peraturan:sdp:204pj.522004
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 8 April 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 204/PJ.52/2004 TENTANG PEMBAYARAN PPN OLEH PENGUSAHA DI KAWASAN BERIKAT ATAS PEMBELIAN BAHAN BAKU DARI DPIL DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 28 Oktober 2003 hal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara garis besar surat tersebut menjelaskan bahwa: a. PT. ABC adalah perusahaan yang berlokasi di Kawasan Berikat dengan hasil produksi yang bertujuan utama untuk ekspor. Selain ekspor, PT. ABC juga memproduksi dan menjual consumer products (finished goods) ke pasar lokal (dalam negeri) seperti Cooking Oil, Margarine dan Shortening; b. PT. ABC membeli olein (raw material) dari PT. XYZ yang berlokasi di Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) untuk kemudian mengepak (packing) olein tersebut. PT. XYZ adalah pihak yang mempunyai merek (brand) atas olein tersebut. Setelah melakukan pengepakan, PT. ABC menjual kembali the packed branded products (minyak goreng) tersebut kepada PT. XYZ. Karena PT. XYZ tidak berada di dalam Kawasan Berikat (berada di DPIL), pada waktu pembelian olein dipungut PPN dan pada waktu penjualan olein ke PT. ABC harus memungut PPN; c. Pada waktu PT. ABC menjual kembali the packed branded products (minyak goreng) kepada PT. XYZ, berdasarkan peraturan Bea dan Cukai, PT. ABC diharuskan membayar PPN dengan DPP sebesar harga jual (membayar terlebih dahulu PPN yang seharusnya dipungut dari PT. XYZ). Hal tersebut dilakukan agar PT. ABC dapat menjual ke DPIL setelah dipenuhinya Nilai Realisasi Ekspor. Dengan mempertimbangkan bahwa 85-90% dari nilai minyak goreng tersebut mengandung nilai olein, PT. ABC berpendapat bahwa hal tersebut mengakibatkan terjadinya pembayaran PPN dua kali (double payment of PPN). PT. ABC juga menyatakan keberatan atas pembayaran PPN terlebih dahulu tersebut, karena proses restitusi yang diajukan memakan waktu yang lama; d. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, PT. ABC mengajukan usul suatu alternatif untuk membayar jumlah PPN secara tepat namun hanya satu kali yaitu pada waktu penjualan kembali minyak goreng yang telah dikemas, PT. ABC hanya memungut PPN atas packing material, dengan kata lain PT. ABC tidak perlu memungut PPN dengan DPP sebesar Harga Jual, tetapi dengan DPP sebesar cost of packing material; 2. Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 mengatur bahwa Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak; 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003, antara lain mengatur bahwa: 3.1. Pasal 1 ayat (1), Wajib Pajak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam hal memenuhi persyaratan/kriteria sebagai berikut: a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir; b. dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; c. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak: 1) Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 2) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir e. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan f. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal; 3.2. Pasal 1 ayat (2), dalam hal laporan keuangan diaudit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f, maka laporan audit harus: a. Disusun dalam bentuk panjang (long form report); b. Menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. 3.3. Pasal 1 ayat (3), Dalam hal laporan keuangan tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu, sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c, d dan e, serta syarat lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; 3.4. Pasal 1 ayat (4), permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diajukan secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku berakhir; 3.5. Pasal 1 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) setiap bulan Januari dan berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun; 3.6. Pasal 1 ayat (6), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, apabila: a. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; b. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak; c. Dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; d. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak; atau e. Dalam suatu Masa Pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e sejak masa pajak yang bersangkutan. 3.7. Pasal 3 ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tetapi tidak menghendaki diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, dapat menyatakan keinginannya dalam surat tersendiri sebagai lampiran Surat Pemberitahuan yang bersangkutan; 3.8. Pasal 3 ayat (2), Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diproses sesuai dengan ketentuan Pasal 17B Undang- undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000. 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas serta memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1, dengan ini diberikan penegasan bahwa: a. atas penjualan kembali minyak goreng yang telah dikemas oleh PT. ABC di Kawasan Berikat kepada PT. XYZ di Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) terutang PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Harga Jual. Oleh Karena itu, atas usul Saudara agar PT. ABC hanya memungut PPN atas packing material, tidak dapat dipenuhi; b. apabila PT. ABC merasa bahwa proses restitusi PPN memakan waktu yang lama, maka PT. ABC dapat mengajukan diri untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (Wajib Pajak Patuh) apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut pada butir 3 di atas. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL, Pj. DIREKTUR PPN & PTLL ttd ROBERT PAKPAHAN
peraturan/sdp/204pj.522004.txt · Last modified: 2023/02/05 06:19 by 127.0.0.1