peraturan:perda:22tahun2007
PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 22 TAHUN 2007
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,
Menimbang :
1. bahwa berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 63 Tahun
1999 telah ditetapkan Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran;
2. bahwa dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4
Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran, perlu menyempurnakan Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 63 Tahun 1999 tersebut karena sudah tidak
sesuai dengan kondisi saat ini;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk
meningkatkan pelayanan, daya guna dan hasil guna dalam rangka pemungutan Pajak Restoran, perlu
menetapkan Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Restoran.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 18 TAHUN 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 TAHUN 2000;
2. Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 2000;
3. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta;
4. Undang-Undang Nomor 14 TAHUN 2002 tentang Pengadilan Pajak;
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 TAHUN 2001 tentang Pajak Daerah;
8. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
9. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 TAHUN 2002 tentang Ketentuan
Umum Pajak Daerah;
10. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak
Restoran;
11. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Kepariwisataan;
12. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 29 Tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
13. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 147 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Pendapatan
Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
14. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 329/2002 tentang Penetapan
Wilayah Kerja Suku Dinas Pendapatan Daerah kotamadya Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
15. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 52 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Pelaporan Wajib Pajak Pajak Daerah.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN GUBERNUR TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah
3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
4. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
5. Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah yang selanjutnya disingkat KPKD adalah Kantor
Perbendaharaan dan Kas Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
6. Bank adalah Bank Pembangunan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut
Bank DKI atau Bank lain yang ditunjuk;
7. Suku Dinas Pendapatan Daerah yang selanjutnya disingkat Sudin Penda adalah Suku Dinas
Pendapatan Daerah Kotamadya Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibikota Jakarta;
8. Seksi Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan yang selanjutnya disingkat Seksi DPD Kecamatan adalah
Seksi Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
9. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan;
10. Pajak hiburan adalah pajak yang dipungut atas pelayanan restoran;
11. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut
bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering;
12. Pengusaha Restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan usaha di bidang restoran;
13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan
perpajakan Daerah, diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak restoran yang terutang, termasuk
pemungut atau pemotong pajak tertentu;
14. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak
restoran, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan Perpajakan Daerah;
15. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan
kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban Perpajakan Daerah;
16. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah Nomor Objek Pajak Daerah yang
diberikan kepada Wajib Pajak sebagai identitas objek pajak;
17. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan
barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik restoran;
18. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek, subjek pajak dan
penentuan besarnya pajak yang terutang, sampai dengan kegiatan penagihan pajak serta
pengawasan penyetorannya;
19. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu
lain yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur;
20. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah yang selajutnya disingkat SPOPD, adalah surat yang digunakan
Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Dinas
Pendapatan Daerah;
21. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan Daerah;
22. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor
Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Gubernur;
23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat
ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus
dibayar;
24. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang, Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
25. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak, karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
26. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan yang
menentukan jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;
27. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
28. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan Daerah, yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, atau Surat Tagihan Pajak Daerah;
29. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, atau
terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
30. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak;
31. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari mengumpulkan dan mengolah data dan/atau
keterangan lainnya, untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah, dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah;
32. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap
suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku;
33. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
34. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir;
35. Bon Penjualan (Bill) adalah bukti pembayaran yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang
dibuat oleh Wajib Pajak pada saat mengajukan pembayaran makanan dan/atau minuman kepada
subjek pajak.
BAB II
PENDAFTARAN DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pendaftaran
Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran wajib mendaftarkan diri dan melaporkan usaha atau objek pajak Pajak
Restoran dengan menggunakan SPOPD kepada Dinas Pendapatan Daerah melalui Sudin Penda atau
Seksi DPD Kecamatan dimana Wajib Pajak berada.
(2) Pelaporan objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaporan atas
pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran yang meliputi antara lain rumah makan,
cafe, coffe shop, bar, kantin, kafetaria, pusat jajan (food court) dan yang sejenisnya, termasuk juga
pelayanan pesanan (delivery order) tidak dimakan di tempat (take away).
(3) SPOPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diambil sendiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
di Sudin Penda atau Seksi DPD Kecamatan yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
kedudukan usaha Wajib Pajak.
(4) SPOPD Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dan ditulis dengan benar, jelas, dan lengkap
serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan melampirkan :
a. fotokopi identitas diri (KTP, SIM, paspor);
b. fotokopi akte pendirian (untuk badan usaha);
c. domisili usaha;
d. surat izin usaha dari instansi yang berwenang.
(5) SPOPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan ke Sudin Penda atau ke Seksi DPD
Kecamatan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum usahanya diselenggarakan.
(6) Terhadap Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan NPWPD/NOPD.
(7) Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan ditagih dengan menerbitkan STPD.
(8) Kepala Dinas Pendapatan Daerah menerbitkan NPWPD/NPOPD secara jabatan, apabila Wajib Pajak
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Bagian Kedua
Pelaporan
Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran, wajib mengisi SPTPD dengan benar, jelas, lengkap dan ditandatangani
oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak serta menyampaikannya ke Sudin Penda atau ke Seksi DPD
Kecamatan.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diambil sendiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
di Sudin Penda atau Seksi DPD Kecamatan yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
kedudukan usaha Wajib Pajak.
(3) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat 20 (dua puluh)
hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian
SPTPD jatuh pada satu hari kerja berikutnya.
(5) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai lampiran dokumen berupa:
a. rekapitulasi penerimaan bulan yang bersangkutan;
b. rekapitulasi penggunaan berikut tindasan bon penjualan (bill) atau struk cash register;
c. bukti setoran pajak yang telah dilakukan (tindasan SSPD).
(6) SPTPD dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tidak dilampirkan keterangan atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 4
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau pejabat yang ditunjuknya atas permohonan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPTPD paling lambat
2 (dua) bulan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis disertai alasan yang jelas
sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3).
Pasal 5
(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah
disampaikan, dengan menyampaikan surat pernyataan tertulis kepada Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau pejabat yang ditunjuk, dalam jangka waktu paling 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya
masa pajak atau tahun pajak, sepanjang belum dilakukan tindakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang
dibayar, dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran
karena pembetulan SPTPD.
BAB III
PENETAPAN DAN PEMBAYARAN
Bagian Kesatu
Penetapan
Pasal 6
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran, wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Wajib Pajak dalam menghitung, memperhitungkan, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan SPTPD.
Pasal 7
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Dinas Pendapatan Daerah
atau pejabat yang ditunjuknya dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
2. apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah dalam
jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis.
3. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT, apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak Yang Terutang;
c. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak saat terutang pajak sampai dengan diterbitkan SKPDKB.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3,
ditetapkan secara jabatan dengan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang, ditambah sanksi adminitsrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkan SKPDKB.
(4) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
(5) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan
sendiri kekurangan pajak yang terutang sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan
(6) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diterbitkan sebelum didahului dengan
penerbitan SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diterbitkan lebih dari 1 (satu) kali untuk masa
pajak atau tahun pajak yang sama sepanjang ditemukan lagi data yang belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak terutang.
Pasal 8
(1) Pajak terutang dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) adalah
penetapan besarnya pajak terutang dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuknya,
berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Gubernur atau pejabat yang
ditunjuknya.
(2) Penetapan pajak secara Jabatan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila :
a. Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan atas transaksi/omzet
usahnya;
b. Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan tetapi tidak lengkap dan/
atau tidak benar;
c. Wajib Pajak tidak mau menunjukkan pembukuan dan/atau menolak untuk diperiksa dan/atau
menolak memberikan keterangan pada saat dilakukan Pemeriksaan;
d. Wajib Pajak yang tidak menggunakan bon penjualan (bill) yang berseri dan bernomor urut
dan/atau;
e. Wajib Pajak yang wajib melegalisasi bon penjualan (bill) tidak melegalisasinya tanpa ada
persetujuan Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(3) Sebelum dikenakan perhitungan pajak secara jabatan, petugas pemeriksa telah melakukan prosedur
pemeriksaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penetapan pajak secara jabatan dapat didasarkan pada data omzet yang diperoleh melalui salah satu
atau lebih dari 3 (tiga) cara/metode pemeriksaan dengan tahapan prioritas sebagai berikut :
a. berdasarkan hasil kas opname;
b. berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi usaha Wajib Pajak;
c. berdasarkan data Pembanding.
(5) Pemeriksaan berdasarkan hasil kas opname sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dilakukan
sesuai prosedur yang lazim dan dilakukan sekurang-kurangnya sebanyak 5 (lima) kali kunjungan
dengan waktu dan hari yang berbeda.
(6) Hasil kas opname sebagaimana dimaksud pada ayat (5) akan dipakai sebagai nilai omzet per hari
yang merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan penerimaan kas menurut hasil kas opname tersebut.
(7) pemeriksaan berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi usaha wajib pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b, dilakukan sekurang-kurangnya sebanyak 3 (tiga) kali sesuai jam
operasi baik secara terus menerus maupun berselang.
(8) Berdasarkan hasil pengamatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (7), omzet/penerimaan
ditaksir dan dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pengunjung per hari dan rata-rata besarnya
pembayaran yang dilakukan per Orang/Pengunjung dengan dasar Daftar Menu yang ada pada Wajib
Pajak.
(9) Pemeriksaan berdasarkan data pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, dilakukan
dengan cara membandingkan kondisi usaha Wajib Pajak dengan kondisi usaha yang sejenis atau
sekelas antara lain dari fasilitas, kapasitas, klasifikasi lokasi usaha, dan lain-lain secara proporsional
atau kondisi usaha antara tahun atau bulan yang sedang diperiksa dengan tahun atau bulan
sebelumnya.
(10) Data pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat diperoleh berdasarkan data yang ada
di Dinas Pendapatan Daerah atau Sudin Penda atau Seksi DPD Kecamatan, atau sumber lain yang
dapat dipercaya.
Bagian Kedua
Pembayaran
Pasal 9
(1) Pembayaran masa Pajak Restoran terutang dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah
berakhirnya masa pajak dengan menggunakan SSPD.
(2) Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada satu
hari kerja berikutnya.
(3) Pembayaran masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh KPKD atau Bank atau
tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(4) Apabila pembayaran masa pajak terutang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan ditagih dengan STPD.
Pasal 10
(1) Pajak terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan.
(2) Pajak terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD, yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh
tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Pasal 11
(1) Terhadap usaha restoran yang dilakukan atas nama atau tanggungan beberapa orang atau badan,
atau oleh 1 (satu) orang atau beberapa badan maka orang atau badan, masing-masing anggota atau
masing-masing pengurus badan dianggap sebagai Wajib Pajak, dan bertanggung jawab renteng atas
pembayaran pajaknya.
(2) Pemilik restoran selaku Wajib Pajak Pajak Restoran bertanggung jawab renteng terhadap pembayaran
pajak atas penyelenggaraan hiburan insidental yang diselenggarakan di restoran tersebut.
Pasal 12
(1) Dalam hal pembayaran oleh Subjek Pajak atau pengunjung/tamu kepada Wajib Pajak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa maka harga jual atau harga penggantian dihitung atas dasar harga pasar
yang wajar pada saat itu.
(2) Harga pasar yang wajar adalah harga pasar yang berlaku juga untuk Subjek Pajak atau pengunjung/
tamu lainnya pada saat itu di tempat restoran yang bersangkutan.
(3) Hubungan istimewa dianggap ada, apabila :
a. orang pribadi atau badan pengusaha restoran baik langsung maupun tidak langsung berada
di bawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama.
b. orang pribadi atau badan yang menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah modal pada pengusaha restoran yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan pembayaran Pajak Restoran, Gubernur berwenang
menghubungkan sarana pembayaran yang dimiliki oleh Wajib Pajak dengan sistem pengawasan
perpajakan dalam jaringan sistem informasi Pemerintah Daerah secara on line.
(2) Pengawasan terhadap pembayaran pajak melalui sarana pembayaran Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menghubungkan mesin komputer yang dimiliki Wajib
Pajak yang dipergunakan sebagai sarana transaksi penerimaan, dengan komputer milik pemerintah
Daerah melalui sistem jaringan informasi Dipenda secara on line.
