User Tools

Site Tools


peraturan:sdp:260pj.422003
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                        7 Mei 2003

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                         NOMOR S - 260/PJ.42/2003

                            TENTANG

       PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI UNTUK 
                       PROYEK PLTU TANJUNG JATI B

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal 13 Maret 2003 perihal Permohonan Penegasan 
Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi untuk Proyek PLTU Tanjung 
Jati B di Jepara Jawa Tengah antara PT ABC dan PT XYZ, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.  Dalam surat Saudara menyampaikan permasalahan sebagai berikut:
    a.  Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat, dan untuk 
        menghindari adanya krisis energi listrik di Pulau Jawa dan Bali, Tim Keppres No. 133/2000 
        di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 26 Nopember 
        2001 telah memutuskan untuk melanjutkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 
        Tanjung Jati B di Jepara, Jawa Tengah (PLTU TJB) dengan skema sewa guna usaha. Untuk itu 
        melalui Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor XXX tanggal 7 Agustus 2002 
        serta mengacu pada Head of Agreement V (HOAV) tanggal 26 Nopember 2002 antara 
        pihak-pihak terkait telah disetujui bahwa penyelesaian Proyek PLTU TJB akan dilaksanakan 
        oleh PT ABC;

    b.  PT ABC adalah perusahaan patungan (Joint Venture) yang telah mendapat ijin usaha sebagai 
        perusahaan pembiayaan dari Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan 
        nomor 184/KMK.06/2002 tanggal 23 April 2002.

    c.  Berkaitan dengan Heads of Agreement V tanggal 26 Nopember 2001 antara PT ABC, PT XYZ 
        dan pihak-pihak yang terkait, terdapat klausul mengenai persyaratan-persyaratan (condition 
        precedent) antara lain penegasan atas perlakuan Pajak Penghasilan dari Direktorat Jenderal 
        Pajak atas transaksi yang berkaitan dengan Kegiatan Usaha PT ABC yang harus dipenuhi 
        sebelum pembangunan PLTU TJB disepakati pihak-pihak terkait, Saudara mohon penegasan 
        mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi 
        untuk Proyek PLTU Tanjung Jati B di Jepara-Jawa Tengah antara PT ABC dan PT XYZ sebagai 
        berikut:
        i)  Pengakuan penghasilan atas FLA;
        ii) Cadangan piutang tak tertagih yang diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya;
        iii)    Perlakuan Pajak Penghasilan apabila terjadi pemutusan lebih awal (early termination);
        iv) Perhitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25;
        v)  Pajak Penghasilan Pasal 22 sebesar 1.5% atas pembayaran sewa-guna-usaha oleh 
            XYZ kepada ABC;
        vi) PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha oleh XYZ kepada ABC;
        vii)    Perlakuan biaya pinjaman dan overhead selama dan setelah periode konstruksi 
            pembangunan PLTU TJB;
        viii)   Perlakuan pembebanan selisih kurs atas pinjaman dan utang usaha selama periode 
            konstruksi pembangunan PLTU TJB;
        ix) Pembebasan PPh Pasal 22 atas impor barang modal;
        x)  PPh Pasal 23/26 atas pembayaran dividen oleh ABC kepada pemegang saham;
        xi) PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga pinjaman dan biaya lainnya kepada Wajib Pajak 
            Luar Negeri.

2.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 dan Penjelasannya, diatur bahwa:

    Pasal 4 ayat (1) huruf g
    Yang menjadi objek pajak adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen 
    dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

    Pasal 4 ayat (3) huruf f
    Yang tidak termasuk Objek Pajak adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh 
    perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau 
    Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat 
    kedudukan di Indonesia dengan syarat:
    -   dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
    -   bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah yang 
        menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 
        25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha 
        aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

    Pasal 6 ayat (1)
    Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan 
    berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
    a.  biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian 
        bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, 
        gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya 
        perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali 
        Pajak Penghasilan;
    b.  penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas 
        pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih 
        dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
    c.  kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

    Pasal 9 ayat (1)
    Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha 
    tetap tidak boleh dikurangkan:
    a.  pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen 
        yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil 
        usaha koperasi.
    b.  dan seterusnya.

    Pasal 23 ayat (1) huruf a
    Atas penghasilan berupa dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau 
    terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha 
    tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk 
    usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang 
    membayarkan.

