KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO 40-42 JAKARTA 12190, KOTAK POS 124
TELEPON (021) 525-0208; 525-1609; FAKSIMILE (021) 573-2062; SITUS: http://www.pajak.go.id
LAYANAN INFORMASI DAN PENGADUAN KRING PAJAK (021) 1500200;
EMAIL: [email protected]; [email protected]
Nomor
Sifat
Hal
:
:
:
S-45/PJ.02/2018
Sangat Segera
Penegasan atas PPh yang Dipotong/Dipungut Pihak lain atas Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak yang Dikenai PPh Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor **46 TAHUN 2013**
9 Februari 2018
Yth.
1.
2.
Para Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak
di seluruh Indonesia
Dalam rangka memberikan kepastian dan keseragaman dalam perlakuan PPh yang dipotong/dipungut pihak lain atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor **46 TAHUN 2013** (selanjutnya disebut WP PP-46) dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut:
1.
Dasar Hukum:
a.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor **6 TAHUN 1983** tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor **16 TAHUN 2009** (selanjutnya disingkat Undang-Undang KUP) mengatur bahwa berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
b.
Peraturan Pemerintah Nomor **46 TAHUN 2013** tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disingkat PP-46) mengatur antara lain:
1)
Pasal 2 ayat (1), atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2)
Pasal 3 ayat (1), besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
c.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor **107/PMK.011/2013** tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disingkat PMK-107) mengatur antara lain:
1)
Pasal 2 ayat (1), atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2)
Pasal 6 ayat (1), atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
3)
Pasal 6 ayat (2), pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
4)
Pasal 6 ayat (3), Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
d.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor **187/PMK.03/2015** tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak terutang (selanjutnya disingkat PMK-187) mengatur antara lain:
1)
Pasal 2 huruf d, permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal: terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak.
2)
Pasal 12 ayat (2) huruf a, kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dapat berupa: pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut.
3)
Pasal 13 ayat (1), dalam hal terjadi kesalahan pemotongan dan pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.
4)
Pasal 15 ayat (3), hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a)
pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
b)
dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana yang bersifat tidak final, Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
c)
pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau pemungut dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut; dan
d)
pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
e.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor **242/PMK.03/2014** tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (selanjutnya disingkat PMK-242) mengatur antara lain:
1)
Pasal 16 ayat (1), dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
2)
Pasal 16 ayat (2) huruf h, Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.
3)
Pajak 17 ayat (1), permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diajukan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat pembayaran diadministrasikan menggunakan surat permohonan Pemindahbukuan.
4)
Pasal 17 ayat (7), pembayaran pajak yang tercantum dalam SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk dapat diajukan permohonan Pemindahbukuan dalam hal pembayaran tersebut belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat Tagihan Pajak dan/atau surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat tagihan Pajak PBB dan/atau Surat Ketetapan Pajak PBB, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan.
f.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor **PER-32/PJ/2013** tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor **46 TAHUN 2013** tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disingkat PER-32) mengatur antara lain:
1)
Pasal 2, Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.
2)
Pasal 7 ayat (1), pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.
g.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-42/PJ/2013** tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor **46 TAHUN 2013** tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disingkat SE-42) mengatur antara lain:
1)
Huruf E butir 8, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
2)
Huruf F butir 7, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:
a)
atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
(1)
dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan; atau
(2)
dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
(3)
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
b)
atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor:
(1)
dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
(2)
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
2.
Dengan pertimbangan dasar hukum di atas, disampaikan penegasan sebagai berikut:
a.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) PMK-107, atas pernghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak PP-46, yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan.atau pemungutan PPh oleh pihak lain.
b.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final oleh pihak lain tersebut diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
c.
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak PP-46 menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.
d.
Dalam hal Wajib Pajak PP-46 menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi sebelum pemotongan dan/atau pemungutan dilakukan, namun pemotong dan/atau pemungut pajak tetap melakukan pemotongan dan/pemungutan PPh, maka:
1)
atas PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara Pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau Bukti Penerimaan Negara yang telah diisi atas nama Wajib Pajak PP-46 dapat:
a)
diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Bendahara Pemerintah ke setoran PPh Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak PP-46;
b)
diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak PP-46; atau
c)
dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak PP-46 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan;
2)
atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan dapat:
a)
diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak PP-46; atau
b)
dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak PP-46 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
e.
Dalam hal Wajib Pajak PP-46:
1)
tidak dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi sebelum pemotongan dan/atau pemungutan dilakukan; atau
2)
menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi, namun setelah pemotongan dan/atau pemungutan dilakukan,
pemotong dan/atau pemungut pajak tetap melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh.
f.
Atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf e dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak PP-46 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
g.
Dalam hal pengkreditan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf f menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud dapat diminta oleh Wajib Pajak PP-46 melalui permohonan dalam SPT Tahunan untuk selanjutnya diproses sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D Undang-Undang KUP.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
a.n.
Direktur Jenderal
Direktur Peraturan Perpajakan I,
ttd.
Arif Yanuar
NIP 19670128 199503 1 001
Tembusan
1.
2.
3.
4.
Direktur Jenderal Pajak
Para Staf Ahli Bidang Perpajakan, Kementerian Keuangan
Para Pejabat Eselon II di Lingkungan Kantor Pusat DJP
Kepala Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan
Kp.: PJ.021/PJ.0201/2018
@liendza_timtkb, 13/03/2018