peraturan:sdp:1720pj.521992
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 5 Oktober 1992 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 1720/PJ.52/1992 TENTANG PENJELASAN ATAS BEBERAPA MASALAH YANG DITEMUKAN PADA WAKTU VERIFIKASI LAPANGAN PEB DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan beberapa masalah hasil temuan pada saat dilakukan verifikasi lapangan PEB yang disampaikan oleh Tim Gabungan dalam pertemuan Dit. Jen. Pajak-BPKP tanggal 15 September 1992 yang lalu, dengan ini diberikan penjelasan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan Laporan Verifikasi Lapangan PPN. 1. Permasalahan : - Pengusaha telah dikukuhkan PEB sebelum 1 April 1992. Menurut ketentuan PP 75 TAHUN 1991 PEB tersebut baru memungut PPN sejak tanggal 1 April 1992, tetapi ternyata PEB tersebut telah memungut PPN sejak dikukuhkan sebagai PEB yaitu sejak Maret 1992. Penyelesaian : - PPN yang dipungut PEB sebelum 1 April 1992 seharusnya belum terutang dan seharusnya dikembalikan kepada pembeli (konsumen) yang bersangkutan (bukan kepada PEM sebagai penjual). Namun mengingat konsumen yang bersangkutan sukar untuk dicari/ditelusuri, maka PPN yang telah dipungut PEB tersebut tetap harus disetorkan ke Kas Negara dan pemungutan serta penyetoran PPN tersebut adalah sah. Karenanya, mekanisme perhitungan PPN harus diberlakukan secara utuh, dalam arti PPN yang disetor ke Kas Negara adalah hasil pengurangan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukannya, sehingga konsekwensinya Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian BKP barang dagangan sejak saat dikukuhkan yang masih tersisa per 1 Maret 1992 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran Masa Pajak yang bersangkutan (1 Maret 1992). 2. Permasalahan PT. ABC DAN PT. XYZ. - Penjualan BKP (barang elektronik) merk SONY "milik" PT. XYZ ternyata dilakukan dengan menggunakan Bon Penjualan PT. XYZ yang di dalamnya sudah termasuk PPN 10%. Penyerahan dan pembayaran dilakukan dengan menggunakan Faktur Pajak Sederhana (segi cash register) PEB (PT. ABC). PT. ABC memasukkan penjualan tersebut dalam penyerahan yang diterapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 70% x Pajak Keluaran. Penyelesaian : - Karena Faktur Pajak berupa Faktur Pajak Sederhana (segi cash register) yang menyertai BKP yang diserahkan kepada konsumen/pembeli diterbitkan oleh PT. ABC, maka penyerahan kepada konsumen harus diperlakukan sebagai penyerahan yang dilakukan oleh PT. ABC. Karena PT. XYZ adalah pabrikan yang membuat/merakit Barang Kena Pajak merk SONY, maka PT. XYZ tidak dapat diperlakukan sebagai PEB sehingga konsekwensinya PT. XYZ tidak boleh menggunakan pedoman pengkreditan 70% x PK. BKP yang dijual oleh PT. ABC dibeli dari PT. XYZ. Penyerahan BKP dari PT. XYZ kepada PT. ABC merupakan penyerahan yang PPN dan karenanya PT. XYZ harus membuat Faktur Pajak Standar terhadap PT. ABC. Faktur Pajak yang diterbitkan PT. XYZ ini merupakan bukti Pajak Keluaran PT. XYZ dan merupakan Pajak Masukan PT. ABC. Saat terakhir pembuatan Faktur Pajak oleh PT. XYZ untuk memungut PPN yang terutang adalah selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan atau selambat-lambatnya pada saat diterimanya pembayaran bila pembayaran dilakukan lebih dahulu sebelum akhir bulan berikutnya. Dasar Pengenaan Pajak PT. XYZ adalah jumlah pembayaran yang diterima dari PT. ABC, yaitu sebesar harga jual dikurangi potongan harga sebesar 5%, sepanjang jumlah 5% tersebut dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagai pengurangan dari harga jual yang diterima PT. ABC. Data/hasil temuan yang menyangkut PT. XYZ pada saat verifikasi lapangan PPN PT. ABC agar dikirimkan ke petugas / tim yang sedang memeriksa PT. XYZ, sehingga perhitungan PPN yang terutang atas nama PT. XYZ dapat dengan tetap dilaksanakan oleh tim pemeriksa yang bersangkutan (yang memeriksa PT XYZ. 3. Permasalahan PT. UWV dengan PT. PQR Penjualan barang milik PT. UWV yang memakai bon PT. PQR dilaporkan sebagai penjualan PT. PQR. PPN yang terutang dihitung hanya atas nama PT. PQR. Penjualan BKP (mainan anak-anak) milik PT. UVW dilakukan dengan menggunakan Faktur Pajak Sederhana (berupa bon) yang diterbitkan oleh PT. PQR. Karena Faktur Pajak berupa Faktur Pajak Sederhana (bon) yang menyertai BKP yang diserahkan kepada konsumen/pembeli diterbitkan oleh PT. PQR, maka penyerahan kepada konsumen harus diperlakukan sebagai penyerahan yang dilakukan oleh PT. PQR. Karena PT. ABC tidak menyerahkan BKP langsung kepada konsumen akhir maka PT. KM tidak dapat diperlakukan sebagai PEB, dan BKP yang di jual oleh PT. PQR ini dibeli dari PT. ABC. Penyerahan BKP dari PT. ABC kepada PT. PQR merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan karenanya PT. ABC harus menerbitkan Faktur Pajak Standar terhadap PT. PQR. Faktur Pajak