User Tools

Site Tools


peraturan:pp:42tahun1985
                 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                     NOMOR 42 TAHUN 1985

                        TENTANG

                  PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984
          
                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :

bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi 
kewajiban perpajakan khususnya Pajak atas Penghasilan dan bagi aparatur perpajakan dalam melakukan 
penyuluhan, pembinaan, dan pengawasan, dipandang perlu mengadakan pengaturan kembali atas Peraturan 
Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;

Mengingat :

1.  Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

3.  Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 
    Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);

4.  Peraturan Pemerintah Nomor 35 TAHUN 1983 tentang Pendaftaran, Pemberian Nomor Pokok Wajib 
    Pajak, Penyampaian Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Pengajuan Keberatan (Lembaran Negara 
    Tahun 1983 Nomor 52);

5.  Peraturan Pemerintah Nomor 37 TAHUN 1983 tentang Pajak atas Bunga Deposito Berjangka dan 
    Tabungan-tabungan lainnya (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara 
    Nomor 3266);

                        MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK 
PENGHASILAN 1984.


                        BAB I
               BIAYA ATAU PENGELUARAN YANG DIPERBOLEHKAN
               ATAU YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DIKURANGKAN

                        Pasal 1

(1) Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang boleh 
    dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-
    undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sebesar jumlah yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan 
    Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983.

(2) Besarnya biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sehubungan dengan pekerjaan 
    dan sesudah putusnya hubungan kerja, ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 2

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan 
dengan pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku tidak boleh dikurangkan dari penghasilan 
bruto sebagai biaya.


                        Pasal 3

(1) Penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam 
    proses pengerjaan, penyusutan, dan amortisasi dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta 
    tersebut, dan untuk harta dalam usaha leasing penyusutan dimulai pada tahun harta yang 
    bersangkutan dileasingkan.

(2) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperbolehkan melakukan penyusutan mulai 
    pada tahun harta tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dipergunakan untuk mendapatkan, 
    menagih, dan memelihara penghasilan, atau pada saat harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

(3) Tarif Penyusutan dan Penggolongan harta berwujud dalam usaha Leasing, dilakukan sesuai dengan 
    Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (9) dan ayat (14) Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984.

(4) Apabila terjadi penarikan harta berwujud dari pemakaian karena dihibahkan, disumbangkan, atau 
    diwariskan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang 
    Pajak Penghasilan 1984, maka untuk memperoleh dasar penyusutan :
    a.  jumlah sebesar harga sisa buku dari harta yang dihibahkan, disumbangkan, atau diwariskan 
        tersebut, dikurangkan dari jumlah awal masing-masing golongan harta yang bersangkutan, 
        sedangkan jumlah sebesar harga sisa buku tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya ;
    b.  jumlah sebesar harga perolehan dari harta Golongan Bangunan yang dihibahkan, 
        disumbangkan atau diwariskan tersebut dikurangkan dari jumlah awal Golongan Bangunan, 
        sedangkan jumlah sebesar harga sisa bukunya tidak boleh dikurangkan sebagai biaya.

(5) Apabila terjadi penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun 
    karena sebab luar biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, harga perolehan dikurangkan 
    dari jumlah awal Golongan Bangunan, sedangkan jumlah sebesar harga sisa dibebankan sebagai biaya 
    pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut, dan jumlah sebesar nilai atau harga jual atau 
    penggantian asuransinya merupakan penghasilan.

(6) Apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena 
    sebab luar biasa, maka untuk memperoleh dasar amortisasi, jumlah sebesar harga sisa buku dari 
    harta tak berwujud dikurangkan dari jumlah awal dan jumlah yang dikurangkan tersebut dibebankan 
    sebagai biaya pada tahun terjadinya penarikan, sedangkan jumlah sebesar nilai penggantian atau 
    harga penggantian asuransinya merupakan penghasilan.

(7) Apabila biaya untuk memperoleh hak penambangan dan hak pengusahaan hutan sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 11 ayat (12) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 pada akhir masa produksi 
    belum habis diamortisasi, maka sisa biaya yang belum diamortisasi tersebut tidak diperbolehkan untuk 
    dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan, melainkan harus 
    diamortisasi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.

(8) Apabila ternyata jumlah produksi sebenarnya lebih kecil dari pada jumlah cadangan yang 
    diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa biaya untuk memperoleh hak sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 11 ayat (12) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yang belum habis diamortisasi, 
    maka sisa biaya tersebut diperbolehkan untuk dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak 
    yang bersangkutan.

(9) Biaya yang dikeluarkan sebelum masa operasi yang termasuk pengertian sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diamortisasi mulai saat operasi 
    sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (10) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

(10)    Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) harus dilaporkan dalam lampiran Surat Pemberitahuan 
    Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak ketika biaya yang bersangkutan dikeluarkan atau 
    terhutang, dan tahun pajak dimulainya operasi usaha yang bersangkutan.


                        Pasal 4

Hal-hal yang bersangkutan dengan pemberian kenikmatan perumahan di daerah terpencil yang boleh 
dibebankan sebagai biaya diatur oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 5

(1) Laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang 
    pemborongan bangunan, dihitung dengan jalan mencari penerimaan bruto dan biaya-biaya atau 
    pengeluaran yang diperbolehkan untuk dikurangkan berdasarkan metode persentase tingkat 
    penyelesaian pekerjaan, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.

(2) Untuk menghitung Penghasilan netto dari laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    diperbolehkan untuk dikurangkan biaya-biaya atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
    16 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di luarnya biaya atau pengeluaran sehubungan 
    dengan tingkat penyelesaian pekerjaan yang bersangkutan.


                        BAB II
            DANA CADANGAN KHUSUS DAN FAKTOR PENYESUAIAN

                        Pasal 6

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi usaha bank, lembaga keuangan lainnya 
    yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan usaha asuransi diperbolehkan dikurangkan dari 
    penghasilan bruto, penyisihan untuk keperluan pembentukan dan pemupukan dana cadangan khusus.

(2) Dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
    a.  dana cadangan penghapusan piutang ragu-ragu untuk jenis usaha bank;
    b.  dana cadangan penghapusan piutang ragu-ragu untuk jenis usaha lembaga keuangan lainnya 
        yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
    c.  dana cadangan premi untuk jenis usaha asuransi jiwa;
    d.  dana cadangan premi dan cadangan kerugian untuk jenis usaha asuransi kerugian.

(3) Besarnya dana cadangan khusus serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan pembentukan dan 
    pemupukan dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 
    lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 7

(1) Dasar penghitungan pajak atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta berupa tanah 
    dan/atau bangunan milik orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri, yang tidak dipergunakan 
    dalam perusahaan, pekerjaan  bebas, atau yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, 
    dan memelihara penghasilan, adalah selisih antara harga penjualan atau nilai pengalihan dengan nilai 
    perolehan harta tersebut pada saat terjadinya transaksi.

(2) Besarnya nilai perolehan pada saat terjadinya transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk :
    a.  harta yang telah dimiliki sebelum tanggal 1 Januari 1984 adalah sebesar nilai perolehan pada 
        tanggal 1 Januari 1984 dikalikan dengan faktor penyesuaian, dan nilai perolehan pada tanggal 
        1 Januari 1984 adalah sebesar harga atau nilai perolehan dikalikan dengan faktor penyesuaian 
        tahun 1984 terhadap tahun perolehan harta yang bersangkutan;
    b.  harta yang dimiliki setelah tanggal 31 Desember 1983 adalah sebesar harga atau nilai 
        perolehan dikalikan dengan faktor penyesuaian dari tahun yang bersangkutan terhadap tahun 
        perolehannya.

(3) Besarnya faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri 
    Keuangan.


