User Tools

Site Tools


peraturan:perda:4tahun2002
           PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
                           NOMOR 4 TAHUN 2002

                             TENTANG

                   KETENTUAN UMUM PAJAK DAERAH

                                  DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                   GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Menimbang :

a.  bahwa Undang-undang Nomor 18 TAHUN 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
    telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 TAHUN 2000, memberi peluang kepada Daerah untuk 
    melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Pajak Daerah.
b.  bahwa penyempurnaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, disamping untuk 
    meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam melaksanakan ketentuan perpajakan
    Daerah, juga dimaksudkan untuk menyederhanakan Peraturan Daerah yang mengatur masing-masing 
    jenis Pajak Daerah. 
c.  bahwa untuk mencapai maksud tersebut pada huruf b dan menciptakan keseragaman pelaksanaan 
    pemungutan Pajak Daerah, perlu diatur ketentuan formal yang merupakan pedoman umum 
    pemungutan pajak yang terpisah dari ketentuan material perpajakan Daerah.
d.  bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan 
    Ketentuan Umum Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah.

Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), 
    sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).
2.  Undang-undang Nomor 18 TAHUN 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara 
    Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor  41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685), sebagaimana 
    telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 TAHUN 2000.
3.  Undang-undang Nomor 19 TAHUN 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran 
    Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686), 
    sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987).
4.  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
5.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan 
    Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
    Nomor 3848).
6.  Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara
    Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran 
    Negara Nomor 3878).
7.  Undang-undang Nomor 14 TAHUN 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189).
8.  Peraturan Pemerintah Nomor 135 TAHUN 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan 
    Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan 
    Lembaran Negara Nomor 4049).
9.  Peraturan Pemerintah Nomor 136 TAHUN 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan (Lembaran 
    Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4050).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 137 TAHUN 2000 tentang Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama 
    Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat
    Paksa, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara 
    Nomor 4051).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 65 TAHUN 2001 tentang Pajak Daerah, (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan  Lembaran Negara Nomor 4138).
12. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk 
    Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
    Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota 
    Jakarta Tahun 2001 Nomor 66).

                    Dengan Persetujuan

                DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
                  PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

                       MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG KETENTUAN UMUM PAJAK 
DAERAH


                             BAB I
                    KETENTUAN UMUM

                            Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1.  Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2.  Gubernur adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
3.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus
    Ibukota Jakarta;
4.  Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
5.  Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah adalah Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah Provinsi 
    Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
6.  Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan
    Perwakilan Rakyat Daerah;
7.  Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
    atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan 
    berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai 
    penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.
8.  Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal, yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
    usaha maupun yang tidak melakukan usaha, yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, 
    perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun 
    firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
    organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk 
    badan lainnya;
9.  Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
    perpajakan Daerah, diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk 
    pemungut atau pemotong pajak tertentu;
10. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
    termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan 
    peraturan perpajakan Daerah;
11. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu 
    lain yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur;
12. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim atau jangka waktu lain, kecuali
    bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
13. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang dapat disingkat NPWPD, adalah nomor yang diberikan kepada
    Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda 
    pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan 
    kewajiban perpajakan Daerah;
14. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perhimpunan data objek, subjek pajak dan
    penentuan besarnya pajak yang terutang, sampai dengan kegiatan penagihan pajak serta pengawasan
    penyetorannya;
15. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dan Tahun 
    Pajak atau dalam bagian tahun pajak berdasarkan Peraturan Daerah untuk masing-masing jenis Pajak
    Daerah;
16. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah, yang dapat disingkat SPOPD, adalah surat yang digunakan
    Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Dinas Pendapatan 
    Daerah;
17. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak
    digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
    objek pajak, dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan 
    perpajakan Daerah;
18. Surat Setoran Pajak Daerah, yang dapat disingkat SSPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak 
    digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor 
    Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh 
    Gubernur; 
19. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang 
    menentukan besarnya jumlah pokok pajak;
20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang dapat disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan 
    pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kredit pajak,
    jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih
    harus dibayar;
21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang dapat disingkat SKPDKBT, adalah surat
    Ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan 
    pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak, karena jumlah kredit pajak lebih besar
    daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang dapat disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan yang 
    menentukan jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak 
    terutang dan tidak ada kredit pajak;
24. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang dapat disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak 
    dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
25. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
    hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
    perpajakan Daerah,yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar 
    Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, atau 
    Surat Tagihan Pajak Daerah;
26. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
    Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil; atau 
    terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
27. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak;
28. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak 
    terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
    undangan perpajakan yang berlaku;
29. Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan 
    Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak; 
30. Gugatan adalah upaya hukum yang akan dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau Penanggung Pajak 
    terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan 
    berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
31. Pembukuan adalah suatu suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
    data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta 
    jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan 
    keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir;
32.     Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data 
    dan/atau keterangan lainnya, untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah, dan 
    untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
    Daerah;
33. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan 
    sekaligus, pemberitahuan surat paksa; penyitaan dan penyanderaan;
34. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan 
    oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan 
    bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan Daerah yang terjadi, serta menemukan 
    tersangkanya.


                        BAB II
                            JENIS PAJAK

                        Pasal 2

Jenis Pajak terdiri dari :
1.  Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 
2.  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
3.  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4.  Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
5.  Pajak Hotel;
6.  Pajak Restoran;
7.  Pajak Hiburan;
8.  Pajak Reklame;
9.  Pajak Penerangan Jalan;
10. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
11. Pajak Parkir. 


                        Pasal 3

(1) Pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
    a.  sekurang-kurangnya mengatur mengenai :
        1) nama, objek, subjek pajak dan wajib pajak;
        2) dasar pengenaan pajak;
        3) tarif pajak;
        4) cara penghitungan pajak;
        5) masa pajak;
        6) saat terutang pajak.
    b.  tidak dapat berlaku surut.
    c.  tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan 
        perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diborongkan.


                        Pasal 4

(1) Selain jenis pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan
    jenis pajak lainnya dengan memenuhi kriteria sebagai berikut :
    a.  Bersifat pajak dan bukan retribusi.
    b.  Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan 
        mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah 
        Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
    c.  Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
    d.  Objek pajak bukan merupakan objek pajak pusat.
    e.  Potensinya memadai.
    f.  Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
    g.  Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
    h.  Menjaga kelestarian lingkungan.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disosialisasikan kepada 
    masyrakat sebelum ditetapkan.


                        BAB III
                            PEMUNGUTAN

                           Bagian Pertama
                        Sistem Pemungutan

                        Pasal 5

(1) Sistem pemungutan pajak terdiri dari :
    a.  dibayar sendiri oleh Wajib Pajak;
    b.  ditetapkan oleh Gubernur;
    c.  dipungut oleh pemungut pajak.
(2) Gubernur menetapkan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak atau ditetapkan oleh 
    Gubernur atau dipungut oleh pemungut pajak.


                           Bagian Kedua
                         Pendaftaran dan Pelaporan

                        Pasal 6

(1) Setiap Wajib Pajak, wajib mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dengan menggunakan SPOPD
    ke Dinas Pendapatan Daerah yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan usaha 
    Wajib Pajak.
(2) SPOPD harus diambil sendiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di Dinas Pendapatan Daerah 
    atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(3) SPOPD harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap, dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau 
    Penanggung Pajak, serta menyampaikannya ke Dinas Pendapatan Daerah.
(4) Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (1), diberikan NPWPD.
(5) Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya, dikenakan sanksi administrasi 
    berupa denda yang besarnya ditetapkan oleh Gubernur.
(6) Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat menerbitkan NPWPD secara jabatan, apabila Wajib Pajak
    tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Tata cara pendaftaran dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh 
    Gubernur.


