User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:269pj.31998
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                              6 Nopember 1998

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                          NOMOR S - 269/PJ.3/1998

                            TENTANG

                     RUU TENTANG PERTAMBANGAN

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 19 Oktober 1998 perihal tersebut di atas, dengan ini 
disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.  Perlakuan Perpajakan (Pasal 20 Draft RUU)
    a.  Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Draft RUU, perusahaan atau BUT yang melakukan eksplorasi 
        dan eksploitasi wajib membayar pajak, bea masuk dan pajak daerah serta retribusi daerah 
        sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    b.  Dalam Pasal 21 Draft RUU disebutkan bahwa perusahaan yang melakukan usaha pengelolaan, 
        pengangkutan dan atau pemasaran wajib membayar pajak dan bea dan kewajiban lain sesuai 
        dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    c.  Dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (1) tersebut antara lain dijelaskan bahwa yang dimaksud 
        dengan "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku" pada huruf 
        a adalah undang-undang pajak yang berlaku pada saat kontrak kerjasama ditandatangani dan 
        berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu kontrak tersebut.

2.  Dalam surat Saudara tersebut di atas disampaikan antara lain bahwa dalam rangka kegiatan 
    pertambangan migas prinsip Lex Specialis di bidang perpajakan masih diperlukan untuk menarik 
    investor dan menjamin adanya kepastian hukum.

3.  Dari perumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 tersebut berarti bahwa perlakuan perpajakan, 
    khusus yang menjadi wewenang Direktorat Jenderal Pajak adalah sesuai dengan ketentuan undang-
    undang perpajakan yaitu :
    a.  Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 
        sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994;
    b.  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Barang Mewah (PPn BM) yang diatur dalam 
        Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang 
        Nomor 11 TAHUN 1994;
    c.  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1985 
        sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1994;
    d.  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 
        1997;
    e.  Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 
        6 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994.

4.  Dengan perumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 Draft RUU tersebut berarti bahwa apabila 
    terjadi perubahan undang-undang perpajakan maka setiap perubahan undang-undang pajak juga 
    diterapkan kepada para Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan migas. 
    Kami sependapat bahwa sesuai dengan salah satu prinsip dalam bidang perpajakan maka para Wajib 
    Pajak diperlakukan sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang 
    berlaku umum. Namun penjelasan Pasal 20 ayat (1) Draft RUU Migas sebagaimana dikutip pada butir 1 
    huruf b di atas bahwa yang dimaksud adalah undang-undang perpajakan yang berlaku pada saat 
    kontrak ditandatangani menunjukkan bahwa penjelasan tersebut tidak sesuai (bertentangan) dengan 
    batang tubuhnya. Oleh karena itu kami tidak sependapat dengan perumusan mengenai pengertian 
    "undang-undang perpajakan yang berlaku" sebagaimana dimuat dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) 
    tersebut.

    Selain itu, apabila "undang-undang perpajakan yang berlaku" diartikan sebagai undang-undang yang 
    berlaku pada saat Kontrak ditandatangani, dapat mengakibatkan perlakuan yang tidak sama diantara 
    para Wajib Pajak Pertambangan Migas dalam hal terjadi perubahan undang-undang perpajakan, 
    sedangkan seharusnya para Wajib Pajak tersebut mendapat perlakuan yang sama di bidang 
    perpajakan. Apabila terjadi perubahan peraturan perpajakan misalnya tarif pajak maka tarif yang 
    lebih ringan tersebut tidak dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang kontraknya sudah ditandatangani 
    sebelum perubahan tersebut.

5.  Sehubungan dengan prinsip Lex Specialis di bidang perpajakan sebagaimana disebutkan dalam surat 
    Saudara tersebut di atas, perlu diperhatikan bahwa perumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 
    Draft RUU Pertambangan Migas bukan merupakan Lex Specialis yaitu sebagai ketentuan khusus yang 
    mengecualikan ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di bidang perpajakan karena berdasarkan 
    kedua pasal tersebut yang berlaku justru ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku umum.