(3) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara penyampaian data transaksi
penerimaan usaha wajib Pajak, secara on line melalui sistem jaringan informasi Dipenda dari wajib
Pajak ke Dinas Pendapatan Daerah, diatur tersendiri dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pembayaran Angsuran dan Penundaan Pembayaran
Pasal 14
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau pejabat yang ditunjuknya, atau Kepala Sudin Penda atau
pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan,
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang
dalam SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(2) Tata cara pembayaran angsuran dan penundaan pembayaran pajak terutang dilakukan sebagai
berikut :
a. Wajib Pajak yang akan melakukan pembayaran secara angsuran maupun menunda
pembayaran pajak, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas
pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda dengan disertai alasan yang jelas dan
melampirkan fotokopi SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD yang diajukan permohonannya;
b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus sudah diterima Dinas Pendapatn
Daerah paling lama 7 (tujuh) hari sebelum jatuh tempo pembayaran yang telah ditentukan.
c. permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus melampirkan rincian utang pajak
untuk masa pajak atau tahun pajak yang bersangkutan serta alasan-alasan yang mendukung
diajukannya Permohonan;
d. Terhadap permohonan pembayaran secara angsuran maupun penundaan pembayaran yang
disetujui Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin penda dituangkan dalam surat
keputusan, baik surat keputusan pembayaran secara angsuran maupun penundaan
pembayaran yang ditandatangani bersama oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau
Pejabat yang ditunjuknya atau Kepala Sudin penda dan Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. Pembayaran angsuran diberikan paling lama untuk 10 (sepuluh) kali angsuran dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak tanggal surat keputusan angsuran, kecuali
ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah berdasarkan alasan Wajib Pajak yang
dapat diterima;
f. Penundaan pembayaran diberikan untuk paling lama 4 (empat) bulan terhitung mulai tanggal
jatuh tempo pembayaran yang termuat dalam SKPDKB, SKPDKBT dan STPD, kecuali
ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah berdasarkan alasan Wajib Pajak yang
dapat diterima;
g. Pembayaran angsuran atau penundaan pembayaran dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan;
h. Perhitungan untuk pembayaran angsuran adalah sebagai berikut :
1. perhitungan sanksi bunga dikenakan hanya terhadap jumlah sisa angsuran;
2. jumlah sisa angsuran adalah hasil pengurangan antara besarnya sisa pajak yang
belum atau akan diangsur dengan pokok pajak angsuran;
3. pokok pajak angsuran adalah hasil pembagian antara jumlah pajak terutang yang
akan diangsur, dengan jumlah bulan angsuran;
4. bunga adalah hasil perkalian antara jumlah sisa angsuran dengan bunga sebesar 2%
(dua persen);
5. besarnya jumlah yang harus dibayar tiap bulan angsuran adalah pokok pajak
angsuran ditambah dengan bunga sebesar 2% (dua persen).
i. Terhadap jumlah angsuran yang harus dibayar tiap bulan tidak dapat dibayar dengan
angsuran lagi, tetapi harus dilunasi tiap bulan;
j. Perhitungan untuk penundaan pembayaran adalah sebagai berikut :
1. perhitungan bunga dikenakan terhadap seluruh jumlah pajak terutang yang akan
ditunda, yaitu hasil perkalian antara bunga 2% (dua persen) dengan jumlah bulan
yang ditunda, dikalikan dengan seluruh jumlah utang pajak yang akan ditunda;
2. besarnya jumlah yang harus dibayar adalah seluruh jumlah utang pajak yang ditunda,
ditambah dengan jumlah bunga 2% (dua persen) sebulan;
3. penundaan pembayaran harus dilunasi sekaligus paling lambat pada saat jatuh tempo
penundaan yang telah ditentukan dan tidak dapat diangsur.
k. Terhadap Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran,
tidak dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran untuk surat ketetapan pajak
yang sama.
(3) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pengajuan permohonan, persyaratan angsuran
dan penundaan pembayaran pajak, akan diatur oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(4) Bentuk dan isi surat keputusan pembayaran angsuran dan penundaan pembayaran serta bentuk
formulir yang berhubungan dengan penyelesaian permohonan angsuran dan penundaan pembayaran
pajak, ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
BAB IV
PENAGIHAN
Pasal 15
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah dalam hal ini Kepala Sudin Penda dapat menerbitkan STPD apabila:
a. Pajak Restoran dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/
atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Pajak yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih dengan
STPD.
Pasal 16
(1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, surat
keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan dan putusan banding yang tidak atau kurang
dibayar setelah jatuh tempo pembayaran.
(2) Tahapan pelaksanaan penagihan pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran, diatur sebagai berikut :
a. Menerbitkan dan menyampaikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang
sejenis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh Kepala Sudin Penda dalam waktu
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran
yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan
keberatan, dan putusan banding dengan meminta tanda penerimaan surat teguran;
b. Menerbitkan Surat Paksa oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah selaku Pejabat dan
memberitahukan Surat Paksa oleh jurusita Pajak Daerah kepada Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dalam waktu paling singkat 21 (dua puluh satu) hari setelah surat teguran
diterima Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan membuat Berita Acara Pemberitahuan
Surat Paksa;
c. Menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) oleh Kepala Dinas Pendapatan
Daerah selaku pejabat, dan melaksanakan penyitaan atas barang-barang milik Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak oleh jurusita Pajak Daerah dalam waktu paling singkat 2X24 (dua kali
dua puluh empat) jam setelah pelaksanaan/pemberitahuan Surat Paksa dengan membuat
Berita Acara Pelaksanaan Penyitaan;
d. Menerbitkan Surat Pencabutan Sita oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah selaku pejabat, dan
menyampaikannya kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak Daerah,
apabila :
1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak;
2. berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak, atau;
3. ditetapkan lain dengan keputusan Gubernur.
e. melaksanakan pengumuman penjualan secara lelang atas barang-barang milik Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak yang telah disita melalui media masa oleh Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau pejabat yang ditunjuknya dalam waktu paling singkat 14 (empat belas) hari
setelah pelaksanaan penyitaan;
f. menerbitkan surat kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah, dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak Daerah diantara waktu sebagaimana tersebut
pada huruf e sampai dengan waktu sebagaimana tersebut pada huruf g;
g. Melaksanakan penjualan secara lelang atas barang-barang milik Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak oleh kepala Dinas Pendapatan Daerah selaku Pejabat, bertempat di Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) dalam waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang;
h. Lelang tidak dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan
pengadilan pajak, atau objek lelang musnah.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b sampai dengan h, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak mengakibatkan penundaan
pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa.
(5) Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa, tidak mengakibatkan penundaan hak Wajib Pajak
mengajukan keberatan pajak dan mengajukan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.
Pasal 17
(1) Penagihan pajak, dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), apabila :
a. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
atau berniat untuk itu;
b. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahkan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan
di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaannya yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan
Perubahan bentuk lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;
e. Terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau penanggung Pajak oleh pihak ketiga, atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara penagihan seketika dan sekaligus, akan
diatur tersendiri dengan peraturan Gubernur.
BAB V
BON PENJUALAN (BILL)
Pasal 18
(1) Setiap Wajib Pajak, Restoran dalam mencatat transaksi/penerimaan pembayaran atas pelayanan
restoran, menggunakan bon penjualan (bill).
