User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:480pj.3132001
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                   11 September 2001

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 480/PJ.313/2001

                            TENTANG

                  PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal 12 Juli 2001 perihal sebagaimana pada pokok surat 
di atas, maka dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:

1.  Dalam surat tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
    a.  PT ABC bergerak dalam bidang jasa telekomunikasi, dimana dalam menjalankan usahanya 
        banyak mempergunakan perangkat yang diperoleh baik dengan cara menyewa atau 
        membangun RBS yang dilakukan oleh kontraktor (jasa kontruksi) serta menggunakan jasa 
        lain.

    b.  Dikarenakan krisis moneter PT ABC tidak mampu untuk membayar kewajiban secara 
        keseluruhan atas jasa sewa, jasa kontsruksi dan jasa lain sesuai dengan ketentuan dalam 
        kontrak. Untuk itu, PT ABC mengusahakannya dengan melakukan pembayaran secara 
        cicilan/angsuran. Pada saat melakukan pembayaran cicilan PT ABC secara otomatis 
        melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan jumlah yang dibayarkan.

    c.  Pembukuan PT ABC menganut metode "accrual basis", maka seluruh hutang/kewajiban 
        dicatat pada saat menerima tagihan/invoice.

    d.  Untuk tahun pajak tahun 1995 sampai dengan tahun pajak 1999, PT. ABC telah diperiksa 
        oleh Karikpa Jakarta Dua, KPP Jakarta Mampang dan Kanwil IV DJP Jaya I dan telah 
        diterbitkan SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2) atas pengadaan jasa tersebut 
        dengan alasan bahwa atas jasa tersebut sudah merupakan objek pajak pada waktu 
        kewajiban tersebut dicatat dan dinikmati hasilnya.

    e.  Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Saudara menanyakan hal-hal sebagai berikut:
        1)  Apakah sistem pemotongan PPh Pasal 23 dan Pasal 4 ayat (2) menggunakan sistem 
            accrual basis atau cash basis;
        2)  Apakah SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) dapat dijadikan SSP atas 
            bukti pemotongan yang pembayaran kewajibannya dilakukan setelah adanya 
            SKPKB;
        3)  Apabila SKPKB tersebut dapat dianggap sebagai SSP, bagaimana tata caranya 
            sehingga SKPKB tersebut dapat dijadikan bukti pembayaran pajak untuk lampiran 
            bukti potong ke kantor pajak;
        4)  Atas keterlambatan pembayaran kewajiban tersebut, PT. ABC dikenakan denda oleh 
            pihak pemberi jasa dan oleh fiskus denda atas keterlambatan tersebut dikenakan 
            pajak sebesar 15%, apakah denda atas keterlambatan pembayaran termasuk objek 
            pajak.

2.  Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan 
    Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 
    2000 diatur bahwa yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat 
    ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan 
    pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

3.  Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan 
    sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 diatur bahwa yang 
    menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima 
    atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat 
    dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan 
    nama dan dalam bentuk apapun, termasuk bunga. Pengertian bunga termasuk premium, diskonto, 
    dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

4.  Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 2 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang 
    Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 
    2000 diatur bahwa atas penghasilan berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) 
    huruf f, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan 
    pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, 
    atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk 
    usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15%.

5.  Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 138 TAHUN 2000 tentang 
    Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan dan 
    memori penjelasannya diatur sebagai berikut:
    a.  Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, 
        Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan 
        dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, 
        tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.

    b.  Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti : 
        bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat yang 
        ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa 
        manajemen/jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya.

    c.  Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya 
        sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong 
        atau memungut Pajak Penghasilan.

6.  Berdasarkan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 
    2000 tentang penentuan tanggal jatuh tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat 
    pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara 
    Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak diatur bahwa pemotong dan pemungut 
    Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah   terakhir 
    dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda 
    bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan 
    yang dipotong atau dipungut.

7.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ.22/1987 tanggal 21 April 1987 tentang 
    pengertian "terhutang" yang dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984 menegaskan bahwa pengertian "dibayarkan atau terhutang" haruslah dikaitkan 
    dengan metode pembukuan pihak pemotong pajak, apakah mempergunakan metode "cash basis" 
    atau "accrual basis".

8.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
    a.  Pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan 
        Pajak Penghasilan dikaitkan dengan peristiwa atau keadaan mana yang lebih dulu terjadi 
        antara saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan ("accrued") tersebut. Apabila 
        pembukuan pemotong pajak mempergunakan metode "accrual basis", maka pembebanan 
        imbalan jasa-jasa yang menjadi objek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan 
        telah terutang PPh Pasal 23, atau Pasal 26 atau Pasal 4 ayat (2) meskipun belum dilakukan 
        pembayarannya.

    b.  SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) merupakan koreksi terhadap pemotong 
        PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) karena yang bersangkutan tidak melaksanakan 
        kewajiban memotong pajak penghasilan tersebut. SKPKB tersebut harus dilunasi paling 
        lambat satu bulan setelah tanggal penerbitannya.

        Berdasarkan SKPKB tersebut Saudara harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23, Pasal 
        26, dan Pasal 4 ayat (2) atas imbalan yang dibayarkan kepada pemberi jasa dan 
        memberikan bukti pemotongannya. Perlu dijelaskan bahwa PPh yang dipotong tersebut 
        merupakan pembayaran pendahuluan yang kemudian dapat dikreditkan oleh pihak yang 
        dipotong.

    c.  Denda keterlambatan pembayaran kewajiban yang dibayarkan oleh PT. ABC kepada pihak 
        pemberi jasa termasuk dalam pengertian bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 
        (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan, sehingga atas imbalan yang diterima atau 
        diperoleh pihak pemberi jasa berupa pembayaran denda keterlambatan pembayaran 
        tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah 
        bruto.

Demikian untuk dimaklumi.




A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR,

ttd

TAUFIEQ HERMAN
peraturan/sdp/480pj.3132001.txt · Last modified: 2023/02/05 06:29 by 127.0.0.1