User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:668pj.221986
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                      20 Mei 1986

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                         NOMOR S - 668/PJ.22/1986

                            TENTANG

         PENEGASAN MENGENAI BERBAGAI MASALAH YANG TIMBUL DI KANWIL I DJP SUMBAGUT

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan kunjungan Sdr. Direktur Pajak Langsung ke Sumatera Utara pada tanggal 12 Mei 1986, 
dalam rangka untuk memperoleh umpan balik berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang Pajak 
Penghasilan 1984, bersama ini diberikan penegasan mengenai berbagai masalah yang timbul di Kantor Wilayah 
I sebagai berikut :

I.  SPT
    1.  Atas SPT kempos dapat dilakukan pengamatan di lapangan oleh petugas Dinas Luar, untuk 
        mengetahui masih ada tidaknya Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Pajak 
        memenuhi persyaratan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 947/KMK.04/1983, maka 
        NPWP tersebut dapat dihapus. Akan tetapi perlu mendapat perhatian dan harus dijaga, agar 
        Wajib Pajak yang memang masih ada tidak ikut dihapus juga.

        Mengenai penggarisan pelaksanaan pengamatan di lapangan itu sendiri sedang disusun dan 
        akan segera disampaikan kepada Saudara.

    2.  Undang-undang tidak mengharuskan blanko SPT dikirim kepada Wajib Pajak. Tetapi dalam 
        masa peralihan ini, demi pelayanan, blanko SPT masih perlu dikirimkan kepada Wajib Pajak.
        Keterlambatan penyampaian kembali SPT tahunan akibat terlambatnya diterima blanko SPT 
        oleh Wajib Pajak, tidak dikenakan denda administrasi, karena bukan kesalahan Wajib Pajak.

    3.  Apabila Wajib Pajak melakukan perbaikan SPT tahunan, dan kemudian dari SPT perbaikan 
        tersebut Wajib Pajak menyatakan lebih bayar, maka jangka waktu penyelesaian selama 12 
        (dua belas) bulan dihitung sejak semua kelengkapan persyaratan SPT perbaikan tersebut 
        telah dipenuhi, atau sejak SPT perbaikan disampaikan apabila semua kelengkapan 
        persyaratan telah dipenuhi.

        Atas SPT perbaikan demikian harus diprioritaskan untuk diperiksa secara teliti.

    4.  Apabila dari hasil penelitian atau pemeriksaan ternyata jumlah kelebihan pajak lebih besar 
        daripada jumlah kelebihan yang tercantum dalam SPT Tahunan, maka jumlah kelebihan pajak 
        menurut hasil penelitian atau pemeriksaan itulah yang harus dikembalikan atau 
        diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.

    5.  SPT PPh Pasal 21 menyatakan lebih bayar, akan tetapi tidak mengajukan permintaan untuk 
        diperhitungkan dengan setoran masa bulan-bulan berikutnya, karena Pemotong Pajak yang 
        bersangkutan bubar.

        Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pajak menurut hasil penelitian atau pemeriksaan, atas 
        permintaan dikembalikan kepada pihak yang diberi kuasa untuk itu.

    6.  Dalam SPT Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar Rp. 10 juta. Ternyata setelah 
        diperiksa terdapat kelebihan pajak sebesar Rp. 20 juta. Apabila pengembalian pajak dilakukan 
        setelah lewat jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKKPP diterbitkan, maka bunga atas 
        keterlambatan pengembalian pajak sebesar 2% sebulan dihitung atas dasar Rp. 20 juta.

    7.  Sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-01/PJ.BT5/1986, 
        SPT Tahunan langsung ditatausahakan di Seksi PTU dalam berbagai pencatatan, sedangkan 
        untuk keperluan pengawasan pembayaran, Seksi Penetapan seharusnya mempunyai data 
        besarnya PPh Pasal 25 yang terhutang tiap bulan, yang justru berada di Seksi PTU.

        Sambil menunggu pengaturan kembali mengenai prosedur dan tata laksana SPT Tahunan, 
        untuk keperluan pengawasan pembayaran PPh Pasal 25, maka kepada Seksi Penetapan agar 
        dikirimkan photo copy Buku Register Penerimaan SPT Tahunan dari Seksi PTU.

