peraturan:sdp:2151pj.521992
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 28 November 1992 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 2151/PJ.52/1992 TENTANG PENEGASAN MENGENAI KETENTUAN PPn/PPN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 15 Oktober 1992, perihal tersebut pada pokok surat, dan permasalahan yang dicantumkan dalam Agenda Pembahasan BKPM dengan Dit. Jen. Pajak dan Dit. Jen. Bea Cukai, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 1. PT. XYZ 1.1. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d PP Nomor 22 Tahun 1985, saat terutang PPN atas impor BKP adalah pada saat barang itu dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean dimana saat pemungutan PPN-nya adalah bersamaan dengan saat pemungutan Bea Masuk. Dengan demikian walaupun kapal tersebut sebenarnya telah masuk dalam daerah pabean dan Pengusaha yang bersangkutan telah mencantumkannya ke dalam neracanya, impor kapal tersebut diperlakukan baru dilaksanakan sesuai dengan penerbitan PIUD oleh Dit. Jen. Bea Cukai. Oleh karenanya atas impor kapal tersebut tetap terutang PPN. 1.2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1989, barang modal yang dapat ditangguhkan pembayaran PPN-nya atas impor atau perolehan dalam negeri hanyalah atas mesin, peralatan dan peralatan pabrik. Oleh karenanya, kapal, tongkang, dan tugboat yang diimpor oleh PT. XYZ (sebagai pabrikan kayu) tidak termasuk dalam pengertian barang modal yang dapat diberikan penangguhan pembayaran PPN. Di samping itu Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 577/KMK.00/1988 hanya mengatur penangguhan PPN saja yang pada dasarnya adalah percepatan pengkreditan Pajak Masukan, yang terbatas pada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya saja. Karena dalam pemungutan PPn BM tidak dikenal adanya pengkreditan Pajak Masukan terhadap PPn BM tidak dapat diberikan fasilitas penangguhan. Karenanya atas impor kapal-kapal tersebut, selain penangguhan PPN tidak dapat diberikan, penangguhan PPn BM juga tidak dapat diberikan. Hal ini telah ditegaskan dengan surat Direktur Jenderal Pajak No. S-879/PJ.51/1991 tanggal 8 Juli 1991 kepada BKPM. 2. PT. ABC 2.1. Serupa dengan PT. XYZ, impor kapal yang dilakukan oleh PT. ABC pada tahun 1981/1982 diperlakukan baru dilaksanakan sesuai dengan penerbitan PIUD oleh Dit. Jen. Bea dan Cukai. Oleh karenanya atas impor kapal tersebut tetap terutang PPN. Besarnya PPN yang terutang atas impor kapal tersebut adalah 10% x Nilai Impor sebagaimana tercantum dalam PIUD yang berkenaan, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk, ditambah pungutan-pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan UU Pabean, tidak termasuk PPN dan PPn BM. Karena kegiatan usaha PT. ABC adalah jasa angkutan laut yang tidak terutang PPN, maka PT. ABC bukan merupakan PKP sehingga kepada PT. ABC tidak dapat diberikan penangguhan PPN yang terutang atas impor kapal tersebut. PPN Impor yang dibayar tersebut bukan merupakan PPN Masukan tetapi merupakan unsur harga perolehan dari kapal tersebut. Selanjutnya dalam hal kapal tersebut akan dijual, karena tidak ada PPN yang dikreditkan oleh PT. ABC sebelumnya, PT. ABC tidak perlu memungut PPN atas penjualan kapal tersebut atau melakukan pembayaran kembali PPN Masukan tersebut. 