peraturan:sdp:397pj.2002
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 30 Agustus 2002 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 397/PJ./2002 TENTANG PENEGASAN ATAS BEBERAPA PERMASALAHAN BPPN YANG MENYANGKUT BIDANG PERPAJAKAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sebagai tindak lanjut Nota Kesepakatan antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tertanggal 3 Juni 2002 dan sehubungan dengan hasil pertemuan pertama tim BPPN-DJP pada tanggal 19 Juni 2002 yang telah membahas beberapa permasalahan di bidang perpajakan, dengan ini perlu diberikan penegasan sebagai berikut: Permasalahan 1. Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan a. Permohonan Keberatan Bank Beku Kesulitan dalam pengajuan keberatan disebabkan karena: - Keterlambatan penerimaan SKP; - Keputusan keberatan tidak mempertimbangkan kondisi bank beku. BPPN mengusulkan: - Keterlambatan penerimaan SKP pada bank Beku dapat masuk dalam kriteria force majeur; - Dilakukan proses keberatan dan atau peninjauan kembali secara terpusat di Kantor Pusat DJP (termasuk tindak lanjut keberatan yang terlambat diajukan). b. Pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cabang-cabang bank beku Terdapat inefisiensi pelaporan pajak atas cabang bank beku di seluruh Indonesia karena tidak terdapat SDM yang menangani langsung. BPPN mengusulkan: - NPWP Cabang Bank Beku dapat dihapuskan secara terpusat; - Kewajiban dan permasalahan pajak cabang-cabang bank beku akan dilakukan oleh kantor pusat masing-masing. 2. Bidang Pajak Penghasilan a. Aspek pajak atas biaya pengelolaan bank beku Terdapat biaya bank beku yang pajaknya dibayarkan atas nama BPPN BPPN mengusulkan: - Pembayaran pajak a.n. BPPN dapat diakui sebagai pelunasan kewajiban pemotongan pajak bank beku. b. Pengalihan Aset Debitur Kendala dalam proses pengalihan hak di notaris antara lain pelunasan kewajiban pajak oleh debitur (PPh penjualan) atas penjualan NCA yang berasal dari Asset Settlement. BPPN mengusulkan: - Untuk syarat permohonan pendaftaran tanah (pengalihan hak) di notaris cukup adanya pemberitahuan dari BPPN ke KPP yang mengeluarkan fasilitas penundaan. 3. Bidang PPN dan PTLL Pengalihan Aset Debitur Aktiva eks debitur developer tidak tercakup dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-546/PJ/2000 mengenai penangguhan PPN atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak diperjual belikan. BPPN mengusulkan: - Aktiva yang menurut tujuan semula diperjual-belikan milik debitur yang bergerak di bidang Developer dapat masuk dalam kriteria asset yang dapat ditangguhkan PPNnya. 4. Bidang PBB dan BPHTB Pajak Bumi dan Bangunan atas asset yang dikuasai BPPN a. Diperlukan SPPT dari KP PBB secara lebih cepat. BPPN mengusulkan: - Nota Menteri Keuangan mengenai Kerja Sama antara BPPN dan DJP dapat ditindaklanjuti. b. Adanya perbedaan antara data di SPPT dengan bukti kepemilikan (sertifikat) BPPN mengusulkan: - Adanya mekanisme konfirmasi data tanah. c. Pengajuan penghapusan denda PBB. BPPN mengusulkan: - Kebijakan penghapusan denda PBB. d. PBB Induk Apartemen. BPPN mengusulkan: - Diperlukan prosedur pemecahan PBB induk apartemen. 5. Bidang Pemeriksaan dan Penagihan Pajak a. Pemeriksaan Pajak Bank Beku Pemeriksaan pajak atas bank beku tidak mempertimbangkan kondisi bank yang telah dibekukan. BPPN mengusulkan: - Kebijakan pemeriksaan khusus untuk bank beku dan dilakukan secara terpusat oleh Kantor Pusat DJP. b. Asset debitur yang menjadi objek sita Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Tunggakan/Penagihan pajak oleh DJP, yaitu status tunggakan pajak debitur terkait dengan asset yang akan dijual. BPPN mengusulkan: - DJP dapat memberikan informasi tunggakan pajak dan proses penagihan pajak debitur. Penegasan DJP 1. Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan a. Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000 (UU KUP), keterlambatan penerimaan SKP yang berakibat keterlambatan penyampaian permohonan keberatan sepanjang dapat dibuktikan, dapat dipertimbangkan sebagai keadaan di luar kekuasaan (force majeur) Wajib Pajak; Sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku, proses penyelesaian keberatan dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Wajib Pajak terdaftar, atau di Kantor Wilayah (Kanwil) atasannya, masing-masing sesuai dengan batasan kewenangan yang telah ditentukan. Untuk kasus keberatan bank beku yang meliputi beberapa bidang masalah yang proses penyelesaiannya dilakukan di beberapa kantor DJP, dapat dilakukan koordinasi oleh Kanwil atasan; b. Sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku, permohonan pencabutan NPWP cabang-cabang