    8.  Untuk penyelesaian SPT 1985 lebih bayar, masih berlaku penggolongan Wajib Pajak seperti 
        diatur dalam Seri I Crash Program.

II. STP
    1.  Pembetulan STP
        Sehubungan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-151/PJ.2/1986, sebelum 
        ada keputusan yang berisi pengaturan mengenai prosedur dan tata laksana pembetulan STP, 
        untuk sementara dilakukan sebagai berikut :
        1.1.    Pembetulan STP ditangani oleh Seksi Keberatan.
        1.2.    Formulir yang dipergunakan seperti bentuk terlampir (Lampiran I).

    2.  Pengertian "selektif" dalam penerbitan STP diserahkan kepada Kepala Inspeksi Pajak di 
        bawah pengawasan dan koordinasi Kepala Kantor Wilayah atasannya dengan 
        memperhatikan :
        -   peranan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam penerimaan
        -   tenaga yang tersedia.

    3.  STP bagi Wajib Pajak baru.
        Untuk penanganan Wajib Pajak baru yang tidak memenuhi kewajiban PPh Pasal 25, dapat 
        dilakukan dengan 2 cara :
        -   berdasarkan informasi dari KP Data-9, atau
        -   kunjungan ke tempat Wajib Pajak

        Mengenai pelaksanaan kunjungan petugas ke tempat Wajib Pajak akan diatur lebih lanjut.

    4.  Sebelum STP diterbitkan, tidak perlu dikeluarkan Surat Peringatan dan Surat Tegoran, tetapi 
        langsung diterbitkan STP.

III.    PPh Pasal 21
    1.  PPh Pasal 21 atas honorarium dokter
        1.1.    Penghitungan PPh Pasal 21 atas dokter yang praktek di Rumah Sakit/Klinik, dilakukan 
            dengan menerapkan tarif 15% langsung atas honorarium atau pembayaran lain 
            sebagai imbalan atas jasa profesi dokter, mengingat yang dibayarkan oleh pihak 
            Rumah Sakit/Klinik itu sudah merupakan jumlah netto; pengurangan sehubungan 
            biaya untuk memberikan jasa tersebut tidak diberikan lagi dari jumlah yang diterima 
            dokter yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Keputusan 
            Menteri Keuangan nomor 356/KMK.04/1986 terlampir (Lampiran II).

        1.2.    Dalam hal jasa profesi dokter tersebut diberikan di tempat praktek dokter yang 
            bersangkutan, maka atas honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan jasanya 
            dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto 
            sebesar 40% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri 
            Keuangan nomor 356/KMK.04/1986.

    2.  Verifikasi PPh Pasal 21
        Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (7) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, setiap orang 
        yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan sehubungan dengan pekerjaan 
        yang secara benar dan tepat telah dipotong pajaknya, maka jumlah pajak yang dipotong 
        tersebut merupakan pelunasan pajak yang terhutang untuk tahun yang bersangkutan 
        berdasarkan undang-undang. Untuk mengetahui kebenaran dan ketepatan pemotongan pajak 
        oleh Pemotong Pajak, atas SPT PPh Pasal 21 perlu dilakukan verifikasi, dengan penggarisan 
        sebagai berikut :
        2.1.    SPT 1721 lebih bayar : penanganannya adalah sesuai dengan Surat Edaran Direktur 
            Jenderal Pajak nomor SE-46/PJ.23/1985 tanggal 5 Nopember 1985 (Seri PPh Pasal 
            21-21), yang dilakukan oleh Seksi Penetapan yang membidangi PPh Pasal 21.
        2.2.    SPT 1721 kurang bayar/nihil : penanganannya dilakukan dengan instruksi atau 
            persetujuan penelitian dan/atau pemeriksaan dari Direktur Jenderal Pajak.

    3.  Verifikasi PPd 17a
        3.1.    Wajib Pajak yang tidak mengajukan pengampunan, verifikasinya dilakukan oleh 
            Seksi Penetapan yang membidangi PPh Pasal 21, dengan memperhatikan hal-hal 
            sebagai berikut :
            a.  Yang diaudit oleh Akuntan Publik, pelaksanaannya adalah sesuai dengan 
                peraturan yang berlaku  sebagaimana diatur dalam Paket 27 Maret 1979.
            b.  Yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik, maka sebelum diverifikasi dilakukan 
                penelitian dan/atau pemeriksaan terlebih dahulu dengan persetujuan 
                Direktur Jenderal Pajak.