3. Selanjutnya sesuai dengan masalah-masalah sebagaimana dimaksud dalam agenda pembahasan, bersama ini diberikan penegasan yakni sebagai berikut : a. Pemberian Penangguhan pembayaran PPN kepada Pengusaha Angkutan Udara adalah didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 818/KMK.04/1992 tanggal 23 Juli 1992 dan bukan didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.00/1989. Sesuai dengan Pasal 3 ayat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 818/KMK.04/1992 tersebut, pemberian penangguhan hanya diberikan atas impor pesawat terbang saja. Dengan demikian PPN yang terutang atas impor atau perolehan dalam negeri peralatan penunjang operasi baik yang digunakan dalam pesawat maupun di darat tidak dapat ditangguhkan pembayarannya tetapi harus dibayar, dan sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) huruf c Keputusan Menteri Keuangan Nomor 818/KMK.04/1992, PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan sebesar bagian yang sebanding antara penyerahan yang terutang PPN dengan penyerahan seluruhnya. Pemberian penangguhan Pembayaran PPN dan Pembebasan PPn BM atas impor pesawat terbang hanya dilakukan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. b. Atas impor recorder (yang telah dilakukan ) oleh PT. PQR yang sekarang sudah tidak digunakan lagi (terhitung sejak diberlakukannya Kebijaksanaan Pemerintah memperkenankan penyelenggaraan penyiaran televisi swasta sesuai Keputusan Menteri Penerangan Nomor 111/Kep/Menpen/1990 tanggal 24 Juli 1990) seharusnya tidak dapat diberikan penangguhan PPN (harus dibayar tunai). Hal ini telah ditegaskan dalam dengan surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-879/PJ.51/1991 tanggal 8 Juli 1991 bahwa untuk PKP yang Pajak Masukannya harus dibayar kembali, tidak dapat diberikan penangguhan pembayaran PPN. Selanjutnya, PPN yang dibayar atas impor decoder tersebut dapat dikreditkan untuk sementara waktu dan karena mulai tahun 1990 decoder tersebut tidak digunakan lagi oleh PQR dalam kegiatan usahanya. maka setelah akhir tahun 1990 (pada awal tahun 1991). PPN Impor tersebut harus dibayar kembali sebagian dengan menggunakan rumus : (1) Berdasarkan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1441b/KMK.04/1989 PPN yang harus dibayar kembali setelah akhir tahun 1989 (awal tahun 1990) = X D ---- x --- x PM Y B X = jumlah penyerahan yang tidak terutang PPN dalam tahun 1989 Y = jumlah penyerahan seluruhnya dalam tahun 1989. D = penyusutan decoder dalam tahun 1989 B yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 826/KMK.04/1984 tanggal 9 Agustus 1984 besarnya adalah 25% per tahun. PM = besarnya PPN impor atas decoder. (2) Dalam tahun 1990, decoder yang diimpor tidak digunakan lagi oleh PQR. Berdasarkan maksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1441b/KMK.04/1989, PPN yang harus dibayar kembali setelah akhir tahun 1990 (awal tahun 1991) = p x PM p = besarnya % nilai sisa buku decoder pada awal tahun pajak tidak digunakannya lagi decoder tersebut yaitu 100% - 25% = 75% PM = besarnya PPN impor atas decoder. c. Keputusan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan dari fasilitas penangguhan pembayaran PPN impor Barang Modal bagi penyerahan penyedia tenaga listrik swasta berdasar Pasal 6 ayat (1) huruf c KEPPRES No. 37 TAHUN 1992 sedang diproses sehingga Dit. Jen Pajak belum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai hal ini. d. Lain-lain. Kegiatan usaha wajib pajak dapat terdiri dari beberapa macam bidang usaha yaitu kegiatan usaha yang utama dan kegiatan usaha sampingan. Dapat saja kegiatan usaha utama yang tercantum dalam Surat Persetujuan BKPM misalnya disebutkan perhotelan. Namun demikian dalam hal Wajib Pajak juga melakukan kegiatan menyewakan sebagian dari gedung hotelnya untuk persewaan ruangan, Wajib Pajak ini dikukuhkan menjadi PKP atas kegiatan usaha persewaan ruangannya (bukan sebagai kegiatan usaha perhotelan yang tidak terutang PPN). Demikian penegasan kami untuk dimaklumi. DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd. Drs. MAR'IE MUHAMMAD
peraturan/sdp/2151pj.521992.txt · Last modified: 2023/02/05 06:15 by 127.0.0.1