User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:827pj.3412003
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                            21 November 2003

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 827/PJ.341/2003

                            TENTANG

             PAJAK PENGHASILAN (PPH) ATAS PENGALIHAN SAHAM ANTAR PEMEGANG SAHAM

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 13 Juni 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini 
disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.  Dalam surat tersebut disampaikan hal-hal sebagai berikut:
    a.  PT. ABC adalah sebuah perusahaan joint venture yang sahamnya dimiliki oleh beberapa pihak 
        antara lain BCA (Jepang), CBA (Jepang), dan PT. XYZ (Indonesia);
    b.  BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) mentransfer saham yang mereka miliki kepada PT. XYZ 
        (Indonesia) masing-masing sebesar 3% dan 2%;
    c.  Atas transfer tersebut, PT. XYZ (Indonesia) akan memotong PPh namun menurut pihak BCA 
        (Jepang) dan CBA (Jepang) berdasarkan Pasal 13 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak 
        Berganda (P3B) Indonesia-Jepang, hak pemajakan atas transaksi tersebut berada di Jepang. 
        Saudara memohon penegasan aspek perpajakan atas transaksi pengalihan saham di atas.

2.  Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang, antara lain diatur bahwa:
    a.  Pasal 5 ayat 1,
        For the purpose of this Agreement, the term "permanent establishment" means a fixed place 
        of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on.

    b.  Pasal 5 ayat 5,
        An enterprise of a Contracting State shall be deemed to have a permanent establishment in 
        the other Contracting State if it furnishes in that other Contracting State consultancy services, 
        or supervisory services in connection with a building, construction or instalation project 
        through employees or other personnel-other than an agent of an independent status to whom 
        the provisions of paragraph apply-provided that such activities continue (for the same project 
        or two or more connected projects) for a period or periods aggregating more than six months 
        within any taxable year.

    c.  Pasal 13,
        (1) gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of immovable 
            property referred to in Article 6 and situated in the other Contracting State may be 
            taxed in that other Contracting State;
        (2) gains from the alienation of any property, other than immovable property, forming 
            part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a 
            Contracting State has in the other Contracting State or of any property, other than 
            immovable property, pertaining to fixed base available to a resident of a Contracting 
            State in the other Contracting State for the purpose of performing independent 
            personal services, including such gains from the alienation of such a permanent 
            establishment (alone or together with the whole enterprise) or of such a fixed base, 
            may be taxed in that other Contracting State;
        (3) gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of ships or 
            aircraft operated in international traffic an any property, other than immovable 
            property, pertaining to the operation of such ships or aircraft shall be taxable only in 
            that Contracting State;
        (4) gains from the alienation of any property other than that referred to in the preceding 
            paragraphs shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a 
            resident.

3.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
    Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 tentang Pajak Penghasilan antara lain diatur bahwa:
    a.  Pasal 5 ayat (1) huruf a, yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah penghasilan 
        dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau 
        dikuasai.
    b.  Pasal 26 ayat (2), atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur 
        dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk 
        usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi 
        luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

4.  Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak 
    Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain 
    Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham, antara lain diatur 
    bahwa :
    a.  Pasal 2 ayat (1):
        Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri 
        (WPLN) selain BUT dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto.
    b.  Pasal 2 ayat (2):
        Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan 
        Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak 
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang 
        berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
    c.  Pasal 2 ayat (3):
        Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% 
        (dua puluh lima persen) dari harga jual, sebagaimana besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% 
        x 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual.
    d.  Pasal 2 ayat (4):
        Pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
    e.  Pasal 3 ayat (1)
        Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk 
        sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
    f.  Pasal 3 ayat (1):
        Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah 
        Perseroan.

5.  Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tentang Penerapan 
    Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), antara lain diatur bahwa:
    a.  Butir 1 huruf a, dalam rangka penerapan Pasal 26 sesuai dengan P3B Wajib Pajak antara lain 
        wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang berkedudukan 
        di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada 
        Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat yang membayar penghasilan terdaftar;
    b.  Butir 3 huruf a, SKD diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara 
        treaty partner. Namun demikian, SKD yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat 
        Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan 
        dengan SKD yang dibuat Competent Authority;
    c.  Butir 3 huruf b, bentuk (SKD) adalah sesuai dengan kelaziman di negara tempat Wajib Pajak 
        luar negeri berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa Wajib Pajak 
        luar negeri yang bersangkutan benar berkedudukan di negara tersebut sesuai dengan 
        ketentuan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda tangan pejabat yang 
        menerbitkan SKD tersebut;
    d.  Butir 3 huruf c, SKD berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk 
        Wajib Pajak bank. Bagi Wajib Pajak bank, SKD tersebut berlaku selama bank tersebut tetap 
        mempunyai alamat yang sama dengan alamat yang tercantum dalam SKD.

6.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa:
    a.  Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh BCA 
        (Jepang) dan CBA (Jepang) dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, tidak 
        dikenakan pemotongan PPh Pasal 26, sepanjang BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) tidak 
        mempunyai BUT di Indonesia, yang memiliki saham yang diperjualbelikan.
    b.  Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut di atas, BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) wajib 
        menyerahkan asli SKD yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority 
        Jepang, kepada Perseroan yang ditunjuk sebagai pemungut pajak dan menyerahkan 
        fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Perseroan terdaftar.
    c.  Apabila BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas 
        penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada 
        angka 1, dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% x 25% atau 5% (lima 
        persen) dari jumlah bruto.
    d.  Apabila BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) mempunyai BUT di Indonesia, dan saham yang 
        dialihkan merupakan bagian dari harta atau dikuasai BUT tersebut, maka atas penghasilan 
        yang diterima atau diperoleh BCA (Jepang) dan CBA (Jepang) dari pengalihan saham 
        sebagaimana tersebut pada angka 1, dikenakan pajak di Indonesia dengan tarif Pasal 17 
        Undang-undang Pajak Penghasilan.

Demikian untuk menjadi maklum.




A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,

ttd

SURJOTAMTOMO SOEDIRDJO
peraturan/sdp/827pj.3412003.txt · Last modified: 2023/02/05 20:01 by 127.0.0.1