    Dalam hal ini perlu mendapat perhatian kita bersama bahwa perlakuan perpajakan secara khusus 
    (Lex Specialis) yang mengecualikan ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di bidang perpajakan 
    sebagaimana dimaksud dalam surat tersebut tidak mempunyai landasan hukum yang jelas dan kuat.

6.  Dalam rangka fungsi mengatur dari undang-undang perpajakan maka untuk menunjang kebijaksanaan 
    pemerintah dalam peningkatan investasi dan pemerataan pembangunan maka dalam peraturan 
    perundang-undangan perpajakan diatur pula fasilitas-fasilitas perpajakan yang dimuat dalam 
    masing-masing undang-undang pajak yang bersangkutan yang berlaku bagi semua Wajib Pajak. 
    Dengan perumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 Draft RUU tersebut maka fasilitas 
    perpajakan tersebut juga berlaku/dapat dinikmati para Wajib Pajak dibidang Pertambangan Migas. 
    Karena diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan maka fasilitas-fasilitas perpajakan 
    tersebut jelas mempunyai landasan hukum yang kuat.

7.  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami berpendapat sebagai berikut :
    a.  Perumusan mengenai perlakuan perpajakan yang menjadi wewenang Direktorat Jenderal 
        Pajak agar sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.
    b.  Apabila terjadi perubahan atas peraturan perundang-undangan perpajakan maka perubahan 
        tersebut berlaku terhadap semua Wajib Pajak termasuk Wajib Pajak di Bidang Pertambangan 
        Migas.

8.  Sehubungan dengan hal-hal di atas maka sesuai dengan wewenang Direktorat Jenderal Pajak yaitu 
    mengenai pajak-pajak negara saja maka Pasal 20 dan Pasal 21 Draft RUU Migas agar diubah/
    disesuaikan sebagai berikut :
    a.  dalam Pasal 20 :
        -   ayat (1)        huruf a mengatur tentang kewajiban yang merupakan wewenang 
                        Ditjen Pajak

                    huruf b mengatur tentang Bea dan Cukai karena hal ini wewenang 
                        Ditjen Bea dan Cukai agar dikonsultasikan dengan Ditjen 
                        Bea dan Cukai

                    huruf c mengatur tentang pajak dan retribusi daerah, karena juga 
                        bukan wewenang Ditjen Pajak maka agar dibicarakan 
                        dengan Dirjen PUOD Departemen Dalam Negeri.

        -   ayat (2) mengatur tentang iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi serta 
            tentang bonus. Hal ini bukan merupakan wewenang Ditjen Pajak dan pada hemat 
            kami termasuk sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan Undang-
            undang Nomor 20 TAHUN 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

        Dengan perumusan tersebut maka ayat (1) mengatur mengenai penerimaan yang berasal 
        dari pajak, bea dan cukai, serta pajak dan retribusi daerah, sedangkan dalam ayat (2) 
        mengatur penerimaan yang berasal dari bukan pajak.

    b.  Pasal 20 ayat (2) agar dihapus karena mengenai besarnya pajak, tatacara, pembayaran dan 
        lainnya sudah diatur dalam UU yang bersangkutan atau diamanatkan oleh UU yang 
        bersangkutan agar diatur dalam peraturan pelaksanaan baik PP, Keppres, Kepmen dan 
        sebagainya. Dengan demikian tidak perlu diatur dalam RUU Migas. Selain itu, rumusan Pasal 
        20 ayat (2) bahwa besar, tata cara penetapan dan penyetoran pemungutan negara diatur 
        lebih lanjut dengan PP, tidak sesuai dengan UU Perpajakan karena pengaturan lebih lanjut 
        tidak selalu dengan PP.

    c.  Pasal 20 ayat (3) yang mencantumkan bahwa pungutan negara sebagaimana dimaksud dalam 
        ayat (2) merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah yang ditetapkan sesuai 
        dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dihapus mengingat pengaturan 
        mengenai pajak yang merupakan penerimaan pusat atau penerimaan daerah sudah ada 
        dalam UU yang bersangkutan seperti di bidang Pajak Bumi dan Bangunan dan tentang Bea 
        Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sedangkan pajak dan retribusi daerah jelas 
        merupakan penerimaan daerah yang bersangkutan.