                        BAB III
                         TARIF EFEKTIF RATA-RATA

                        Pasal 8

(1) Apabila dalam suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak Wajib Pajak orang pribadi menerima 
    penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang dimiliki 
    lebih dari 12 (dua belas) bulan, penghasilan yang berkenaan dengan masa lebih dari 12 (dua belas) 
    bulan di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya, uang tebusan pensiun, tabungan hari tua atau 
    tunjangan hari tua yang dibayarkan sekaligus, atau uang pesangon yang jumlahnya melebihi 
    penghasilan netto untuk masa 12 (dua belas) bulan , dikenakan Pajak Penghasilan dengan cara 
    menerapkan tarif efektif rata-rata.

(2) Tarif efektif rata-rata diperoleh dengan cara menerapkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 
    1984 atas penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan suatu jumlah penghasilan netto yang 
    terdiri dari penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) rata-rata setahun, ditambah 
    dengan penghasilan netto lainnya, dan hasilnya dibagi dengan jumlah penghasilan netto tersebut, 
    dikalikan 100% (seratus persen).

(3) Apabila dalam Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang berkenaan dengan diterimanya penghasilan 
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat Kerugian dari usaha dan/atau perkerjaan bebas, 
    maka untuk menghitung besarnya tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), 
    kerugian tersebut dikompensasikan terlebih dahulu dengan penghasilan netto sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1).

(4) Apabila dalam Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang berkenaan dengan diterimanya penghasilan 
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat sisa kerugian dari usaha dan/atau pekerjaan bebas 
    tahun yang lalu yang belum habis dikompensasikan, maka untuk menghitung besarnya tarif efektif 
    rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sisa kerugian itu dikompensasikan terlebih dahulu 
    dengan penghasilan netto lainnya, dan selanjutnya apabila masih terdapat sisa kerugian, 
    dikompensasikan dengan penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5) Tarif efektif rata-rata yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
    dihitung sampai dengan dua angka di belakang koma, apabila angka ketiga di belakang koma kurang 
    dari lima, angka itu dihilangkan, sedangkan apabila lima atau lebih dibulatkan ke atas.

(6) Untuk menghitung penghasilan netto rata-rata setahun dari uang tebusan pensiun, tabungan hari tua 
    dan tunjangan hari tua yang diterima sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), banyaknya 
    Tahun Pajak yang berkenaan dengan penghasilan tersebut dihitung sebanyak 10 (sepuluh) tahun.


                        BAB IV
                     PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
                      MELALUI PIHAK LAIN

                        Pasal 9

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) 
    Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau 
    pada akhir bulan terhutangnya penghasilan yang bersangkutan.

(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) 
    Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada saat pembayaran atau saat lain yang 
    ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari modal dan jasa-jasa tertentu oleh pihak-pihak 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 huruf sampai dengan huruf d Undang-undang 
    Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan 
    terhutangnya penghasilan yang bersangkutan.

(4) Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e 
    Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada saat Surat pemberitahuan Tahunan Bentuk 
    Usaha Tetap Wajib disampaikan.

(5) Dalam hal pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) meminta perpanjangan waktu 
    penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 huruf e 
    berdasarkan penghitungan sementara, terhutang pada saat surat permohonan disampaikan.


                        Pasal 10

Hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan pegawai atau karyawan 
harian lepas dengan upah harian atau mingguan serta penghasilan berupa honorarium, diatur lebih lanjut oleh 
Menteri Keuangan.


                        Pasal 11

Hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan Pemungutan pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 12

Hal-hal lain yang bersangkutan dengan pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud 
dalam pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 13

(1) Bunga obligasi, dividen dari saham, dan dividen dari sertifikat saham yang diperdagangkan melalui 
    pasar Modal yang dimiliki oleh Subyek Pajak dalam negeri yang jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah 
    tertentu tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 
    Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

(2) Batas jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar Rp 960.000,- 
    (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk masa 1 (satu) tahun atau Rp. 480.000,-(empat ratus 
    delapan puluh ribu rupiah) untuk masa 6 (enam) bulan.

(3) Besarnya batas jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan disesuaikan dengan suatu 
    faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.


                        Pasal 14

Perusahaan dan badan-badan yang berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 antara lain yayasan, badan-badan 
usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan Pemerintah Republik Indonesia
, badan Perwakilan negara asing, badan perwakilan organisasi internasional dan badan atau organisasi lain 
dengan sifat dan dalam bentuk apapun.


                        Pasal 15

Dikecualikan dari kewajiban melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) 
huruf a dan huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 :
a.  badan perwakilan dari negara asing yang memberikan pengecualian yang sama bagi perwakilan 
    Indonesia di negara asing tersebut;
b.  organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 16

Dalam hal Wajib Pajak luar negeri perseorangan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan 
dengan pekerjaan berubah statusnya menjadi Wajib Pajak dalam negeri sejak pertama kali datang ke 
Indonesia, maka pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang 
Pajak Penghasilan 1984 diperhitungkan sebagai kredit pajak dari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 28 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.


                        Pasal 17

(1) Wajib Pajak yang dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terhutang pada akhir 
    Tahun Pajak kurang dari 3/4 (tiga per empat) dari jumlah keseluruhan Pajak Penghasilan yang harus 
    dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-
    undang Pajak Penghasilan 1984, yang selanjutnya disingkat PPh Pasal 25, ditambah dengan Pajak 
    Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, 
    Pasal 22, Pasal 23, dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau terhutang di luar negeri 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dapat mengajukan 
    permintaan pembebasan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang 
    bersangkutan dan/atau mengajukan permintaan pembebasan dari pemotongan, pemungutan oleh 
    pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2) Dalam pengajuan permintaan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak harus 
    menyampaikan penghitungan jumlah pajak yang akan terhutang atas seluruh tahun pajak berdasarkan 
    perkiraan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan serta 
    jumlah pajak yang telah dibayar, dipotong, dan dipungut sampai dengan saat permintaan pembebasan 
    diajukan.

(3) Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan atas permintaan pembebasan sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1) dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat permintaan pembebasan.

(4) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan dalam jangka waktu sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (3), sepanjang yang menyangkut angsuran PPh Pasal 25 permintaan 
    pembebasan tersebut dianggap diterima.

(5) Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai 
    dengan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.


                        BAB V
                      PELUNASAN PAJAK
              DALAM TAHUN BERJALAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

                              Pasal 18

(1) Dasar penghitungan PPh Pasal 25, dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan 
    adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto dikurangi dengan jumlah sisa 
    kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.

(2) Dasar penghitungan PPh Pasal 25 setelah tahun pelaksanaan kompensasi kerugian berakhir, adalah 
    Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto tanpa memperhatikan kompensasi 
    kerugian tersebut.

(3) Penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah penghasilan netto yang 
    diterima atau diperoleh secara teratur menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila 
    penghasilan netto menurut ketetapan pajak terakhir yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak 
    jumlahnya lebih besar.


                        Pasal 19

(1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi :

    a.  jenis usaha Bank dan lembaga keuangan lainnya serta badan-badan lain yang ditunjuk oleh 
        Direktur Jenderal Pajak, adalah jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas Penghasilan 
        Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dibagi 12 
        (dua belas) ;
    
    b.  badan usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, adalah jumlah 
        pajak penghasilan yang terhutang atas penghasilan kena pajak berdasarkan Rencana 
        Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) yang telah selesai disusun dan disahkan pada awal 
        tahun pajak dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pajak sebagaimana dimaksud 
        dalam Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terhutang di luar 
        negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 tahun 
        pajak sebelumnya, dibagi 12 (dua belas).

(2) Dalam hal pada awal tahun pajak yang bersangkutan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja 
    (RAPB) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b belum selesai disusun dan disahkan, maka 
    besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan 
    terakhir tahun pajak sebelumnya.


                        Pasal 20

(1) PPh Pasal 25 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) terhutang pada akhir 
    bulan diterimanya penghasilan tersebut.

(2) Penghasilan netto lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) yang dijadikan dasar untuk 
    menghitung PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah penghasilan netto yang 
    diterima atau diperoleh menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila penghasilan 
    netto menurut ketetapan pajak terakhir yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih 
    besar.

(3) PPh Pasal 25 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tidak terhutang apabila 
    atas penghasilan tersebut telah dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22 atau Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.


