User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:325pj.3122000
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                 1 Agustus 2000

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 325/PJ.312/2000

                             TENTANG

           PERMOHONAN PENEGASAN DAN PETUNJUK MENGENAI PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS 
                CONTRACT MANUFACTURING AGREEMENT ATAS NAMA PT. MATTEL INDONESIA

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 14 Maret 2000 dan lampiri antara lain Laporan atas 
Perjanjian Contract Manufacturing (Maklon) antara PT. XYZ Indonesia dengan XYZ Eropa, B.V (EMTC) yang 
berkedudukan di Belanda dan Laporan Analisa Perbandingan atas Pabrikan-pabrikan Maklon di Timur Jauh oleh 
Ernst & Young LPP, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.  Dalam surat tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut :
    a.  PT. XYZ merupakan perusahaan penanaman modal asing yang berorientasi ekspor dan telah 
        mandapatkan status "Kawasan Berikat" (KB). Dalam menjalankan usahanya, PT XYZ 
        menerapkan contract manufacturing agreement (perjanjian maklon) dengan satu-satunya 
        pelanggan diluar negeri dan merupakan milik saham mayoritas PT XYZ yaitu Mattel Eropa, 
        B.V (ETMC). Atas jasa pengolahan produk untuk kepentingan EMTC, PT XYZ mendapat 
        imbalan maklon sebesar 5% dari local value added (LVA) yang terdiri dari biaya tenaga kerja 
        dan overhead. Adapun bahan baku yang diolah merupakan milik EMTC sehingga dalam 
        pembukuannya dicatat sebagai consigned material (CM). 

    b.  Seluruh produk yang dihasilkan PT XYZ adalah untuk diekspor dan atas kegiatan ini, 
        peraturan kepabeanan mewajibkan PT XYZ mempergunakan Pemberitahuan Ekspor Barang 
        (PEB) seperti juga eksportir lainnya yang bukan pabrikan maklon, yang nilainya meliputi 
        seluruh komponen biaya (bahan baku, tenaga dan overhead. Sebagai akibat dari ketentuan 
        ini, nilai ekspor yang tercantum dalam PEB berbeda dengan penghasilan usaha yang diakui 
        oleh PT XYZ.

    c.  Pengadaan bahan dan komponen diperoleh dari pemesan yaitu EMTC atau EMTC meminta 
        kepada PT XYZ selaku agen pembeliannya, untuk membeli bahan dan komponen tersebut dari 
        pemasok-pemasok yang telah disetujui oleh dan atas tanggungan EMTC sepenuhnya. Sesuai 
        perjanjian maklon, hak kepemilikan dan resiko atas bahan dan komponen-komponen tersebut 
        tetap berada pada EMTC. EMTC juga menanggung seluruh biaya yang diperlukan untuk 
        perolehan bahan dan komponen yang antara lain meliputi harga beli barang, pengangkutan, 
        suransi, dan resiko barang rusak atau hilang.

    d.  Penetapan harga yang diterapkan oleh Mattel adalah metode cost-plus pricing untuk semua 
        pabrikan di seluruh dunia termasuk PT XYZ Untuk keperluan tersebut, atas permintaan Mattel, 
        Ernst & Young LLP telah melaksanakan studi perbandingan atas laba operasi dari maklon di 
        negara-negara Timur Jauh. Hasil studi perbandingan menunjukan bahwa marjin yang diterima 
        oleh pabrikan-pabrikan maklon tersebut berkisar antara 0,97% sampai 7,33% dari biaya yang 
        terjadi. Berdasarkan hal tersebut, Mattel berkesimpulan bahwa marjin 5% merupakan harga 
        pasar yang wajar.

    e.  Berdasarkan uraian diatas, Wajib Pajak meminta penegasan sebagai berikut :
        1)  Bahwa perjanjian maklon (contact manufacturing agreement) baik antara dua Wajib 
            Pajak dalam negeri maupun antara Wajib Pajak dalam negeri dengan Wajib Pajak 
            luar negeri merupakan pengaturan bisnis yang dapat diterima (acceptable business 
            arangement).
        2)  Bahwa nilai ekspor yang tercantum dalam PEB tidak sama dengan pendapatan untuk 
            penghitungan Pajak Penghasilan badan (PPH Pasal 25/29).
        3)  Bentuk pencatatan dan penagihan (invoicing) tidak akan menimbulkan 
            kesalahpahaman dari pihak-pihak instansi terkait.
        4)  Bahwa atas jasa imbalan maklon yang seluruh produknya diekspor dikenakan tarif 
            0%.