                           Bagian Ketiga
                        Pajak Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak

                             Paragraf 1
                        SPTPD

                                Pasal 7

(1) Setiap Wajib Pajak yang pajaknya dibayar sendiri, wajib mengisi SPTPD dengan benar, jelas, lengkap
    dan menandatangani serta menyampaikannya, ke Dinas Pendapatan Daerah.
(2) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat 20 hari setelah
    berakhir masa pajak.
(3) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian 
    SPTPD jatuh pada hari kerja berikutnya.
(4) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan keterangan atau 
    dokumen yang ditetapkan oleh Gubernur.
(5) SPTPD dianggap tidak disampaikan, apabila tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung 
    Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tidak dilampiri keterangan atau dokumen 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak harus mengambil sendiri SPTPD di Dinas Pendapatan Daerah
    atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(7) Gubernur menetapkan jenis pajak tertentu yang tidak diwajibkan menyampaikan SPTPD.


                        Pasal 8

(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dapat 
    memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD paling lama 2 bulan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis kepada Gubernur atau 
    pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya sebelum berakhirnya masa waktu, (2) dengan 
    persyaratan melampirkan pernyataan tertulis mengenai besarnya pajak terutang yang harus dibayar.


                        Pasal 9

(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah
    disampaikan, dengan menyampaikan surat pernyataan tertulis kepada Gubernur atau pejabat yang 
    ditunjuk, dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sesudah berkhirnya masa pajak atau tahun pajak,
    sepanjang Dinas Pendapatan Daerah belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1), yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan
    sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, 
    dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena
    pembetulan SPTPD.


                               Paragraf 2
                                       Penetapan

                        Pasal 10

(1) Setiap Wajib Pajak yang pajaknya dibayar sendiri, wajib menghitung, memperhitungkan, membayar
    dan melaporkan sendiri pajak yang terutang berdasarkan Peraturan Daerah untuk masing-masing
    Pajak Daerah.
(2) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan SPTPD.


                        Pasal 11

(1) Dalam jangka waktu 5(lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur dapat menerbitkan :
    a.  SKPDKB dalam hal :
        1)  apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang
            tidak atau kurang bayar;
        2)  apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu tertentu dan 
            setelah ditegur secara tertulis;
        3)  apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi pajak yang terutang dihitung secara
            jabatan.
    b.  SKPDKBT, apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang 
        menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
    c.  SKPDN, apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
        pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a 
    angka 1) dan angka 2), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dihitung 
    dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung 
    sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), 
    dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% dari pokok pajak, ditambah sanksi 
    administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat 
    dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(4) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
    b, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak 
    tersebut. 
(5) Kenaikan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak 
    melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.


                          Bagian Keempat
                       Pajak Ditetapkan Oleh Gubernur

                        Pasal 12 

(1) Pajak ditetapkan oleh Gubernur dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1), ditetapkan oleh Gubernur.


                            Bagian Kelima
                                 Pemungutan Pajak

                        Pasal 13

(1) Pemungut Pajak ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Tata cara pemungutan pajak oleh Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
    oleh Gubernur.


                         BAB IV
                     WILAYAH PEMUNGUTAN

                        Pasal 14

Wilayah pemungutan pajak adalah di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.


                          BAB V
                            PEMBAYARAN

                        Pasal 15

(1) Pembayaran pajak terutang untuk pajak yang dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
    ayat (1) huruf a, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 hari kerja setelah berakhirnya masa pajak
    kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur.
(2) Pembayaran pajak terutang untuk pajak yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dilaksanakan paling lama 30 hari sejak tanggal diterbitkan Surat 
    Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(3) Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada hari
    kerja berikutnya.
(4) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada Kantor Perbendaharaan dan
    Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(5) Apabila pembayaran pajak terutang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana 
    dimaksud pada pada ayat (1), dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2% sebulan untuk jangka
    waktu paling lama 24 bulan.


                        Pasal 16

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, membayar pajaknya dengan 
    menggunakan SSPD.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, membayar pajaknya dengan 
    menggunakan SKPD.
(3) Gubernur dapat menetapkan sarana pembayaran lain selain SSPD dan SKPD sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) dan (2).


                        Pasal 17

SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu
paling lama 30 hari sejak tanggal diterbitkan.


                        Pasal 18

(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak setelah 
    memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau 
    menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan.
(2) Tata cara pengajuan permohonan, persyaratan dan pembayaran angsuran serta penundaan 
    pembayaran pajak, ditetapkan oleh Gubernur.


                         BAB VI
                              PENAGIHAN

                           Bagian Pertama
                          STPD

                        Pasal 19

(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD apabila :
    a.  pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
    b.  dari hasil penelitian SPTPD, terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan 
        atau salah hitung;
    c.  Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a 
    dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk
    jangka waktu paling lama 15 bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran,
    dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan ditagih melalui STPD.


                        Pasal 20

(1) Penagihan pajak dilakukan terhadp pajak yang terutang dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, 
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
(2) Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan
    surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
(3) Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, sekurang-kurangnya memuat :
    a.  nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak;
    b.  besarnya utang pajak;
    c.  perintah untuk membayar;
    d.  saat pelunasan utang pajak.


                            Bagian Kedua
                              Penagihan Seketika dan Sekaligus

                        Pasal 21

(1) Penagihan Pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo 
    pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf d, apabila :
    a.  Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, 
        atau berniat  untuk itu;
    b.  Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai
        dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
        dilakukan di Indonesia;
    c.  terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan 
        usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau 
        memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan
        bentuk lainnya;
    d.  badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;
    e.  terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga, atau 
        terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sekurang-kurangnya memuat :
    a.  nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
    b.  besarnya utang pajak;
    c.  perintah untuk membayar;
    d.  saat pelunasan pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
(4) Pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, dilaksanakan sesuai dengan peraturan 
    perundang-undangan yang berlaku. 


                            Bagian Ketiga
                             Surat Paksa

                        Pasal 22

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat 
    Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada 
    waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan apabila:
    a.  Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah 
        diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
    b.  terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan 
        sekaligus;
    c.  Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum 
        dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.


                        Pasal 23 
 
(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat
    Paksa, kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. 
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Berita Acara, 
    yang sekurang-kurangnya memuat:
    a.  hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
    b.  nama Juru Sita Pajak;
    c.  nama yang menerima;
    d.  tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Juru Sita Pajak kepada:
    a.  Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
        memungkinkan;
    b.  orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha 
        Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
    c.  salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya,
        apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta waris belum dibagi;
    d.  para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Juru Sita Pajak kepada :
    a.  Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di 
        tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain yang memungkinkan;
    b.  pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan, apabila
        Juru Sita Pajaktidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas
    atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, 
    Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, 
    atau likuidator.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak
    dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (4) tidak dapat
    dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau
    tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat
    Paksa pada papan pengumuman Kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media 
    massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta
    bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali
    ditetapkan lain oleh Gubernur.
(10)    Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), wajib membantu dan 
    memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakan kepada Pejabat yang meminta bantuan.
(11)    Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam ayat (3) dan 
    (4) menolak untuk menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(12)    Pengajuan kberatan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajaktidak mengakibatkan penundaan 
    pelaksanaan Surat Paksa.


                        Pasal 24

(1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat 2 kali 24 jam 
    setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan 
    perundang-undangan yang berlaku.


                          Bagian Keempat
                               Penyitaan

                        Pasal 25

(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dalam jangka waktu 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang 
    yang telah dewasa, Penduduk Indonesia, dikenal oleh Juru Sita Pajak, dan dapat dipercaya.
(3) Setiap pelaksanaan penyitaan, Juru Sita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang 
    ditandatangani oleh Juru Sita Pajak, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi.


                        Pasal 26 

(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang berada di
    tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya
    berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat 
    berupa :
    a.  barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan,
        saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi 
        saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
    b.  barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang
    milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal,
    baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
(3) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang 
    disita diperkirakan cukup oleh Juru Sita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(4) Pengajuan keberatan tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.


                        Pasal 27  

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :
1.  nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 nilainya tidak cukup untuk melunasi
    biaya penagihan pajak dan utang pajak;
2.  hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
    pajak.


                           Bagian Kelima 
                              Pelelangan

                        Pasal 28

(1) Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan,
    Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor
    Lelang.
(2) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau
    bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang 
    dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1).  
(3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk membayar biaya 
    penagihan pajak dan utang pajak dengan cara :
    a.  uang tunai disetor ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain 
        yang ditunjuk;
    b.  deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang 
        dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas 
        Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk atas permintaan Pejabat kepada Bank yang
        bersangkutan;
    c.  obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di 
        bursa efek atas permintaan pejabat;
    d.  obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera 
        dijual oleh pejabat;
    e.  piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Wajib Pajak
        dan Penanggung Pajak kepada Pejabat;
    f.  penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual
        dan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat.


