KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT PEMERIKSAAN DAN PENAGIHAN
JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO KAV 40-42 JAKARTA 12190, KOTAK POS 124
TELEPON (021) 5250208 EKSTENSI 51556. FAKSIMILE (021) 52964482. SITUS www.pajak.go.id
LAYANAN INFORMASI DAN KELUHAN KRING PAJAK (021) 500200;
EMAIL [email protected]
Nomor
:
S-1055/PJ.04/2013
26 Juli 2013
Sifat
:
Sangat Segera
lampiran
:
1 (satu) set
Hal
:
Penegasan Terkait Surat Teguran dan Surat Paksa yang
Seharusnya Tidak Diterbitkan atau Belum Saatnya
Diterbitkan Terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Yth.
1.
Kepala Kantor Wilayah DJP
2.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
seluruh Indonesia
Dalam rangka memberikan kepastian hukum terkait dengan permasalahan yang timbul karena terdapatnya penerbitan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang seharusnya tidak dilakukan atau belum saatnya diterbitkan, dengan ini kami tegaskan hal-hal sebagai berikut.
I.
Permasalahan Umum
Penagihan Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa oleh Pejabat. Dalam penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa tersebut terdapat 2 (dua) permasalahan yang timbul yang memerlukan penegasan lebih lanjut, yaitu:
a.
Surat Teguran dan Surat Paksa tidak seharusnya diterbitkan, yaitu Surat Teguran dan Surat Paksa yang diterbitkan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak karena utang pajaknya telah lunas;
b.
Surat Teguran dan Surat Paksa belum saatnya untuk diterbitkan ,yaitu Surat Teguran dan Surat Paksa yang diterbitkan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak, atau Wajib Pajak sedang dalam proses upaya hukum keberatan dan/atau banding atas utang pajaknya yang merupakan SKPKB/SKPKBT hasil pemeriksaan tahun pajak 2008 dan sesudahnya;
c.
Terhadap Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dapat berisiko untuk dilakukan perlawanan hukum oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
II.
Pertimbangan dan Dasar Hukum
Terkait dengan penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa, pertimbangan dan dasar hukum yang terkait adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Nomor **6 TAHUN 1983** tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor **16 TAHUN 2009**, mengatur antara lain:
1.
Pasal 16 ayat (1), Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
2.
Pasal 23 ayat (2) huruf a, Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
b.
Undang-Undang Nomor **19 TAHUN 1997** tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor **19 TAHUN 2000**, mengatur antara lain:
1.
Pasal 1 angka 10, Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya;
2.
Pasal 1 angka 12, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak;
3.
Pasal 2 ayat (3) huruf b angka 1 dan 3, Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berwenang menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, dan Surat Paksa;
4.
Pasal 8 ayat (1) huruf a, Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
5.
Pasal 8 ayat (2), Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran;
6.
Pasal 39 ayat (1), Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan;
7.
Penjelasan Pasal 39 ayat (1), Ketentuan ini mengatur pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah utang pajak, atau keterangan lainnya yang tercantum dalam Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang, atau Surat Penentuan Harga Limit yang permohonannya diajukan oleh Penanggung Pajak kepada Pejabat. Dalam hal Penanggung Pajak mengajukan permohonan penggantian surat-surat dimaksud, baik karena hilang maupun rusak, atau karena alasan lain, penggantiannya diberikan dalam bentuk salinan atau turunan yang ditandatangani oleh Pejabat;
8.
Pasal 39 ayat (2), Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
c.
Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor **74 TAHUN 2011** tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, mengatur saat Surat Teguran dapat diterbitkan antara lain:
1.
Ayat (1), dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan;
2.
Ayat (2), dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding;
3.
Ayat (3) , dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang;
4.
Ayat (4), dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang;
5.
Ayat (5), dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran;
6.
Ayat (6), Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2) , ayat (3), ayat (4);
7.
Ayat (7) , dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan;
8.
Ayat (8) , dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding;
9.
Ayat (9), dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.
d.
Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan Nomor **24/PMK.03/2008** tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor **85/PMK.03/2010**, mengatur bahwa:
1.
Ayat (1), Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan;
2.
Ayat (2), Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan;
3.
Ayat (3), apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan Penagihan Pajak ditunda untuk sementara waktu;
4.
Ayat (4), Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, dan Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan;
5.