        3.2.    Permohonan restitusi kelebihan pemotongan PPd 17a oleh Wajib Pajak lokasi, tidak 
            dapat diberikan oleh Inspeksi Pajak lokasi.  Inspeksi Pajak lokasi dalam melakukan 
            verifikasi hanya sampai pada tahap penerbitan SPT KMP saja, dan 
            memberitahukannya kepada Inspeksi Pajak domisili. Dengan demikian restitusi 
            tersebut hanya dapat ditangani secara terpusat oleh Inspeksi Pajak domisili.

    4.  Sehubungan dengan penanganan SPT 1721 lebih bayar sebagaimana diatur dalam Surat 
        Edaran Seri PPh Pasal 21-21, pengisian kolom "Dikurangi dengan jumlah yang diperhitungkan
        " pada Nota Penghitungan PPh Pasal 21 (KP PPh 23) adalah sejumlah PPh Pasal 21 yang 
        dinyatakan lebih bayar menurut SPT 1721, tanpa memperhatikan, apakah jumlah tersebut 
        sudah diperhitungkan dengan setoran masa PPh Pasal 21 atau belum.

IV. PPh Pasal 25
    1.  Penyesuaian besarnya angsuran PPh Pasal 25
        Sebagaimana diketahui, ketentuan Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 
        mengandung arti "dinamis", artinya besarnya angsuran PPh Pasal 25 selalu dapat berubah, 
        sesuai perubahan yang terjadi atas dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25.
        Setiap kali ada perubahan atas dasar penghitungan tersebut, maka selalu harus ada 
        penyesuaian atas besarnya angsuran PPh Pasal 25.  Misalnya : untuk bulan Januari sampai 
        dengan Maret, karena SPT Tahunan belum disampaikan, angsuran PPh Pasal 25 sama 
        besarnya dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan 
        Desember).

        Apabila SPT Tahunan ataupun perkiraan besarnya pajak tahun pajak yang lalu telah 
        disampaikan dalam bulan Maret, maka PPh Pasal 25 mulai bulan Maret (yang harus dibayar 
        dalam bulan April) disesuaikan berdasarkan SPT Tahunan ataupun perkiraan yang 
        bersangkutan. Apabila dalam bulan Agustus terbit ketetapan pajak (tanpa memperhatikan 
        Tahun Pajaknya) yang jumlahnya lebih besar daripada dasar PPh Pasal 25 menurut SPT 
        Tahunan, maka mulai bulan Agustus (yang harus dibayar dalam bulan September) disesuaikan 
        lagi berdasarkan angka dalam ketetapan pajak; begitu seterusnya.

    2.  Yang menjadi dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran PPh Pasal 25, 
        menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah : pajak menurut 
        Surat Pemberitahuan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur 
        Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.

        Perlu diketahui bahwa "self assessment system" yang dianut oleh Undang-undang Pajak 
        Penghasilan 1984 itu harus didukung dengan "withholding" oleh pihak ketiga dan "audit", yang 
        keduanya mengandung unsur pengawasan.

        Menjadi pertimbangan pembuat Undang-undang Pajak, agar supaya dalam MPS yang 
        disalahartikan menjadi "membayar pajak seenaknya" tidak berulang kembali dalam era 
        perpajakan yang baru.

        Berhubung dengan itu, secara jelas diuraikan dalam penjelasan Pasal 25 ayat (2) Undang-
        undang Pajak Penghasilan 1984 itu, bahwa "Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan  
        oleh Direktur Jenderal Pajak, maka itu berarti, bahwa pajak yang terhutang menurut Surat 
        Pemberitahuan Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata 
        kurang dari apa yang seharusnya menurut Undang-undang. Dengan demikian, apabila ada 
        ketetapan pajak, maka pengertian Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya adalah 
        berdasarkan ketetapan pajak itu".