                        Pasal 29

(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
    dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(2) Pengumuman  lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 hari 
    setelah penyitaan.
(3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali dan untuk barang tidak bergerak 
    dilakukan 2 kali.
(4) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta 
    rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.


                        Pasal 30

(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau 
    Penanggung Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak.
(3) Lelang tidak dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang Pajak dan
    biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak, atau
    objek lelang musnah.


                           Bagian Keenam
                                   Hak Mendahulu

                        Pasal 31

(1) Daerah mempunyai hal mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Wajib Pajak atau
    Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi
    administrasi berupa kenaikan, bunga, denda, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hal mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hal mendahulu lainnya, kecuali :
    a.  biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
        barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
    b.  biaya yang dikeluarkan untuk menyelematkan barang dimaksud;
    c.  biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan;
    d.  hak lain yang ditetapkan oleh Gubernur.
(4) Hak mendahului itu hilang setelah lampau waktu 2 tahun sejak tanggal diterbitkan SKPD, SKPDKBT,
    STPD, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang 
    menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 
    tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan 
    penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 tahun 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam
    hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu 2 tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu 
    penundaan pembayaran.


                        BAB VII
                    KEDALUWARSA PENAGIHAN

                        Pasal 32  

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak kedaluwarsa setelah melalui jangka waktu 5 tahun terhitung
    sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang
    perpajakan Daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh apabila :
    a.  diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
    b.  ada pengakuan utang pajak dan Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.


                                BAB VIII
                KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN

                          Bagian Pertama
                              Keberatan

                        Pasal 33

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas
    suatu :
    a.  SKPD;
    b.  SKPDKB;
    c.  SKPDKBT;
    d.  SKPDLB;
    e.  SKPDN;
    f.  Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan
        perpajakan.
(2) keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak 
    harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal diterimanya surat
    ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat 
    menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan (4), tidak 
    dianggap sebagai pengajuan keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak
    sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                        Pasal 34   

(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat
    Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa menerima seluruhnya 
    atau sebagian, menolak atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Gubernur atau pejabat 
    yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap
    dikabulkan.
(4) Keputusan keberatan tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan 
    mengangsur pembayaran.


                            Bagian Kedua
                        Banding

                        Pasal 35

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak, terhadap 
    Keputusan mengenai Keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
    dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan
    diterima, dengan dilampiri salinan dan surat keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan 
    penagihan pajak.


                        Pasal 36

(1) Terhadap satu keputusan keberatan, diajukan satu surat banding.
(2) Terhadap banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
(3) Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihapus dari daftar sengketa dengan :
    a.  penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang 
        dilaksanakan;
    b.  putusan Majelis Hakim/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan 
        pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
(4) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
    tidak dapat diajukan kembali.


                        Pasal 37

Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap 
besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).


                        Pasal 38

(1) Banding diajukan sendiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, 
    atau kuasa hukumnya.
(2) Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, banding dapat dilanjutkan oleh 
    ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding
    pailit.
(3) Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan
    atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang 
    menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, 
    atau karena likuidasi dimaksud.


                            Bagian Ketiga
                        Gugatan

                        Pasal 39      

(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 (empat 
    belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud
    tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
(4) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud  pada ayat (3) adalah 14 (empat belas) hari
    terhitung sejak tanggal berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
(5) Terhadap 1(satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.


                        Pasal 40  

(1) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, hanya dapat diajukan kepada 
    Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
    memberitahukan secara tertulis kepada pejabat.
(3) Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah 
    kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, tidak dapat diajukan setelah lelang
    dilaksanakan.


                        BAB IX
                      PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

                        Pasal 41

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan perhitungan dari Wajib Pajak, Wajib Pajak dapat
    mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan secara tertulis dan ditandatangani, 
    dengan sekurang-kurangnya memuat :
    a.  bukti setoran pajak;
    b.  bukti SPTPD;
    c.  dokumen atau keterangan yang menjadi dasar pembayaran pajak;
    d.  perhitungan pembayaran pajak menurut Wajib Pajak.
(3) Terhadap permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu dilakukan
    pemeriksaan kepada Wajib Pajak untuk mengetahui kebenaran atas permohonan tersebut.
(4) Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan 
    pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan dan 
    menerbitkan SKPDLB dalam jangka waktu paling lama 1 bulan.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dilampaui dan Gubernur 
    tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
    dianggap dikabulkan, dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan.
(6) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak yang sama atau utang pajak Daerah lainnya, kelebihan
    pembayaran pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(7) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan dalam
    jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(8) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan,
    Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran 
    kelebihan pembayaran pajak.


                        Pasal 42

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan surat keputusan keberatan, dan putusan banding,
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur.
(2) Terhadap kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan 
    pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
(3) Berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau berdasarkan
    keputusan keberatan atau berdasarkan salinan putusan banding dan Pengadilan Pajak, Gubernur
    menerbitkan SKPDLB dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu
    paling lama 24 bulan yang dihitung sejak bulan pelunasan yang menyebabkan terdapatnya kelebihan 
    pembayaran, sampai dengan diterbitkannya SKP DLB.
(4) Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikompensasikan dengan
    jenis pajak yang sama, atau langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak Daerah lainnya.


                        Pasal 43

Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak berikut imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 41 dan 42, ditetapkan oleh Gubernur.   


                         BAB X
                       PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN
              KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN
                    SANKSI ADMINISTRASI

                        Pasal 44

(1) Gubernur karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, dapat membetulkan SKPD atau 
    SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
    hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundangan-undangan perpajakan Daerah.
(2) Gubernur dapat :
    a.  mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
        pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah, dalam hal
        sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
    b.  mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan 
    ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (20, ditetapkan oleh Gubernur.


                         BAB XI
                        PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

                        Pasal 45 

(1) Wajib Pajak dengan peredaran pendapatan bruto lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
    dalam 1 tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan yang 
    cukup untuk menghitung harga perolehan, atau harga penggantian yang digunakan sebagai dasar
    penghitungam pajak.
(2) Wajib Pajak dengan peredaran pendapatan bruto sampai dengan Rp 300.000.000,00 
    (tiga ratus juta rupiah) dalam jangka waktu 1 tahun, dapat dibebaskan dari kewajiban pembukuan, 
    akan tetapi tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai pendapatan bruto secara teratur,
    yang menjadi dasar untuk penghitungan pajak.
(3) Dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
    (2), adalah Wajib Pajak :
    a.  Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
    b.  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
    c.  Pajak Reklame;
    d.  Pajak Penerangan Jalan;
    e.  Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
    f.  Jenis Pajak Lain yang ditetapkan oleh Gubernur.


                        Pasal 46

(1) Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan 
    pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-
    undangan perpajakan Daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
    a.  memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi 
        dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
    b.  memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan 
        memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
    c.  memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang 
    diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk 
    merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1).


                        Pasal 47

(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dalam bentuk ;
    a.  pemeriksaan lengkap;
    b.  pemeriksaan sederhana.
(2) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan di tempat domisili atau
    di lokasi usaha Wajib Pajak, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan dan atau tahun-
    tahun pajak sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan  teknis pemeriksaan yang pada 
    umumnya lazim digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan :
    a.  di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak
        sebelumnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana;
    b.  di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan.


                        Pasal 48 

(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilakukan dengan berpedoman pada norma 
    pemeriksaan yang memuat batasan terhadap pemeriksa, pemeriksaan, dan Wajib Pajak.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan ke dalam laporan pemeriksaan.
(3) Terhadap temuan dalam pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak
    atau Wajib Pajak dan Penanggung Pajak, dilakukan pembahasan akhir pemeriksaan.
(4) Hasil pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuatkan berita 
    acara yang ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan Wajib Pajak yang bersangkutan.
(5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan laporan hasil pemeriksaan 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (2), dapat diterbitkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDN atau STPD.


