peraturan:sdp:741pj.532005
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 15 Agustus 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 741/PJ.53/2005 TENTANG PERLAKUAN PPN ATAS JASA TEKNIK PERFILMAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Ketua Umum ABC nomor XXX tanggal 4 Maret 2005 hal Penegasan Jasa Teknik Perfilman Nasional Tidak Merupakan Jasa Kena Pajak, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut beserta lampirannya antara lain dikemukakan bahwa: a. Usaha jasa teknik perfilman meliputi: - studio pengambilan gambar; - sarana pembuatan film; - laboratorium pengolahan film; - sarana penyuntingan film; - sarana pengisian suara film; - sarana pemberian teks film; - sarana pencetakan/penggandaan film; dan - sarana lainnya yang mendukung pembuatan film. b. Jasa teknik perfilman tersebut merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan film nasional sehingga apabila tiap-tiap penyerahan jasa tersebut dikenakan PPN akan terjadi pengenaan pajak berganda yang tidak dapat berfungsi sebagai Pajak Masukan mengingat pertunjukan film di gedung bioskop tidak dikenakan PPN karena sudah dikenakan Pajak Hiburan/Pajak Tontonan. c. Pengenaan PPN atas penyerahan jasa teknik perfilman dalam negeri akan mendorong produser film untuk menggunakan jasa serupa dari luar negeri dimana film akan diproses di luar negeri sehingga tidak menjadi objek PPN. d. Atas jasa teknik perfilman pernah diberikan penegasan melalui surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-711/PJ.32/1989 tanggal 26 Mei 1989 hal Penegasan Jasa Teknik Perfilman Nasional Tidak Merupakan Jasa Kena Pajak, yang menegaskan bahwa sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 TAHUN 1988 jo. Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-139/PJ.63/1989, jasa teknik perfilman belum termasuk di antara jenis usaha yang harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan karenanya belum terutang Pajak Pertambahan Nilai. e. ABC kembali menerima penegasan dari Direktur Jenderal Pajak dengan surat Nomor S-479/PJ.53/1996 tanggal 19 Februari 1996 hal Jasa Teknik dalam Perfilman Nasional, yang menyatakan bahwa penegasan sebagaimana tercantum dalam surat pada huruf b di atas masih berlaku. f. ABC memohon agar atas jasa teknik perfilman tetap tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 2. Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 18 TAHUN 2000, antara lain mengatur: a. Pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. b. Pasal 1 angka 19 menyatakan bahwa Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. c. Pasal 3A ayat (1) menyatakan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. d. Pasal 3A ayat (2) menyatakan bahwa Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). e. Pasal 4 huruf c menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. f. Pasal 4A ayat (3) jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, menetapkan jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jasa-jasa dimaksud meliputi: - jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; - jasa di bidang pelayanan sosial; - jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; - jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; - jasa di bidang keagamaan; - jasa di bidang pendidikan; - jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; - jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; - jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; - jasa di bidang tenaga kerja; - jasa di bidang perhotelan; dan - jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. Dengan demikian, jasa teknik perfilman tidak termasuk di antara jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. g. Pasal 4 huruf e menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. h. Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. i. Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. j. Pasal 9 ayat (4) menyatakan bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. k. Pasal 9 ayat (8) antara lain menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk: - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; - perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; - pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana; - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5); - pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan Pajak; - perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, antara lain mengatur: a. Pasal 1 menyatakan bahwa Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). b. Pasal 2 menyatakan bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. c. Pasal 3 menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. d. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. e. Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya. f. Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal Pengusaha tidak melakukan kewajiban sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). g. Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimulai sejak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 4. Sebagaimana diketahui, peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sebelum berlakunya ketentuan pada butir 2 dan butir 3, dalam kaitannya dengan penetapan jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, adalah sebagai berikut: a. Dalam periode berlakunya Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983: a.1. Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 jo. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1993, menetapkan bahwa jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa yang dilakukan oleh pemborong atau kontraktor. a.2. