peraturan:sdp:226pj.532004
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 19 April 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 226/PJ.53/2004 TENTANG PENYELESAIAN MASALAH PPN ATAS PENYERAHAN PLTU TJB DARI PT XYZ KEPADA PLN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan permasalahan PPN atas penyerahan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B (PLTU TJB) dari PT XYZ kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui cara sewa guna usaha dengan hak opsi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Gambaran umum mengenai proyek PLTU TJB dan transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi antara PT XYZ dan PLN adalah sebagai berikut : a. Proyek pembangunan PLTU TJB di Jepara, Jawa Tengah yang terhenti karena krisis, diputuskan untuk dilanjutkan dan penyelesaian proyek tersebut akan dilaksanakan oleh PT XYZ , merupakan special purpose company, yang berdasarkan Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor S-207/M.EKON/08/2002 tanggal 7 Agustus 2002, mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut: i) membeli tanah dimana pembangkit listrik tersebut akan dibangun; ii) menyediakan pembiayaan; iii) merancang, merekayasa secara teknis, mengadakan, menyediakan, mengangkut, mengimpor peralatan dan material, memasang, membangun, melakukan commisioning dan percobaan terhadap pembangkit listrik tersebut dengan cara mengadakan suatu kontrak pengadaan barang dan kontrak pembangunan dengan kontraktor asing yang memenuhi syarat untuk memperoleh pembiayaan pembangunan proyek tersebut; iv) menyewagunausahakan PLTU TJB kepada PLN untuk suatu periode tertentu setelah penyelesaian proyek PLU TJB; dan v) mengawasi pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh PLN yang meliputi pengoperasian, pemeliharaan dan penyediaan bahan bakar PLTU TJB, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu Framework Agreement tertanggal 30 Maret 2001 antara PLN dan PT XYZ dan pihak-pihak lainnya. b. Untuk melanjutkan proyek sesuai dengan surat Menko Perekonomian tersebut diatas, telah ditandatangani Finance Lease Agreements (FLA) antara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT XYZ, PT ABC dan PT DEF Nomor 0028.PJ/061/PST/2003 pada tanggal 23 Mei 2003. c. Dari FLA tersebut diketahui bahwa : i) Dari tanggal 23 Mei 2003 (pada saat FLA ditandatangani) sampai dengan tanggal 31 Juli 2003 (Settlement Date, tanggal pada saat penarikan pertama pinjaman oleh PT XYZ dari lender dan dimulainya pembangunan proyek), FLA tersebut belum efektif. ii) Masa konstruksi adalah 45 bulan dimulai dengan Settlement Date, yaitu tanggal 31 Juli 2003. Resiko atas proyek selama masa konstruksi menjadi tanggung jawab PT XYZ. iii) Penyerahan proyek kepada PLN dilakukan secara bertahap dimulai dengan penyerahan Unit A yaitu 36 bulan setelah Settlement Date, diperkirakan tahun 2006, proyek akan dioperasikan secara komersial oleh PLN sejak saat diserahkan proyek tersebut. iv) Sejak saat penyerahan proyek tersebut (2006), masa sewa guna usaha dengan hak opsi dimulai dan berakhir pada tahun 2026. Resiko atas PLTU TJB selama masa sewa guna usaha menjadi tanggung jawab PLN. 2. Atas penyerahan PLTU TJB dalam rangka sewa guna usaha dengan hak opsi ini, PT XYZ telah mengirimkan surat-surat kepada kami: Nomor L-086/CJP-01/12/2002 tanggal 2 Desember 2002, Nomor L-002/CJP-01/01/2003 tanggal 20 Januari 2003 dan Nomor L-202/CJP-02/05/2003 tanggal 26 Mei 2003 yang isi suratnya antara lain memohon penegasan mengenai : a. Saat terutangnya PPN atas penyerahan BKP (Power Plant/PLTU TJB) dalam rangka sewa guna usaha dengan hak opsi dari PT XYZ kepada PLN. b. Pemungutan PPN yang terutang atas penyerahan BKP (Power Plant/PLTU TJB) tersebut mengingat pada waktu surat disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak, PLN merupakan Pemungut PPN. Menurut pendapat PT XYZ, PPN dipungut pada setiap periode pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi (yaitu setiap enam bulan sekali sebesar 10% dari jumlah pembayaran tidak termasuk bunga dan biaya leasing). 