perusahaan yang sudah tidak aktif yang terdaftar di berbagai KPP, dilakukan oleh Kantor Pusatnya dengan mengajukan permohonan kepada masing-masing KPP dimana cabang- cabang perusahaan terdaftar. Apabila jumlah cabang yang akan dicabut NPWP-nya cukup banyak, permohonan pencabutan NPWP dapat pula diajukan melalui Kanwil atasan atau KPDJP (dalam hal lintas Kanwil), agar dapat dilakukan koordinasi terhadap proses penyelesaian oleh masing-masing KPP yang berwenang; c. Untuk kemudahan dan percepatan proses penyelesaian keberatan dan pencabutan NPWP serta masalah lainnya, diminta agar BPPN membuat daftar rincian Wajib Pajak beserta cabang-cabang perusahaannya masing-masing yang mempunyai permasalahan yang sedang diproses dan atau harus diproses di berbagai kantor DJP dengan disertai data/informasi mengenai alamat lengkap, NPWP, KPP tempat Wajib Pajak/cabang terdaftar, dan spesifikasi permasalahan masing-masing. Daftar dimaksud agar selekasnya disampaikan kepada kami untuk dapat segera ditindaklanjuti sesuai ketentuan/prosedur yang berlaku. 2. Bidang Pajak Penghasilan a. Bedasarkan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh), atas biaya/pengeluaran yang dilakukan oleh BPPN berupa jasa konsultan yang menangani Wajib Pajak bank beku tertentu atas permintaan dan untuk kepentingan BPPN, sepanjang merupakan biaya/pengeluaran dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak bagi Wajib Pajak bank beku yang bersangkutan dan dikenakan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajaknya. Atas pembayaran fee jasa konsultan tersebut BPPN wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 sesuai ketentuan yang berlaku; b. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf c dan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-141/PJ/1999 tanggal 21 Juni 1999 tentang Pengakuan Penghasilan dari Pengalihan Harta/Agunan Berupa Tanah dan/atau Bangunan Bagi Wajib Pajak Tertentu, saat pengakuan penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan milik debitur yang langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada Bank Dalam Penyehatan, BPPN, dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN, termasuk Bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan dengan Fasilitas Bank Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditunda sampai dengan pihak BPPN mengalihkan harta tersebut kepada pembeli yang sebenarnya; c. Bedasarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 TAHUN 1999, nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan milik debitur kepada pembeli pihak ketiga definitif yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebesar 5%, adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan, kecuali: - dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah, adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; - dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, adalah nilai menurut risalah lelang tersebut. 3. Bidang PPN dan PTLL a. Berdasarkan Pasal 16 D Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 (UU PPN), diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan; b. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-546/PJ./2000 tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan dan Restrukturisasi Utang Usaha, diatur bahwa yang dimaksud dengan Penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan dari debitur kepada kreditur (Bank Kreditur dan atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam rangka program: - Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA)/Badan Penyehatan Perbankan Nasional; - Indonesian Initiative (Prakasa Jakarta) - Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA); atau - Jakarta Initiative (Prakasa Jakarta) yang merupakan penyerahan yang bersifat sementara dan bukan untuk dimiliki. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) diatur bahwa atas penyerahan aktiva tersebut belum terutang Pajak Pertambahan Nilai; c. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyerahan yang belum terutang Pajak Pertambahan Nilai adalah yang termasuk dalam aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Sedangkan yang termasuk dalam barang dagangan tidak termasuk yang mendapat fasilitas belum terutang Pajak Pertambahan Nilai, dengan demikian atas penyerahan barang tersebut tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai. 4. Bidang PBB dan BPHTB a. Pada dasarnya objek pajak PBB yang diajukan oleh BPPN dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: (1) Objek pajak yang sudah terdaftar dan telah terekam dalam basis data KP PBB, sehingga sudah mempunyai Nomor Objek Pajak (NOP). Atas objek ini penerbitan