    Pasal 26 ayat (1)
    Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau 
    terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha 
    tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk 
    usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak 
    yang membayarkan:
    a.  dividen;
    b.  bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan     jaminan 
        pengembalian utang;
    c.  royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    d.  hadiah dan penghargaan;
    e.  pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

3.  Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991, 
    diatur sebagai berikut:

    Pasal 3
    Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi 
    semua kriteria berikut:
    a.  Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah 
        dengan nilai sisa barang modal, harus menutup harga perolehan barang modal dan 
        keuntungan lessor;
    b.  Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurang-nya 2 (dua) tahun untuk barang modal 
        Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk 
        Golongan bangunan;
    c.  Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

    Pasal 14
    Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut:
    a.  Penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa-
        guna-usaha dengan hak opsi berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
    b.  Lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewagunausahakan dengan hak 
        opsi;
    c.  dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 
        Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak 
        lessor;
    d.  lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan 
        dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo 
        awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
    e.  kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih 
        lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada 
        awal tahun pajak yang bersangkutan;
    f.  dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya 
        dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, 
        sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat 
        dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

    Pasal 16
    (1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut:
        a.  selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas 
            barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai lessee menggunakan hak opsi untuk 
            membeli;
        b.  setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee 
            melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) 
            barang modal yang bersangkutan;
        c.  pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali 
            pembebasan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan 
            bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan 
            dalam Pasal 3 Keputusan ini;
        d.  dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam 
            Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan 
            biaya sewa-guna-usaha.

    (2) Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau 
        terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

    Pasal 19
    Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah 
    jumlah Pajak Penghasilan sebagai penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 
    terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan 
    dalam pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

4.  Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 
    14 Desember 2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak 
    berjalan yang Harus dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak 
    Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Wajib Pajak lainnya Termasuk Wajib 
    Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, diatur bahwa besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib 
    Pajak sewa-guna-usaha dengan hak opsi adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan 
    penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulanan terakhir yang 
    disetahunkan dikurangi dengan PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun 
    pajak yang lalu, dibagi 12, dalam hal Wajib Pajak tersebut merupakan Wajib Pajak baru, maka 
    besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk triwulan pertama dihitung berdasarkan penerapan tarif umum 
    atas perkiraan laba rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan, dibagi 12.

5.  Berdasarkan Pasal 1A Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tanggal 6 Pebruari 1995 
    tentang Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya sebagaimana telah 
    beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000, diatur 
    bahwa:
    (1) Sewa guna usaha dengan hak opsi dapat membentuk dana cadangan piutang tak tertagih.
    (2) Besarnya dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan maksimum 
        sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.
    (3) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih 
        dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
    (4) Dalam hal cadangan piutang tak tertagih tidak atau tidak seluruhnya dipakai untuk menutup 
        kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka jumlah kelebihan cadangan tersebut 
        diperhitungkan sebagai penghasilan, sedangkan dalam hal jumlah cadangan tersebut tidak 
        mencukupi, maka kekurangannya diperhitungkan sebagai kerugian.

6.  Berdasarkan Pasal 1A Keputusan Menteri Keuangan Nomor 173/KMK.06/2002 tanggal 23 April 2002 
    tentang Rasio Pinjaman terhadap Modal Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi 
    Perusahaan Pembiayaan di Bidang Ketenagalistrikan, diatur bahwa perusahaan pembiayaan yang 
    bergerak di bidang usaha ketenagalistrikan dibebaskan dari ketentuan rasio pinjaman terhadap modal 
    sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), dan ayat (6) Keputusan 
    Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah 
    diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 172/KMK.06/2002.

7.  Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tanggal 
    29 Desember 2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan 
    dalam hal-hal tertentu, diatur bahwa dasar penghitungan PPh Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak atas 
    kompensasi kerugian adalah sebesar jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan 
    pajak Penghasilan tahun pajak lalu, atau dasar penghitungan lainnya sebagaimana dimaksud dalam 
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000, setelah dikurangi dengan kompensasi 
    kerugian.

8.  Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-417/PJ./2001 
    tanggal 27 Juni 2001 tentang Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya 
    Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagai peraturan pelaksanaan dari 
    Keputusan Menteri Keuangan nomor 254/KMK.03/2001, diatur bahwa Bank CBA, AAA, BBB, CCC, 
    PT XYZ, PT DDD, PT EEE, PT FFF, GGG, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang 
    dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebesar 
    1.5% (satu setengah persen).

