peraturan:sdp:1043pj.3312005
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 8 Desember 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 1043/PJ.331/2005 TENTANG MOHON PENJELASAN MENGENAI PPh DAN BPHTB ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, SEHUBUNGAN DENGAN TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor xx tanggal xxx perihal dimaksud pada pokok di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut antara lain dikemukakan : a. Pada tanggal 4 Oktober 1991 terjadi perjanjian Sewa Guna Usaha/Finance Lease yang akta perjanjiannya dibuat oleh Notaris xxx, di xxx, antara PT ABC selaku lessor dan PT CCC selaku lessie; b. Nilai transaksi sebesar USD xxx dengan Hak Opsi sebesar USD xxx; c. Masa angsuran 48 bulan; d. Obyek perjanjian adalah tanah dan bangunan seluas xxx di Jl xxxxx; e. Pada tanggal 21 Oktober 1998 lessie membeli haknya kembali sebesar USD xxx; f. Saudara menanyakan perhitungan BPHTB dan PPh atas pembelian tanah dan gedung tersebut baik untuk lessie maupun untuk lessor apakah dihitung 5% (lima persen) dari bilai hak opsi atau dari NJOP. 2. Dasar Hukum : a. BPHTB Undang-undang Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 TAHUN 2000 (UU BPHTB) antara lain mengatur : 1) Pasal 4 ayat (1) : yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. 2) Pasal 2 ayat (1) : yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 3) Pasal 5 : tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). 4) Pasal 6 ayat (1) : dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. 5) Pasal 6 ayat (2) : Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain dalam hal : a. jual beli adalah harga transaksi; 6) Pasal 6 ayat (3) : apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 7) Pasal 7 ayat (1) : Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 8) Pasal 7 ayat (2) : Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 9) Pasal 8 ayat (1) : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. 10) Pasal 8 ayat (2) : Besarnya Pajak yang Terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. 11) Pasal 9 ayat (1) : Saat terutang pajak atas perolehan hak tanah dan atau bangunan antara lain untuk : a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. PPh 1) Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 mengatur bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 TAHUN 1999 antara lain mengatur : a. Pasal 1 ayat (1) : atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. b. Pasal 4 ayat (1) : besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. c. Pasal 5 huruf a : dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b yang jumlah brutonya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. 3. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Kewajiban pembeli atau pihak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan adalah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Objek Pajak setelah dkurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan secara regional sebagaimana diatur dalam UU BPHTB di atas. b. Kewajiban bagi penjual tanah dan atau bangunan adalah membayar Pajak Penghasilan sepanjang nilai transaksi jual beli tanah dan atau bangunan tersebut bernilai Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) atau lebih, dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. c. Berdasarkan butir a dan b diatas, ketentuannya adalah : 1. Dalam kasus Saudara, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) UU BPHTB adalah NJOP yang berlaku pada saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU BPHTB, sehingga jika NJOP untuk tahan dan atau bangunan dimaksud lebih besar dari nilai transaksi maka penghitungan BPHTB didasarkan pada NJOP tersebut, sebaliknya jika NJOP tersebut lebih kecil dari nilai transaksi maka penghitungan BPHTB didasarkan pada nilai transaksi. 2. PT ABC selaku leassor mempunyai kewajiban membayar Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir b diatas, sedangkan PT CCC selaku leassie mempunyai kewajiban membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) sebagaimana dimaksud dalam butir a diatas. Demikian untuk dimaklumi. A.n. Direktur Jenderal Direktur, ttd. Herry Sumardjito NIP 060061993 Tembusan : Direktur Jenderal Pajak
peraturan/sdp/1043pj.3312005.txt · Last modified: 2023/02/05 18:12 by 127.0.0.1