        Makna yang terkandung dalam penjelasan itu adalah untuk menjaga kepentingan Kas Negara, 
        agar supaya tidak terjadi angsuran PPh Pasal 25 secara seenaknya, berdasarkan angka SPT 
        Tahunan yang tidak benar.

        Perlu ditegaskan di sini, bahwa ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak 
        dapat berupa :
        SKP, SKPT, SKKPP atau SPb, asal jumlah pajak yang terhutang lebih besar daripada pajak 
        yang terhutang seperti tercantum dalam SPT Tahunan, yang menjadi dasar penghitungan 
        besarnya angsuran PPh Pasal 25.

        Perlu pula ditegaskan di sini, bahwa dalam pengertian "ketetapan pajak" termasuk juga 
        ketetapan pajak yang tercantum dalam SKP Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan.
    
        Dalam hal kemudian ternyata dasar penghitungan menurut SKP PPd/PPs jauh lebih tinggi dari 
        kenyataan yang sebenarnya, maka Wajib Pajak masih mempunyai kesempatan untuk 
        menggunakan upaya menurut Pasal 17 atau Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 42/1985.

    3.  Untuk pelaksanaan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 dengan benar, sebaiknya oleh Kepala 
        Inspeksi Pajak diberitahukan kepada Wajib Pajak, besarnya PPh Pasal 25 yang terhutang 
        setiap bulan, khususnya apabila ada perubahan seperti diuraikan pada butir 1. Hal ini 
        dirasakan masih perlu terutama dalam tahun-tahun pertama pelaksanaan sistem perpajakan 
        baru.

    4.  Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan, yang menjadi dasar penghitungan angsuran PPh 
        Pasal 25 adalah pajak yang terhutang yang tercantum dalam ketetapan pajak terakhir yang 
        dilakukan Kepala Inspeksi Pajak yang bersangkutan.

V.  Keberatan
    1.  Menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 35/1983, Wajib Pajak yang 
        mengajukan keberatan wajib menyebutkan jumlah pajak yang seharusnya terhutang menurut 
        penghitungannya.

        Dalam kaitan ini, berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (5) Undang-undang KUP, apabila 
        diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan tertulis hal-
        hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan pajak. Jangka waktu 12 
        (dua belas) bulan sejak diterimanya Surat Keberatan merupakan ketentuan yang mengikat 
        bagi Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusan atas Surat Keberatan, sesuai 
        ketentuan Pasal 26 ayat (5) KUP.

    2.  Mengingat keberatan atas pajak tahun 1983 dan sebelumnya dikaitkan dengan pengampunan 
        pajak, diberikan penegasan sebagai berikut :
        2.1.    Apabila Wajib Pajak mengajukan pengampunan pajak, tetapi tidak mau mencabut 
            permohonan banding, maka logis permohonan bandingnya akan diusulkan untuk 
            ditolak, karena dengan meminta pengampunan berarti Wajib Pajak mengakui bahwa 
            kewajiban pajaknya belum dipenuhi sebagaimana mestinya.
        2.2.    Apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi tidak pernah mau membuat 
            pernyataan bahwa tidak meminta pengampunan pajak, maka keberatannya tidak 
            perlu diproses lebih lanjut, dan penagihan aktif terus dijalankan.

    3.  Mengenai prosedur dan tata laksana penyelesaian keberatan berdasarkan perundang-
        undangan yang baru, sekarang masih dalam proses penggarapan.

VI. Tata laksana pengiriman data
    Mengenai penggunaan Buku Ekspedisi lembar ke-2 bukti pemotongan PPh Pasal 21/23/26 (KP PPh 19 
    A) dan Buku Ekspedisi lembar ke-2 bukti pemungutan PPh Pasal 22 (KP PPh 19 B) yang terlalu 
    memberatkan tugas pada tata laksana pengiriman data karena dibuat secara nominatip, sedangkan 
    KP Data 3a yang berdasarkan PIPD masih harus juga dikerjakan, saat ini masih menjadi bahan 
    pertimbangan Kantor Pusat dan sambil menunggu petunjuk lebih lanjut Saudara cukup menggunakan 
    KP Data 3a.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

Drs. SALAMUN A.T.
peraturan/sdp/668pj.221986.txt · Last modified: 2023/02/05 19:57 by 127.0.0.1