                        Pasal 49   

Norma pemeriksaan, pedoman laporan pemeriksaan, dan tata cara pemeriksaan untuk setiap jenis pajak 
ditetapkan oleh Gubernur.


                        Pasal 50 

(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan  tempat atau ruangan tertentu,
    apabila :
    a.  Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2);
    b.  Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
        dipalsukan.
(2) Tata cara penyegelan dalam rangka pemeriksaan ditetapkan oleh Gubernur.


                        BAB XII
                         PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

                        Pasal 51

(1) Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa dapat dilakukan penghapusan.
(2) Penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur 
    berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(3) Permohonan penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-
    kurangnya memuat :
    a.  nama dan alamat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
    b.  jumlah piutang pajak;
    c.  tahun pajak;
    d.  jenis pajak.
(4) Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dapat
    menetapkan penghapusan piutang pajak sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
    sedangkan untuk penghapusan piutang pajak di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 
    ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan.


                        Pasal 52  

(1) Terhadap piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi akan tetapi belum kedaluwarsa, dimasukkan 
    ke dalam daftar piutang pajak yang akan dihapuskan.
(2) Piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud ayat (1), adalah :
    a.  Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta kekayaan/warisan yang 
        dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian dari Lurah dan Laporan hasil pemeriksaan 
        Petugas Dinas Pendapatan Daerah;
    b.  Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi, yang dibuktikan berdasarkan laporan
        hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pendapatan Daerah yang menyatakan bahwa Wajib Pajak
        memang benar-benar tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
    c.  Wajib Pajak yang menyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan dari hasil penjualan
        hartanya tidak mencukupi untuk melunasi utang pajaknya;
    d.  Wajib Pajak yang tidak ditemukan.
(3) Terhadap piutang pajak yang dicadangkan sebagai piutang pajak yang akan dihapuskan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan lagi tindakan penagihan.
(4) Tata cara penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ditetapkan oleh 
    Gubernur.


                        BAB XIII
                   PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN

                        Pasal 53

(1) Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur dapat memberikan pengurangan pajak setinggi-tingginya
    50% dari pokok pajak.
(2) Permohonan pengurangan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara tertulis
    dengan sekurang-kurangnya memuat:
    a.  nama dan alamat Wajib Pajak;
    b.  jenis pajak dan besar pengurangan pajak yang dimohon;
    c.  alasan yang mendasari diajukannya permohonan pengurangan pajak.


                        Pasal 54

(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan keringanan pajak setinggi-tingginya 50% dari dasar 
    pengenaan pajak atau pokok pajak.
(2) Pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan pertimbangan
    atau keadaan tertentu.


                        Pasal 55

(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan pajak kepada Wajib Pajak atau 
    terhadap objek pajak tertentu, berdasarkan atas keadilan dan asas timbal balik (reciprocitas).
(2) Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau
    seluruhnya dari pajak yang terutang.


                        Pasal 56

Persyaratan dan tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, ditetapkan oleh 
Gubernur. 


                        Pasal 57

Bentuk dan isi SPOPD, NPWPD, SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, Surat Keputusan 
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pengurangan dan 
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Daerah, STPD,
SSPD, Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Penagihan Seketika atau
Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Untuk Melaksanakan Penyitaan dan Surat Permohonan Pelelangan,
ditetapkan oleh Gubernur.


                        BAB XIV
                      KETENTUAN KHUSUS

                        Pasal 58 

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau 
    diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya, untuk 
    menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk
    oleh Gubernur untuk membantu dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan
    Daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), adalah :
    a.  Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
    b.  Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan
        oleh Gubernur.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
    supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dan atau tentang Wajib Pajak, kepada
    pihak yang ditunjuknya.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan 
    hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur dapat memberi izin 
    tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan selanjutnya 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menyebutkan nama terdakwa atau 
    nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata
    yang bersangkutan, dengan keterangan yang diminta tersebut.


                        BAB XV
                       KETENTUAN PIDANA

                        Pasal 59

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar
    atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan
    Daerah, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak
    2 kali jumlah pajak yang terutang.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau 
    tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah,
    dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak 4 kali 
    jumlah pajak yang terutang.


                        Pasal 60

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 tahun sejak 
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. 


                        Pasal 61

(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau
    denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
    tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan (2), 
    dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00
    lima juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), hanya dilakukan
    atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud dengan pada ayat (1) dan (2), dapat ditinjau
    kembali sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dan Pasal 59, merupakan 
    penerimaan Negara. 


                        BAB  XVI
                              PENYIDIKAN

                        Pasal 62

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus 
    sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah 
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
    a.  menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
        tindak pidana di bidang perpajakan Daerah, agar keterangan atau laporan tersebut menjadi 
        lebih lengkap dan jelas;
    b.  meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan 
        tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan
        Daerah;
    c.  meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan, sehubungan dengan 
        tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
    d.  memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan 
        tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
    e.  melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan 
        dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
    f.  meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di 
        bidang perpajakan Daerah;
    g.  menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada 
        saat pemeriksaan sedang berlangsung, dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen
        yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
    h.  memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
    i.  memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    j.  menghentikan penyidikan;
    k.  melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang 
        perpajakan Daerah menurut hukum yang saat dipertanggungjawabkan;
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan 
    menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara
    Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana.


                                BAB XVII
                    KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 63

(1) Terhadap kewajiban perpajakan yang belum dilaksanakan sampai dengan berlakunya Peraturan
    Daerah ini, dinyatakan masih tetap berlaku peraturan perpajakan Daerah untuk masing-masing jenis
    pajak sampai dengan dilaksanakan kewajiban tersebut.
(2) Dengan berlakunya peraturan Daerah ini, maka semua ketentuan pelaksanaan Peraturan Daerah di
    bidang perpajakan Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau
    belum ditetapkan ketentuan pelaksanaan berdasarkan Peraturan Daerah ini.


                              BAB XVIII
                      KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 64

(1) Dengan berlakunya peraturan Daerah ini, maka :
    a.  Ketentuan formal sebagaimana diatur dalam masing-masing Peraturan Daerah mengenai
        pemungutan Pajak Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam 
        Peraturan Daerah ini.
    b.  Ketentuan material sebagaimana diatur dalam masing-masing Peraturan Daerah tentang
        Pemungutan Pajak Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya
        Peraturan Daerah untuk masing-masing Pajak Daerah.
(2) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




                            Ditetapkan di Jakarta
                            pada tanggal 25 Juni 2002
                            GUBERNUR PROPINSI DKI JAKARTA,

                                     ttd.

                                SUTIYOSO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2002
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA,

ttd.

H. FAUZI BOWO
NIP.470044314 





                           PENJELASAN
                        ATAS

            PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
                           NOMOR 4 TAHUN 2002

                             TENTANG

                   KETENTUAN UMUM PAJAK DAERAH


I.  PENJELASAN UMUM

Pada dasarnya Undang-undang No. 18 TAHUN 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana 
telah diubah dengan Undang-undang No. 34 TAHUN 2000, menempatkan pajak Daerah sebagai sub-sistem 
perpajakan Nasional, dalam arti pemungutan pajak Daerah dilaksanakan selaras dengan sistem perpajakan 
Nasional, maka sistem pemungutan pajak Daerah terus disempurnakan, pemungutannya diintensifkan dan 
aparat perpajakan harus makin ditingkatkan kemampuannya di bidang perpajakan Daerah.

Dalam undang-undang tersebut masyarakat Wajib Pajak lebih ditingkatkan peran sertanya untuk memenuhi 
kewajiban perpajakan Daerah, dan diarahkan serta dibina agar dengan sadar memenuhi kewajibannya. 
Paradigma menempatkan Wajib Pajak sebagai objek sudah harus dihilangkan dengan  menempatkannya 
sebagai mitra kerja yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan Daerah.

Sejalan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yang dilatarbelakangi kemampuan keuangan 
Daerah yang memadai, intensifikasi pungutan pajak terus diupayakan peningkatannya melalui penyempurnaan 
peraturan perpajakan Daerah yang lebih mudah dipahami, sederhana dan memberikan kepastian hukum 
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak.