    d.  Pasal 21 digabung dengan Pasal 20 karena perlakuan pajak, bea dan cukai, serta pajak dan 
        retribusi daerah sama dengan yang diberlakukan kepada perusahaan dan Bentuk Usaha Tetap 
        yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
        yang berlaku.

    e.  Mengenai perlakuan di bidang Bea dan Cukai karena merupakan wewenang Ditjen Bea dan 
        Cukai agar dibicarakan dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Demikian pula pajak dan 
        retribusi daerah bukan wewenang Dirjen Pajak sehingga perlu dibicarakan dengan Direktur 
        Jenderal PUOD Departemen Dalam Negeri.

9.  Sehubungan dengan hal-hal tersebut pada butir 7 dan butir 8 maka Pasal-Pasal yang mengatur 
    tentang Perpajakan dalam Draft RUU Migas menjadi sebagai berikut :

    Pasal 20

    (1) Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi 
        di bidang minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dan perusahaan yang 
        melakukan usaha pengolahan dan atau pengangkutan dan atau pemasaran minyak dan gas 
        bumi, wajib memenuhi kewajiban-kewajiban :
        a.  di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 
            perpajakan yang berlaku.
        b.  di bidang bea dan cukai .... (agar dibicarakan dengan Direktorat Jenderal Bea dan 
            Cukai);
        c.  di bidang pajak dan retribusi daerah .... (agar dibicarakan dengan Direktorat Jenderal 
            PUOD Departemen Dalam Negeri).

    (2) Selain kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1), perusahaan atau Bentuk 
        Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib membayar :
        a.  iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi.
        b.  bonus.

    Penjelasan Pasal 20

    Ayat (1)

    Ketentuan ini didasarkan atas pengertian bahwa minyak dan gas bumi dimiliki Negara sehingga pada 
    dasarnya minyak dan gas bumi yang terkandung dalam suatu Wilayah Kerja bukan merupakan aset 
    perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap dan hasil produksi yang berupa minyak dan gas bumi belum 
    menjadi hak perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap. Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap tersebut 
    dapat memperoleh hak dari hasil produksi dimaksud sesuai dengan kontrak kerja sama.

    Huruf a

    Perusahaan atau bentuk Usaha Tetap yang melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi di bidang 
    minyak dan gas bumi, dan perusahaan yang melakukan usaha pengolahan dan atau pengangkutan 
    dan atau pemasaran minyak dan gas bumi dikenakan pajak-pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak 
    Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan, 
    dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
    perpajakan yang berlaku. Apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan maka 
    perubahan tersebut berlaku bagi perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud. Demikian pula 
    apabila terjadi pencabutan atau pengenaan pajak atau pajak-pajak baru maka hal tersebut juga 
    berlaku bagi perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud.

    Huruf b (oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)

    Huruf c (oleh Direktorat Jenderal PUOD Departemen Dalam Negeri)

    Ayat (2)

    Yang dimaksud dengan bonus adalah bonus data dan bonus produksi. Bonus data adalah bonus yang 
    harus dibayar oleh perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap kepada Pemerintah karena penggunaan dan 
    pemanfaatan data untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi. Bonus produksi adalah bonus yang 
    harus dibayar oleh perusahaan atau bentuk Usaha Tetap kepada Pemerintah karena tercapainya 
    tingkat produksi tertentu dalam pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi. Pencapaian 
    tingkat produksi tersebut memberikan keuntungan yang besar kepada perusahaan atau Bentuk Usaha 
    Tetap sehingga wajar apabila yang bersangkutan menyerahkan sebagian keuntungan sebagai bonus 
    kepada Pemerintah.

Demikian untuk dimaklumi.




DIREKTUR JENDERAL 

ttd

A. ANSHARI RITONGA
peraturan/sdp/269pj.31998.txt · Last modified: 2023/02/05 06:23 by 127.0.0.1