                        Pasal 21

(1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi wajib pajak baru dihitung berdasarkan jumlah pajak 
    yang dihasilkan dari penerapan tarif 15% (lima belas persen) atas penghasilan netto yang 
    disetahunkan dibagi 12 (dua belas).

(2) Penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung berdasarkan Norma Penghitungan 
    atas peredaran atau penerimaan bruto.

(3) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan 
    dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan netto setiap bulan, besarnya angsuran 
    PPh Pasal 25 setiap bulan dihitung dengan menerapkan tarif terendah 15% (lima belas persen) dari 
    Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan netto sebulan yang disetahunkan 
    dibagi 12 (dua belas).

(4) Untuk Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan jumlah penghasilan netto sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1) dan ayat (3) dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena Pajak.


                        Pasal 22

Pembayaran-pembayaran lain untuk Pajak Penghasilan yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun 
berjalan, termasuk dalam pengertian angsuran PPh Pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak 
Penghasilan yang terhutang untuk seluruh tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-undang 
Pajak Penghasilan 1984.


                        Pasal 23

Wajib Pajak dalam negeri menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diwajibkan menghitung dan membayar sendiri jumlah Pajak 
Penghasilan yang terhutang atas penghasilan tersebut dan melaporkannya dengan menyampaikan Surat 
Pemberitahuan.


                        Pasal 24

(1) Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terhutang pada akhir tahun 
    pajak kurang dari 3/4 (tiga per empat) dari Pajak Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan 
    besarnya angsuran PPh Pasal 25, dapat mengajukan permintaan pengurangan besarnya angsuran 
    kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2) Dalam pengajuan permintaan pengurangan angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib 
    Pajak harus menyampaikan penghitungan jumlah pajak yang akan terhutang pada akhir tahun 
    berdasarkan perkiraan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang 
    bersangkutan serta besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terhutang menurut 
    penghitungan tersebut.

(3) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat permintaan pengurangan 
    angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan 
    keputusan, maka permintaan pengurangan tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat 
    melakukan angsuran sesuai dengan penghitungannya.


                        BAB VI
                     KETENTUAN LAIN-LAIN

                               Pasal 25



(1) Apabila dalam suatu tahun pajak terjadi perubahan tahun pajak yang telah mendapat persetujuan dari 
    Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984, maka atas bagian dari tahun pajak yang tidak termasuk dalam tahun pajak yang 
    baru harus dilaporkan tersendiri dengan melampirkan Neraca  dan Perhitungan Rugi/Laba berkenaan 
    dengan bagian dari tahun pajak tersebut.

(2) Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut ketentuan sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1).


                        Pasal 26

Hal-hal yang bersangkutan dengan penghitungan kredit pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh 
dari luar Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diatur oleh 
Menteri Keuangan.


                        Pasal 27

Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melaksanakan proyek-proyek yang dananya berasal dari bantuan 
luar negeri diatur dengan Keputusan Presiden.


                        BAB VII
                     KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 28

Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 
masih berlaku atas Pajak Penghasilan untuk tahun Pajak 1984.


                        Pasal 29

Pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya oleh perusahaan penambangan minyak dan gas 
bumi serta perusahaan penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang 
masih berlaku, yang sudah ditandatangani atau yang masih dalam proses perundingan pada saat mulai 
berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya dan bagi pihak 
yang menerima atau memperoleh merupakan penghasilan.


                        Pasal 30

Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi 
sehubungan dengan Kontrak Bantuan Teknik, Kontrak Risiko pinjaman, Kontrak Usaha Bersama dan Kontrak-
kontrak lainnya yang serupa, yang masih berlaku yang sudah ditandatangani atau yang masih dalam proses 
perundingan pada saat mulai berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dipersamakan dengan 
penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 
1984.


                        Pasal 31

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Penghasilan 
yang sudah ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan belum 
diganti dengan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


                        BAB VIII
                       KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 32

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983 tentang 
Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dinyatakan tidak berlaku lagi.


                        Pasal 33

Ketentuan teknis yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh 
Menteri Keuangan.


                        Pasal 34

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan untuk pertama kali diberlakukan untuk 
tahun pajak 1985.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                            Ditetapkan di Jakarta
                            Pada tanggal 13 Nopember 1985
                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                ttd

                            SOEHARTO 

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Nopember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd,

SUDHARMONO, S.H.




               LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 63








                            PENJELASAN 
                         ATAS

                  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                     NOMOR 42 TAHUN 1985

                        TENTANG

                  PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984
          
UMUM

Sistem Pemungutan Pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang ketentuan Umum 
dan Tata Cara Perpajakan adalah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada 
masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Pemerintah, dalam hal ini aparatur perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban memberikan penyuluhan 
dan pembinaan serta pengawasan, agar masyarakat Wajib Pajak mau dan mampu melaksanakan Kewajiban 
Perpajakannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Struktur Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disusun sederhana dimaksudkan agar masyarakat Wajib 
Pajak dapat dengan mudah memenuhi kewajiban perpajakannya dan juga mempermudah pengawasannya.

Agar masyarakat Wajib Pajak dapat memenuhi kewajibannya dengan mudah dan aparatur perpajakan dapat 
melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 35 Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984, hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 
1984 tersebut, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah Peraturan 
Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983, yang dikeluarkan bersamaan dengan saat mulai berlakunya Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984.

Sejak berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983, 
dalam pelaksanaannya timbul hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 
dan juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983 tersebut, ataupun apabila telah 
cukup diatur, pengaturan itu menimbulkan penafsiran yang berbeda dari sasaran yang dituju.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah Nomor 36 TAHUN 1983 yang 
merupakan Peraturan pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 perlu diatur kembali dan 
disempurnakan.


PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

        Ayat (1)

            Pada dasarnya pembayaran untuk pajak yang sifatnya pajak kebendaan dapat 
            dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) 
            huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

            Undang-undang menegaskan bahwa Pajak Penghasilan tidak boleh dikurangkan dari 
            penghasilan bruto, sebab Pajak Penghasilan bersifat pajak pribadi. Khusus yang 
            menyangkut Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas 
            Barang Mewah (PPN) jumlah yang diperbolehkan dikurangkan adalah sebesar PPn 
            yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983.

        Ayat (2)

            Bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan 
            sebagai karyawan atau sesudah putusnya hubungan kerja (pensiun), perlu 
            dipertimbangkan biaya yang dikeluarkan atau terhutang untuk mendapatkan, menagih 
            dan memelihara penghasilan tersebut.

            Jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak tersebut 
            ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    Pasal 2

        Ketentuan ini dimaksudkan agar sasaran dan tujuan dari penerapan sanksi administrasi dan 
        sanksi pidana berkenaan  dengan pelaksanaan perundang-undangan perpajakan yang berlaku 
        dapat tercapai sepenuhnya.

        Adapun tujuan dan sasaran dimaksud adalah untuk mendidik dan membina Wajib Pajak 
        sehingga kepatuhan dan kejujuran Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya 
        sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat ditingkatkan.

        Oleh karenanya peraturan ini menentukan, bahwa sanksi administrasi berupa bunga, denda 
        maupun kenaikan dan sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan 
        Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku tidak diperbolehkan dikurangkan sebagai 
        biaya, mengingat sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah merupakan konsekwensi 
        yuridis yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak atas kelalaian atau pelanggaran dalam 
        melaksanakan kewajiban pajaknya.

    Pasal 3

        Ayat (1)

            Penyusutan dan amortisasi atas harta perusahaan pada umumnya dimulai pada tahun 
            pengeluaran. Namun untuk harta perusahaan yang memerlukan jangka waktu 
            beberapa tahun untuk penyelesaiannya, penyusutan, dan amortisasi dimulai pada 
            tahun selesainya pengerjaan harta yang bersangkutan.

            Misalnya untuk membangun sebuah pabrik, diperlukan jangka waktu 3 (tiga) tahun. 
            Pengeluaran sehubungan dengan pembangunan pabrik tersebut selama 3 (tiga) 
            tahun, mulai disusutkan sejak tahun selesainya pembangunan pabrik tersebut.