Di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya transparansi pemungutan pajak semakin meningkat, hal ini 
perlu diimbangi dengan berbagai pengaturan tentang pengawasan dalam pelaksanaan pemungutan pajak 
Daerah.

Peluang yang diberikan Undang-undang Nomor 34 TAHUN 2000 untuk melakukan penyempurnaan Peraturan 
Daerah, merupakan dasar pemikiran yang melandasi tekad dan keinginan untuk meningkatkan kualitas produk 
hukum perpajakan Daerah, melalui penyederhanaan ketentuan-ketentuan pelaksanaan pemungutan 
(ketentuan formal) perpajakan Daerah yang lebih simpel, integral dan sederhana, sehingga mudah dipahami 
oleh Wajib Pajak maupun aparat pelaksana, yang pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan 
partisipasi dan peran serta masyarakat dalam memenuhi ketentuan perpajakan Daerah, serta mudah dalam 
pelaksanaan administrasi pemungutannya.

Untuk mewujudkan maksud dan keinginan tersebut, perlu secara terpisah antara ketentuan formal dan 
ketentuan material perpajakan Daerah. Ketentuan formal perpajakan Daerah mengatur mengenai 
pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah, hak dan kewajiban Wajib Pajak, sanksi administrasi maupun sanksi
pidana, yang merupakan pedoman umum pemungutan Pajak Daerah. Oleh karenanya Peraturan Daerah ini 
disebut sebagai Ketentuan Umum Pajak Daerah (KUPD) yang diberlakukan terhadap Peraturan Daerah yang 
mengatur mengenai ketentuan material untuk masing-masing jenis Pajak Daerah yang dipungut di Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.


II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

    angka 1 s.d angka 6

        Cukup jelas 

    angka 7

        Yang dimaksud dengan tanpa imbalan langsung adalah bahwa atas pembayaran pajak Daerah
        tidak diberikan imbalan langsung secara individual, tetapi diberikan secara kolektif.

    angka 8

        Cukup jelas

    angka 9

        Yang dimaksud pemungut antara lain Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pemungut 
        Pajak Penerangan Jalan, Pertamina sebagai pemungut Pajak Bahan Bakar Kendaraan 
        Bermotor. Sedangkan yang dimaksud pemotong belum ada dalam sistem dan prosedur Pajak 
        Daerah.

    angka 10 s.d. angka 34

        Cukup jelas

Pasal 2

    Cukup jelas

Pasal 3

    ayat (1) dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan 
        pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun dimungkinkan adanya 
        kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain, 
        pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau 
        penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan 
        dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang,
        pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 4
    ayat (1)

        Cukup jelas

    ayat (2)

        Yang dimaksud dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat sebelum 
        ditetapkan adalah ditujukan terhadap jenis-jenis pajak Daerah selain yang telah disebutkan 
        dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini (jenis Pajak Daerah yang baru).

Pasal 5

    ayat (1)

        Ayat ini mengatur sistem pemungutan/pengenaan pajak, yaitu:
        a.  self assessment (dibayar sendiri), adalah pengenaan pajak yang memberi 
            kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar 
            dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD
        b.  Official assessment (ditetapkan oleh Gubernur), adalah pengenaan pajak yang 
            dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Gubernur atau 
            pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang 
            dipersamakan.
        c.  Witholding (pemungut pajak), adalah pengenaan pajak yang dipungut oleh pemungut 
            pajak, antara lain Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang telah ditetapkan berdasarkan 
            Peraturan Pemerintah Nomor 65 TAHUN 2001 tentang Pajak Daerah, sebagai 
            pemungut pajak, Pajak Penerangan Jalan atas penggunaan tenaga listrik yang 
            disediakan oleh PLN.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 6

    ayat (1)

        SPOPD tidak dipergunakan bagi sistem pemungutan pajak yang dipungut oleh pemungut.

    ayat (2) s.d. ayat (5)

        Cukup jelas

    ayat (6)

        NPWPD secara jabatan diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak mendaftar dan melaporkan ke
        Dinas Pendapatan Daerah walaupun secara material telah memenuhi ketentuan untuk menjadi 
        Wajib Pajak.

    ayat (7)

        Cukup jelas

Pasal 7

    ayat (1) s.d. ayat (6)

        Cukup jelas

    ayat (7)
        
        Yang dimaksud dengan jenis pajak tertentu adalah pajak-pajak yang dipungut dengan sistem 
        Official assessment 

Pasal 8

    ayat (1)

        Yang dimaksud dengan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD pada ayat ini, 
        bahwa Wajib Pajak ternyata tidak dapat menyampaikan SPTPD sesuai dengan jangka waktu 
        yang ditetapkan benar-benar mengalami kesulitan, karena masalah-masalah teknis yang 
        berkaitan dengan persyaratan yang harus dilampirkan dalam pengajuan untuk keperluan 
        kelengkapan SPTPD.

        Pemberian jangka waktu paling lama 2 bulan sebagaimana dimaksud ayat ini dihitung sejak
        jangka waktu penyampaian SPTPD berakhir.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 9

    ayat (1)

        Yang dimaksud dengan kalimat "belum melakukan tindakan pemeriksaan" adalah surat 
        pemberitahuan atau surat tugas pemeriksaan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pendapatan 
        Daerah, belum disampaikan kepada Wajib Pajak atau kuasanya atau pegawai dan Wajib 
        Pajak.

    ayat (2)

        Contoh :
        Pembayaran Pajak Restoran dalam SPTPD untuk masa pajak bulan Juni 2000 sebesar 
        Rp 10.000.000,00 SPTPD tersebut terdapat kekeliruan dan Wajib Pajak membetulkan sendiri 
        SPTPD masa pajak tersebut pada bulan September 2001 serta kepadanya belum dilakukan 
        tindakan pemeriksaan.

        Penghitungan bunga (sanksi administrasi 2% per bulan).
        Pajak terutang karena pembetulan            =   Rp  15.000.000,00 
        Pembayaran pajak masa Juni 2000         =   Rp  10.000.000,00
                                        ___________________
        Pajak yang kurang dibayar               =   Rp    5.000.000,00
        Sanksi Administrasi :
        Bunga 2% per bulan
        (2% x 15 bulan) x Rp 5.000.000,00           =   Rp    1.500.000,00
                                        ___________________
        Pajak dan Bunga Yang Harus Dibayar          =   Rp    6.500.000,00


Pasal 10

    ayat (1)

        Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan 
        melaporkan sendiri pajak yang terutang.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 11

    Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri (sistem 
    self assessment). Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang 
    disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang 
    tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

    ayat (1)

        Ketentuan ayat ini memberi kewenangan Kepada Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas 
        Pendapatan Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap 
        kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap 
        Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi 
        kewajiban formal dan/atau kewajiban material.

        Contoh :
        1.  Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada 
            masa pajak tertentu, misalnya dalam tahun pajak 2000. Setelah ditegur dalam jangka 
            waktu tertentu juga belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah maka 
            dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sejak saat terutangnya pajak Gubernur 
            dalam hal ini Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas 
            pajak yang terutang.
        2.  Seorang Wajib Pajak telah menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2000. Dalam 
            jangka waktu paling lama 5 tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan Surat 
            Pemberitahuan Pajak Daerah yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang 
            terutang kurang bayar tersebut, Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat menerbitkan 
            SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
        3.  Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh 2 yang telah diterbitkan SKPDKB, 
            apabila dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sesudah pajak yang terutang 
            ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang 
            menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka Gubernur dalam hal 
            ini Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
        4.  Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang terutang 
            sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada 
            kredit pajak, maka Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat 
            menerbitkan SKPDN.

        huruf a

            angka 1)

                Cukup jelas

            angka 2)

                Yang dimaksud dengan kalimat "SPTPD tidak disampaikan" adalah 
                penyampaian SPTPD tidak dalam batas waktu yang ditentukan setelah 
                ditegur secara tertulis. 

