peraturan:sdp:24pj.321997
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 28 Februari 1997 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 24/PJ.32/1997 TENTANG PERMOHONAN TIDAK TERUTANG PPN DAN PPh DARI PELAKSANAAN SWAKELOLA BARAK PRAJURIT PASPAMPRES DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 5 Desember 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut Saudara mohon agar proyek swakelola rehabilitasi Barak Prajurit Paspampres di Tanah Abang II Jakarta dan Lawang Gintung Bogor yang dilaksanakan oleh Pemborong PT XYZ dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. 2. Pajak Pertambahan Nilai 2.1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, dinyatakan bahwa atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2.2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4A Undang-undnag Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 jo. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994, jasa pemborong adalah termasuk jenis jasa yang tidak dikecualikan dari pengenaan PPN. Oleh karena itu atas penyerahan jasa tersebut dikenakan PPN. 2.3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka renovasi Barak Prajurit Paspempras di Tanah Abang II Jakarta dan Lawang Gintung Bogor yang dilakukan oleh PT XYZ tetap terutang PPN dan harus disetor ke Kas Negara. Dengan demikian, permohonan Saudara untuk dibebaskan dari pengenaan PPN atas proyek tersebut, dengan sangat menyesal tidak dapat dikabulkan. 3. Pajak Penghasilan 3.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, diatur bahwa pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. 3.2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, antara lain diatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dipotong pajak oleh yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. 3.3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf g Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ./1996 tanggal 5 Agustus 1996, diatur bahwa besarnya perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang tersebut di atas terhadap imbalan jasa konstruksi atau jasa pemborong bangunan adalah 10% (sepuluh persen). 3.4. Ketentuan seperti tersebut pada angka 3.2 dan angka 3.3 diberlakukan atas penghasilan atas usaha jasa konstruksi tahun 1996 dan tahun-tahun sebelumnya. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 73 TAHUN 1996 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1997, maka atas penghasilan berupa imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah imbalan bruto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. 3.5. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 599/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 147/KMK.04/1995 tanggal 3 April 1995 pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 adalah Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dari belanja negara dan/atau belanja daerah. Dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, disebutkan bahwa yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah : a. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan tidak terutang PPh; b. Impor barang-barang yang dibebaskan dari Bea Masuk yang dilakukan : 1) ke dalam Kawasan Berikat dan Entreport Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan atas impor jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973; 3) sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 133 Tahun 1953 tentang Pembebasan Bea Masuk atas kiriman-kiriman hadiah; 4) untuk tujuan keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Sub b Undang-undang Tarif Indonesia, Stbl. 1873 Nomor 35. c. Dalam hal diberikan penangguhan Bea Masuk berdasarkan Pasal 23 Ordonansi Bea, yaitu atas impor barang untuk pameran atau keperluan lainnya yang dipergunakan di Indonesia bersifat sementara, dan setelah keperluan tersebut barang dimaksud diekspor kembali; d. Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah- pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); e. Pembayaran unruk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon. 3.6. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : a. Atas pembayaran berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang dilakukan oleh PT XYZ wajib dipotong PPh Pasal 21. b. Dalam hal PT XYZ melakukan penyerahan barang untuk proyek swakelola rehabilitasi/renovasi Barak Prajurit Paspampres di Tanah Abang II Jakarta dan Lawang Gintung Bogor, maka pembayaran atas pembelian barang-barang yang dilakukan oleh Paspampres wajib dipungut PPh Pasal 22. c. Apabila PT XYZ selaku pemborong melaksanakan pekerjaan fisik proyek swakelola tersebut, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT XYZ sehubungan dengan jasa pemborongan bangunan dipotong PPh Pasal 23. Dengan demikian permohonan Saudara untuk dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 21 dan Pasal 22 atas proyek swakelola rehabilitasi/renovasi Barak Prajurit Paspampres di Tanah Abang II Jakarta dan Lawang Gintung Bogor yang dilaksanakan oleh PT XYZ, dengan sangat menyesal tidak dapat dikabulkan. Demikian untuk dimaklumi. DIREKTUR ttd Drs. DJONIFAR AF, MA
peraturan/sdp/24pj.321997.txt · Last modified: 2023/02/05 18:09 by 127.0.0.1