9.  Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-192/PJ./2002 
    tanggal 15 April 2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/
    Pemungutan Pajak Penghasilan, diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan SKB kepada 
    Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak 
    Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal dalam hal Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih 
    dalam tahap investasi.

10. Berdasarkan butir 8 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.42/1992 tanggal 19 
    Desember 1992 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Kegiatan Sewa Guna (Leasing), diatur 
    bahwa dalam hal perjanjian finance lease menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada 
    pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum yang 
    disyaratkan, perlakuan perpajakannya disamakan dengan operating lease.

11. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994 
    tentang Perlakuan Pajak Penghasilan dan PPN Terhadap Perjanjian Sewa Guna Usaha Dengan Hak 
    Opsi yang Berakhir Menjadi Lebih Singkat Dari Masa Sewa Guna Usaha Yang Disyaratkan Dalam Pasal 
    23 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991, diatur bahwa:
    a.  Butir 8 SE-29/PJ.42/1992 mengenai perubahan perlakuan perpajakan yang semula finance 
        lease menjadi operating lease hanya diberlakukan apabila terdapat hubungan istimewa antara 
        lessor dan lessee, kecuali dalam hal force majeur;

    b.  Dalam hal masa Sewa Guna Usaha finance lease lebih pendek daripada masa Sewa Guna 
        Usaha berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.01/1991 yang 
        disebabkan karena force majeur (bencana alam seperti kebakaran dan lain-lain), default 
        (lessee tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran lease payment) ataupun karena 
        pertimbangan ekonomis tertentu yang dilakukan secara wajar tanpa motif untuk 
        menghindarkan atau memperkecil besarnya pengenaan pajak terutang serta dilakukan oleh 
        masing-masing pihak yang tidak terdapat hubungan istimewa, maka tidak perlu mengubah 
        perlakuan perpajakan dari finance lease menjadi operating lease akan tetapi tetap 
        diperlakukan sebagai finance lease. Dengan adanya perubahan masa Sewa Guna Usaha, 
        maka besarnya penghasilan bagi lessor serta besarnya biaya bagi lessee dengan sendirinya 
        berubah atau berbeda dibandingkan apabila tidak terjadi perubahan masa Sewa Guna Usaha.

    Berdasarkan Pasal 14 huruf c Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991, maka pihak 
    lessor harus membukukan penghasilannya berdasarkan keadaan yang sebenarnya sebagai akibat 
    adanya Sewa Guna Usaha yang diperpendek/dipersingkat tersebut.

    Sedangkan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
    1169/KMK.01/1991, pihak lessee harus membukukan/membebankan biaya berdasarkan keadaan 
    sebenarnya dikeluarkan oleh perusahaan sebagai akibat adanya masa Sewa Guna Usaha yang 
    diperpendek/dipersingkat tersebut.

12. Berdasarkan Nomor 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 
    29 Maret 1996, dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) diatur ketentuan-ketentuan 
    tentang pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan pemotongan PPh 
    Pasal 26 terhadap beberapa jenis penghasilan yang dibayar atau terutang oleh pihak yang 
    membayarkan penghasilan tersebut yang berkedudukan di Indonesia kepada Wajib Pajak luar negeri 
    yang berkedudukan di negara-negara treaty partner tersebut.

13. Berdasarkan angka 2 huruf a dan c Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.42/1999 
    tanggal 27 Mei 1999 tentang Perlakuan PPh Atas Biaya Bunga Dan Biaya Overhead Dalam masa 
    Konstruksi, diatur bahwa:
    a.  Huruf a dan c
        Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau 
        bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, biaya bunga yang 
        timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik atau 
        bangunan tersebut, yang pembebanannya melalui penyusutan. Apabila suatu pinjaman 
        dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik dan pembelian tanah serta aktiva 
        lainnya yang tidak dapat dipisah-pisahkan perhitungan kapitalisasinya ke dalam masing-
        masing aktiva tersebut dapat dilakukan secara prorata.

    b.  Huruf d
        Atas biaya overhead yang berkaitan dengan pembangunan pabrik atau bangunan lainnya 
        selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik atau bangunan 
        tersebut, yang pembebanannya melalui penyusutan.