SPPTnya relatif lebih mudah; (2) Objek Pajak yang belum terdaftar dan belum terekam dalam basis data KP PBB, sehingga tidak mempunyai Nomor Objek Pajak (NOP). Atas objek ini penerbitan SPPTnya memerlukan prosedur baku sebagaimana diatur dalam ketentuan pendaftaran dan pendataan objek PBB. Apabila data yang diberikan tidak lengkap (misal, tidak ada NOP, nama WP), maka proses penerbitan SPPTnya juga akan mengalami hambatan. Untuk mengatasi hal ini proses pencarian dalam basis data harus dilakukan dengan menggunakan indikator atau variable yang lain, misalnya nama pemilik/WP, NPWP, alamat lengkap letak OP; b. Penghapusan sanksi administrasi telah diatur dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000. Menurut ketentuan tersebut denda dapat dihapuskan atau dikurangkan apabila memenuhi persyaratan formal dan material bahwa timbulnya sanksi tersebut bukan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; c. Dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Rumah Susun, maka atas unit hunian apartemen dapat diterbitkan SPPT untuk masing-masing sertifikat. Secara formal permohonan pemecahan PBB induk apartemen menjadi SPPT PBB masing-masing unit tidak ada masalah. Permohonan pemecahan dapat diajukan ke Kantor Pelayanan PBB dimana letak objek pajak berada; d. Guna memenuhi permohonan BPPN atas data objek PBB yang dalam status penyitaan, maka perlu klarifikasi beban yang tertanggung atas objek tersebut apabila dilakukan penjualan. Kantor Pusat DJP akan memberikan data dimaksud berikut besarnya tunggakan yang harus dibayar setelah mengkompilasi data yang diperoleh dari Kantor Pelayanan PBB di seluruh Indonesia yang wilayahnya terdapat objek sebagaimana dimaksud; e. Setiap peristiwa hukum dari perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang berada dalam program penyehatan perbankan (BPPN) terutang BPHTB dan harus dilunasi pada saat perolehan. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran maka dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan terhitung sejak saat terutang untuk paling banyak 24 bulan (48%). Atas dasar peraturan pelaksanaan yang ada saat ini, untuk BPHTB belum dimungkinkan untuk diberikan penundaan pembayaran BPHTB. 5. Bidang Pemeriksaan dan Penagihan Pajak a. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.7/2001 tanggal 6 Juni 2001, diatur bahwa: - Wajib Pajak Bank, Lembaga Pembiayaan dan Asuransi, serta Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pemusatan tempat terutang PPN dapat langsung dilakukan pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi oleh UP3 Wajib Pajak Domisili tanpa harga meminta UP3 Wajib Pajak Lokasi untuk melakukan pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi (butir V huruf b); - Dalam hal-hal tertentu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang domisilinya berbeda dengan lokasi usahanya harus dilakukan pemeriksaan terintegrasi di bawah koordinasi Direktur P4 dengan mempertimbangkan usul dari UP3 Wajib Pajak Domisili (butir V huruf b); - Pemeriksaan Terintegrasi yaitu pemeriksaan yang dilaksanakan dengan pertukaran data dan informasi dari para Wajib Pajak terperiksa yang terdapat hubungan yang terintegrasi seperti Wajib Pajak Domisili dengan Wajib Pajak Lokasi atau dari Wajib Pajak-Wajib Pajak terperiksa yang ada hubungan usaha dan finansial (butir I huruf 9); b. Berdasarkan ketentuan tersebut, khusus untuk pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak Bank Beku dapat dilakukan pemeriksaan terpusat dan terintegrasi oleh Fungsional Pemeriksa Pajak dengan jenis Pemeriksaan Lengkap. Pemeriksaan tersebut harus meliputi kewajiban perpajakan Wajib Pajak domisili dan Wajib Pajak lokasi sehingga dapat diketahui jumlah pajak terutang di domisili maupun di lokasi. Hasil pemeriksaan tersebut harus sekaligus mencakup pemeriksaan pencabutan NPWP. Berdasarkan hasil laporan pemeriksaan tersebut, KPP Domisili dan KPP Lokasi yang bersangkutan melakukan pencabutan NPWP; c. Permintaan informasi tunggakan pajak dan proses penagihan pajak debitur dapat dilakukan langsung oleh BPPN kepada KPP terkait dengan tembusan kepada Direktur P4; d. BPPN memotong atau memungut pajak atas penjualan asset Wajib Pajak/Penanggung Pajak baik melalui lelang atau transaksi lainnya sesuai Pasal 28 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, karena KPP/KPPBB tidak dapat melanjutkan penagihan sampai dengan penyitaan mengingat harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berada dalam penguasaan BPPN. Demikian penegasan kami, harap maklum. DIREKTUR JENDERAL, ttd HADI POERNOMO
peraturan/sdp/397pj.2002.txt · Last modified: 2023/02/05 06:32 by 127.0.0.1