                Artinya Wajib Pajak tetap menyampaikan SPTPD tetapi telah melampaui 
                batas waktu yang ditetapkan dalam surat teguran.

            angka 3)

                -   Yang dimaksud "kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi" dapat 
                    terjadi dua kemungkinan Pertama, SPTPD sama sekali tidak 
                    disampaikan; Kedua, SPTPD disampaikan tetapi diisi tidak benar.
                -   Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah 
                    penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Gubernur 
                    atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau 
                    keterangan lain yang dimiliki oleh Gubernur atau pejabat yang 
                    ditunjuk.

        huruf b dan huruf c

            Cukup jelas

    ayat (2)

        Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban 
        perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dari 
        pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan atas pajak 
        yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat 
        terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang 
        Bayar.

    ayat (3)

        Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud 
        pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak 
        Daerah yang seharusnya dilakukannya, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 
        pajak sebesar 25% dari  pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, maka Gubernur 
        menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak 
        Daerah Kurang Bayar.

        Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang juga
        dikenakan Sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang 
        atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa 
        bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan 
        Pajak Daerah Kurang Bayar.

        Contoh :
        Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD untuk masa pajak Januari tahun pajak 2000 dan 
        setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tersebut tidak juga memenuhi kewajiban 
        perpajakannya,  Kepala Dinas Pendapatan Daerah melakukan penetapan pajak yang 
        terutang secara jabatan pada Bulan April 2001.

        Misalkan :
        Berdasarkan pernetapan jabatan 
        Pajak yang terutang                 =   Rp  160.000.000,00
        Pembayaran Pajak Tahun 2000             =   Rp  100.000.000,00
                                        ____________________
        Pokok Pajak                     =   Rp    60.000.000,00  
        Sanksi berupa kenaikan
        25% x Rp 60.000.000,00              =   Rp    15.000.000,00
                                        ____________________
        Pajak Kurang Dibayar                    =   Rp    75.000.000,00
        Sanksi berupa bunga
        2% x 16 bulan x Rp 75.000.000,00            =   Rp    24.000.000,00
                                        ____________________
        Pajak Yang Harus Dibayar                =   Rp    99.000.000,00

    ayat (4) dan (5)

        Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud 
        pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula 
        belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sampai sehingga pajak yang terutang 
        bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi ini tidak dikenakan 
        apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 12

    ayat (1)

        Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan adalah dokumen yang dipergunakan dan 
        berfungsi sama dengan SKPD, antara lain berupa karcis, nota perhitungan, tagihan rekening 
        listrik.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 13 dan Pasal 14

    Cukup jelas

Pasal 15
 
    ayat (1) dan ayat (2)

        Jenis pajak tertentu yang pembayaran pajaknya telah diatur bersamaan dalam proses/
        mekanisme pelayanan administrasi lainnya seperti pembayaran Pajak Penerangan Jalan 
        dilakukan bersamaan dengan pembayaran tagihan rekening listrik kepada PLN.

    ayat (3) dan ayat (4)

        Cukup jelas

    ayat (5)

        Besarnya bunga ditetapkan dengan menerbitkan STPD dan dihitung sejak berakhirnya jatuh 
        tempo pembayaran sampai dengan diterbitkan STPD.

Pasal 16

    ayat (1) dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Yang dimaksud dengan sarana pembayaran lain adalah antara lain surat tagihan rekening 
        listrik.

Pasal 17

    Cukup jelas

Pasal 18

    ayat (1)

        Penundaan pembayaran pajak dapat dipertimbangkan berdasarkan kesulitan likuiditas yang
        dialami Wajib Pajak dengan dikenakn bunga sebesar 2% sebulan.

        Contoh :
        Apabila pajak terutang dalam SKPDKB sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) telah 
        disetujui pembayaran angsuran sebanyak 5 kali dengan besar angsuran yang sama, maka 
        penghitungan besarnya angsuran ditambah bunga sebagai berikut:
        _____________________________________________________________________________
        Angsuran    Utang           Pokok           Bunga       Jumlah 
        Pajak                   Angsuran        2%      Angsuran
        _____________________________________________________________________________
        Ke-1            10.000.000      2.000.000              200.000      2.200.000
        Ke-2              8.000.000     2.000.000              160.000      2.160.000
        Ke-3              6.000.000     2.000.000              120.000      2.120.000
        Ke-4              4.000.000     2.000.000        80.000     2.080.000
        Ke-5              2.000.000     2.000.000        40.000     2.040.000
        _____________________________________________________________________________
    
    ayat (2)    

        Cukup jelas

Pasal 19

    ayat (1) dan ayat (2)

        Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat 
        jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Pasal 20

    ayat (1)

        Yang dimaksud Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak 
        melunasi utang pajak dan biaya penagihan dengan menegur atau memperingatkan, 
        melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan 
        pencegahan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. 

    ayat (2)

        ayat dimaksud dalam ayat ini adalah surat lain yang sejenis adalah surat yang dipersamakan
        dengan surat teguran atau surat peringatan.

        Penyampaian Surat Teguran dilakukan sebelum jatuh tempo pembayaran.

    ayat (3)

        huruf a s.d huruf c

            Cukup jelas

        huruf d 

            Yang dimaksud dengan saat pelunasan utang pajak adalah tanggal jatuh tempo 
            pembayaran yang tercantum dalam surat teguran atau surat peringatan atau surat 
            lain yang sejenis.

Pasal 21

    ayat (1)

        Yang dimaksud dengan Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan 
        pajak yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak kepada Penanggung Pajak tanda menunggu 
        tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, 
        masa pajak, dan tahun pajak. Juru Sita Pajak diangkat oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.

    ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala
        Dinas Pendapatan Daerah kepada petugas Juru Sita untuk melakukan penagihan pajak 
        dengan surat pajak.

        Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus dapat dijadikan dasar untuk melakukan 
        penagihan pajak dengan surat paksa.

    ayat (4)

        Cukup jelas

Pasal 22

    ayat (1)

        Pengertian kata "dapat" pada ayat ini adalah bahwa penagihan pajak dengan surat paksa baru
        dapat dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal 
        jatuh tempo pembayaran dan setelah jangka waktu 21 hari surat teguran atu surat peringatan 
        atau surat lain yang sejenis diterima oleh Wajib Pajak atau Wajib Pajak tidak memenuhi 
        angsuran pembayaran pajak atau penundaan pembayaran pajak. 

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 23

    ayat (1) s.d. ayat (3)

        Cukup jelas

    ayat (4)

        Yang dimaksud dengan "maupun di tempat lain yang dimungkinkan" adalah kantor 
        pemerintahan kelurahan setempat.

    ayat (5) s.d. ayat (12)

        Cukup jelas

Pasal 24

    ayat (1)

        Jangka waktu 2 kali 24 jam dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung 
        Pajak melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa yang bersangkutan.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 25

    ayat (1)

        Cukup jelas

    ayat (2)

        Kehadiran para sanksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan 
        dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    ayat (3)

        Berita Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan 
        masyarakat bahwa penguasaan barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung 
        Pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu, dalam setiap penyitaan, Juru Sita Pajak harus 
        membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap yang sekurang-kurangnya 
        memuat hari dan tanggal, nomor, nama Juru Sita Pajak, nama Penanggung Pajak, nama dan 
        jenis barang yang disita, dan tempat penyitaan.

Pasal 26

    ayat (1)

        Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dan Penanggung Pajak.
        Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang Penanggung Pajak, 
        baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan Penanggung Pajak, 
        atau di tempat lain maupun yang penguasaannya berada di tangan pihak lain.

        Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun 
        dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak 
        bergerak. Keadaan tertentu, misalnya, Juru Sita Pajak tidak menjumpai barang bergerak 
        yang dapat dijadikan objek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai 
        nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya. Pengertian 
        kepemilikan atas tanah meliputi, antara lain, hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, dan 
        hak guna usaha.

        Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak lain, misalnya, disewakan atau 
        dipinjamkan, sedangkan yang dimaksud dengan dibebani dengan hak tanggungan sebagai 
        jaminan pelunasan utang tertentu misalnya, barang yang dihipotekkan, digadaikan, atau 
        diagunkan.

    ayat (2)

        Pada dasarnya penyitaan terhadap badan dilakukan terhadap barang milik perusahaan. 
        Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak 
        dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang 
        milik perusahaan tidak mencukupi, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang 
        milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau 
        ketua untuk yayasan.

    ayat (3)

        Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Juru Sita Pajak harus memperhatikan jumlah 
        dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga Juru Sita Pajak tidak dapat melakukan 
        penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu Juru Sita Pajak dimungkinkan untuk 
        meminta bantuan Jasa Penilai.