2.  Pajak Penghasilan :

    a.  Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah 
        terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 antara lain mengatur :
        1)  Pasal 4 ayat (1) : Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan 
            ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia 
            maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk 
            menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam 
            bentuk apapun. Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah penghasilan 
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)

        2)  Pasal 6 ayat (1) : Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri 
            dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :
            a)  Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
            b)  Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud dan amortisasi atas 
                pengeluaran harta tidak berwujud;
            c)  iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disyahkan oleh Menteri 
                Keuangan;
            d)  Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan 
                digunakan dalam perusahaan;
            e)  Kerugian karena kurs uang asing;
            f)  Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
            g)  Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
            Yang tidak dapat dikurangkan adalah pengeluaran dan biaya sebagaimana dimaksud 
            dalam Pasal 9 ayat (1)

        3)  Pasal 18 ayat (3) : Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya 
            penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk 
            menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai 
            hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan 
            kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

        4)  Pasal 18 ayat (4) : hubungan istimewa terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai 
            penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) 
            atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan 
            penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, 
            demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

    b.  Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia-Belanda antara lain mengatur :
        1)  Pasal 5 ayat (5) : bahwa orang atau badan pada salah satu negara dalam 
            Persetujuan yang bertindak atas nama suatu perusahaan di negara lainnya dalam 
            Persetujuan selain agen yang berdiri sendiri, dianggap sebagai suatu bentuk usaha 
            tetap di negara yang disebut pertama apabila :
            a)  memiliki kuasa dan biasa melaksanakannya untuk menutup kontrak di 
                Negara yang disebut pertama atas nama perusahaan, kecuali jika 
                kegiatannya terbatas pada pembelian barang atau barang dagangan bagi 
                keperluan perusahaan;
            b)  mempunyai kebiasaan untuk mengurus persediaan barang-barang atau 
                barang dagangan di Negara yang disebut pertama dan secara teratur 
                menyerahkan barang-barang atau barang dagangan tersebut atas nama 
                perusahaan.

        2)  Pasal 15 ayat (1) : dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 16, 18, 19, 20 dan 
            21, gaji, upah dan balas jasa lainnya yang sejenis yang diperoleh seorang penduduk 
            dari salah satu negara pihak dalam Persetujuan berkenaan dengan suatu pekerjaan 
            dalam hubungan perburuhan hanya akan dikenakan pajak di negara tersebut, kecuali 
            jika pekerjaan yang bersangkutan dilaksanakan di negara lainnya dalam Persetujuan. 
            Jika pekerjaan tersebut dilakukan demikian maka imbalan yang diperoleh dari 
            pekerjaan tersebut dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut.

        3)  Pasal 15 ayat (2) : meskipun terdapat ketentuan pada ayat 1 di atas balas   jasa yang 
            diperoleh seorang penduduk salah satu negara pihak dalam Persetujuan sehubungan 
            dengan pekerjaan dalam hubungan perburuhan yang dilakukan di negara lainnya 
            dalam hubungan perburuhan yang dilakukan di negara dengan perburuhan yang 
            dilakukan pajak di negara lainnya dalam Persetujuan hanya akan di negara yang 
            disebut pertama jika :
            a)  penerima balas jasa berada di Negara lainnya tersebut selama suatu masa 
                atau gunggungan masa tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan; dan
            b)  balas jasa tersebut dibayar oleh untuk seorang pemberi kerja yang bukan 
                merupakan penduduk negara lainnya dalam Persetujuan tersebut, dan
            c)  balas jasa tersebut tidak menjadi beban suatu tempat usaha tetap atau suatu 
                tempat tetap yang dimiliki pemberi kerja di negara lainnya tersebut.