(2) Wajib Pajak, Pajak Restoran dengan peredaran usaha atau omzet sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) ke atas per tahun, wajib menggunakan bon penjualan (bill) yang telah
dilegalisir kecuali ada izin persetujuan tidak dilegalisasi dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tetapi tidak menggunakan bon penjualan (bill) sesuai dengan ketentuan dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan pajak.
(4) Batasan perbulan besarnya peredaran usaha atau omzet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara
berkala dapat ditinjau kembali dan ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
Pasal 19
Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) diatur sebagai berikut :
a. Bon penjualan (bill) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga) dengan warna berbeda dan harus
memuat :
a. catatan tentang pemakaian fasilitas penunjang dan/atau;
b. penyerahan pesanan makanan dan/atau minuman termasuk juga tambahannya;
c. nomor urut dan seri;
d. nama dan alamat usaha;
e. macam, jenis kuantum, harga satuan per item (jenis) dan jumlah harga jual;
f. jumlah Pajak Restoran yang harus dipungut.
b. Bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus diserahkan kepada Subjek Pajak
pada saat Wajib Pajak mengajukan jumlah yang harus dibayar oleh Subjek Pajak atau konsumen;
c. Bon penjualan (bill) yang telah dibayar oleh Subjek Pajak atau konsumen, diserahkan :
a. lembar kesatu, untuk Subjek Pajak atau konsumen;
b. lembar kedua, untuk Kantor Dinas Pendapatan Daerah;
c. lembar ketiga, untuk Wajib Pajak yang bersangkutan;
d. Bon penjualan (bill) harus digunakan secara berurutan dimulai dari nomor bill terkecil dan seri huruf
menurut alpabet.
Pasal 20
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran wajib menggunakan bon penjualan (bill), yang telah dilegalisir kecuali
ada izin persetujuan dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan peredaran usaha atau omzet sebesar
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ke atas per tahun, wajib melegalisasi bon penjualan (bill)
ke Dinas Pendapatan Daerah atau Sudin Penda.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang wajib melegalisasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tetapi menggunakan bon penjualan (bill) yang telah dilegalisasi, dikenakan sanksi administrasi
berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan pajak bulan yang bersangkutan.
(4) Batasan besarnya peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat ditinjau Kembali
secara berkala dan ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
Pasal 21
(1) Untuk menampung perkembangan teknologi perekaman data transaksi usaha, Wajib Pajak yang
menggunakan mesin kas register, dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas
Pendapatan Daerah untuk dikecualikan/dibebaskan dari kewajiban melegalisasi bon penjualan (bill).
(2) Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), secara tertulis berdasarkan pertimbangan, antara lain
peredaran usaha dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, intensitas pelayanan dalam transaksi usahanya,
dan kapasitas serta kemampuan teknis mesin kas register.
(3) Dalam hal Kepala Dinas Pendapatan Daerah menyetujui permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib :
a. melaporkan hasil transaksi penerimaan melalui mesin Kas Register secara berkala dengan
melampirkan print out hasil transaksi pada waktu menyampaikan SPTPD, kepada Kepala
Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda;
b. Wajib menghubungkan mesin kas register dengan sistem pengawasan perpajakan dalam
jaringan sistem informasi Dinas Pendapatan Daerah secara online apabila diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebasan dan kewajiban melegalisasi bon penjualan (bill),
diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Pembukuan
Pasal 22
(1) Wajib Pajak dengan peredaran usaha atau omzet lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan Indonesia atau prinsip pembukuan yang berlaku secara umum.
(2) Wajib Pajak dengan peredaran usaha atau omzet sampai dengan Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) tahun, dapat dibebaskan dari kewajiban pembukuan, akan tetapi tetap
diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha berupa pendapatan bruto secara
teratur, yang menjadi dasar untuk penghitungan pajak.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan dengan sebaik-baiknya dan harus
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya.
(4) Pembukuan dan pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau
pekerjaan dari Wajib Pajak harus disimpan selama 5 (lima) tahun.
Pasal 23
Tata cara Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atas setiap transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. Wajib menyelenggarakan pencatatan tentang pendapatan bruto usahanya secara lengkap dan benar;
b. Pencatatan diselengarakan secara kronologis berdasarkan urutan waktu;
c. Apabila Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) unit usaha, maka pencatatan dilakukan secara terpisah.
d. Pencatatan didukung dengan dokumen yang menjadi dasar penghitungan pajak berupa bon penjualan
(bill) atau dokumen lainnya.
Bagian Kedua
Pemeriksaan
Pasal 24
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda atau petugas pemeriksa yang ditunjuk
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Tanda Pengenal
Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan serta harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang
diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya wajib membantu Petugas Pemeriksa :
a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan pajak terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberi kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname),
stock bon penjualan (bill) maupun mesin kas register yang ada pada penyelenggara;
d. memberikan keterangan yang diperlukan secara benar, lengkap dan jelas.
(4) Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang menyebabkan petugas pemeriksa menemui kesulitan dalam menghitung nilai peredaran
bruto, maka untuk menghitung dasar pengenaan pajak dapat dilakukan dengan metode taksasi dan
petugas pemeriksa dapat mengusulkan pajak terutang ditetapkan secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(5) Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta,
Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Pasal 25
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam bentuk :
a. pemeriksaan tetap;
b. pemeriksaan sederhana.
(2) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan di tempat domisili atau
dilokasi usaha Wajib Pajak, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan dan/atau tahun-
tahun pajak sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan teknis pemeriksaan yang pada
umumnya lazim digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan :
a. di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana;
b. di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan dengan menerapkan teknik
pemeriksaan dengan bobot yang sederhana.
Pasal 26
(1) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilakukan dengan cara :
a. memeriksa Tanda Pelunasan Pajak dan keterangan lainnya sebagai bukti pelunasan kewajiban
Perpajakan Daerah;
b. memeriksa buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dan
perangkat komputer dan sistem elektronik pengolah data lainnya;
c. meminjam buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya termasuk kelauaran dari
perangkat media komputer dan sistem elektronik pengolah data lainnya, dengan memberikan
tanda terima;
d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis Wajib Pajak yang diperiksa;
e. melakukan pemeriksaan secara keseluruhan, menyangkut setiap pos dalam laporan keuangan
yang akan diperiksa guna menentukan kepatuhan Wajib Pajak untuk tujuan lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Pajak Daerah jika diperlukan termasuk cash opname;
f. menggunakan berbagai metode, prosedur, dan teknik analisis guna membuktikan kebenaran
perkiraan yang diperiksa;
g. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang,
barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan/atau tempat-
tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut;
h. melakukan penyegelan tempat atau ruangan sebagaimana dimaksud pada huruf g, apabila
Wajib Pajak atau Wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruangan dimaksud, atau tidak ada ditempat pada saat pemeriksaan;
i. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan
secara jelas dan terinci jenis serta jumlahnya.