        Yang dimaksud dengan biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat
        Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pengumuman lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya 
        sehubungan dengan penagihan pajak. 

    ayat (4)

        Cukup jelas

Pasal 27

    Ketentuan ini dimaksudkan agar Juru Sita Pajak dapat melaksanakan penyitaan terhadap barang milik 
    Penanggung Pajak yang ditemukan atau diketahui kemudian apabila nilai barang yang telah disita 
    terdahulu tidak cukup untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dengan dmikian, 
    penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi 
    utang pajak dan biaya penagihan baik sebelum lelang maupun setelah lelang dilaksanakan.

Pasal 28

    ayat (1)

        Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi hutang pajak tetapi belum melunasi biaya 
        penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap harang yang telah disita tetap dapat 
        dilaksanakan.

    ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        huruf a

            Cukup jelas

        huruf b

            Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, 
            tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan 
            dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai rahasia baik 
            sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

        huruf c

            Cukup jelas

Pasal 29    

    ayat (1)

        Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penanggung pajak melunasi
        hutang pajaknya sebelum pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai 
        dengan  ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan secara lelnag harus didahului 
        dengan Pengumuman Lelang.

    ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Dalam hal barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama-sama barang bergerak, 
        pengumuman lelang dilakukan dua kali untuk barang tidak bergerak, satu kali bersama-sama
        barang bergerak pada pengumuman pertama, sehingga penjualan barang bergerak dapat 
        didahulukan.

    ayat (4)

        Pengertian tidak harus diumumkan melalui media massa misalnya dengan selebaran atau 
        pengumuman yang ditempelkan di tempat umum, misalnya di Kantor Kelurahan atau di papan 
        pengumuman kantor pejabat.

Pasal 30

    ayat (1)

        Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang 
        kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum 
        tetap, maka sekalipun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum memperoleh 
        keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.

    ayat (2)

        Karena penguasaan barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada 
        pejabat yang bersangkutan mempenyai wewenang untuk menjual barang yang disita 
        dimaksud. Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang yang disita telah diberitahukan 
        bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan, lelang 
        tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.

    ayat (3)

        Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang 
        pajak dan biaya penagihan pajak. Namun, dalam hal terdapat putusan pengadilan yang 
        mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita, atau putusan 
        Pengadilan Pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak atas melaksanakan 
        penagihan pajak, atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau 
        bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang pajak dan biaya penagihan 
        pajak belum dilunasi.

Pasal 31

    ayat (1) dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        huruf a s.d.huruf c

            Cukup jelas

        huruf d

            Hak lain yang ditetapkan oleh Gubernur setelah dikoordinasikan dengan Pemerintah 
            Pusat dalam hal ini Departemen Keuangan.

    ayat (4)

        Cukup jelas

    ayat (5)

        Yang dimaksud dengan jangka waktu penambahan penundaan pembayaran, apabila 
        permohonan penundaan pembayaran dikabulkan.

Pasal 32

    ayat (1)

        Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum
        kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

    ayat (2)

        huruf a

            Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluarsa penagihan dihitung
            sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. 

        huruf b

            Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak 
            tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai 
            utang pajak kepada Pemerintah Daerah.

            Contoh :
            -   Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran.
            -   Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan.

Pasal 33

    ayat (1)

        Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan 
        pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan 
        hanya kepada Gubernur yang menerbitkan surat ketetapan pajak.

        Keberatan yang dilakukan adalah terhadap materi atau isidari ketetapan dengan membuat 
        perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak.
        Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak.

        huruf a s.d. huruf e

            Cukup jelas

        huruf f

            Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang pribadi atau badan yang menurut 
            peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah atau yang ditunjuk oleh 
            Gubernur sebagai pemotong/pemungut pajak.  

    ayat (2)

        Alasan-alasan yang jelas di sini adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah
        pajak yang terutang yang ditetapkan oleh petugas pajak (fiskus) tidak benar.

    ayat (3)

        Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal 
        Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan.

        Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak 
        menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (STPD) meskipun telah ditegur secara 
        tertulis.

        Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan ketidakbenaran Surat ketetapan Pajak secara 
        jabatan itu, maka keberatannya ditolak.

    ayat (4)

        Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi
        di luar kehendak/kekuasaan Wajib Pajak, misalnya, karena Wajib Pajaksakit atau terkena 
        musibah bencana alam.

    ayat (5)

        Cukup jelas

    ayat (6)

        Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindar dari 
        kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan keberatan, 
        sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan Daerah.

Pasal 34

    ayat (1)

        Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam 
        rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus 
        diberi keputusan oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak Surat 
        Keberatan diterima.

    ayat (2) s.d. ayat (4)

        Cukup jelas


Pasal 36

    ayat (1) dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Atas banding yang disampaikan kepada Pengadilan Pajak dan belum dilakukan pemeriksaan 
        atau sedang dilakukan pemeriksaan dapat diajukan permohonan pencabutan.
        Terhadap permohonan pencabutan dimaksud dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat.
        Atas putusan pemeriksaan dengan acara cepat dimaksud tidak dapat lagi diajukan banding.

Pasal 37

    Yang dimasud dengan jumlah pajak yang terutang ternasuk sanksi administrasi.

    Contoh :
    Pokok Pajak                     Rp  1.000.000,00
    Sanksi administrasi (bunga) 2% sebulan          Rp      20.000,00 
                                __________________
    Pajak terutang                      Rp  1.020.000,00

Apabila mengajukan banding, Wajib Pajak terlebih dahulu diwajibkan untuk menyetor sebesar 
50% x Rp 1.020.000,- = Rp 510.000,-

Pasal 38

    Cukup jelas

Pasal 39

    ayat (1)

        Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada Penanggung Pajak untuk 
        mengajukan gugatan kepada badan peradilan pajak dalam hal Penanggung Pajak tidak setuju 
        dengan pelaksanaan penagiham pajak yang meliputi pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah 
        Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang.

        Jangka waktu 14 hari untuk mengajukan gugatan dianggap memadai dan telah sesuai dengan 
        ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. 
        Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap Surat Paksa dihitung sejak pemberitahuan
        kepada  Penanggung Pajak, untuk sita dihitung sejak Pengumuman Lelang. Dengan demikian, 
        lelang tidak boleh dilaksanakan sebelum lewat 14 hari sejak Pengumuman Lelang. Apabila 
        dalam jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan maka hak 
        penanggung Pajak untuk menggugat dinyatakan gugur.

    ayat (2) s.d. (4)

        Cukup jelas

    ayat (5)

        Permohonan ganti rugi diajukan oleh Penanggung Pajak yang gugatannya dikabulkan kepada
        Pejabat tempat pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau 
        Pengumuman Lelang dilakukan.
        Pemulihan nama baik dan ganti rugi yang diberikan hanya dalam bentuk uang.

    ayat (6) dan ayat (7)

        Cukup jelas

Pasal 40

    ayat (1) s.d. ayat (3)

        Cukup jelas

    ayat (4)

        Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang 
        disita oleh Juru Sita Pajak melalui proses perdata. Namun, apabila Pejabat Lelang telah 
        menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang 
        berlangsung, maka sanggahan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang 
        telah terjual dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan 
        melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak ketiga telah diberikan 
        kesempatan yang cukup untuk mengajukan sanggahan sebelum lelang dilaksanakan.