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 TAHUN 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Dilakukan oleh Pedagang Besar dan Penyerahan Jasa Kena Pajak di samping Jasa yang Dilakukan oleh Pemborong, menetapkan bahwa penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean Republik Indonesia dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh Pengusaha Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali: 1) jasa pelayanan dan perawatan kesehatan; 2) jasa pelayanan sosial; 3) jasa pelayanan pos dan giro; 4) jasa perbankan, asuransi, lembaga keuangan bukan bank, dan financial leasing; 5) jasa di bidang keagamaan; 6) jasa di bidang pendidikan; 7) jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial; 8) jasa penyiaran radio dan televisi; 9) jasa angkutan laut dan angkutan darat; 10) jasa angkutan udara luar negeri; 11) jasa tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja; 12) jasa perhotelan dan rumah penginapan; 13) jasa telepon umum coin-box, telegram, dan jasa penyewaan transponder luar negeri. Dengan demikian, jasa teknik perfilman dalam ketentuan di atas tidak ditetapkan sebagai jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Sesuai Pasal 5 angka 3, ketentuan ini mulai berlaku sejak 1 April 1988. a.3. Butir 1 Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989 tentang Pedagang Besar sebagai Pengusaha Kena Pajak, menyatakan bahwa berdasarkan PP Nomor 28 TAHUN 1988, terhitung mulai tanggal 1 April 1989, semua pedagang besar dan pengusaha jasa selain 13 jenis jasa yang dikecualikan adalah Pengusaha Kena Pajak. b. Dalam periode berlakunya Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994: b.1. Pasal 4A Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 jo. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 TAHUN 1999, menetapkan jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut: 1) jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; 2) jasa di bidang pelayanan sosial; 3) jasa di bidang pengiriman surat; 4) jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; 5) jasa di bidang keagamaan; 6) jasa di bidang pendidikan; 7) jasa di bidang kesenian; 8) jasa di bidang penyiaran; 9) jasa di bidang angkutan umum; 10) jasa di bidang tenaga kerja; 11) jasa di bidang perhotelan; 12) jasa di bidang telekomunikasi. Dengan demikian, jasa teknik perfilman dalam ketentuan di atas tidak ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 5. Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut. 6. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 sampai dengan butir 5, serta memperhatikan isi surat Saudara beserta lampirannya pada butir 1 di atas, dengan ini ditegaskan bahwa: a. Jasa teknik perfilman tidak termasuk di antara jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, dan karenanya atas penyerahan jasa teknik perfilman tersebut terutang PPN. b. Pada dasarnya, perlakuan pengenaan PPN atas jasa teknik perfilman nasional adalah sejak diberlakukannya ketentuan pada butir 4 huruf a subhuruf a.2, yaitu sejak 1 April 1988. c. Dalam hal omset Pengusaha teknik perfilman dalam satu tahun buku melampaui batasan sebagai Pengusaha Kecil, maka Pengusaha yang bersangkutan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, untuk selanjutnya memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan atau PPn BM yang terutang atas kegiatan usahanya tersebut. d. Atas jasa teknik perfilman nasional tidak benar terdapat pengenaan pajak secara berganda, dan untuk mendukung penegasan ini kami ilustrasikan hal sebagai berikut: Untuk menghasilkan sebuah film, seorang produser film membutuhkan berbagai peralatan maupun jasa teknik perfilman. Apabila produser film tersebut menggunakan jasa teknik perfilman dari Pengusaha Kena Pajak lain, maka atas penyerahan jasa teknik perfilman tersebut terutang PPN dan wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan jasa tersebut, dimana bagi produser film PPN yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang tidak termasuk jenis-jenis pengeluaran dalam ketentuan pada butir 2 huruf k di atas. Selanjutnya, produser film sebagai Pengusaha Kena Pajak akan menghasilkan film yang merupakan Barang Kena Pajak yang akan diserahkan kepada pengusaha bioskop, dimana atas penyerahan film tersebut produser film wajib memungut PPN yang terutang dari pengusaha bioskop, dan PPN ini merupakan Pajak Keluaran bagi produser film. Dengan mekanisme PK-PM, produser film melaporkan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN. Apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh produser film sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sebaliknya, apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak Berikutnya. Dengan ilustrasi di atas dapat terlihat bahwa tidak ada pengenaan pajak secara berganda atas jasa teknik perfilman nasional. Pada sisi lain, mengingat jasa yang diserahkan oleh pengusaha bioskop merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN (bukan objek PPN), maka PPN yang telah dibayar oleh pengusaha bioskop atas pembelian film tidak dapat dikreditkan oleh pengusaha bioskop tersebut. Namun demikian, PPN dimaksud dapat dibiayakan oleh pengusaha bioskop. e. Kekhawatiran Saudara bahwa pengenaan PPN atas jasa teknik perfilman nasional akan mendorong makin banyaknya produser atau importir film untuk menggunakan jasa teknik perfilman dari luar negeri adalah tidak beralasan, mengingat atas pemanfaatan jasa teknik perfilman dari luar negeri di dalam negeri juga dikenakan PPN yang dalam hal ini pengenaannya dilakukan dengan cara dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan jasa teknik perfilman dari luar negeri tersebut. f. Dengan diberlakukannya ketentuan pada butir 2, khususnya penetapan pada huruf f butir tersebut, maka penegasan kami terdahulu dalam surat nomor S-711/PJ.32/1989 tanggal 26 Mei 1989 hal Penegasan Jasa Teknik Perfilman Nasional Tidak Merupakan Jasa Kena Pajak dan nomor S-479/PJ.53/1996 tanggal 19 Februari 1996 hal Jasa Teknik dalam Perfilman Nasional, menjadi tidak berlaku karena tidak lagi sesuai dengan ketentuan perundang- undangan perpajakan yang berlaku. g. Dengan demikian, permohonan Saudara agar atas jasa teknik perfilman tidak dikenakan PPN tidak dapat kami kabulkan. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR PPN DAN PTLL ttd. A. SJARIFUDDIN ALSAH
peraturan/sdp/741pj.532005.txt · Last modified: 2023/02/05 06:20 by 127.0.0.1