peraturan:sdp:74pj.3122004
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 4 Februari 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 74/PJ.312/2004 TENTANG PENENTUAN "DEEMED ROYALTY" PENGGUNAAN HAK MERK DAGANG DAN PATEN PERUSAHAAN INDUSTRI FARMASI DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 3 Desember 2003 perihal Penentuan "Deem Royalty" Penggunaan Hak Merk Dagang dan Paten Perusahaan Industri Farmasi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan permasalahan klien Saudara (PT. ABC), sebagai berikut: a. Oleh Kantor Pelayanan Pajak PMA I telah diterbitkan SKPKB PPh Pasal 26 Nomor XXX tanggal 5 Juni 2003 dan SKPKB PPN Nomor XXX tanggal 5 Juni 2003 yang mengacu kepada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.222/1983 tanggal 14 September 1983 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-31/PJ.222/1979 tanggal 17 Oktober 1979 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.222/1981 tanggal 9 April 1981, tentang penentuan "Deemed Royalty" atas penggunaan merk dagang dan paten perusahaan industri farmasi; b. SE-18/PJ.222/1983 jo. SE-14/PJ.222/1981 dan SE-31/PJ.222/1979 tersebut adalah merupakan petunjuk pelaksanaan dari Ordonansi PPs 1925 dan UU PDBR 1970. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, Ordonansi PPs 1925 dan UU PDBR 1970 tersebut tidak berlaku; c. Saudara berpendapat dengan sudah tidak berlakunya Ordonansi PPs 1925 dan UU PDBR 1970, maka dengan sendirinya ketentuan pelaksanaannya juga tidak berlaku lagi (gugur demi hukum); d. Saudara mohon penegasan atas permasalahan tersebut. 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.222/1983 pada intinya menegaskan bahwa: a. royalti atas penggunaan hak merk dagang dan paten yang tidak dinyatakan dalam perjanjian tertulis yang dibayarkan oleh perusahaan industri farmasi di Indonesia, kepada pemilik merk dan paten (principal) di luar negeri besarnya tetap 3% (tiga persen) dari harga penjualan obat- obatan. Harga penjualan yang dimaksud di sini adalah harga penjualan atau nilai penjualan yang menggunakan merk dagang dan paten tersebut; b. deemed royalty yang dimaksudkan di atas tidak merupakan biaya yang dapat mengurangi laba kena pajak perusahaan industri farmasi yang bersangkutan, karena dianggap sudah termasuk ke dalam harga pembelian bahan baku obat-obatan yang dibayarkan kepada principal di luar negeri. 3. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terahir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh), antara lain diatur: a. Pasal 4 ayat (1) huruf h Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk antara lain penghasilan berupa royalti. Dalam penjelasan ayat tersebut, dijelaskan bahwa pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari 3 kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan: 1) Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; 2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (rig), dan sebagainya; 3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi disini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. b. Pasal 26 ayat (1) huruf c Atas penghasilan royalti yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. c. Pasal 34 Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. 4. Berdasarkan Pasal 11 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, diatur: Angka 1 Royalti yang berasal dari salah satu Negara yang dibayarkan kepada penduduk Negara lain dapat dikenakan pajak di Negara lainnya itu. Angka 2 Namun demikian, royalti itu dapat juga dikenakan pajak di negara tempat royalti itu berasal sesuai dengan undang-undang negara itu, tetapi apabila penerima royalti memperoleh hasil tersebut dari hak yang dimilikinya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor royalti tersebut. Angka 3 Istilah "royalti" yang dipergunakan dalam pasal ini berarti semua bentuk pembayaran yang diterima sebagai balas jasa atas penggunaan, atau hak menggunakan setiap hak cipta kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah-termasuk film sinematografi dan film atau pita (tape) untuk siaran radio atau televisi -paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus atau cara pengolahan yang dirahasiakan, atau penggunaan atau hak menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan. Namun demikian, istilah tersebut tidak mencakup pembayaran untuk pemberian jasa teknis. 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut: a. Pada prinsipnya Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh) menganut azas material sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PPh; b. Sesuai dengan Pasal 34 UU PPh, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.222/1983 tanggal 14 September 1983 yang dijadikan dasar untuk penerbitan SKPKB PPh Pasal 26 Nomor XXX tanggal 5 Juni 2003 dan SKPKB PPN Nomor XXX tanggal 5 Juni 2003 merupakan penegasan dari ketentuan Ordonansi PPs 1925 yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam UU PPh dan juga tidak bertentangan dengan P3B yang berlaku; c. Ketentuan sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.222/1983 tanggal 14 September 1983 tersebut hanya berlaku dalam kondisi tertentu, yaitu apabila: 1) Dalam perjanjian tertulis pembelian bahan baku dengan pihak principal di luar negeri, tidak terdapat klausul mengenai kewajiban pembayaran royalti atas penggunaan merek dagang dan paten; dan 2) Dalam penjualan produk farmasi yang menggunakan bahan baku tersebut, nyata- nyata menggunakan merek dagang dan paten yang dimiliki oleh pihak principal. Demikian agar maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd SURJOTAMTOMO SOEDIRDJO
peraturan/sdp/74pj.3122004.txt · Last modified: 2023/02/05 18:15 by 127.0.0.1