            Bagi harta dalam usaha leasing, penyusutan dimulai pada tahun harta tersebut 
            dileasingkan, misalnya : lessor memiliki harta tahun 1985, dileasingkan tahun 1988, 
            maka penyusutan dimulai pada tahun 1988.

        Ayat (2)

            Misalnya harta dibeli tahun 1985 tetapi baru dipergunakan dalam kegiatan usaha 
            dalam tahun 1986, maka wajib Pajak dapat meminta persetujuan Direktur 
            Jenderal Pajak untuk mulai melakukan penyusutan tahun 1986.

            Demikian juga misalnya mengenai tanaman keras, yang ditanam tahun 1985, 
            tetapi baru menghasilkan dalam tahun 1989, maka Wajib Pajak  dapat mulai 
            melakukan penyusutan tahun 1989, dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
            Permohonan untuk menunda penyusutan tersebut dengan sendirinya harus 
            disampaikan oleh Wajib Pajak dalam tahun dilakukannya pengeluaran.

        Ayat (3)

            Ketentuan dalam ayat ini merupakan suatu penegasan, bahwa bagi perusahaan 
            leasing tarif penyusutan maupun penggolongan harta yang dapat disusutkan 
            dilakukan berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang.

        Ayat (4)
        
            Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak 
            Penghasilan 1984, dasar penilaian atas harta bagi pihak yang menerima 
            penyerahan adalah sebesar dasar penilaian bagi pihak yang melakukan 
            penyerahan. Dengan perkataan lain, penyusutan bagi pihak yang menyerahkan 
            akan diteruskan oleh pihak yang menerima penyerahan. Oleh karena itu untuk 
            memperoleh dasar penyusutan bagi pihak yang menyerahkan, maka jumlah 
            sebesar harga sisa buku harta yang diserahkan tersebut dikurangkan dari jumlah 
            awal golongan harta yang bersangkutan dan sebesar harga perolehan bila harta 
            yang diserahkan tersebut berupa harta golongan bangunan.

            Akan tetapi, berbeda dengan penarikan dari pemakaian karena sebab luar biasa 
            sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (7) huruf a Undang-undang Pajak 
            Penghasilan 1984, jumlah sebesar harga sisa buku tersebut tidak diperbolehkan 
            untuk dikurangkan sebagai biaya perusahaan.

        Ayat (5)

            Oleh karena bagi Golongan Bangunan metode penyusutan yang dipakai adalah 
            secara garis lurus (straight line method), maka ketentuan ini mengatur dalam hal 
            terjadi penarikan dari pemakaian bagi Golongan Bangunan, baik karena sebab luar 
            biasa maupun sebab biasa, yang berbeda dengan ketentuan sebagaimana diatur 
            dalam Pasal 11 ayat (7) huruf a dan huruf b.

        Ayat (6)

            Misalnya harta tak berwujud berupa hak sewa atas sebuah atas bangunan selama 3 
            (tiga) tahun.

            Berdasarkan masa sewa 3 (tiga) tahun tersebut, maka harta tersebut termasuk dalam 
            Golongan I dengan tarif amortisasi sebesar 50% (lima puluh persen) setahun.

            Pada tahun ketiga pindah ke tempat lain.

            Atas pengeluaran untuk memperoleh hak sewa tersebut selama 2 (dua) tahun telah 
            diamortisasi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), dan dengan demikian harga sisa 
            bukunya adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen). Jumlah sebesar 25% (dua 
            puluh lima persen)  dari pengeluaran tersebut diperbolehkan dikurangkan sebagai 
            biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan (tahun ketiga pada waktu pindah tempat), 
            sedangkan apabila diterima atau diperoleh penggantian, maka jumlah sebesar nilai 
            penggantian tersebut merupakan penghasilan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

        Ayat (7)

            Ketentuan ini menegaskan, bahwa apabila pada akhir masa produksi masih terdapat 
            biaya untuk memperoleh hak penambangan dan/atau hak perusahaan hutan, 
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (12) Undang-undang Pajak Penghasilan 
            1984, maka sisa biaya yang belum habis diamortisasikan tersebut tidak diperbolehkan 
            untuk dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan, 
            melainkan harus diamortisasi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.

        Ayat (8)
    
            Cukup jelas.

        Ayat (9)

            Biaya yang dikeluarkan sebelum masa operasi yang mempunyai masa manfaat 
            lebih dari satu tahun diakumulasi sampai dengan saat operasi.

            Mulai pada saat operasi, maka jumlah akumulasi biaya tersebut diamortisasi sesuai 
            dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 
            1984.

        Ayat (10)

            Agar supaya dapat diketahui besarnya biaya yang dikeluarkan dan akumulasi biaya 
            dalam setiap tahun pajak, maka biaya dimaksud harus dilampirkan dalam Surat 
            Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Pasal 4
        
        Cukup jelas

    Pasal 5

        Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, penghasilan diakui pada saat 
        diterima secara tunai (metode kas) atau pada saat diperoleh (metode akrual).
        Dalam perusahaan-perusahaan kontraktor yang pengakuan penghasilannya dilakukan 
        berdasarkan metode akrual, dijumpai cara atau metode yang lazim digunakan untuk 
        menentukan besarnya penghasilan yaitu :

        a.  Penghasilan diakui secara periodik atas dasar persentase/dari pekerjaan yang 
            diselesaikan. Jadi penghasilan diakui secara proporsional sesuai dengan tahap 
            produksi. Cara ini lazim dijumpai dalam perusahaan-perusahaan kontraktor yang 
            mengerjakan proyek-proyek yang pada umumnya memakan waktu beberapa tahun. 
            Metode ini dikenal sebagai metode persentase penyelesaian ("percentage of 
            completion method"), atau;

        b.  Penghasilan diakui pada saat kontrak telah selesai; cara ini dikenal atau lazim disebut 
            metode kontrak selesai ("completed contract method").

        Penggunaan dari salah satu kedua metode pengakuan penghasilan tersebut di atas, akan 
        menghasilkan jumlah perbedaan penghasilan dari tahun ketahun dan perbedaan dalam 
        penghitungan PPh yang terhutang untuk tiap Tahun pajak sebagai berikut :

        a.  dalam hal ini pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode persentase 
            penyelesaian", maka penghitungan PPh yang terhutang dilakukan setiap Tahun Pajak 
            atas dasar Penghasilan yang diperoleh secara periodik (proporsional) selama tahap 
            produksi.

        b.  dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode kontrak selesai", 
            penghitungan PPh yang terutang hanya dapat dilakukan pada saat atau pada Tahun 
            Pajak selesainya pelaksanaan kontrak, karena penghasilan baru diakui pada saat 
            kontrak telah selesai.

        Jadi selama tahap produksi penghitungan PPh tidak dapat dilaksanakan, karena selama 
        periode pelaksanaan kontrak tidak ada pengakuan terhadap hasil yang berkenaan dengan 
        tahap kemajuan dalam penyelesaian kontrak.

        Mengingat akan hal tersebut di atas, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk :

        a.  meratakan pembebanan pajak dalam setiap Tahun Pajak selama jangka waktu 
            produksi yang pada akhirnya dapat meringankan beban Wajib Pajak, karena 
            pembayaran pajak pada suatu Tahun Pajak adalah sesuai dengan penghasilan yang 
            diperoleh secara proporsional selama tahap produksi dan beban pajak tersebut tidak 
            menumpuk pada saat (tahun) penyelesaian kontrak;

        b.  memperoleh keseragaman dalam pengakuan penghasilan bagi semua Wajib Pajak 
            yang bergerak dalam bidang konstruksi;

        c.  mencapai keadilan bagi seluruh Wajib Pajak yang bergerak dalam usaha yang sama.

        Ayat (1)

            Ketentuan ini mewajibkan bagi seluruh Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang 
            pemborongan bangunan untuk mempergunakan metode persentase penyelesaian 
            ("percentage of completion method") dalam menentukan besarnya laba bruto 
            usaha dalam suatu tahun pajak.

