peraturan:sdp:486pj.511994
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 11 Februari 1994 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 486/PJ.51/1994 TENTANG PEMBAYARAN KEMBALI PPN KARENA PERUSAHAAN MELAKUKAN PENGGABUNGAN USAHA (MERGER) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 6 Desember 1993 perihal tersebut di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf d angka1) Undang-undang PPN 1984 termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP adalah : huruf e) : pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma ; huruf f) : persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan. 2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf d angka 2) huruf c) Undang-undang PPN 1984 beserta penjelasannya bahwa pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, yang dimaksud dengan perusahaan atau bagian-bagiannya adalah aktiva yang menurut tujuannya semula tidak untuk dijual (misalnya Barang Modal). 3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989 jumlah PPN yang telah diberikan penangguhan harus disetor kembali ke Kas Negara, apabila barang modal sebagaimana tersebut pada Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan tersebut ternyata : a. digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai ketentuan Pasal 1; b. dijual atau dipindahtangankan baik sebagian maupun seluruhnya sebelum habis nilai bukunya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 ; c. PPN yang ditangguhkan tersebut dikreditkan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989 tersebut besarnya PPN yang harus disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Keputusan Menteri Keuangan tersebut, sebanding dengan besarnya nilai buku berdasarkan Undang-undang PPh pada saat terjadinya penyimpangan penggunaan atau pemindahtanganan barang modal yang bersangkutan. 4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1441b/KMK.04/1989 dalam hal barang modal dipindahtangankan, Pajak Masukan yang telah dikreditkan harus dibayar kembali. 5. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1441b/KMK.04/1989 dalam hal terjadi pemindahtanganan atau perubahan penggunaan barang modal untuk kegiatan lain diluar kegiatan usaha bagi PKP yang memperoleh penangguhan pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989, maka PPN yang semula telah diberikan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan tersebut, harus dibayar kembali. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1441b/KMK.04/1989 penghitungan dan tata cara pembayaran jumlah PPN yang harus dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam keputusan ini. 6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 485/KMK.01/1986 tanggal 4 Juni 1986 telah dicabut dan diganti dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor : 554/KMK.01/1992 tanggal 1 Juni 1992. Ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 485/KMK.01/1986 maupun Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 554/KMK.01/1992 adalah merupakan tatacara yang memberikan kemudahan untuk memperoleh fasilitas penangguhan PPN dan PPn BM atas barang dan bahan asal impor yang dipergunakan dalam pembuatan komoditi ekspor. Sedangkan tatacara untuk memperoleh fasilitas penangguhan pembayaran PPN atas Impor atau Perolehan Barang Modal tertentu diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989 tanggal 29 Mei 1989, yang pelaksanaannya dilakukan oleh BKPM atau Direktorat Jenderal Pajak, tidak dikaitkan dengan pembebasan Bea Masuk. 7. Sesuai dengan butir X angka 1 Lampiran Surat Persetujuan BKPM Nomor : 06/III/PMDN/1992 tanggal 6 Januari 1992 disebutkan bahwa fasilitas perpajakan yang sedang dinikmati perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam merger tersebut dihentikan terhitung pada tanggal Surat Persetujuan merger tersebut. Butir X angka 2 Lampiran surat persetujuan tersebut hanya menyebut fasilitas Bea Masuk dan tidak menyebut pungutan pabean lainnya. 8. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan penjelasan tersebut, maka dengan bergabungnya PT. XYZ. kedalam PT. ABC, dapat kami berikan penegasan sebagai berikut : 8.1. Pengertian barang yang dipergunakan dalam pembuatan komoditi ekspor menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 485/KMK.01/1986 yang kemudian diganti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 554/KMK.01/1992 tidak termasuk barang modal sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989 maupun Nomor : 1441b/KMK.04/1989. Jadi pemberian pembebasan Bea Masuk atas barang modal sebagaimana dimaksud dalam butir X angka 2 Lampiran Surat Persetujuan BKPM Nomor : 06/III/PMDN/1992 tanggal 6 Januari 1992 tidak berarti secara otomatis harus pula diberikan pembebasan PPN/PPn BM. 8.2. Dalam penggabungan usaha (merger) dengan menggunakan metode apapun termasuk metode penyatuan kepentingan, memang benar terhadap barang modal yang dipindahtangankan tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak dikenakan PPN (Pajak Keluaran), namun bila atas impor barang modal yang dipindahtangankan tersebut pernah mendapat fasilitas penangguhan PPN (Pajak Masukan) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989, maka PPN yang ditangguhkan tersebut harus dibayar kembali sesuai dengan ketentuan seperti pada butir 3 dan 5. Demikian pula bila atas barang modal yang dipindahtangankan tersebut pada saat perolehannya membayar PPN (Pajak Masukan) dan telah dikreditkan, maka PPN (Pajak Masukan) atas barang modal tersebut harus dibayar kembali sesuai dengan ketentuan seperti pada butir 4. Adapun PPN yang harus dibayar kembali adalah sebesar prosentase harga sisa buku berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 pada awal tahun pajak terjadinya pemindahtanganan barang modal dikalikan dengan PPN (Pajak Masukan) yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 8 Keputusan Menteri keuangan Nomor : 1441b/KMK.04/1989. 8.3. Sesuai dengan ketentuan pasal 1 huruf d angka 1) huruf f UU PPN 1984, sisa persediaan BKP pada saat merger terutang PPN oleh PT XYZ.Apabila pada saat penyerahan sisa persediaan BKP tersebut PT XYZ. masih berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (Pengukuhan PKP belum dicabut), maka PT XYZ. masih berhak membuat Faktur Pajak, sehingga Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi PT ABC. Walaupun pada saat penyerahan BKP tersebut tidak dibuatkan Faktur Pajak, PPN masih tetap terutang oleh PT XYZ. Demikian agar Saudara maklum. A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA ttd SUNARIA TADJUDIN
peraturan/sdp/486pj.511994.txt · Last modified: 2023/02/05 06:31 by 127.0.0.1