Pasal 27
(1) Pemeriksaan sederhana di lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf a,
dilakukan dengan cara :
a. memeriksa SSPD/validasi, dan keterangan lainnya sebagai bukti pelunasan kewajiban
perpajakan Daerah;
b. memeriksa buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dari
media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya;
c. meminjam buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya, termasuk keluaran dari
media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya dengan memberikan tanda
terima;
d. meminta keterangn lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa;
e. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang,
barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadan usaha Wajib Pajak dan/atau tempat-
tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut;
f. melakukan penyegelan tempat atau ruangan sebagaimana dimaksud pada huruf e, apabila
Wajib Pajak atau Wakil atau Kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada ditempat pada saat pemeriksaan;
g. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Pemeriksaan sederhana di kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, dilakukan
dengan cara :
a. memberitahukan agar Wajib Pajak membawa SSPD/validasi, buku-buku, catatan, dan
dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dari media komputer dan perangkat
elektronik pengolah data lainnya;
b. meminjam buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya, termasuk keluaran dari
media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya dengan memberikan tanda
terima;
c. memeriksa buku-buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya, termasuk keluaran dari
media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya;
d. meminta keterangn lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa;
f. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
Pasal 28
(1) Pemeriksaan, tetap dapat dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak ada
di tempat tetapi ada pihak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak mewakili Wajib Pajak sesuai
batas kewenangannya atau pemeriksaan dapat ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.
(2) Dalam rangka pengamanan pemeriksaan, sebelum pemeriksaan lapangan ditunda pemeriksa dapat
melakukan penyegelan tempat atau ruangan yang diperlukan.
(3) Pada saat pemeriksaan lapangan dilanjutkan setelah dilakukan penundan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak juga ada di tempat, pemeriksaan tetap
dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai Wajib Pajak yang bersangkutan untuk
mewakili Wajib Pajak guna membantu kelancaran pemeriksaan.
(4) Apabila Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan izin untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan serta tidak
memberikan data yang diperlukan, Wajib Pajak atau wakil, atau kuasanya harus menandatangani
Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan.
(5) Pegawai Wajib Pajak yang diminta mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila
menolak untuk membantu kelancaran pemeriksaan, yang bersangkutan harus menandatangani Surat
Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan.
(6) Apabila terjadi penolakan untuk menandatangani surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau
ayat (5), Pemeriksa membuat Berita Acara Penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh
Pemeriksa.
(7) Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan, Surat Pernyataan Penolakan Membatu Kelancaran
Pemeriksaan dan Berita Acara Penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) dapat dijadikan dasar untuk penetapan besarnya pajak secara jabatan atau selanjutnya
untuk dilakukan penyidikan.
Pasal 29
(1) Dalam rangka pemeriksaan Pajak Restoran, Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau pejabat yang
ditunjuknya melalui petugas pemeriksa dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu,
apabila :
a. Wajib Pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk
membuka atau memasuki tempat atau ruangn yang diduga digunakan untuk menyimpan
dokumen, uang, barang dan/atau benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang
kegiatan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak atau menolak memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan;
b. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat pada saat dilakukan pemeriksaan;
c. pegawai Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dan/atau;
d. petugas pemeriksa memerlukan upaya pengamanan sebelum pemeriksaan ditunda.
(2) Pelaksanaan penyegelan dalam rangka pemeriksaan Pajak Restoran, dilakukan sebagai berikut :
a. Penyegelan dengan tindakan penempelan kertas segel pada tempat atau ruangan yang diduga
digunakan untuk menyimpan dokumen, uang, barang dan benda-benda lain yang dapat
memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak yang diperiksa dengan
tujuan agar tempat atau ruangan tersebut tidak berubah sehingga dokumen, uang, barang
dan/atau benda-benda lain tidak dipindahtangankan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah,
dirusak, ditukar, dan dipalsukan;
b. Penyegelan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan dengan cara menempelkan kertas
segel sedemikian rupa sehingga dokumen, uang, barang dan/atau benda-benda lain yang
dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak yang
diperkirakan berada di tempat atau ruangan yang disegel tidak dapat dipindahkan, dilepas,
dimasuki, atau dibuka, tanpa merusak kertas segel;
c. Kertas segel yang ditempel sebagaimana dimaksud pada huruf b harus dibubuhi tanda tangan
salah seorang petugas pemeriksa dan diberi stempel Dinas Pendapatan Daerah atau Suku
Dinas Pendapatan Daerah;
d. Penyegelan dilakukan oleh petugas pemeriksa sesuai dengan surat tugas pemeriksaan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, salah
seorang diantaranya adalah Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya, atau pegawai Wajib
Pajak dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa atau khususnya tidak berada di tempat;
e. Dalam melaksanakan penyegelan, petugas pemeriksa berkewajiban membuat Berita Acara
Penyegelan;
f. Berita Acara Penyegelan sebagaimana dimaksud huruf e, dibuat dan ditandatangani oleh
petugas pemeriksa dan 2 (dua) orang saksi sebagaimana dimaksud dalam huruf d;
g. Dalam hal sanksi sabagaimana dimaksud dalam huruf f menolak menandatangani Berita Acara
Penyegelan, petugas pemeriksa mencatat penolakan tersebut dalam Berita Acara Penyegelan
dengan menyebutkan alasannya;
h. Berita Acara Penyegelan dibuat paling sedikit 2 (dua) rangkap dan lembar kedua diserahkan
kepada Wajib Pajak atau kuasanya atau pegawai yang diperiksa;
i. Penyegelan dibuka dengan cara membuka kertas segel dan dilakukan secepatnya pada jam
kerja apabila Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya telah memberi izin kepada petugas
memeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan yang disegel;
j. Setelah lewat batas waktu 6 (enam) hari Wajib Pajak yang diperiksa tetap tidak memberi izin
kepada petugas pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan yang
disegel guna melakukan pemeriksaan pajak, petugas pemeriksa berwenang untuk membuka
secara paksa dan memasuki tempat atau ruangan yang disegel serta melakukan pemeriksaan;
k. Pembukaan kertas segel dilakukan oleh petugas pemeriksaan dengan disaksikan 2 (dua)
orang saksi, salah seorang diantaranya adalah Wajib Pajak atau kuasanya, atau pegawai
dalam hal Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan dalam hal tertentu
disaksikan oleh aparat keluruhan setempat;
l. Apabila kertas segel yang ditempelkan di tempat atau ruangan yang disegel rusak, maka
petugas pemeriksa segera membuat Berita Acara mengenai kerusakan tersebut dan
melaporkan kepada Polisi;
m. Dalam hal pembukaan kertas segel, petugas pemeriksa berkewajiban untuk membuat Berita
Acara Pembukaan Kertas Segel;
n. Berita Acara Pembukaan Kertas Segel sebagaimana dimaksud pada huruf m, dibuat dan
ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan 2 (dua) orang saksi sebagaimana dimaksud pada
huruf k;
p. apabila saksi sebagaimana dimaksud pada huruf n menolak menandatangani Berita Acara
Pembukaan Kertas Segel, petugas pemeriksa mencatat penolakan Berita Acara Pembukaan
Kertas Segel dengan menyebutkan alasannya;
q. Berita Acara Pembukaan Kertas Segel paling sedikit 2 (dua) rangkap dan lembar kedua
diserahkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya atau pegawainya.