            Ketentuan dalam ayat ini menjadi tidak berlaku apabila Menteri Keuangan 
            menentukan lain.

        Ayat (2)

            Untuk menghitung penghasilan netto maka laba bruto usaha sebagaimana dimaksud 
            dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 
            ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 misalnya biaya umum dan 
            administrasi, selain biaya yang telah dibebenkan pada ayat (1).

    Pasal 6

        Ayat (1)

            Pada hakekatnya pembentukan dan pemupukan dana cadangan, tidak diperbolehkan 
            dikurangkan dari penghasilan bruto.

            Khusus untuk jenis usaha Bank, Lembaga Keuangan lainnya, jenis usaha asuransi 
            jiwa dan asuransi kerugian, pembentukan dan pemupukan dana cadangan ini 
            merupakan suatu keharusan guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan yang 
            secara ekonomis memang diperlukan untuk menutup beban atau kerugian yang pasti 
            terjadi. Untuk jenis usaha ini pembentukan dan pemupukan dana cadangan dengan 
            batas-batas tertentu diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai biaya 
            perusahaan.

            Yang dimaksud dengan lembaga keuangan lainnya tersebut di atas menurut ketentuan 
            ini adalah lembaga keuangan bukan bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, 
            kecuali perusahaan leasing.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.
    
        Ayat (3)
        
            Cukup jelas.

    Pasal 7

        Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah tanah atau bangunan yang tidak dipakai dalam 
        kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, 
        menagih, dan memelihara penghasilan.

        Misalnya seseorang yang berusaha dalam bidang kegiatan industri perseorangan memiliki 
        harta berupa tanah dan rumah peristirahatan, yang tidak dimasukkan sebagai harta 
        perusahaan sebagaimana terlihat dalam neraca perusahaan tersebut.

        Dengan sendirinya tanah dan rumah peristirahatan tersebut tidak dipakai oleh Wajib Pajak 
        tersebut dalam melaksanakan kegiatan industrinya.

        Menurut ketentuan ini tanah dan rumah peristirahatan semacam itu termasuk dalam 
        pengertian tanah atau bangunan yang tidak dipergunakan dalam perusahaan.

        Ayat (1)

            Dasar umum yang dianut oleh Undang-undang, besarnya keuntungan atau 
            penghasilan dari penjualan adalah selisih antara harga penjualan yang sesungguhnya 
            dengan harga perolehan yang sebenarnya dari harta tersebut.

            Namun oleh karena adanya kenaikan tingkat harga umum, maka besarnya 
            keuntungan atau penghasilan dari penjualan menurut ketentuan ini adalah selisih 
            antara harga penjualan dengan nilai perolehan harta tersebut pada saat terjadinya 
            transaksi. Nilai perolehan pada saat transaksi ini dihitung dengan mempergunakan 
            faktor penyesuaian.

            Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan pengenaan pajak atas keuntungan/
            penghasilan yang semata-mata disebabkan karena inflasi.

        Ayat (2)

            Huruf a

                Contoh penghitungan penghasilan atas penjualan atau pengalihan harta 
                berupa tanah atau bangunan yang telah dimiliki sebelum tanggal 1 Januari 
                1984 adalah sebagai berikut :

                A Wajib Pajak orang pribadi membeli sebidang tanah dalam tahun 1980 
                seharga Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

                Dalam tahun 1990 tanah tersebut dijual dengan harga Rp 150.000.000,- 
                (seratus lima puluh juta rupiah).

                Misalnya diketahui  faktor penyesuaian untuk tahun 1984 terhadap tahun 
                1980 = 1,4 dan faktor penyesuaian untuk tahun 1990 terhadap tahun 1984 
                adalah = a.

                Maka pertama-tama perlu ditentukan nilai perolehan tanah tersebut pada 
                tanggal 1 Januari 1984 yaitu = 1,4 x Rp 20.000.000,- = Rp 28.000.000,-
                Jadi penghasilan dari penjualan tanah tersebut adalah Rp 150.000.000,- 
                (Rp 28.000.000,- x a).

            Huruf b

                Contoh penghitungan penghasilan atas penjualan atau pengalihan harta 
                berupa tanah atau bangunan yang telah dimiliki setelah tanggal 31 Desember 
                1983 adalah sebagai berikut :

                Contoh :
                B Wajib Pajak orang pribadi membeli sebidang tanah pada tahun 1985 
                seharga Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah).
                Dalam tahun 1988 tanah tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,- (enam 
                puluh juta rupiah). Apabila faktor penyesuaian untuk tahun 1988 terhadap 
                tahun 1985 adalah b, maka penghasilan dari penjualan tanah tersebut 
                sebesar Rp 60.000.000,- (Rp 30.000.000,- x b).

        Ayat (3)
        
            Cukup jelas.

    Pasal 8

        Ayat (1)

            Jangka waktu yang menentukan untuk penerapan tarif efektif rata-rata ini adalah 12 
            (dua belas) bulan. Oleh karena itu penghasilan yang berkenaan dengan masa yang 
            lebih dari 12 (dua belas) bulan, harus dicari terlebih dahulu jumlah penghasilan netto 
            semacam itu untuk masa 12 (dua belas) bulan.

            Contoh :
            Seseorang mengontrakkan rumahnya untuk jangka waktu Nopember 1985 s/d Mei 
            1990 dengan harga kontrak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang diterima 
            sekaligus dalam bulan Desember 1985. Maka penghasilan kontrak rumah sebesar 
            Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah tersebut menurut ketentuan ini adalah 
            merupakan penghasilan untuk masa 54 (lima puluh empat) bulan atau 4 1/2 (empat 
            setengah) tahun yang diterima sekaligus dalam tahun 1985.

        Ayat (2)

            Untuk memperoleh tarif efektif rata-rata dan penerapannya dalam penghitungan PPh 
            yang terhutang diberikan contoh sebagai berikut :

            Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya 
            untuk jangka waktu Nopember 1985 s/d Mei 1990 dengan harga kontrak 
            Rp 90.000.000 (sembilan puluh juta rupiah) yang diterima dalam bulan Desember 
            1985. Penghasilan netto lainnya dari A dalam tahun 1985 adalah sebesar 
            Rp 24.000.000,-

            Penghitungan PPh atas penghasilan netto dalam tahun 1985 adalah sebagai berikut :

            a.  Penghasilan netto kontrak rumah rata-rata setahun 
                Rp 90.000.000,-  =              Rp 20.000.000,-
                -----------------
                        4 1/2

            b.  Penghasilan netto lainnya tahun 1985                 Rp 24.000.000,-
                                                 ------------------
                jumlah seluruh penghasilan netto                     Rp 44.000.000,-

            penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)                  Rp   2.880.000,-
                                                 ------------------
            Penghasilan Kena Pajak                                       Rp 41.120.000,-
                                                ==========
            tarif : 15% x 10.000.000,-  = Rp. 1.500.000,-
                     25% x 31.120.000,-  = Rp. 7.780.000,-
                               ----------------
                     Jumlah Pajak Peng-
                     hasilan            = Rp 9.280.000,-

            tarif efektif rata-rata  =  9.280.000    
                               -------------  x    100% =   21,091%
                               44.000.000

            dibulatkan      =                             21,09%
                                        ======
            Pajak penghasilan dalam tahun 1985
            21, 09%  x  (Rp  24.000.000,-   +   Rp 90.000.000,-)  = Rp  24.042.600,-
                                            ==========

        Ayat  (3)

            Contoh :
            Dalam tahun 1985 wajib Pajak orang pribadi menderita kerugian dari usahanya 
            sebesar Rp. 60.000.000,- Wajib Pajak tersebut mengontrakkan rumahnya untuk 
            jangka waktu 5 tahun (Nopember 1985 s/d Oktober 1990) sebesar Rp 90.000.000,-. 
            Pertama-tama kerugian sebesar Rp 60.000.000,-  tersebut dikompensasikan terlebih 
            dahulu dengan penghasilan kontrak rumah sebesar Rp 90.000.000,- sehingga titik 
            tolak penghitungan tarif effektif rata-rata adalah sebesar 
            Rp 90.000.000,-     -     Rp 60.000.000,-  =  Rp  30.000.000,-.