14. Berdasarkan hal-hal yang Saudara kemukakan dan ketentuan yang berlaku tersebut di atas dapat 
    ditegaskan bahwa:
    a.  Sewa guna usaha antara ABC dan XYZ dapat digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan 
        hak opsi (finance lease) sepanjang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan 
        perpajakan yang berlaku;

    b.  Penghasilan bagi lessor atas sewa guna usaha dengan hak opsi yang dikenakan Pajak 
        Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi berupa 
        imbalan jasa sewa guna usaha yaitu selisih antara jumlah pembayaran sewa guna usaha 
        dikurangi angsuran pokoknya;

    c.  ABC sebagai lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat 
        dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 2,5% (dua setengah persen) dari 
        rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi;

    d.  Apabila perjanjian finance lease menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada 
        pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum 
        yang disyaratkan, perlakuan perpajakannya tetap sebagai finance lease sepanjang tidak 
        terdapat hubungan istimewa antara lessor dan lessee. Pengakuan penghasilan oleh lessor dan 
        pembebanan biaya oleh lessee dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;

    e.  Penghitungan PPh Pasal 25 bagi ABC adalah jumlah Pajak Penghasilan sebagai penerapan 
        tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan terhadap Penghasilan Kena Pajak 
        berdasarkan laporan triwulanan terakhir yang disetahunkan, setelah dikurangi dengan PPh 
        Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu dan 
        kompensasi kerugian, dibagi 12 (dua belas);

    f.  Penyerahan (sewa guna usaha) barang oleh ABC kepada XYZ bukan merupakan pembelian 
        oleh XYZ sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
        254/KMK.03/2001 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-417/PJ./2001 sehingga 
        atas penyerahan tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan Pasal 22;

    g.  XYZ sebagai lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang 
        dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi;

    h.  Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.42/1999, biaya bunga 
        pinjaman dan biaya overhead yang terjadi selama periode konstruksi dapat dikapitalisasi ke 
        dalam harga perolehan PLTU TJB sepanjang berkaitan langsung dengan pembangunan PLTU 
        TJB tersebut;

    i.  ABC sudah memperoleh ijin pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika 
        Serikat (USD) sehingga transaksi yang dilakukan dengan mata uang USD harus dicatat sesuai 
        dengan dokumen transaksi yang bersangkutan, sedangkan transaksi yang dilakukan dengan 
        mata uang selain USD dikonversikan ke mata uang USD dengan menggunakan kurs yang 
        sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi. Kerugian selisih kurs atas pinjaman dan 
        utang usaha yang berkaitan langsung dan terjadi selama masa konstruksi pembangunan PLTU 
        TJB dapat dikapitalisasi ke dalam harga perolehan PLTU TJB sepanjang dilakukan sesuai 
        sistem pembukuan yang dianut secara taat azas;

    j.  Kepada ABC telah diberikan SKB pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22 Impor oleh KPP PMA 
        Lima yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2003. SKB untuk tahun-tahun berikutnya 
        akan diberikan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan berdasarkan peraturan 
        perundang-undangan yang berlaku;

    k.  Pembayaran dividen oleh ABC kepada para pemegang sahamnya dapat diatur sebagai 
        berikut:
        i)  atas dividen yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dipotong pajak sebesar 15% 
            (lima belas persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan (ABC) karena 
            merupakan objek PPh Pasal 23, kecuali apabila dividen yang diterima atau diperoleh 
            tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan bagi yang menerima dividen, 
            kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua 
            puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai penghasilan 
            dari usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
        ii) apabila yang menerima atau memperoleh dividen adalah Wajib Pajak luar negeri 
            selain bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah 
            bruto oleh pihak yang membayarkan atau berdasarkan P3B jika negara tempat 
            berkedudukan Wajib Pajak tersebut mempunyai P3B dengan Indonesia.

    l.  Atas pembayaran bunga pinjaman kepada Wajib Pajak luar negeri dipotong PPh Pasal 26 yaitu 
        sebesar 20% (dua puluh persen) atau berdasarkan P3B jika negara tempat berkedudukan 
        Wajib Pajak luar negeri tersebut mempunyai P3B dengan Indonesia. Upfront fee dan facility 
        fee adalah pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri berkaitan dengan pinjaman yang 
        diberikan oleh Wajib Pajak luar negeri tersebut. Pembayaran ini merupakan penghasilan bagi 
        Wajib Pajak luar negeri yang harus dipotong pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat 
        (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bunga, termasuk premium, diskonto, 
        premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

Demikian penegasan kami harap maklum.




A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,

ttd

SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN
peraturan/sdp/260pj.422003.txt · Last modified: 2023/02/05 06:16 by 127.0.0.1