Ayat (5), tindakan pelaksanaan Penagihan Pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat.
e.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-08/PJ.75/2000** tentang Tata Cara Penerbitan Ulang Surat Teguran, Penerbitan Surat Paksa Pengganti, dan Pembetulan atau Penggantian Surat-Surat dalam Rangka Pelaksanaan Penagihan Pajak, mengatur antara lain:
1.
Penerbitan ulang Surat Teguran dapat saja dilakukan terutama apabila Surat Teguran yang telah pernah diterbitkan tidak dapat diketemukan lagi dalam administrasi penagihan;
2.
Pembetulan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang dilakukan dalam hal ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, NPWP, jumlah utang pajak, atau keterangan lain. Pembetulan dapat dilakukan karena permohonan Penanggung Pajak atau secara jabatan.
f.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor **SE-100/PJ/2010** tentang Kebijakan Perubahan Data SIDJP, SIPMOD, dan SISMIOP mengatur bahwa perubahan data atas produk hukum yang telah diterbitkan yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor **28 TAHUN 2007** tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
g.
Bahwa suatu ketetapan yang tidak memenuhi persyaratan dan cacat formil dapat dibatalkan demi kepastian hukum. Hal tersebut mengacu kepada Jurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 643 K/Sip /1973 yang merupakan kaidah hukum tetap menyatakan “pembatalan surat keputusan yang keliru dan cacat hukum adalah sah dan tidak melawan hukum”.
h.
Pasal 53 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang NO. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengatur antara lain:
1.
Ayat (1), seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi;
2.
Ayat (2) , alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a)
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
III.
Penegasan
Dengan mengacu kepada dasar hukum di atas, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut:
a.
Terhadap utang pajak yang telah lunas ataupun Wajib Pajak sedang dalam proses keberatan dan/atau banding atas SKPKB/SKPKBT hasil pemeriksaan/verifikasi tahun pajak 2008 dan sesudahnya, maka Surat Teguran dan Surat Paksa tidak seharusnya atau belum saatnya untuk diterbitkan;
b.
Dalam hal telah terjadi penerbitan dan penglnman Surat Teguran atau pemberitahuan Surat Paksa kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak, sedangkan Surat Teguran atau Surat Paksa tersebut tidak seharusnya terbit ataupun belum saatnya untuk diterbitkan maka ketentuan perpajakan sebagaimana diuraikan pada angka II di atas tidak mengatur secara khusus mekanisme hukum untuk pencabutan atau pembatalannya;
c.
Untuk meminimalisasi atau menghindari perlawanan hukum yang mungkin dilakukan oleh Wajib Pajak dan memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), dengan ini disampaikan bahwa:
1)
Terhadap Surat Teguran dan Surat Paksa yang seharusnya tidak diterbitkan atau belum saatnya diterbitkan tetapi diterbitkan oleh pejabat maka pejabat yang bersangkutan diinstruksikan untuk menerbitkan Surat Pencabutan atau Pembatalan atas Surat Teguran dan Surat Paksa yang dimaksud dan menyampaikannya kepada Wajib PajaklPenanggung Pajak;
2.)
Contoh Surat Pembatalan Surat Teguran dan Surat Pembatalan Surat Paksa adalah sebagaimana terlampir;
3)
Dalam hal SKPKB/SKPKBT hasil pemeriksaan/verifikasi tahun pajak 2008 dan sesudahnya telah memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor **74 TAHUN 2011** maka Surat Teguran atau Surat Paksa agar diterbitkan lagi dengan sebelumnya memastikan keakuratan nilai utang pajak Wajib Pajak yang bersangkut.an untuk menghindari penerbitan Surat Teguran ataupun Surat Paksa atas utang pajak yang telah lunas.
d.
Dengan mendasarkan pada Surat Pembatalan Surat Teguran dan/atau Surat Pembatalan Surat Paksa maka dilakukan pemutakhiran data yaitu penghapusan (delete) data penerbitan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang terlanjur tercatat dalam SIDJP dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam **SE-100/PJ/2010**.
Demikian penegasan ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Atas perhatiandan kerja samanya, diucapkan terima kasih.
Direktur
ttd.
Dadang Suwarna
NIP 195811061982031001
Tembusan:
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Direktur Peraturan Perpajakan I;
3. Direktur Peraturan Perpajakan II;
4. Direktur Teknologi Informasi Perpajakan;
5. Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur.
Kp. : PJ.045/PJ.0453