        Ayat (4)

            Apabila dalam tahun yang bersangkutan masih terdapat sisa kerugian tahun yang lalu 
            yang belum habis dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut dikompensasikan 
            terlebih dahulu dengan netto lainnya, dan apabila ternyata masih terdapat sisa 
            kerugian yang belum habis dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut 
            dikompensasikan dengan penghasilan netto dari kontrak rumah.

            Perlu ditegaskan disini bahwa yang dimaksud dengan sisa kompensasi kerugian yang 
            belum habis dikompensasikan adalah sisa kerugian yang dapat dikompensasikan 
            sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

            Contoh :
            Dalam tahun Pajak 1985 Wajib Pajak menderita kerugian sebesar   Rp 100.000.000,-
            Dalam tahun pajak 1986 memperoleh keuntungan dari kegiatan usaha sebesar 
            Rp 60.000.000,-
            Dalam tahun pajak 1986 itu juga menerima uang kontrak rumah sebesar 
            Rp 90.000.000,-

            Maka kerugian tahun Pajak 1985 sebesar Rp 100.000.000,- dikompensasikan terlebih 
            dahulu dengan keuntungan dari usaha tahun 1986 sebesar Rp. 60.000.000,- masih 
            terdapat sisa kerugian sebesar Rp 40.000.000,- .

            Sisa kerugian sebesar Rp 40.000.000,- tersebut dikompensasikan dengan penghasilan 
            kontrak rumah sebesar Rp. 90.000.000,- sehingga penghasilan netto kontrak rumah 
            adalah sebesar Rp 50.000.000,-. Apabila kontrak tersebut misalnya meliputi masa 5 
            (lima) tahun, maka penghasilan netto kontrak rumah rata-rata setahun adalah 
            Rp. 50.000.000,-  :  5  =  Rp 10.000.000,-

        Ayat (5)

            Cukup jelas.

        Ayat (6)

            Cukup jelas.

    Pasal 9 

        Ayat (1)
    
            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.
        
        Ayat (3)
        
            Cukup jelas

        Ayat (4) dan Ayat (5)

            Pada dasarnya saat terhutang Pajak Penghasilan atas Penghasilan sebagaimana 
            dimaksud dalam Pasal 26 huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah 
            pada saat Surat Pemberitahuan Tahunan bentuk usaha tetap disampaikan, paling 
            lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun pajak.

            Dalam hal :

            a.  Bentuk usaha tetap tersebut mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal 
                Pajak untuk menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, maka 
                PPh Pasal 26 huruf e tetap terhutang pada batas waktu terakhir Surat 
                Pemberitahuan Tahunan wajib disampaikan berdasarkan ketentuan Undang-
                undang, yaitu 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak yang bersangkutan, 
                menurut penghitungan sementara yang disampaikan oleh Bentuk Usaha 
                Tetap.

            b.  Surat Pemberitahuan Tahunan terlambat atau tidak disampaikan, maka PPh 
                Pasal 26 huruf e tetap terhutang pada saat Surat Pemberitahuan Tahunan 
                Wajib disampaikan berdasarkan ketentuan Undang-undang yaitu 3 (tiga) 
                bulan setelah akhir tahun pajak yang bersangkutan.

    Pasal 10

        Cukup jelas.
    
    Pasal 11

        Cukup jelas.


    Pasal 12

        Cukup jelas.


    Pasal 13

        Ayat (1)

            Ketentuan ini dimaksud agar supaya terhadap pemegang obligasi, sertifikat dan/atau 
            pemegang saham dari saham yang dijual melalui Pasar Modal yang pada umumnya 
            menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga dan/atau dividen yang dalam 
            setahunnya tidak melampaui jumlah tertentu tidak perlu dikenakan pemotongan Pajak 
            Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak 
            penghasilan 1984.

            Jika terhadap pemegang obligasi, sertifikat dan/atau pemegang saham kecil tersebut 
            dikenakan pemotongan pajak, hal ini akan memberatkan mereka, karena harus 
            mengurus pengembaliannya.

            Pembebasan dari pemotongan atas bunga dan dividen tersebut tidak berarti bahwa 
            bunga dan dividen itu dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, karena apabila 
            bunga dan dividen tersebut bersama dengan penghasilan lain jumlahnya melampaui 
            penghasilan tidak kena pajak, maka atas penghasilan tersebut akan terkena pajak.

        Ayat (2)

            Batas jumlah sebesar Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) setahun 
            atau 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk setiap 6 (enam) bulan 
            dimaksudkan pula apabila bunga dan/atau dividen itu diterima tidak untuk selama 
            masa tersebut. Misalnya untuk masa sebulan, maka batas jumlah tersebut adalah 
            sebesar seperdua belas dari Rp 960.000,-  =  Rp  80.000,-

            Selain daripada itu dimaksudkan pula dalam ketentuan ini bahwa batas jumlah 
            tersebut merupakan suatu jumlah yang berdiri sendiri dan bukan merupakan jumlah 
            kumulatif dari beberapa lembar surat obligasi, saham atau sertifikat saham.

            Apabila suatu jumlah telah melebihi batas tersebut, maka pemotongan PPh Pasal 23 
            dilakukan sebesar 15% (lima belas persen) atas jumlah selisih di atas jumlah 
            tersebut, misalnya :

            Dividen dari sertifikat saham yang dibayarkan sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta 
            rupiah) setahun.
            Maka atas penghasilan tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 
            15%  x  (Rp 1.000.000,- Rp 960.000,-)  =  Rp 6.000,-

        Ayat (3)

            Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian batas jumlah 
            yang dibebaskan dari pemotongan pajak, sesuai dengan penyesuaian sebagaimana 
            dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

    Pasal 14

        Yayasan, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, 
        badan Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing, badan perwakilan 
        organisasi internasional, dan badan atau organisasi lain dengan sifat dan dalam bentuk 
        apapun, selain sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) 
        huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Kewajibannya meliputi juga pemotongan 
        Pajak atas pembayaran honorarium atau remunerasi lain kepada tenaga ahli dan/atau 
        persekutuan tenaga ahli atas jasa yang dilakukannya di Indonesia.

    Pasal 15

        Cukup Jelas.

    Pasal 16

        Pasal ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut :

        A sebagai tenaga asing perseorangan membuat perjanjian kerja dengan PT. B sebagai Wajib 
        Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung 
        mulai tanggal 1 Januari 1985.

        Pada tanggal 20 April 1985 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan 
        sehingga akan berakhir s/d 31 Agustus 1985.

        Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib 
        Pajak luar negeri.

        Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak 
        luar negeri menjadi wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 1985.
        Kemudian selama bulan Januari s/d Maret 1985 atas penghasilan bruto dari A telah dipotong 
        PPh Pasal 26 oleh PT. B.

        Menurut ketentuan ini, maka untuk menghitung PPh yang terhitung atas A untuk masa Januari 
        s/d Agustus 1985, PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT. B atas penghasilan A s/d 
        Maret tersebut, dapat dikreditkan dari pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

    Pasal 17

        Ayat (1)

            Untuk tahun pajak 1985 Wajib Pajak telah membayar angsuran PPh Pasal 25 sampai 
            dengan bulan Juli 1985 sebesar Rp 70.000.000,-

            Jumlah Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan dipungut oleh pihak lain menurut 
            ketentuan pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar 
            atau terhutang di luar negeri menurut ketentuan Pasal 24 Undang-undang Pajak 
            Penghasilan 1984 sampai dengan bulan bulan Juli 1985 sebesar Rp 50.000.000,-. 

