peraturan:sdp:33pj.422003
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 20 Januari 2003 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 33/PJ.42/2003 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS TRANSAKSI SAHAM YANG DIMILIKI PERUSAHAAN DI MAURITIUS DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan pertanyaan Saudara melalui faksimili yang kami terima pada hari Selasa, 14 Januari 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam lembar faksimili tersebut Saudara meminta penegasan atas hal berikut: a. Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi saham perusahaan-perusahaan di Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan yang bermarkas di Mauritius, sebuah negara bebas pajak. Apakah transaksi tersebut bebas pajak atau tidak; b. Apabila transaksi tersebut di atas bebas pajak, berapa potential loss-nya. 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur: Pasal 23 ayat (1) butir a angka 1), atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; Pasal 26 ayat (1) huruf a, atas dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan; Pasal 26 ayat (2), atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. 3. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 TAHUN 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 TAHUN 1994 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek, besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek adalah 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan dan bersifat final. 4. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan yang diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham, antara lain diatur: Ayat (1), atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto; Ayat (2), terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia; Ayat (3), besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual; Ayat (4), pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final. 5. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 TAHUN 1998 tentang Pengesahan Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Republic of Mauritius for The Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion With Respect to Taxes on Income, diatur antara lain: Article 10 : Dividen 1. Dividends paid by a company which is a resident of a Contracting State to a resident of the other Contracting State may be taxed in that other state. 2. However, such dividends may also be taxed in the Contracting State of which the company paying the dividends is a resident and according to the laws of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the dividends, the tax charged shall not exceed: (a) 5 per cent of the gross amount of the dividends if the beneficial owner is a company which holds at least 20 per cent of the capital of the company paying the dividends; (b) 10 per cent of the gross amount of the dividends in all other cases. The competent authorities of the Contracting States shall settle the mode of application of these limitations by mutual agreement. This paragraph shall not affect the taxation of the company in respect of the profits out of which the dividends are paid. Article 13 : Capital Gains 1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of immovable property referred to in Article 6 and situated in the other Contracting State may be taxed in that other State. 2. Gains from the alienation of movable property forming part of the business property of permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or of movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services including such gains from the alienation of such a permanent establishment (alone or together with the whole enterprise) or of such fixed base, may be taxed in that other State. 3. Gains derived by an enterprise of a Contracting State from the alienation of ships or aircraf operated in international traffic or movable property pertaining to the operation of such aircraft shall be taxable only in that State. 4. Gains from the alienation of any property other that referred to in paragraphs 1, 2 and 3, shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident. 6. Sesuai Pasal 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), ditegaskan bahwa untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 berdasarkan P3B dilaksanakan sebagai berikut: a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar; b. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 berdasarkan P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut; c. Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak-pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya. 7. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut: a. Dalam hal perusahaan di Mauritius menjual saham perusahaan Indonesia yang dimilikinya, maka sesuai dengan P3B Indonesia-Mauritius, atas penghasilan yang diterimanya tidak terutang PPh Pasal 26. Hak pemajakan atas transaksi tersebut ada pada Pemerintah Mauritius sepanjang perusahaan tersebut berkedudukan di Mauritius yang harus dibuktikan dengan Certificate of Domicile dari competent authority atau Kantor Pajak yang berwenang di Mauritius (lihat angka 6 surat ini). b. Dalam hal Subjek Pajak dalam negeri menjual sahamnya melalui bursa efek, penghasilan yang diterima atas penjualan saham tersebut terutang PPh final sebesar 0,1% dari jumlah bruto transaksi. c. Dalam hal Subjek Pajak luar negeri dari negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia menjual saham perusahaan Indonesia yang dimilikinya, atas penghasilan bruto yang diterimanya terutang PPh Pasal 26 sebesar 1%. d. Dalam hal perusahaan di Mauritius menerima dividen dari perusahaan Indonesia, maka hak pemajakannya ada pada Pemerintah Mauritius. Namun demikian, Pemerintah Indonesia juga dapat memotong pajak atas penghasilan tersebut apabila Undang-undang yang berlaku mengatur demikian, tetapi apabila si penerima dividen adalah pemilik yang menikmatinya, maka pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi 5% dari jumlah bruto dividen dalam hal pemilik yang menikmatinya adalah sebuah perusahaan yang kepemilikan sahamnya pada perusahaan Indonesia tersebut sekurang-kurangnya 20% dari modal, dan tidak boleh melebihi 10% dalam hal/kondisi lainnya. e. Dalam hal Subjek Pajak dalam negeri menerima dividen, atas dividen tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Namun apabila pemilik saham adalah badan usaha dengan kepemilikan saham minimal 25% dan ada usaha aktif, maka dividen yang berasal dari laba ditahan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. f. Dalam hal Subjek Pajak luar negeri dari negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia menerima dividen dari perusahaan Indonesia, atas jumlah bruto dividen yang diterimanya terutang PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto. g. Potential loss sebagaimana yang Saudara maksud dapat dihitung dengan cara membandingkan kemungkinan transaksi salam dan pembayaran dividen sebagaimana dijelaskan pada huruf a sampai f di atas. Demikian penegasan kami harap maklum. DIREKTUR, ttd SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN
peraturan/sdp/33pj.422003.txt · Last modified: 2023/02/05 05:53 by 127.0.0.1