 bulan terakhir; 11) menyampaikan SPT Masa dan menyetor PPh Pasal 21 serta menyetorkan angsuran PPh Pasal 25 kecuali ada kompensasi kerugian; 12) tidak termasuk sebagai Pengusaha Kena Pajak yang berdasarkan : - Program PK-PM teridentifikasi bahwa nilai PM yang diklarifikasi tidak sama dengan nilai PK yang dilaporkan oleh PKP lawan transaksinya; - Program PK-PM tiga jenjang ke belakang belum ditemukan adanya PKP Pabrikan atau Importir, dengan prioritas PKP yang minimal 10% dari PM berasal dari PKP yang bersangkutan; - Program PK-PM termasuk dalam kriteria PM tidak sama dengan PK dan PK sama dengan nol, dengan prioritas PKP yang setelah diminta penjelasan tidak merespon atau tidak menjawab permintaan penjelasan dari KPP sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan; - penelitian, semula termasuk kategori NE, tiba-tiba menjadi aktif dengan nilai peredaran usaha yang tinggi; - penelitian diketahui tidak mempunyai tempat usaha, alamat maupun gudang yang bersifat permanen, khususnya untuk PKP perdagangan, importir dan perindustrian; - penelitian diketahui alamat usahanya berada di daerah pemukiman penduduk tetapi memiliki peredaran usaha yang relatif tinggi; - informasi telah berada di alamat sekarang paling kurang selama 12 bulan; - informasi ternyata ada perbedaan signifikan antara identitas atau kelengkapan dengan kebenaran pengisian SPT PPN. Demikian untuk dimaklumi. Direktur Jenderal ttd. Hadi Poernomo NIP 060027375 Tembusan: 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 4. Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan; 5. Direktur PPN dan PTLL; 6. Direktur Peraturan Perpajakan; 7. Kepala KPP Jakarta Menteng Dua.
peraturan/sdp/894pj.532004.txt · Last modified: 2023/02/05 05:51 by 127.0.0.1