PT. ABC ini merupakan bukti Pajak Keluaran PT. ABC dan merupakan Pajak Masukan PT. PQR. Saat terakhir pembuatan Faktur Pajak oleh PT. ABC untuk memungut PPN yang terutang adalah selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan atau selambat-lambatnya pada saat diterimanya pembayaran bila pembayaran dilakukan lebih dahulu sebelum akhir bulan berikutnya. Dasar Pengenaan Pajak PT. ABC adalah jumlah pembayaran yang diterima dari PT. PQR, yaitu sebesar harga jual dikurangi potongan harga sebesar 5%, sepanjang jumlah 5% tersebut dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagai pengurang dari harga jual yang diterima dari pembeli (PT. PQR). Dengan demikian prosedur yang dilakukan oleh PKP PT. ABC dan PT. PQR tidak dapat dibenarkan. PT. ABC tidak dapat menyetor PPN-nya melalui PKP lain (PT. PQR), karena masing-masing PKP harus memungut, menyetor dan melaporkan kewajiban PPN-nya sendiri-sendiri. Dengan demikian, KPP Jakarta Utara Satu tetap harus menerbitkan SKP PPN atas nama PT. ABC. 4. Ketentuan butir 4.2 SE-08/PJ.51/1992 tanggal 23 Maret 1992. - Ketentuan pada butir 4.2 SE-08/PJ. 51/1992 tanggal 23 Maret 1992 menyatakan bahwa, penyerahan BKP antara pusat dengan cabang/tempat usaha atau antara cabang/tempat usaha dengan cabang/tempat usaha lainnya tidak merupakan penyerahan yang terutang PPN. - Ketentuan tersebut berlaku untuk PEB yang lokasi usahanya tersebar di berbagai tempat dan di berbagai kota tanpa dikaitkan dengan apakah PEB tersebut mengajukan permohonan/ mendapat izin sentralisasi atau tidak. - Ketentuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan administratif bagi PEB dalam masa peralihan yang lokasi usahanya tersebar di berbagai tempat dan di berbagai kota serta pembelian barangnya sebagian besar atau seluruhnya dipusatkan di Kantor Pusatnya, dengan pertimbangan untuk mengatasi masalah pengenaan PPN dan pengkreditan PM berkenaan dengan pengiriman barang dari Kantor Pusat ke Cabang atau Cabang ke Cabang lain dari PEB yang menggunakan pedoman pengkreditan agar tidak dirugikan (secara teoritis, Bila diperlakukan terutang PPN, maka penyerahan dari pusat misalnya Rp. X,- hanya dapat diperhitungkan oleh cabang sebesar Rp. 0,7X,-). - Karena penyerahan dari pusat ke cabang selama masa transisi (untuk menghindarkan kerugian PKP) dianggap tidak merupakan penyerahan kena Pajak sebagaimana diatur dalam SE Seri PPN-179 atas penyerahan tersebut tidak perlu diperlakukan sebagai penyerahan yang terutang PPN yang harus ditagih PPN-nya, sepanjang PEB yang bersangkutan membuat Nota Pengiriman BKP dari Pusat ke Cabang atau Cabang ke Cabang. Setiap Faktur Pajak hanya dapat dikreditkan oleh PKP bila Faktur Pajak tersebut mencantumkan nama, NPWP dan alamat Cabang yang bersangkutan. 5. Permasalahan Pabrikan PT. STU dengan Penyalur Khusus Bata. a. Berdasarkan perjanjian antara PT. STU dengan penyalur khusus yang ditunjuk dinyatakan bahwa penyerahan barang dari PT. STU kepada penyalur didasarkan pada perjanjian konsinyasi, sehingga pada dasarnya stock yang ada penyalur masih tetap menjadi milik perusahaan PT. STU. Berdasarkan hal ini, menurut Pabrikan PT. STU, penyerahan dalam rangka konsinyasi barang-barang produksinya kepada penyalur belum merupakan penyerahan kena pajak yang terutang PPN. b. Dalam perjanjian juga disebutkan penyalur membayar kepada PT. STU suatu imbalan atas fasilitas-fasilitas, hak mempergunakan merk dagang, konsultasi, manajemen dan lain-lain sebesar 1/2% dari hasil penjualan stock (penerimaan kotor penjualan barang konsinyasi PT. STU). Penyelesaian : a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 huruf d angka 1 (huruf d) UU PPN 1984 dan telah ditegaskan dalam SE-28/PJ.3/1985 tanggal 2 April 1985 (Seri PPN-41) disebutkan bahwa penyerahan BKP kepada pedagang perantara termasuk pedagang konsinyasi (penyalur PT. STU) terutang PPN. Karenanya, PT. STU harus menerbitkan Faktur Pajak pada saat penyerahan BKP atau paling mbat pada akhir bulan berikutnya dari bulan penyerahan. Namun dalam hal pembayaran diterima sebelum batas waktu tersebut, Faktur Pajak harus segera diterbitkan pada saat pembayaran. b. Karena PT. STU juga bertindak sebagai pengusaha Jasa Kena Pajak seperti dimaksud dalam Kep. Men. Keu. No. 302/KMK.04/1989 jo. Angka huruf u Pengumuman Dirjen Pajak No. PENG-139/PJ.63/1989, maka atas pembayaran sebesar 1/2% dari jumlah penjualan stock yang diterima (sebagai imbalan dari penyerahan jasa penggunaan hak untuk menggunakan merk dagang, konsultasi dan manajemen) terutang PPN yang harus dipungut sebesar 10%. PPN yang dipungut merupakan Pajak Keluaran bagi PT. STU dan merupakan Pajak Masukan bagi penyalur. Demikian penjelasan kami untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ttd. Drs. WALUYO DARYADI KS
peraturan/sdp/1720pj.521992.txt · Last modified: by 127.0.0.1