User Tools

Site Tools


peraturan:sd:2pj.03pj.0322022

tkb_admin_user_images_images_logo_20djp.jpg

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II

JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO 40-42 JAKARTA 12190, 

TELEPON (021) 525-0208; FAKSIMILE (021) 5232064; SITUS: http://www.pajak.go.id

LAYANAN INFORMASI DAN PENGADUAN KRING PAJAK (021) 1500200;

SUREL [email protected]; [email protected]


 

Nomor
Sifat
Lampiran
Hal

:
:
:
:
 

S-2/PJ.03/PJ.032/2022
Biasa

Satu berkas

Apakah PPh untuk Pesangon dapat Dinolkan?

24 Oktober 2022

 

 

 

Yth.

Sdr. X


            Sehubungan dengan surat elektronik Saudara tanpa nomor tanggal 24 September 2022, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.

secara garis besar dalam surat tersebut disampaikan bahwa:

 

a.

Saudara berpendapat bahwa pasca omnibuslaw dan resesi global, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan sangat mudah menimpa buruh/karyawan swasta. Buruh berpotensi akan menerima uang pesangon hasil penghitungan besaran uang pesangon berdasarkan omnibuslaw, serta akan dikenakan pemotongan pajak progresif; 

 

b.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Saudara menanyakan apakah dapat dipertimbangkan untuk menolkan PPh untuk uang pesangon?

2.

ketentuan terkait:

 

a.

Undang-Undang Nomor **7 TAHUN 1983** tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor **7 TAHUN 2021** tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh), mengatur bahwa:

 

 

1)

Pasal 4 ayat (1) huruf a, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini.

 

 

2)

Pasal 17 Ayat (1) huruf a, Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sebagai berikut:

 

 

 

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak 
sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) 5% (lima persen) 
di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen) 
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 30% (tiga puluh persen)
di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)

 

 

3)

Pasal 21 ayat (1) huruf a, pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

 

b.

Peraturan Pemerintah Nomor **68 TAHUN 2009** tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus (PP-68/2009), mengatur bahwa:

 

 

1)

Pasal 1 angka 3, pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;

 

 

2)

Pasal 1 angka 4, Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak; 3)  4)  5) 

 

 

3)

Pasal 2 ayat (1), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final;

 

 

4)

Pasal 2 ayat (2), Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

 

 

5)

Pasal 4, tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:

 

 

 

a)

sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); 

 

 

 

b)

sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); 

 

 

 

c)

sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

 

 

 

d)

sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

 

 

6)

Pasal 6 ayat (1), dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahuntahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan; 

 

 

7)

Pasal 6 ayat (2), Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak;

 

 

8)

Pasal 6 ayat (3), atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan;

 

 

9)

Pasal 7 ayat (1), Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua;

 

 

10)

Pasal 7 ayat (2), Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua;

 

 

11)

Pasal 7 ayat (3), kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

3.

berdasarkan ketentuan pada angka 2 dan memperhatikan permasalahan pada angka 1 dengan ini disampaikan bahwa:

 

a.

Atas penghasilan berupa uang pesangon yang diterima atau diperoleh Pegawai (dalam hal ini buruh/karyawan swasta) sebagaimana dijelaskan dalam angka 1, merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi buruh/karyawan swasta sehingga termasuk objek Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 huruf a butir 1);

 

b.

Adapun ruang lingkup uang pesangon sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak;

 

c.

Dengan memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon merupakan objek pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka pada dasarnya tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai yaitu tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (ketentuan angka 2 huruf a butir 2));

 

d.

Menimbang bahwa penghasilan berupa uang pesangon yang dibayarkan secara sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya, sehingga dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.

 

e.

Dengan demikian,tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon diatur dalam ketentuan angka 2 huruf b butir 5) dan bersifat final. Tarif dimaksud berlaku untuk pembayaran sekaligus, termasuk pembayaran beberapa kali sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender; 

 

f.

Namun, dalam hal penghasilan berupa uang pesangon yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang. Pemotongan pajak tersebut tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

 

 

 

Demikian disampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

 

 

 

 

 

 

a.n.

Direktur Peraturan Perpajakan II

 

 

 

Plt.

Kepala Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh OP

ttd

Ditandatangani secara elektronik
Dading Handoko W

 

 

 

 

 

Tembusan:

1.

Direktur Peraturan Perpajakan II 

2.

Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat 

3.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara 

4.

Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

peraturan/sd/2pj.03pj.0322022.txt · Last modified: by 127.0.0.1