Pasal 41

    ayat (1) dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan
        pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, kecuali pengembalian 
        kelebihan pembayaran berdasarkan putusan banding dan surat keputusan keberatan.

    ayat (4) s.d. ayat (6)

        Cukup jelas

    ayat (7)

        Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak 
        dihitung dari batas waktu 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB sampai dengan saat 
        dilakukannya pembayaran kelebihan.

    ayat (8)

        Cukup jelas

Pasal 42 dan Pasal 43

    Cukup jelas

Pasal 44

    ayat (1)

        Cukup jelas

    ayat (2)

        huruf a

            Yang dimaksud dengan kekhilafan Wajib Pajak adalah keadaan Wajib Pajak secara 
            tidak sadar atau lupa atau dalam kondisi tertentu sulit untuk menentukan pilihan 
            dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

        huruf b 

            Gubernur karena jabatannya dan berlandasan unsur keadilan dapat mengurangkan 
            atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar misalnya Wajib Pajak yang 
            ditolak pengajuan pengurangannya karena tidak memenuhi persyaratan formal 
            (memasukkan surat permohonan pengurangan tidak pada waktunya) meskipun 
            persyaratan material terpenuhi.

    ayat (3)

        Cukup jelas

Pasal 45

    ayat (1)    dan ayat (2)

        Cukup jelas

    ayat (3)

        huruf a s.d. huruf e

            Cukup jelas

        huruf f

            Yang dimaksud dengan pajak lain yang ditetapkan oleh Gubernur adalah jenis pajak 
            selain yang telah disebutkan pada ayat (3) huruf a s.d. e dan yang ditetapkan 
            berdasarkan Pasal 4 yang dalam perkembangannya dapat dikecualikan oleh 
            Gubernur dari kewajiban pembukuan dan pencatatan.

Pasal 46

    ayat (1)

        Gubernur atau pejabat yang ditunjuknya dalam rangka pengawasan berwenang melaksanakan
        pemeriksaan untuk :
        a.  Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah.
        b.  Tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perpajakan Daerah.

    ayat (2)

        Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan 
        pajak maka dikenakan penetapan secara jabatan.

        huruf a

            Cukup jelas

        huruf b

            Termasuk memberikan kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan 
            kas (kas opname).

        huruf c

            Cukup jelas

    ayat (3)

        Cukup jelas

Pasal 47

    ayat (1)

        Yang dimaksud :
        -   pemeriksaan lengkap adalah pemeriksaan lapangan terhadap seluruh kegiatan Wajib
            Pajak yang bersifat komprehensif.
        -   Pemeriksaan sederhana atau verifikasi adalah pemeriksaan sederhana di kantor 
            maupun pemeriksaan sederhana di lapangan.

    ayat (2) dan ayat (3)

        Cukup jelas

Pasal 48

    ayat (1)

        Cukup jelas

    ayat (2)

        Yang dimaksud Laporan pemeriksaan dalam ayat ini adalah laporan tentang hasil 
        pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa secara rinci, dan jelas serta sesuai dengan ruang 
        lingkup dan maksud pemeriksaan.

    ayat (3) s.d. ayat (5)

        Pembahasan akhir hasil pemeriksaan adalah pembahasan yang dilakukan antara pemeriksa
        dengan Wajib Pajak dalam upaya memperoleh pendapat yang sama atas temuan selama 
        pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak 
        disetujui, dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh 
        pemeriksa dan Wajib Pajak, yang selanjutnya dijadikan dasar penerbitan surat ketetapan 
        pajak daerah atau STPD.

Pasal 49 dan Pasal 50

    Cukup jelas

Pasal 51

    ayat (1)

        Cukup jelas

    ayat (2)

        Permohanan penghapus piutang pajak kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah harus 
        menjelaskan alasan-alasan penghapusan dan upaya-upaya yang telah dilakukan.

    ayat (3) dan ayat (4)

        Cukup jelas

Pasal 52

    ayat (1)

        Yang dimaksud daftar piutang pajak yang akan dihapuskan adalah apabila suatu piutang 
        pajak yang nyata-nyata sulit atau tidak mungkin ditagih, tetapi masih belum melampaui masa 
        kedaluwarsa.

    ayat (2)

        huruf a s.d. huruf c

            Cukup jelas

        huruf d

            Contoh :
            Wajib Pajak tidak diketemukan karena pindah tempat usaha dan tidak jelas data 
            alamatnya.

    ayat (3) dan ayat (4)

        Cukup jelas

Pasal 53

    ayat (1)

        Pengurangan yang dapat diberikan adalah merupakan pengurangan pokok pajak yang 
        merupakan perkalian antara tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.
        Pengurangan pokok pajak dalam pasal ini diberikan oleh Gubernur berdasarkan alasan-alasan 
        yang dapat diterima.

        Contoh :
        Pemberian pengurangan bagi kepentingan sosial dan keagamaan  yang tidak bersifat 
        komersil.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 54

    ayat (1)

        Keringanan diberikan pada dasar pengenaan pajak yang akan digunakan untuk menghitung
        besarnya pokok pajak. Wajib Pajak yang telah mendapat putusan pemberian keringanan 
        dasar pengenaan pajak untuk suatu ketetapan pajak, tidak dapat mengajukan permohonan 
        untuk mendapatkan pengurangan pokok pajak untuk ketetapan yang sama atau sebaliknya.

    ayat (2)

        Pemberian keringanan yang dimaksud pada pasal ini berdasarkan pertimbangkan Gubernur 
        pada suatu keadaan tertentu.

        Contoh :
        Pada saat kondisi perekonomian sedang resesi untuk membantu masyarakat ekonomi lemah.
        Gubernur memberikan keringanan Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum.

        Contoh :
        Wajib Pajak Restoran yang beromzet di bawah 30 juta per tahun dibebaskan dari pengenaan 
        pajak.

        Yang dimaksud dengan pembebasan pajak berdasarkan azaz timbal balik adalah perlakuan
        yang sama berdasarkan Konvensi Wina tahun 1961.

        Contoh :
        Pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama kendaraan Bermotor kepada 
        Korps Diplomatik.

    ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 56 dan 57

    Cukup jelas

Pasal 58

    ayat (1)

        Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang 
        perpajakan Daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut 
        masalah perpajakan Daerah. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapat perlindungan 
        untuk mencegah disalahgunakannya bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan 
        dagang atau mengungkapkan keadaan asal-usul kekayaan dari Wajib Pajak yang dapat 
        dikategorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan asas hukum pajak.

    ayat (2)

        Yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain ahli bahasa, akuntan pengacara dan sebagainya
        yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan 
        Daerah, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk menungkapkan 
        kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    ayat (3)

        huruf a

            Cukup jelas

        huruf b

            Yang dimaksud dengan pihak lain, antara lain adalah lembaga negara atau instansi 
            pemerintah Daerah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan 
            Daerah.

    ayat (4)

        Untuk kepentingan Daerah, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam 
        rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari 
        atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang 
        ditunjuk oleh Gubernur.
        Dalam surat izin yang diterbitkan Gubernur harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama
        pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk 
        memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulisdari atau tentang Wajib Pajak. 
        Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh 

        Gubernur.

    ayat (5)

        Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata
        yang berhubungan dengan masalah perpajakan Daerah, dan untuk kepentingan peradilan, 
        Gubernur memberikan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan tenaga ahli 
        atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.

    ayat (6)

        Cukup jelas

Pasal 59

    ayat (1)

        Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi
        kewajibannya.
        Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang 
        mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan 
        Daerah. 

    ayat (2)

        Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan 
        sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan
        pajak bagi Daerah.

Pasal 60

    Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut 
    Umum dan Hakim.

Pasal 61

    ayat (1)

        Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan Daerah tidak akan
        diberitahukan kepada pihak lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan 
        keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan Daerah tidak ragu-ragu.

    ayat (2)

        Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan 
        sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat.

    ayat (3)

        Tuntutan pidana pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai sifatnya adalah menyangkut kepentingan
        pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana 
        pengaduan.

    ayat (4) dan ayat (5)

        Cukup jelas

Pasal 62

    ayat (1)

        Penyidik di bidang perpajakan Daerah adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan 
        Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah yang diusulkan oleh Gubernur dan
        diangkat oleh Menteri Kehakiman atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan 
        peraturan perundang-undangan yang berlaku.

        Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dilaksanakan menurut ketentuan yang
        diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

    ayat (2) dan ayat (3)

        Cukup jelas

Pasal 63 dan Pasal 64

    Cukup jelas
peraturan/perda/4tahun2002.txt · Last modified: 2023/02/05 20:49 by 127.0.0.1