User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:796pj.221984
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                   19 September 1984

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                         NOMOR S - 796/PJ.22/1984

                            TENTANG

              PAJAK PENGHASILAN ATAS JASA-JASA KONSULTAN ANGGOTA ABC (SERI PPh PASAL 23-11)

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berkenaan dengan surat XYZ tanggal 16 Agustus 1984 Nomor : XXX yang disampaikan kepada Bapak yang 
tembusannya juga disampaikan kepada kami, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.  Ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 mengatur tentang 
    pemotongan PPh oleh perusahaan dan badan atas pembayaran yang dilakukannya kepada tenaga ahli 
    dan/atau persekutuan tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (atau memberikan professional 
    service). Sesuai ketentuan Pasal 1 huruf r Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan 
    Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan "pekerjaan bebas" adalah pekerjaan yang 
    dilakukan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh 
    penghasilan yang tidak terikat oleh hubungan kerja.

2.  Mengingat jiwa ketentuan Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, pemotongan Pajak 
    Penghasilan berdasarkan kuasa Pasal 21 tersebut dilakukan apabila pihak yang menerima 
    pembayaran adalah Wajib Pajak Orang Pribadi ataupun persekutuan ("partnership") dari tenaga-
    tenaga ahli. Pengertian "persekutuan tenaga ahli" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) 
    huruf d adalah suatu persekutuan atau "partnership" yang terdiri dari beberapa orang pribadi yang 
    mempunyai keahlian tertentu yang dalam melakukan pekerjaannya masing-masing pribadi itu masih 
    sangat penting, misalnya persekutuan atau "partnership" beberapa orang dokter spesialis yang 
    membentuk klinik spesialis. Dengan demikian pengertian "persekutuan tenaga ahli" berbeda dengan 
    P.T. atau C.V. atas Saham-saham sebagai Subyek Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 
    ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Persekutuan tenaga ahli lebih banyak 
    merupakan assosiasi pribadi, sedang P.T. lebih banyak merupakan konsentrasi modal.

3.  Pasal 23 mengatur tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan (obyek pajak) 
    tertentu, yaitu penghasilan dari modal atau harta (bunga, dividen, royalti dan sewa) serta penghasilan 
    dari jasa-jasa tertentu (jasa teknik dan jasa manajemen). Yang dipersoalkan adalah berkenaan 
    dengan jasa-jasa. Berbeda dengan Pasal 21, maka yang menonjol dalam ketentuan Pasal 23 adalah 
    jenis-jenis penghasilan tertentu yang menjadi obyek pemotongannya. Masalah yang dapat timbul 
    adalah apabila pihak yang memberikan jasa itu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, sedangkan jasa 
    yang dilakukan tersebut itu adalah jasa yang menimbulkan jenis penghasilan sebagaimana diatur 
    dalam Pasal 23. Jadi PPh. Pasal 21 hanya berlaku untuk orang-orang pribadi (tenaga ahli), sedangkan 
    PPh Pasal 23 berlaku baik bagi orang pribadi maupun badan (usaha).
    Namun Wajib Pajak badan tidak dapat dikenakan PPh. Pasal 21 atau ketentuan tentang PPh Pasal 21 
    tidak dapat diterapkan atas badan.

4.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 655/KMK.04/1984 tanggal 3 Juli 1984 mengatur tentang 
    pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari 
    tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri berupa honorarium atau 
    pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia. Mengingat kaitannya dengan 
    Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 maka Surat keputusan Menteri Keuangan tersebut 
    hanya berlaku terhadap tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli apabila tenaga ahli atau persekutuan 
    tenaga ahli tersebut bertindak atas nama masing-masing pribadi sebagaimana dimaksud pada butir 1 
    di atas.

    Akan tetapi apabila tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli tersebut melakukan jasa sehingga 
    menimbulkan jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984, misalnya imbalan yang diterima untuk jasa teknik maka atas penerimaan tersebut 
    tetap harus dipotong PPh berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas 
    penghasilan bruto. Memang dasar pemotongan pajak antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah 
    berbeda. Pasal 21 ayat 2 memperkenankan pengurangan PTKP, jadi dasar pemotongan adalah 
    penghasilan kena pajak atau penghasilan netto dikurangi PTKP, PPh Pasal 23 harus dipotong dari 
    penghasilan bruto.

5.  Sebagai kesimpulan dari apa yang kami kemukakan dalam hubungan dengan surat ABC tersebut di 
    atas, maka yang perlu mendapat perhatian adalah masalah-masalah sebagai berikut :
    a.  Jasa konsultasi apa yang dilakukan.
    b.  Siapa yang memberikan jasa konsultasi tersebut : orang pribadi ataukah badan.

    Sehubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas terdapat beberapa kemungkinan sebagai 
    berikut :
    5.1.    Yang melakukan jasa adalah orang pribadi dan jasa yang dilakukannya bukanlah jasa 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, akan tetapi jasa yang dilakukan sehubungan dengan 
        jasa pribadi ("personel service"), maka atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepada 
        pemberi jasa dipotong PPh berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 jo 
        Keputusan Menteri Keuangan Nomor 655/KMK.04/1984 tanggal 3 Juli 1984.
    5.2.    Yang melakukan jasa adalah orang pribadi dan jasa yang dilakukannya termasuk dalam 
        pengertian jasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak 
        Penghasilan 1984, misalnya jasa teknik, maka atas imbalan yang diterima oleh pemberi jasa 
        dipotong PPh berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (dalam kasus ini 
        memang masih dapat dipersoalkan).
    5.3.    Yang melakukan jasa adalah badan dan jasa yang dilakukan tersebut tidak termasuk dalam 
        pengertian jasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak 
        Penghasilan 1984, maka terhadap imbalan yang diterima oleh badan yang memberikan jasa 
        tersebut tidak dilakukan pemotongan apapun.
    5.4.    Yang melakukan jasa adalah badan dan jasa yang dilakukan termasuk dalam pengertian jasa 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, maka atas 
        imbalan yang diterima oleh badan yang memberikan jasa tersebut dipotong PPh sesuai Pasal 
        23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Apabila pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan 
        terlalu besar dibandingkan dengan pajak yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang 
        bersangkutan, maka dalam sistem PPh sekarang masalah tersebut hanya dapat dengan cara 
        menunda pelunasan pajak selama tahun berjalan atau dengan cara menerbitkan Surat 
        Keterangan Bebas PPh Pasal 23.

Demikian tanggapan kami atas surat Ikatan Nasional Konsultan Indonesia.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

Drs. SALAMUN A.T
peraturan/sdp/796pj.221984.txt · Last modified: 2023/02/05 21:07 by 127.0.0.1