(3) Dalam melaksanakan penyegelan, petugas pemeriksa dapat meminta bantuan dari Kepolisian Negara
dan/atau Pejabat Pemerintah Daerah setempat.
(4) Bentuk dan isi kertas segel, berita acara penyegelan, berita acara kerusakan kertas segel, dan berita
acara pembukaan kertas segel ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pendapatan daerah.
BAB VII
KEBERATAN DAN BANDING
Bagian Kesatu
Keberatan
Pasal 30
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau pejabat yang ditunjuknya atas suatu SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN Pajak Restoran.
Pasal 31
(1) Penyelesaian keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
dilaksanakan oleh dinas Pendapatan Daerah dalam hal ini Sub Dinas Peraturan Pendapatan Daerah
dan Penyuluhan atau Sudin Penda sesuai dengan batas kewenangannya, yaitu :
a. Dinas Pendapatan Daerah dalam hal ini Subdis Perpenda dan Penyuluhan memproses
penyelesaian kebenaran untuk jumlah ketetapan pajak (pokok pajak berikut sanksi
administrasi) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per surat ketetapan pajak;
b. Sudin Penda memproses penyelesaian keberatan untuk jumlah ketetapan pajak (pokok pajak
berikut sanksi administrasi) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
per surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan untuk beberapa surat ketetapan pajak dengan objek
pajak (tempat usaha) yang sama dan diantaranya terdapat jumlah ketetapan di atas
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), diselesaikan secara bersamaan di Dinas Pendapatan
Daerah (Subdis Perpenda dan Penyuluhan) dan/atau melalui Tim Pertimbangan Keberatan Pajak.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan untuk surat ketetapan pajak yang telah dilakukan
tindakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, diselesaikan melalui Tim Pertimbangan Keberatan
Pajak.
(4) Batas kewenangan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
ditinjau kembali dengan keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(5) Permohonan keberatan yang diajukan Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan disertai alasan-alasan
yang jelas;
b. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib
Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut;
c. Surat permohonan keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal permohonan
keberatan dikuasakan kepada pihak lain harus dengan melampirkan surat kuasa;
d. Surat permohonan keberatan diajukan untuk satu surat ketetapan pajak dan untuk satu tahun
pajak atau masa pajak dengan melampirkan fotokopinya;
e. Permohonan keberatan diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat
ketetapan pajak diterima oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Pasal 32
(1) Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(5), tidak dianggap sebagai pengajuan keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(2) Dalam hal pengajuan keberatan yang belum memenuhi persyaratan tetapi masih dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) huruf e, Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala
Sudin Penda dapat meminta Wajib Pajak untuk melengkapi persyaratan tersebut.
Pasal 33
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, Kepala
Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda harus memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak, yang dituangkan dalam surat keputusan keberatan.
(2) Surat keputusan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa menerima seluruhnya
atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, dan Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau Kepala Sudin Penda tidak memberikan jawaban, maka keberatan yang diajukan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan.
(4) Keputusan keberatan tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan
mengangsur pembayaran.
Pasal 35
(1) Dalam hal surat permohonan keberatan memerlukan pemeriksaan lapangan, maka :
a. Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat meminta kepada Kepala Subdis Pemeriksaan
Pendapatan Daerah untuk dilakukan pemeriksaan lapangan dan hasilnya dituangkan dalam
Laporan Pemeriksaan Pajak Daerah.
b. Kepala Sudin Penda dapat meminta kepada Kepala Seksi Pemeriksaan untuk dilakukan
pemeriksaan lapangan dan hasilnya dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Pajak Daerah.
(2) Terhadap surat keberatan yang tidak memerlukan pemeriksaan lapangan, Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau Kepala Sudin Penda dapat berkoordinasi dengan unit kerja terkait untuk mendapatkan
masukan dan pertimbangan atas keberatan Wajib Pajak, dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil
koordinasi pembahasan keberatan pajak.
(3) Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat membentuk tim Pertimbangan Keberatan Pajak untuk
memberikan pertimbangan dalam rangka pembahasan keberatan pajak.
Pasal 36
(1) Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak Daerah atau laporan hasil koordinasi pembahasan
keberatan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Kepala Dinas Pendapatan Daerah melalui
Kepala Subdinas Peraturan Pendapatan Daerah dan Penyuluhan atau Kepala Sudin Penda membuat
surat uraian pemandangan keberatan pajak.
(2) Berdasarkan surat uraian pemandangan keberatan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala
Subdis Perpenda dan Penyuluhan atau Kepala Sudin Penda membuat petikan surat keputusan
keberatan pajak untuk kemudian ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah bagi
penyelesaian keberatan yang diproses oleh Subdis Perpenda dan Penyuluhan, dan oleh Kepala Sudin
Penda bagi penyelesaian keberatan yang diproses oleh Suku Dinas Pendapatan Daerah.
(3) Kepala Subdis Perpenda dan penyuluhan atau Kepala Sudin Penda melaporkan surat (petikan)
keputusan keberatan pajak kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah secara periodik.
Pasal 37
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membetulkan surat keputusan keberatan Pajak Restoran yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-
undangan tentang Pajak Restoran.
(2) Permohonan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis oleh
Wajib Pajak kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima surat (petikan) putusan keberatan dengan memberikan
alasan yang jelas.