            Jumlah keseluruhan yang telah dibayar sendiri dan yang dilunasi melalui pihak lain 
            serta yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebesar 
            Rp 70.000.000,- + Rp 50.000.000,- =  
            Rp 120.000.000,-   -    3/4  dari Rp 120.000.000,- = 90.000.000,-.

            Apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan 
            terhutang dalam tahun Pajak 1985 Kurang dari Rp 90.000.000,- maka ia dapat 
            mengajukan permintaan pembebasan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan 
            Agustus s/d Desember 1985 serta permintaan pembebasan dari pemotongan atau 
            pemungutan pajak oleh pihak lain.

            Ketentuan ini dimaksudkan agar supaya Wajib Pajak tidak terlalu dibebani dengan 
            pembayaran Pajak Penghasilan yang melebihi dari yang seharusnya, sehingga 
            menyebabkan terganggunya kegiatan usaha, dan akan mengakibatkan kelebihan 
            pembayaran pajak yang terlampau besar.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

        Ayat (3)

            Cukup jelas.

        Ayat (4)

            Cukup jelas.

        Ayat (5)

            Cukup jelas.

    Pasal 18

        Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3)

            Jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun 
            berjalan didasarkan atas Pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan 
            Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur 
            Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.

            Dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan jumlah Pajak 
            Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, dapat 
            diberikan penjelasan sebagai berikut :

            Contoh :

            Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak badan menunjukkan keterangan sebagai 
            berikut :

            1985 :  Wajib Pajak menderita kerugian          =  Rp  250.000.000,-
                Setelah ditetapkan oleh Direktur Jenderal 
                Pajak, kerugian adalah              =  Rp 200.000.000,-

                Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto 
                dalam 5 tahun terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut 
                diderita (mulai tahun 1986).

            1986 :  Penghasilan netto Wajib Pajak           =  Rp.  50.000.000,-
                Kompensasi Kerugian tahun 1985 yang boleh 
                dikompensasikan untuk tahun 1986        =  Rp 200.000.000,-
                                                              -------------------
                Sisa Kerugian yang belum dikompensasikan    =  Rp 150.000.000,-
                Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1987  =  N i h i l 

            1987 :  Penghasilan netto Wajib Pajak           =  Rp 80.000.000,-
                Kompensasi kerugian untuk tahun 1987        =  Rp 150.000.000,-
                                             -------------------
                Sisa kerugian yang belum dikompensasikan    =  Rp  70.000.000,-

                Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1988 didasarkan atas Pajak 
                Penghasilan yang dihitung dari penghasilan netto berdasarkan Surat 
                Pemberitahuan Tahun 1987 dikurangi sisa kerugian untuk tahun 1985 yang 
                masih boleh dikompensasi untuk tahun 1988  = 
                (Rp 80.000.000,-  -   Rp 70.000.000,-) = Rp 10.000.000,-

                Angsuran Pajak Penghasilan setiap bulan dalam tahun 1988 adalah Pajak 
                Penghasilan yang dihitung atas penghasilan netto sebesar  Rp 10.000.000,- 
                dibagi 12 (dua belas).

            1988 :  Penghasilan netto Wajib Pajak           =  Rp  100.000.000,-
                Sisa Kerugian yang belum dikompensasikan    =  Rp    70.000.000,-
                                                       --------------------
                Penghasilan  netto 1988             =  Rp    30.000.000,-
                                             ===========

                Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1989 adalah 
                sebagai berikut :

                Penghasilan netto tahun 1988            =  Rp 100.000.000,-

                (dalam tahun 1988 tidak ada lagi sisa kerugian yang belum dikompensasikan, 
                dan kompensasi kerugian sebesar Rp 70.000.000,- tidak diperhatikan).

                Penghasilan kena pajak tahun 1988       = Rp 100.000.000,-

                Pajak Penghasilan yang terhutang untuk tahun 1988
                15%  x  Rp  10.000.000,-    =   Rp    1.500.000,-
                25%  x  Rp   40.000.000,-   =   Rp  10.000.000,-
                35%  x  Rp   50.000.000,-   =   Rp  17.500.000,-
                                     --------------------
                                        =   Rp  29.000.000,-

                Misalnya : Dalam tahun 1988 telah dipungut dan dipotong :
                PPh. Pasal 22    Rp  4.000.000,-
                PPh. Pasal 23    Rp  1.000.000,-
                                -----------------
                                        =  Rp    5.000.000,-
                                    --------------------
                                =  Rp   24.000.000,-

            Angsuran  PPh. Pasal 25 setiap bulan untuk tahun 1989  = 
            1/12  x  Rp  24.000.000,-  =  Rp  2.000.000,-.

    Pasal 19

        Ayat (1)
    
            Huruf a

                Untuk jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya serta badan-badan 
                lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, laporan Keuangan triwulanan 
                terakhir yang secara berkala dibuat, menunjukkan penghasilan yang lebih 
                mendekati penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam triwulan yang 
                bersangkutan, oleh karena itu dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 
                25. Khusus untuk jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya, kewajiban 
                memasukkan laporan keuangan triwulanan tidak memerlukan penunjukan 
                terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak.

                Contoh :

                Laporan keuangan triwulanan Bank A bulan April s/d Juni 1985 menunjukkan 
                penghasilan netto Rp 60.000.000,-

                Laporan keuangan ini menjadi dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 
                untuk bulan sesudahnya sampai dibuatnya laporan keuangan triwulanan 
                berikutnya.

                Jumlah angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk bulan-bulan tersebut 
                dihitung sebagai berikut :

                Penghasilan netto triwulanan disetahunkan :
                4    x    Rp 60.000.000,-       =   Rp 240.000.000,-

                Pajak Penghasilan terhutang menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak 
                Penghasilan 1984 :
                15%  x  Rp  10.000.0000,-   =  Rp     1.500.000,-
                25%  x  Rp   40.000.000,-   =  Rp   10.000.000,-
                35%  x  Rp  190.000.000,-   =  Rp   66.500.000,-
                                    --------------------
                                =  Rp   78.000.000,-

                Angsuran Pajak Penghasilan untuk bulan-bulan Juli dan seterusnya (sampai 
                adanya laporan keuangan triwulanan yang baru)  =  
                1/12  x  Rp  78.000.000,-   =   Rp  6.500.000,-

            Huruf b

                Dengan pertimbangan bahwa Rencana Anggaran Pendapatan Belanja (RAPB) 
                perusahaan yang disusun setiap awal tahun oleh badan usaha milik negara 
                dan daerah yang telah disahkan oleh Menteri yang bersangkutan dapat 
                menunjukkan penghasilan yang lebih mendekati penghasilan yang diterima 
                atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan, oleh karena itu 
                lebih sesuai dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25.
                
                Contoh :
                Suatu badan usaha milik negara pada awal tahun 1985 telah selesai 
                menyusun RAPB perusahaan untuk tahun 1985 dengan Pajak Penghasilan 
                yang diperkirakan akan terhutang sebesar Rp 1.800.000.000,- PPh pasal 22, 
                PPh Pasal 23, dan Pasal 24 yang telah dipungut, dipotong dan dibayar untuk 
                tahun sebelumnya sejumlah Rp 600.000.000,-. Besarnya angsuran PPh Pasal 
                25 setiap bulan dalam tahun 1985 adalah 
                1/12  x  (Rp  1.800.000.000,-  -  Rp 600.000.000,-).  = Rp 100.000.000,-.
        
        Ayat (2)

            Misalnya pada awal tahun 1986 RAPB belum selesai disusun dan disahkan, maka 
            angsuran PPh Pasal 25 tahun 1986 setiap bulannya dalam bulan-bulan sebelum 
            disusun dan disahkannya RAPB adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan 
            terakhir tahun Pajak 1985 (Rp  100.000.000,-).

