peraturan:sdp:752pj.5.21990
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 9 Juni 1990 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 752/PJ.5.2/1990 TENTANG PENJELASAN MENGENAI PPN ATAS JASA DRILLING DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara No. FAX 62/21/584-792 tanggal 5 Maret 1990 dan pertemuan penjelasan lisan dengan staf Direktorat PPN dan PTLL dalam bulan Mei 1990 dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Pertama-tama perlu dijelaskan kembali apa yang Saudara maksud dengan "de Facto Joint Venture" sebagai berikut : 1.1. Dalam hal dua badan usaha atau lebih mendirikan satu badan Joint Venture maka badan Joint Venture tersebut merupakan subyek PPN (Pengusaha Kena Pajak) apabila melakukan Penyerahan Kena Pajak, dan badan tersebut berkewajiban mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak, menerbitkan Faktur Pajak, mengisi SPT dan sebagainya. 1.2. Apabila dua badan atau lebih dalam rangka menyelesaikan suatu proyek mendirikan suatu jaringan usaha berbentuk Joint Operation, untuk tujuan pengenaan PPN dapat dilaksana- kan sebagai berikut : 1.2.1. Joint Operation dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak bila menutup kontrak atas namanya. Ini berarti bahwa Joint Operation tersebut berkewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak, menerbitkan Faktur Pajak, mengisi SPT dan sebagainya. 1.2.2. Sebaliknya apabila masing-masing anggota Joint Operation terpisah sama sekali satu dengan lainnya dan setiap anggota bebas berbuat dan bertanggung jawab, maka masing-masing anggota adalah Pengusaha Kena Pajak, dan Joint Operation bukan Pengusaha Kena Pajak. 1.3. Dalam hal suatu badan menutup kontrak dengan badan lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan ternyata ada pihak ketiga yang bertindak sebagai pelaksana kontrak (atas nama pihak kedua), maka dalam hal ini tidak ada ikatan Joint Operation maupun Joint Venture. Dalam surat Saudara keadaan ini Saudara sebut sebagai "de facto Joint Venture", sedangkan yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa pihak ke dua sebagai kontraktor dan pihak ketiga sebagai sub kontraktor. Pihak kedua dan pihak ketiga masing-masing adalah Pengusaha Kena Pajak sehingga berkewajiban memungut dan melaksanakan semua ketentuan perundang-undangan PPN. 2. Sesuai keadaan yang kami gambarkan pada angka 1.3. di atas, maka sub-kontraktor (pihak ketiga) mengenakan PPN atas transaksi yang dilakukan dengan pihak kedua (kontraktor) dan selanjutnya pihak kedua (kontraktor) membebankan PPN sehubungan jasa yang dilakukan kepada PERTAMINA/ Oil Company. Oleh karena PERTAMINA/Oil Company ditunjuk sebagai pemungut PPN/PPn.BM berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 TAHUN 1988, maka Pajak Keluaran pihak kedua (kontraktor) telah dilunasi pada saat menerima tagihan dari PERTAMINA/Oil Company, sehingga pihak kedua (kontraktor) dapat meminta kembali/restitusi Pajak Masukan yang dibayar antara lain kepada sub kontraktor. Sedang sub-kontraktor mengkreditkan Pajak Masukan yang ia bayar terhadap Pajak Keluaran yang dipungut dari kontraktor sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Berdasarkan keadaan yang Saudara gambarkan, ternyata bahwa pihak kedua (kontraktor) sama sekali tidak mempunyai sarana untuk melaksanakan kegiatan drilling, sehingga secara tehnis seluruh kegiatan drilling dilaksanakan oleh sub-kontraktor (pihak ketiga). Hal ini terjadi karena adanya ketentuan yang mengharuskan PERTAMINA/Oil Company untuk mengikat kontrak hanya dengan Badan Usaha Dalam Negeri. Oleh karena itu pada saat kontraktor mengajukan tagihan kepada PERTAMINA/Oil Company, pada Faktur Pajak dan SSP-nya supaya mencantumkan identitas (nama, alamat dan NPWP) pihak kedua sebagai kontraktor qq. identitas (nama, alamat dan NPWP) sub-kontraktor sebagai pihak ketiga, sehingga dengan demikian : 3.1. Sub kontraktor dapat mengklaim Pajak Keluaran yang dipungut PERTAMINA/Oil Company sebagai Pajak Keluaran yang dibayarnya, 3.2. Kontraktor tidak berhak mengklaim Pajak Keluaran sebagaimana disebut pada angka 3.1. sebagai Pajak Keluarannya, dan dengan demikian tidak mempunyai Pajak Masukan dari sub kontraktor, 3.3. Antara kontraktor dengan sub kontraktor tidak ada Penyerahan Kena Pajak, 3.4. Dalam hal kontraktor membebankan semacam jasa/penggantian (fee) kepada sub kontraktor maka kontraktor wajib memungut PPN atas jasa tersebut. 4. Masalah "mobilization & demobilization". Dalam pelaksanaan penarikan/pemindahan peralatan drilling (rig) dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : 4.1. Dalam hal biaya "mobilization & demobilization" termasuk dalam satu perjanjian/kontrak drilling secara keseluruhan, maka atas keseluruhan kegiatan tersebut dikenakan PPN. 4.2. Dalam hal jasa mobilization & demobilization tidak termasuk dalam perjanjian/kontrak drilling, maka : 4.2.1. bila kegiatan mobilization & demobilization dilaksanakan sendiri oleh kontraktor, atas kegiatan ini tidak terutang PPN karena semata-mata kegiatan tersebut diperlukan untuk melaksanakan kegiatan drilling, 4.2.2. bila kegiatan mobilization & demobilization dilaksanakan oleh pihak lain sebagai pengusaha jasa angkutan laut/darat, maka atas penyerahan jasa angkutan ini berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 28 TAHUN 1988 tidak terutang PPN, 4.2.3. bila dalam kegiatan "mobilization & demobilization" dibutuhkan peralatan pengangkutan yang harus disewa (bare-boat maupun time charter) maka atas jasa persewaan tersebut terutang PPN sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 TAHUN 1988 juncto angka 3 huruf f Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No. : PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989. Demikian agar Saudara maklum. DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. Drs. MAR'IE MUHAMMAD
peraturan/sdp/752pj.5.21990.txt · Last modified: 2023/02/05 06:00 by 127.0.0.1