peraturan:sdp:14pj.3432006
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 6 Januari 2006 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 14/PJ.343/2006 TENTANG TARIF PPh PASAL 26 ATAS PENYERAHAN JASA OLEH WP DARI NEGARA CHINA DAN STATUS TREATY PARTNER NEGARA HONGKONG DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal 21 September 2005 perihal seperti tersebut pada pokok surat, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa : a. Pada saat ini, Divisi Long Distance PT Telkom memiliki beberapa kontrak kerjasama sewa satelite dengan negara China dan Hongkong; b. Berdasarkan Pasal 6 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan China dinyatakan bahwa penghasilan dari penyewaan barang tidak bergerak "dapat dikenakan pajak di Negara Pihak Lainnya", tetapi tidak dijelaskan besarnya tarif pajak yang harus dikenakan; c. Untuk itu, dimohon klarifikasi atas hal tersebut terutama besaran tarif PPh Pasal 26 yang harus dipotong atas pembayaran transaksi dimaksud dan apakah atas transaksi tersebut terhutang PPN; d. Disamping itu, berkaitan dengan adanya kerjasama PT Telkom dengan Hongkong dimohon klarifikasi apakah Hongkong juga merupakan negara treaty partner; 2. Menanggapi hal-hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut : a. Berdasarkan Sino-British Joint Declaration on the Question of Hong Kong yang ditandatangani oleh China dan Inggeris pada tanggal 19 Desember 1984, Hong Kong dijadikan sebagai Special Administrative Region dari negara China yang secara ekonomi autonomous (termasuk dalam membentuk Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B) sejak tanggal 1 Juli 1997 sampai 50 tahun kedepan. Sampai saat pemerintah Indonesia dan Hong Kong belum memiliki P3B. b. Dalam P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China, diatur antara lain sebagai berikut : Article 6 (Income from Immovable Property) 1. Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property (including income from agriculture or forestry) situated in the other Contracting State may be taxed in that other State. 2. The term "immovable property" shall have the meaning which it has under the law of the Contracting State in which the property in question is situated. The term shall in any case include property accessory to immovable property, live stock and equipment used in agriculture and forestry, rights to which the provisions of general law respecting landed property apply, usufruct of immovable property and rights to variable or fixed payments as consideration for the working of, or the right to work, mineral deposits, sources and other natural resources. Ship and aircraft shall not be regarded as immovable property. Article 12 (Royalties) 1. Royalties arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting State may be taxed in that other Contracting State. 2. The rate of tax imposed by one of Contracting States on royalties derived from sources within that Contracting State and beneficiary owned by resident of the other Contracting State shall not exceed 10 percent of the gross amount of the royalties. 3. The term "royalties" as used in this Article means payments, whether periodical or not, and in whatever form or name or nomenclature to the extent to which they are made as consideration for: c. the use of, or the right to use, any industrial, commercial or scientific equipment; or d. kemudian dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria "Beneficial Owner" sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Negara Lainnya, ditegaskan antara lain bahwa : * Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. * Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan. e. Selanjutnya dalam butir 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara lain ditegaskan bahwa : * Wajib Pajak Luar Negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar; * Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan tarif PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak Luar Negeri tersebut. 3. Berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan pada butir 2 di atas, disampaikan penegasan sebagai berikut : a. Penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas transaksi penyewaan satelite oleh PT Telkom kepada resident China tidak termasuk dalam cakupan Article 6 P3B Indonesia - China, melainkan termasuk dalam cakupan ketentuan pembayaran royalties sebagaimana diatur dalam Paragraph 3 c of Article 12 P3B Indonesia - China; b. Dengan demikian, tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku atas pembayaran tersebut adalah sebesar 10% dari jumlah bruto sepanjang penerima penghasilan merupakan resident dan beneficial owner dari penghasilan dimaksud yang antara lain ditunjukkan dengan adanya Surat Keterangan Domisili (SKD) dari competent authority perpajakan negara China; c. Oleh karena sampai dengan saat ini Pemerintah Indonesia belum memiliki P3B dengan Hongkong maka seluruh transaksi antara Wajib Pajak Indonesia dengan Hongkong tunduk kepada ketentuan perpajakan domestik masing-masing dan tidak tunduk kepada ketentuan dalam P3B Indonesia - China mengingat Hongkong secara ekonomi terpisah dari negara China. 4. Ketentuan dalam surat penegasan ini berlaku terbatas terhadap kasus yang bersangkutan pada kurun waktu dan kondisi dari kasus dimaksud sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Demikian disampaikan untuk diindahkan sebagaimana mestinya DIREKTUR, ttd. HERRY SUMARDJITO NIP 060061993
peraturan/sdp/14pj.3432006.txt · Last modified: 2023/02/05 18:12 by 127.0.0.1