    c.  Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk 
        Penanganan Kasus-kasus Transfer Princing antara lain ditegaskan bahwa untuk meminimalkan 
        atau mengurangi praktik penghindaran/penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer 
        princing antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa perlu mengatur lebih lanjut 
        dengan memberikan pedoman penanganan kasus-kasus transfer princing dan perlakuan 
        perpajakannya. Salah satu contoh kasus transfer princing untuk menentukan harga pasar 
        yang wajar dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar yang sebanding 
        untuk barang yang sejenis atau serupa adalah dengan menggunakan pendekatan harga pokok 
        plus (kost plus method).

    d.  Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan :
        1)  Kepemilikan saham mayoritas PT XYZ oleh EMTC berakibat pada terjadinya hubungan 
            istimewa.

        2)  Sebagai pabrikan maklon yang hanya membuat produk atas dasar pesanan dan 
            dengan bahan-bahan serta spesifikasi dari EMTC (termasuk mempunyai kebiasaan 
            untuk mengurus persediaan bahan baku atau barang jadi dan secara teratur 
            menyerahkan barang jadi tersebut atas nama EMTC kepada pelanggan, PT XYZ 
            merupakan dependent agent dari EMTC. Dengan demikian EMTC memiliki BUT 
            Indonesia.

        3)  Sebagai entitas yang terpisah dari EMTC, PT XYZ merupakan Wajib Pajak dalam 
            negeri dan juga BUT yang berkewajiban perpajakannya disamakan dengan Wajib 
            Pajak dalam negeri. Dalam kaitannya sebagai Wajib Pajak dalam negeri, yang 
            menjadi Objek Pajak Penghasilan PT XYZ adalah penghasilan yang diperoleh sebagai 
            imbalan atas jasa maklon yaitu sebesar 5% (lima persen) dari local added value 
            (LAV) yang terdiri dari biaya overhead dan biaya tenaga kerja. Sedangkan yang 
            menjadi Objek Pajak BUT adalah jumlah peredaran usaha seperti yang tercantum 
            dalam PEB dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan sesuai dengan Pasal 6 
            ayat (1) UU PPh.

        4)  Atas imbalan jasa maklon sepanjang telah mencerminkan harga yang wajar (arm's 
            length price) dapat diterima sebagai penghasilan PT XYZ sebagai WP dalam negeri, 
            sehingga perbedaan antara nilai ekspor dalam PEB dan pendapatan yang didasarkan 
            pada kontrak manufacturing agreement tidak dapat dijadikan dasar untuk 
            mengoreksi pendapatan dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri.

        5)  Reimbursement yang diterima PT XYZ atas pembelian bahan baku bukan merupakan 
            penghasilan sehingga atas biaya-biaya yang dikeluarkan juga bukan merupakan 
            pengurang penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri. Namun 
            demikian, biaya-biaya tersebut merupakan biaya-biaya yang dapat dikurangkan 
            dalam menghitung penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai BUT EMTC. Apabila 
            reimbursement penghasilan kena pajak lebih besar dari pada nilai pembelian bahan 
            baku dimaksud maka selisih lebih tersebut merupakan penghasilan bagi PT XYZ.

        6)  Gaji tenaga ahli yang dikirim oleh EMTC tidak dapat dikurangkan dari penghasilan 
            kena pajak PT XYZ sebagai WP dalam negeri namun merupakan beban dari PT XYZ 
            sebagai BUT EMTC, sehingga BUT berkewajiban memotong PPh Pasal 21 apabila 
            keberadaan tenaga ahli tersebut lebih dari 183 hari dalam satu tahun pajak atau PPh 
            Pasal 26 apabila berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam satu tahun pajak.

            Perlu ditegaskan bahwa sehubungan dengan telah dihentikannya Persetujuan 
            Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda yang mulai berlaku tanggal 
            1 Januari 2001, maka terhitung mulai tanggal tersebut perlakuan mengenai gaji 
            tenaga ahli dimaksud tunduk sepenuhnya kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 
            1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
            Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994.