Bagian Kedua
Banding
Pasal 38
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak, terhadap
keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan
diterima, dengan dilampirkan salinan dari surat keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
Pasal 39
(1) Terhadap satu keputusan keberatan, diajukan 1 (satu) surat banding.
(2) Terhadap banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
(3) Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
dilaksanakan;
b. putusan Majelis hakim/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
(4) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 40
Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dalam hal banding diajukan terhadap
besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
BAB VIII
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,
DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 41
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat membetulkan SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah.
(2) Pelaksanaan pembetulan surat ketetapan pajak atau STPD atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut :
a. Batas kewenangan penyelesaian permohonan pembetulan surat ketetapan pajak atau STPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan batas kewenangan penyelesaian
keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);
b. Permohonan diajukan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda
dalam jangka waktu 4 (empat) bulan setelah surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
c. Terhadap surat ketetapan pajak atau STPD yang akan dibetulkan baik karena jabatan atau
atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penelitian
administrasi atas kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan
Peraturan Daerah;
d. Apabila dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c ternyata terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah, maka surat
ketetapan pajak atau STPD tersebut dibetulkan sebagaimana mestinya;
e. Pembetulan surat ketetapan pajak atau STPD sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan
dengan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak atau STPD berupa salinan
surat ketetapan pajak dengan pembetulan oleh Kepala Sudin Penda yang menerbitkannya;
f. Terhadap pembetulan surat ketetapan pajak atau STPD yang diproses di Subdis Perpenda dan
Penyuluhan, Kepala Dinas Pendapatan Daerah memerintahkan kepada Kepala Sudin Penda
yang bersangkutan untuk menerbitkan salinan surat ketetapan pajak dengan pembetulan;
g. Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak atau STPD sebagaimana dimaksud pada huruf
e dan f diberi tanda dengan teraan cap pembetulan dan dibubuhi paraf Kepala sudin Penda;
h. Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak atau STPD sebagaimana dimaksud pada huruf g
harus disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak Daerah atau STPD tersebut;
i. Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak atau STPD harus dilunasi dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan;
j. Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak atau STPD maka surat
ketetapan pajak atau STPD semula dibatalkan dan disimpan sebagai arsip dalam administrasi
perpajakan;
k. Surat ketetapan pajak atau STPD semula, sebelum disimpan sebagai arsip sebagaimana
dimaksud pada huruf j, harus diberi tanda silang dan paraf serta dicantumkan kata-kata
"Dibatalkan";
l. Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak maka Kepala Dinas Pendapatan Daerah dalam
hal ini Kepala Sudin Penda segera menerbitkan Surat Keputusan Penolakan Pembetulan Surat
Ketetapan Pajak atau STPD.
Pasal 42
(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan/
atau kenaikan pajak yang terutang, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib
Pajak atau bukan karena kesalahannya.
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak
terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan terhadap :
a. Sanksi administrasi berupa bunga disebabkan keterlambatan pembayaran pada masa pajak;
b. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan/atau kenaikan pajak dalam surat ketetapan
pajak atau STPQ.
(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda
disebabkan keterlambatan pembayaran pada masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, dilakukan sebagai berikut :
a. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan secara tertulis kepada
Kepala Dinas Pendapatan Daerah dalam hal ini kepala Sudin Penda dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah jatuh tempo setoran masa, kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya;
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus mencantumkan alasan yang
jelas dengan pernyataan kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya, dan
melampirkan SSPD yang telah di isi dan ditandatangani Wajib Pajak;
c. Terhadap permohonan yang ditolak Kepala Suku Dinas Pendapatan Daerah:
1. Menerbitkan STPD atas pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atau;
2. menulis catatan/keterangan pada sarana pembayaran SSPD yang menerangkan
bahwa pokok pajak dibayar beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk kemudian dibubuhi tanda tangan dan nama jelas kepada
Suku Dinas Pendapatan Daerah dan selanjutnya Suku Dinas Pendapatan Daerah
menerbitkan STPD yang memuat sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen)
dimaksud.
d. Terhadap permohonan yang disetujui, atau karena jabatan berdasarkan alasan yang dapat
diterima, Kepala Sudin Penda mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi bunga
atau denda akibat keterlambatan pembayaran pada masa pajak, dengan cara, menuliskan
catatan/keterangan pada sarana pembayaran SSPD bahwa sanksi tersebut dikurangkan atau
dihapuskan, serta dibubuhi tanda tangan dan nama jelas Kepala Sudin Penda;
e. Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak dalam waktu 1X24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak disetujuinya permohonan tersebut pada huruf b;
f. Terhadap permohonan yang ditolak, Kepala Sudin Penda:
1. Menuliskan catatan/keterangan pada sarana pembayaran SSPD bahwa sanksi
tersebut dikenakan sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk kemudian dibubuhi
tanda tangan dan nama jelas Kepala Sudin Penda; atau
2. menerbitkan STPD atas pengenaan sanksi bunga tersebut.
(4) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan/atau kenaikan pajak
dalam surat ketetapan pajak atau STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan
sebagai berikut :
a. Batas kewenangan penyelesaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
sama dengan batas kewenangan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4);
b. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pendapatan
Daerah atau Kepala Sudin Penda dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak surat ketetapan
pajak diterima oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya;
c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b harus mencantumkan alasan yang jelas
serta melampirkan :
1. surat pernyataan kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
2. surat ketetapan pajak yang menetapkan adanya kenaikan pajak terutang.
(5) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, pejabat yang ditunjuk
oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda segera melakukan penelitian
administrasi tentang kebenaran dan alasan Wajib Pajak maupun lampirannya sebagaiman dimaksud
pada ayat (4) huruf c.
(6) Terhadap pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi karena jabatan, penelitian administrasi
dilakukan sesuai permintaan Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda atau atas
usulan dari pejabat yang ditunjuknya.
(7) Apabila dianggap perlu permohonan yang memerlukan penelitian dan pembahasan materi lebih
mendalam maka Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda melakukan rapat
koordinasi dengan Tim Pertimbangan Keberatan Pajak atau unit kerja terkait untuk mendapatkan
masukan dan pertimbangan, dan hasilnya dituangkan ke dalam laporan hasil rapat pembahasan
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
(8) atas dasar hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau ayat (6), dan/atau
hasil rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Dinas Pendapatan Daerah melalui
Kepala Subdin Perpenda dan Penyuluhan atau Kepala Sudin Penda melalui Kepala Seksi Pengihan dan
Keberatan membuat surat uraian pemandangan atas pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi untuk mendapat persetujuan Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda.