    Pasal 20

        Ayat (1)
    
            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25 diberikan contoh sebagai berikut :

            Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya 
            untuk jangka waktu 5 (lima) tahun (yaitu tahun 1985 s/d 1989) dengan harga kontrak 
            Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

            Penghasilan teratur netto lainnya dari A dalam tahun 1984 diketahui sebesar 
            Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

            Penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari kontrak rumah pada saat 
            diterima atau diperoleh dalam tahun 1985 :

            Penghasilan kontrak rumah rata-rata setahun
            1/5  x  Rp 100.000.000,-            =  Rp  20.000.000,-
            Penghasilan netto lainnya tahun 1984    =  Rp  10.000.000,-
                                        -------------------
            Jumlah                  =  Rp  30.000.000,-
            Penghasilan tidak kena pajak        =  Rp    2.880.000,-
            Penghasilan kena pajak          =  Rp  27.120.000,-
                                    ===========
            Tarif :
            15%  x  Rp  10.000.000,-    =  Rp  1.500.000,-
            25%  x  Rp  17.120.000,-    =  Rp  4.280.000,-
                               -------------------
                            =  Rp  5.780.000,-
            Tarif Efektif rata-rata :
            578     
            -------  x    100%   =   19,20%  dibulatkan keatas menjadi 19,27%
            3000

            Pajak Penghasilan atas seluruh kontrak rumah yang terhutang dalam tahun 1985 yang 
            harus di lunasi dalam tahun berjalan  =  
            19,27%  x  Rp  100.000.000,-  =  Rp  19.270.000,-
                             ==========

        Ayat (3)

            Cukup jelas.

    Pasal 21

        Ayat (1) dan Ayat (2)

            Yang dimaksud dengan Wajib Pajak baru dalam pasal ini adalah Wajib Pajak yang 
            baru terdaftar, yang pada waktu penghitungan PPh Pasal 25 harus dilakukan, belum 
            berkewajiban menyampaikan SPT dan belum pernah dikeluarkan SKP terhadap Wajib 
            Pajak tersebut.

            Pada umumnya, bagi Wajib Pajak baru besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan 
            dihitung sebagai berikut :

            Contoh :
        
            PT. A terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak 1 Mei 1986.
            Peredaran atau penerimaan bruto bulan Mei 1986  =  Rp  10.000.000,- 
            Misalnya presentase penghasilan netto berdasarkan Norma penghitungan adalah 20%.
            Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Mei 1986 dihitung sebagai berikut :

            Penghasilan netto bulan Mei 1986 : 20%  x  Rp  10.000.000,- =  Rp   2.000.000,-
            Penghasilan netto setahun : 12  x  2.000.000,-          =  Rp 24.000.000,-
            PPh Pasal 25  =  15%  x  Rp  24.000.000,-   
                      ----------------------------          =  Rp     300.000,-
                            12
        Ayat (3)

            Misalnya penghasilan netto menurut pembukuan dalam bulan Mei 1986 sebesar 
            Rp  2.000.000,- 

            Penghasilan netto setahun  :  12  x  Rp  20.000.000,-  =  Rp  24.000.000,-. 

            Penerapan tarif terendah dari Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984  =  
            15%  x  Rp  24.000.000,-  =  Rp 3.600.000,-.

            PPh Pasal 25 yang harus disetor setiap bulan  = 
            1/12  x  Rp  3.600.000,-  =  Rp  300.000,-

        Ayat (4)

            Cukup jelas.

    Pasal 22

        Pembayaran-pembayaran lain untuk Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak 
        sendiri dalam tahun berjalan misalnya :
        a.  pembayaran Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri yang dibayar dan ditanggung 
            sendiri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;
        b.  Pembayaran PPh atas komisi impor (handling fee) oleh importir yang mengimpor 
            barang atas dasar inden;

            Pembayaran-pembayaran semacam itu dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan 
            yang terhutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.

    Pasal 23

        Dengan dikecualikannya badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional dari 
        kewajiban melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, maka Wajib 
        Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari badan-badan tersebut 
        berkewajiban menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah Pajak Penghasilan yang 
        terhutang. Dengan demikian pegawai lokal dari perwakilan negara asing dan organisasi 
        internasional tersebut yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak 
        kena pajak wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Wajib 
        menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.

    Pasal 24

        Ayat (1)

            Ketentuan ini bertujuan :
            a.  untuk tidak memberatkan Wajib Pajak melunasi Pajak Penghasilan yang 
                jumlahnya jauh melampaui jumlah yang seharusnya terhutang;
            b.  untuk meringankan beban administrasi, karena dapat menimbulkan 
                pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

            Contoh :
            Seorang Wajib Pajak sesuai dengan dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang 
            harus dibayar sendiri dalam tahun berjalan, harus membayar sebesar Rp 1.000.000,- 
            tiap bulan atau Rp 12.000.000,- setahun.

            Pada bulan Mei terjadi peristiwa yang menyebabkan jumlah pajak yang diperkirakan 
            terhutang oleh Wajib Pajak dalam tahun yang bersangkutan akan menjadi sebesar 
            Rp 8.400.000,- (Rp 8.400.000 = 70% dari Rp 12.000.000,-).

            Karena jumlah pajak yang diperkirakan terhutang dari 75% dari Pajak Penghasilan 
            yang menjadi dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 tahun yang bersangkutan, 
            Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak 
            agar besarnya angsuran PPh Pasal 25 ditinjau kembali. 

            Jika bukti-bukti yang diajukan dapat diterima, dasar penghitungan angsuran PPh 
            Pasal 25 untuk bulan-bulan berikutnya terhitung sejak Surat Keputusan yang 
            berkenaan dengan permohonan yang bersangkutan diterbitkan adalah
            Rp 8.400.000,-  atau  =  Rp  8.400.000,-   
                        ------------------   =  Rp  700.000,- perbulan.
                                12
        
        Ayat (2)

            Cukup jelas.

        Ayat (3)

            Cukup jelas.

    Pasal 25

        Ayat (1)

            Pada dasarnya penggunaan atau pemakaian Tahun Pajak baik berdasarkan tahun 
            takwim atau tahun buku haruslah taat asas (konsisten). Perubahan Tahun Pajak hanya 
            dapat dilakukan, setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

            Terjadinya Perubahan Tahun Pajak dapat menimbulkan adanya bagian dari Tahun 
            Pajak yang tidak dapat dimasukkan baik dalam Tahun Pajak yang lama (Tahun Pajak 
            Semula) maupun dalam Tahun Pajak yang baru.

            Menurut ketentuan ini, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan atas bagian dari T
            ahun Pajak tersebut harus dilaporkan tersendiri oleh Wajib Pajak dengan 
            menggunakan SPT dan melampirkan Neraca serta perhitungan Rugi/Laba berkenaan 
            dengan bagian dari Tahun Pajak yang bersangkutan.   

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

    Pasal 26

        Cukup jelas.


    Pasal 27

        Cukup jelas.

    Pasal 28

        Cukup jelas.

    Pasal 29

        Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 pembayaran dalam bentuk natura 
        dan kenikmatan lainnya oleh Wajib Pajak, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan 
        Keputusan Menteri Keuangan, tidak diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya.

        Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 bagi Wajib Pajak 
        perusahaan penambangan minyak dan gas bumi serta penambangan lainnya sehubungan 
        dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya 
        Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, pengenaan pajaknya masih mengikuti mekanisme 
        sistem lama, yakni ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925, sehingga pembayaran seperti 
        tersebut di atas diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya.

        Pengertian Kontrak Karya dan Kontak Bagi Hasil yang masih berlaku sebagai mana dimaksud 
        dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di atas termasuk pula 
        kontrak yang sudah selesai ditandatangani dan yang masih dalam proses perundingan pada 
        saat mulai berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. 

        Sebagai Konsekuensi dari pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dapat 
        dibebankan sebagai biaya, bagi pegawai atau karyawan yang menerimanya adalah 
        merupakan penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-
        undang Pajak Penghasilan 1984.

    Pasal 30

        Cukup jelas.

    Pasal 31

        Cukup jelas.

    Pasal 32

        Cukup jelas.

    Pasal 33

        Cukup jelas.

    Pasal 34

        Cukup jelas.




                TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3309
peraturan/pp/42tahun1985.txt · Last modified: 2023/02/05 05:08 by 127.0.0.1