peraturan:sdp:488pj.3122003
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 24 Juli 2003 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 488/PJ.312/2003 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS JASA PENGEBORAN MINYAK (DRILLING) YANG DILAKUKAN OLEH BENTUK USAHA TETAP DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 7 Pebruari 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa: a. BUT XYZ telah menandatangani kontrak kerja sama dengan PT ABC untuk pengerjaan pengeboran minyak dan atau pengeboran ulang dengan beberapa Oil Company, antara lain sesuai dengan agreement adalah BCA, dalam rangka kontrak bagi hasil dengan PERTAMINA (Production Sharing Contract). Menurut kontrak kerja sama antara XYZ dengan PT ABC, pengerjaan fisik pengeboran dan pengeboran ulang termasuk penyediaan peralatan drilling (rig) dilaksanakan sepenuhnya oleh XYZ sedangkan PT ABC hanya bertindak sebagai perantara kontrak pengeboran minyak dan akan menerima imbalan berupa komisi sebesar 3% dari imbalan jasa pengeboran (drilling) yang diterima oleh XYZ dari Oil Company; b. Tagihan jasa pengerjaan pengeboran minyak dan atau pengeboran ulang oleh XYZ kepada Oil Company dilakukan dengan penerbitan komersial invoice oleh PT ABC sebagai pihak penagih dimana instruksi pembayaran ditujukan langsung ke rekening XYZ. XYZ, kemudian menerbitkan Faktur Pajak Keluaran dimana pada kolom "pembeli BKP/penerima JKP" mencantumkan nama PT ABC qq Oil Company. Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan nama dan alamat Oil Company, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukannya adalah Oil Company. PPN dipungut dan disetor oleh Oil Company selaku Badan Pemungut untuk dan atas nama XYZ. Pada Surat Setoran Pajak (SSP) PPN yang dibayarkan oleh pihak Oil Company dicantumkan nama PT ABC qq XYZ; c. PT ABC kemudian menagih komisi sebesar 3% dari imbalan jasa kepada XYZ segera setelah tagihan jasa drilling dikirimkan ke Oil Company. PT ABC selaku kontraktor utama/agen memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, menyetorkan serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku; d. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Saudara mohon penegasan mengenai: 1) Apakah pada saat Oil Company membayar imbalan jasa drilling kepada XYZ, Oil Company yang bersangkutan tidak perlu memotong PPh Pasal 23 karena jasa drilling tersebut dilakukan oleh BUT sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002? 2) Apakah untuk imbalan jasa perantara (komisi) yang dibayar oleh XYZ kepada PT ABC harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 6% dari jumlah imbalan komisi yang diterima? 3) Apakah penggunaan "konsep QQ" pada Faktur Pajak dan SSP yang dilakukan oleh XYZ sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku? 2. Pajak Penghasilan: a. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. b. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991, antara lain diatur bahwa: 1) Pasal 1 ayat (1), penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto; 2) Pasal 1 ayat (2), penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan; 3) Pasal 3 ayat (1), Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diwajibkan untuk menyelenggarakan pencatatan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan pengeluaran-pengeluaran yang wajib dilakukan pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan. c. Dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur/ditetapkan sebagai berikut: 1) Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah: a) jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap; b) jasa perantara; 2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dan untuk jasa perantara adalah sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 3) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. d. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ.31/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991, ditegaskan bahwa apabila kontraktor drilling hanya semata-mata melakukan jasa pengeboran, maka jasa tersebut bukan merupakan Objek PPh Pasal 23, tetapi kontraktor drilling dapat juga melakukan jasa teknik (seperti melakukan analisa data seismik). Dengan demikian bila Pertamina maupun kontraktor Kontrak Bagi hasil/Kontrak Karya membayarkan imbalan atas jasa teknik (misalnya berupa survey geofisika, analisa data seismik dan sebagainya), maka atas pembayaran jasa dimaksud wajib dipotong PPh Pasal 23/26. 3. Pajak Pertambahan Nilai: a. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa: 1) Pasal 1 angka 23, Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2) Pasal 13 ayat (1), Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c. 3) Pasal 13 ayat (5) dan penjelasannya, dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat: a) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut; f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g) Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. b. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Badan-badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, antara lain diatur bahwa: 1) Pasal 1, dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Badan-badan tertentu adalah PERTAMINA, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang minyak, gas bumi, panas bumi, dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah termasuk Bank Pemerintah dan Bank Daerah, dan Bank Indonesia. 2) Pasal 2 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Badan-badan tertentu dipungut dan disetor oleh Badan-badan tertentu baik Kantor Pusat, Cabang-cabang maupun Unit-unitnya yang melakukan pembayaran atas tagihan rekanan atas nama rekanan yang bersangkutan. 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat diberikan penegasan bahwa: a. Pajak Penghasilan: 1) Atas pembayaran imbalan jasa pengeboran (drilling) dari BCA kepada XYZ tidak dipotong PPh Pasal 23, namun atas penghasilan tersebut XYZ dikenakan Pajak Penghasilan yang dihitung dengan menerapkan tarif umum Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak (deemed profit) sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto; 2) Atas pembayaran komisi (jasa perantara) dari XYZ kepada PT ABC dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN; b. Pajak Pertambahan Nilai: 1) Atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak baik yang terkait dengan Operating Agreement antara XYZ dengan PT ABC maupun Drilling Contract antara PT ABC dengan BCA, wajib dibuat Faktur Pajak. Dengan demikian, atas penyerahan oleh XYZ berupa rig, peralatan-peralatan, tenaga operasional dan staf, bahan baku/material, dan manajemen operasi dalam rangka Drilling Contract, XYZ wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT ABC yang merupakan Faktur Pajak Keluaran bagi XYZ dan Faktur Pajak Masukan bagi PT ABC. Selanjutnya PT ABC juga wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada BCA yang merupakan Faktur Pajak Keluaran bagi PT ABC dan Faktur Pajak Masukan bagi BCA, dan dalam hal ini PPN yang terutang dipungut dan disetor oleh BCA dengan menggunakan SSP atas nama rekanan (PT ABC). 2) Dengan demikian dalam pengisian Faktur Pajak oleh XYZ maupun pengisian SSP untuk kepentingan pemungutan dan penyetoran oleh BCA atas nama PT ABC, tidak dapat menggunakan metode qq, melainkan dengan cara sebagaimana pada angka 1) di atas. Demikian penegasan kami untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL, DIREKTUR, ttd IGN MAYUN WINANGUN
peraturan/sdp/488pj.3122003.txt · Last modified: 2023/02/05 06:27 by 127.0.0.1