3. Atas permohonan penegasan tersebut, telah kami tanggapi dengan surat kami Nomor Nomor S-149/ PJ.5/2003 tanggal 14 Pebruari 2003 dan Nomor S-455/PJ.53/2003 tanggal 23 Mei 2003 yang menegaskan bahwa : a. Saat terutangnya PPN atas penyerahan PLTU TJB dari PT XYZ kepada PLN adalah pada saat perjanjian Sewa Guna Usaha ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas PLTU TJB terjadi lebih dahulu dari pada saat ditandatanganinya perjanjian Sewa Guna Usaha. b. Bahwa jasa sewa guna usaha dengan hak opsi merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, sehingga atas pembayaran sewa guna usaha setiap periode pembayaran (enam bulan sekali) tidak perlu dipungut PPN. Namun demikian atas penyerahan BKP (Power Plant/PLTU TJB) dalam rangka sewa guna usaha dengan hak opsi harus dipungut seluruhnya pada saat terutangnya PPN, yaitu pada saat perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ditandatangani. 4. Atas penegasan kami tersebut, PT XYZ berkeberatan mengingat : a. PT XYZ merupakan special purpose company, yaitu badan hukum yang dibentuk semata- mata untuk pembangunan dan pembiayaan PLTU TJB. b. Dalam melaksanakan Proyek PLTU TJB tersebut, PT XYZ mendanai proyek tersebut melalui pinjaman jangka panjang baik yang berasal dari bank pemerintah Jepang (JBIC) maupun dari off shore loan (European Bank) dimana pihak lender sudah menetapkan jumlah dana yang dipinjam akan dikeluarkan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dalam FLA. c. Dalam FLA, PPN atas penyerahan PLTU TJB dijadwalkan dibayar pada saat penyelesaian pembangunan PLTU TJB, yaitu diperkirakan pada tahun 2006 (paling lambat 36 bulan sejak Settlement Date, dimana Settlement Date merupakan penarikan pertama pinjaman oleh PT XYZ dari lender). d. Apabila saat terutangnya PPN ditetapkan pada saat penandatanganan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, maka : 1) PLN harus menyediakan dana sebesar 10% x 195 milyar Yen (perkiraan harga Proyek PLTU TJB sesuai dengan FLA, harga proyek sesungguhnya akan dihitung kembali pada saat proyek diselesaikan). Diperkirakan PPN yang harus segera dibayar sebesar Rp 1,5 trilyun (dengan kurs 1 Yen = Rp 77). Mengingat PLN tidak memiliki dana untuk membayar PPN, maka PT XYZ harus menanggung terlebih dahulu PPN yang terutang tersebut. 2) Mengingat sampai dengan saat ini PT XYZ belum menerbitkan Faktur Pajak, maka PT XYZ juga harus dikenakan sanksi keterlambatan menerbitkan Faktur Pajak sebesar 2% x 195 milyar Yen = Rp 300 milyar. 3) Selanjutnya, PT XYZ juga harus membayar denda keterlambatan membayar PPN yaitu 2% per bulan dari PPN terutang (sampai dengan bulan Maret 2004 selama 9 bulan), sehingga denda yang harus adalah sebesar 2% x 9 bulan x Rp 1,5 trilyun = Rp 270 milyar. 4) Dengan demikian dana yang harus disediakan oleh PT XYZ secara keseluruhan adalah sebesar RP 2,07 trilyun. 5. Berdasarkan Pasal 11 ayat (4) UU PPN, Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak. Namun kewenangan tersebut sangat dibatasi hanya untuk kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Sedangkan untuk saat terutangnya penyerahan BKP karena perjanjian sewa guna usaha sudah diatur secara jelas dalam penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf b, yaitu pada saat perjanjian ditandatangani dan sampai dengan saat ini tidak diterbitkan aturan-aturan baru yang dapat menyebabkan timbulnya ketidakadilan. 6. Namun demikian, mengingat PLTU TJB secara nyata akan diserahkan atau berada dalam penguasaan PLN dan segala resiko yang berkenaan dengan pengoperasian berpindah kepada PLN pada saat Commercial Operation Date (COD), yaitu tanggal dimulainya PLTU beroperasi secara komersial (diperkirakan tahun 2006), kami berpendapat bahwa saat terutangnya PPN atas penyerahan PLTU TJB dari PT XYZ kepada PLN dapat diberikan kebijakan dengan menetapkan saat terutangnya pajak adalah pada saat sebagian atau seluruhnya PLTU TJB dikuasai oleh PLN, yaitu pada saat COD atau PLTU TJB tersebut beroperasi secara komersial. 7. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mohon petunjuk Bapak. Apabila Bapak berkenan dan tidak berpendapat lain, kami akan menerbitkan surat untuk menetapkan bahwa saat terutangnya PPN atas penyerahan PLTU TJB dari PT XYZ kepada PLN adalah pada saat PLTU TJB selesai dibangun dan mulai dikuasai oleh PLN atau pada saat PLTU TJB beroperasi secara komersial. 8. Sebagai bahan pertimbangan Bapak, bersama ini kami sampaikan gambaran dan ringkasan Finance Lease Agreements antara PT XYZ , PT PLN, PT ABC dan PT DEF. Demikian disampaikan kami menunggu petunjuk Bapak untuk mendapatkan persetujuan dalam penyelesaian permasalahan PPN atas penyerahan Proyek PLTU TJB. Direktur Jenderal, ttd. Hadi Poernomo NIP 060027375 Tembusan : 1. Direktur PPN dan PTLL; 2. Direktur Peraturan Perpajakan.
peraturan/sdp/226pj.532004.txt · Last modified: 2023/02/05 18:11 by 127.0.0.1