peraturan:sdp:503pj.3432004
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 29 Juni 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 503/PJ.343/2004 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS JASA TEKNIK LUAR NEGERI DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 11 Februari 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a. Perusahaan Saudara, PT. ABC, menggunakan jasa tenaga ahli dari XYZ untuk mengendalikan mutu dan kinerja dari produk dan mesin perusahaan saudara. Jasa diberikan di Jepang dan kadang-kadang di Indonesia. Atas jasa yang diberikan tersebut XYZ membebankan technical fee kepada perusahaan Saudara. b. Saudara menanyakan apakah jasa teknik yang diberikan oleh penduduk Jepang tersebut terutang pajak di Indonesia dikaitkan dengan aturan yang terdapat dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) RI-Jepang. 2. Pajak Penghasilan Pasal 26: Pasal 26 UU No. 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 TAHUN 2000 mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Pasal 26 ayat (1): "Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: a. dividen; b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan; f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya." b. Pasal 26 ayat (5): "Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali: a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap." 3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) RI-Jepang mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Pasal 5 ayat (5): "Suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan akan dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Negara Pihak pada Persetujuan lainnya apabila perusahaan tersebut memberikan jasa konsultasi atau jasa pengawasan sehubungan dengan konstruksi atau proyek instalasi bangunan melalui pegawai atau pekerja lainnya-selain agen yang bertindak bebas yang mana ketentuan ayat (8) berlaku-dimana kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung (untuk dua atau lebih proyek yang sama atau yang berhubungan) dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan dalam suatu tahun pajak. Namun apabila pemberian jasa-jasa tersebut dilakukan di bawah suatu persetujuan kerjasama ekonomi atau teknis antara Pemerintah dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan, perusahaan tersebut tidak akan dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Negara Pihak pada Persetujuan lainnya." b. Pasal 7 ayat (1): "Laba perusahaan dari Negara Pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak pada Negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara Pihak pada Persetujuan lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap." c. Pasal 12: (1) Royalti yang berasal dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara Pihak pada Persetujuan lainnya, dikenakan pajak di Negara lainnya itu. (2) Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara Pihak pada Persetujuan dimana royalti itu berasal, sesuai dengan perundang-undangan negara itu, tetapi apabila si penerima adalah pemilik royalti yang menikmatinya, pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor royalti. (3) Istilah "Royalti" yang digunakan dalam Pasal ini berarti segala bentuk pembayaran yang diterima sebagai balas jasa atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan setiap hak cipta kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film- sinematografi dan film atau pita-pita untuk siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau pengolahan, atau penggunaan atau hak menggunakan perlengkapan-perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk keterangan mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan. (4) Ketentuan-ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila penerima royalti yang merupakan penduduk suatu negara menjalankan usaha di negara lainnya di mana royalti itu berasal melalui suatu bentuk usaha tetap, atau melakukan pekerjaan bebas dengan suatu tempat tertentu dan hak atau kepemilikan dimana royalti tersebut dibayarkan memiliki hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap dimaksud. (5) Royalti dianggap berasal dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan, jika pembayaran royalti itu adalah Negara itu sendiri, pemerintah daerah/lokal atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila pembayaran royalti, tanpa memandang apakah ia merupakan penduduk suatu Negara atau bukan, memiliki bentuk usaha tetap atau tempat tetap di Negara lain dimana kewajiban membayar royalti timbul dan royalti itu dibebankan pada bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka royalti itu dianggap berasal dari Negara dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada. (6) Apabila karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar dan penerima royalti atau antara keduanya dengan pihak ketiga, maka jumlah royalti, dengan memperhatikan penggunaan, atas hak atau informasi dimana royalti itu dibayarkan, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan penerima seandainya tidak terdapat hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan pasal ini hanya akan berlaku terhadap jumlah yang disebut terakhir. Dalam hal demikian, jumlah pembayaran selebihnya tetap dikenakan pajak menurut perundang-undangan masing-masing Negara dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini. d. Pasal 22 ayat (1) "Bagian-bagian dari penghasilan penduduk Negara Pihak pada Persetujuan dari manapun asalnya, yang tidak diatur dalam pasal-pasal terdahulu dari Persetujuan ini hanya akan dikenakan pajak di Negara itu." 4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan P3B antara lain ditegaskan sebagai berikut: a. Surat Keterangan Domisili 1) WPLN wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang membayarkan penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan WPLN tersebut. 2) SKD diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara mitra runding. Namun demikian, SKD yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pelayanan Pajak tempat WPLN yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang dibuat Competent Authority. 3) Surat Keterangan Domisili berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk wajib pajak bank. Bagi wajib pajak bank Surat Keterangan Domisili tersebut berlaku selama bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan alamat yang tercantum dalam surat keterangan domisili. b. Sehubungan dengan ketentuan dalam P3B, atas jasa yang dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia tidak mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut. 5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut: a. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas (Pasal 5 ayat (5), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) P3B RI-Jepang), sepanjang jasa yang diberikan oleh XYZ adalah merupakan kegiatan jasa teknik yang tidak masuk dalam cakupan pengertian jasa sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (5) P3B RI-Jepang dan tidak masuk dalam cakupan pengertian royalti sebagaimana ketentuan Pasal 12 P3B RI-Jepang, sepanjang tidak terdapat bentuk usaha tetap (BUT) XYZ di Indonesia, maka atas pembayaran jasa teknik yang dilakukan oleh PT. ABC kepada XYZ tidak dikenakan PPh di Indonesia. b. Apabila, jasa teknik yang diberikan oleh XYZ dapat dikategorikan dalam pengertian royalti sebagaimana ketentuan Pasal 12 P3B RI-Jepang, maka atas pembayaran yang dilakukan oleh PT. ABC kepada XYZ harus dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 10% dari bruto pembayaran. c. Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut di atas, XYZ wajib menyerahkan asli SKD yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority di Jepang, kepada Perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut pajak dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan terdaftar. d. Apabila XYZ tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas pembayaran yang berhubungan dengan pemberian jasa teknik tersebut dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd HERRY SOEMARDJITO
peraturan/sdp/503pj.3432004.txt · Last modified: 2023/02/05 18:04 by 127.0.0.1