peraturan:sdp:40pj.3121999
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 19 Maret 1999 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 40/PJ.312/1999 TENTANG DRAFT PERJANJIAN PINJAMAN ADB DALAM RANGKA PROYEK HNSDP DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan rapat tanggal 17 Pebruari 1999 di Bappenas mengenai persiapan negosiasi proyek HNSDP, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Materi matrix yang berkaitan dengan perpajakan dalam Policy Matrix yang kami terima dalam rapat tersebut terdapat pada butir 2 huruf d. sebagai berikut : "Actions before 31 March 2000 - A working group will be established in the Ministry of Finance (MOF), with participation from other concerned agencies, to review income tax laws and regulations to assess the feasibility of allowing corporate expenditures on employee health care and qualifying expenditures on health promotion and preventive health care (including health insurance premia and the investment and recurrent costs for improving occupational health and safety of employees), and individual expenditures on health insurance premia, to be deducted from pre-tax income for purposes of calculating income tax liabilities. - The government will evaluate the recommendations of the above working group during the next review of the income tax law and, to the extent feasible, incorporate such recommendation in appropriate ministerial decrees or in draft legislation to amend the laws and regulation on income tax." 2. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 diatur bahwa premi asuransi kesehatan yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai Penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Dengan demikian apabila premi asuransi tersebut dibayar/ ditanggung pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan adalah penghasilan yang merupakan obyek pajak. 3. Pada waktu pertemuan bulan Januari yang lalu dengan ADB yang diwakili oleh Willie Frazer dan Phillip Stokoe hanya membahas masalah kemungkinan pembebanan sebagai biaya oleh perusahaan atas pembayaran premi asuransi kesehatan karyawan dan pembayaran premi kepada karyawan tersebut bukan sebagai penghasilan bagi karyawan, dan tidak menyinggung mengenai investasi/ pengeluaran di bidang kesehatan lainnya seperti yang tercantum dalam Matrix yaitu : a) Biaya pemeliharaan kesehatan karyawan, b) Biaya yang berkenaan dengan health promotion, c) Biaya yang berkenaan dengan preventive health care, termasuk premi asuransi kesehatan dan investment and recurrent cost for improving occupational health and safety of employees, d) Premi asuransi yang dibayar oleh orang pribadi. Pada waktu itu telah dijelaskan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, pembebanan secara menyeluruh atas pengeluaran yang berkaitan dengan asuransi kesehatan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mengusulkan agar rumusan dalam Policy Matrix diubah menjadi sebagai berikut : "Actions before 31 March 2000 The Government will study the feasibility of allowing qualifying health insurances premia as corporate expenditures within the review of income tax law." Demikian untuk dimaklumi. DIREKTUR JENDERAL ttd A. ANSHARI RITONGA
peraturan/sdp/40pj.3121999.txt · Last modified: 2023/02/05 20:13 by 127.0.0.1