3.  PPN/PPnBM :

    a.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM 
        sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 antara lain diatur :
        1)  Pasal 1 huruf w dan pasal 7 : Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua 
            biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor ini 
            dapat diketahui dari dokumen ekspor yaitu harga yang tercantum dalam 
            Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Tarif PPN yang berlaku atas ekspor Barang 
            Kena Pajak adalah 0%.

        2)  Pasal 1 huruf e : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan 
            atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau 
            kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk 
            menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas 
            petunjuk dari pemesan.

        3)  Pasal 4 huruf c : PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan 
            di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha. Selanjutnya dalam penjelasannya 
            disebutkan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi 
            syarat-syarat sebagai berikut :
            -   Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak
            -   Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
            -   Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan 
                Pengusaha yang bersangkutan

    b.  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994 tentang Pelaksanaan 
        Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana 
        telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 sebagaimana telah diubah 
        terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 TAHUN 1999 antara lain diatur :
        1)  Pasal 9 disebutkan jenis-jenis Jasa yang tidak dikenakan PPN, dimana jasa maklon 
            tidak termasuk yang dikecualikan sehingga jasa maklon termasuk Jasa Kena Pajak.
        2)  Pasal 33 ayat (4) : Terutangnya pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada 
            saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata baik 
            sebagian atau seluruhnya. Dengan demikian jasa maklon terutang sejak adanya 
            penyerahan yaitu sejak dilakukannya kegiatan jasa tersebut.

    c.  Dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 TAHUN 1996 sebagaimana telah 
        diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 TAHUN 1997 antara lain diatur bahwa atas 
        penyerahan Barang Kena Pajak dalam negeri ke Tempat Penimbunan Berikat diberikan 
        fasilitas berupa tidak dipungut PPN dan PPnBM. Pelaksanaan lebih lanjut diatur dalam 
        Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 sebagaimana 
        telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KMK.05/1999 tanggal 
        24 Juni 1999.

    d.  Dalam Pasal 14 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 
        tentang Kawasan Berikat sebagaimana diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan 
        Nomor 349/KMK.01/1999 tanggal 24 Juni 1999 diatur bahwa :
        1)  huruf c, atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB tidak dipungut PPN 
            dan PPnBM;
        2)  huruf d, atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak 
            dipungut PPN dan PPnBM;
        3)  huruf f, atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri 
            di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
        4)  huruf g, atas penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak 
            oleh PKP di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal, tidak dipungut PPN dan 
            PPnBM;

    e.  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa dengan ditetapkannya 
        PT XYZ sebagai BUT EMTC, maka terjadi penyerahan dengan perlakuan PPN dan PPnBM 
        sebagai berikut :
        1)  atas impor oleh dan/atau penyerahan barang dan/atau bahan kepada PT XYZ sebagai 
            BUT EMTC maupun PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk diolah di 
            Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
        2)  atas penyerahan barang dan/atau bahan dari PT XYZ sebagai BUT EMTC ke PT XYZ 
            sebagai Wajib pajak dalam negeri dalam rangka subkontrak di Kawasan Berikat tidak 
            dipungut PPN dan PPnBM;
        3)  atas penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh 
            PT XYZ sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri ke PT XYZ sebagai BUT EMTC di Kawasan 
            Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
        4)  atas penyerahan Jasa Maklon merupakan Penyerahan Jasa Kena Pajak dalam 
            Kawasan Berikat dari PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri kepada PT XYZ 
            sebagai BUT EMTC terutang PPN 10% dari imbalan maklon yang diterima (5% dari 
            local value adde);
        5)  ekspor BKP oleh PT XYZ sebagai BUT EMTC kepada Mattel Eropa, B.V dikenakan PPN 
            dengan tarif 0%.
        6)  Dalam hal terjadi penyerahan BKP tersebut di dalam daerah pabean (penyerahan 
            lokal) maka atas penyerahan tersebut terutang PPN dengan tarif 10% dan PPn BM 
            sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian untuk dimaklumi.




DIREKTUR JENDERAL,

ttd

MACHFUD SIDIK
peraturan/sdp/325pj.3122000.txt · Last modified: 2023/02/05 18:11 by 127.0.0.1