(9) Dalam hal surat uraian pemandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disetujui, maka segera
memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atau denda dan/atau
kenaikan pajak terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau STPD yang telah
diterbitkan, dengan cara menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi
Administrasi sebagai pengganti surat ketetapan pajak atau STPD semula, serta ditandatangani oleh
Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda sesuai kewenangannya.
(10) Dalam hal surat uraian pemandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disetujui, maka segera
menerbitkan Surat Keputusan Penolakan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi yang
ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Kepala Sudin Penda sesuai kewenangannya.
(11) Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat
keputusan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
dan ayat (10).
Pasal 43
(1) Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pendapatan Daerah karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. apabila
terdapat :
a. novum atau fakta baru yang belum terungkap pada waktu pemeriksaan untuk menentukan
besarnya pajak terutang sedangkan batas waktu pengajuan keberatan atau pengajuan
pembetulan surat ketetapan pajak atau pengajuan pengurangan dan penghapusan sanksi
administrasi telah terlampaui; atau
b. novum atau fakta baru yang belum terungkap disebabkan tidak dipertimbangkannya
pengajuan keberatan atau pengajuan pembetulan surat ketetapan pajak atau pengajuan
pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi akibat tidak dipenuhinya persyaratan
formal, yakni pengajuan permohonan melampaui batas waktu yang telah ditentukan.
(2) Ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pokok pajak ditambah sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan pajak yang tercantum dalam surat ketetapan
pajak.
(3) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak atas dasar permohonan Wajib Pajak, dilakukan
sebagai berikut :
a. Surat permohonan Wajib Pajak didukung oleh novum atau fakta baru yang meyakinkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b. Dalam surat permohonan Wajib Pajak harus dilampirkan dokumen berupa fotokopi :
1. surat ketetapan pajak yang diajukan permohonannya;
2. dokumen yang mendukung diajukannya permohonan,
3. berkas permohonan berikut bukti penolakan keberatan atau bukti penolakan
pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b.
c. Pengajuan permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan b, tidak dapat dipertimbangkan dan berkas permohonan dikembalikan kepada
Wajib Pajak.
(4) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak karena jabatan dilakukan sesuai permintaan Kepala
dinas Pendapatan Daerah atau atas usulan dari pejabat yang ditunjuknya berdasarkan pertimbangan
keadilan dan adanya temuan baru.
(5) Atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan permintaan/usulan
karena jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas Pendapatan Daerah mengundang
Tim Pertimbangan Keberatan pajak untuk membahas pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak.
(6) Hasil pembahasan Tim Pertimbangan Keberatan Pajak oleh Kepala Subdis Perpenda dan Penyuluhan
dilaporkan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah dengan melampirkan uraian pemandangan atas
pengurangan/pembatalan ketetapan pajak.
(7) Berdasarkan laporan Tim Pertimbangan Keberatan Pajak dan Uraian pemandangan pengurangan/
pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Dinas Pendapatan Daerah
memberikan disposisi berupa menerima atau menolak pengurangan ketetapan pajak, atau menerima
atau menolak pembatalan ketetapan pajak.
(8) Atas dasar disposisi Kepala Dinas Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala
Subdis Perpenda dan Penyuluhan memproses penerbitan surat keputusan Kepala Dinas Pendapatan
Daerah berupa :
a. Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
b. Surat Keputusan Penolakan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak.
(9) Atas diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) huruf a, Kepala Sudin Penda yang bersangkutan segera melakukan :
a. pembatalan surat ketetapan pajak yang lama dengan cara menerbitkan surat ketetapan pajak
yang baru yang tetap mengurangkan atau memperbaiki surat ketetapan pajak yang lama;
b. Pemberian tanda silang pada surat ketetapan pajak yang lama, dan selanjutnya diberi catatan/
keterangan bahwa surat ketetapan pajak "dibatalkan", serta dibubuhi paraf dan nama pejabat
yang bersangkutan;
c. memerintahkan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak paling lambat 7
(tujuh) hari setelah diterima surat ketetapan pajak yang baru;
d. terhadap surat ketetapan pajak yang telah dibatalkan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
disimpan sebagai arsip pada administrasi perpajakan.
(10) Atas diterbitkannya surat keputusan penolakan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, maka surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh
Kepala Sudin Penda yang bersangkutan dikukuhkan dengan surat keputusan ini.
Pasal 44
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pelaksanaan pembetulan, pembatalan, pengurangan
ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi, diatur dengan Peraturan Kepala
Dinas Pendapatan Daerah.
(2) Pembentukan Tim Pertimbangan Keberatan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3),
Pasal 42 ayat (7), dan Pasal 43 ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pendapatan
Daerah.
BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 45
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak
Restoran kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan adanya
kelebihan pembayaran pajak yang telah disetorkan ke KPKD berdasarkan :
a. perhitungan dari Wajib Pajak;
b. surat keputusan keberatan atau surat keputusan pembetulan, pembatalan dan pengurangan
ketetapan, dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
c. putusan banding atau putusan peninjauan kembali;
d. kebijakan pemberian pengurangan, keringanan, dan/atau pembebasan pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(3) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis paling lambat
6 (enam) bulan sejak saat timbulnya kelebihan pembayaran pajak.
(4) Dalam surat permohonan Wajib Pajak, harus dilampirkan dokumen :
a. identitas penduduk/KTP pemohon (Wajib Pajak);
b. SPTPD, untuk masa pajak yang menjadi dasar permohonan;
c. dokumen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menjadi dasar permohonan;
d. bukti pembayaran pajak yang divalidasi KPKD dengan jelas yang menjadi dasar permohonan;
e. Uraian perhitungan pajak menurut Wajib Pajak.
(5) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau
pejabat yang ditunjuknya segera mengadakan penelitian atau pemeriksaan terhadap kebenaran
kelebihan pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Daerah lainnya oleh Wajib
Pajak.
(6) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan.
(7) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak daerah dan retribusi daerah, kelebihan pembayaran
pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak dan/atau retribusi tersebut.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, diatur tersendiri dengan Peraturan Gubernur.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
(1) Pada saat peraturan Gubernur ini mulai berlaku, maka Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel dan
Restoran, sepanjang yang mengatur mengenai Pajak restoran, serta peraturan perundang-undangan
lain yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan Gubernur ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Januari 2007
GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA,
ttd.
SUTIYOSO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Januari 2007
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
ttd.
RITOLA TASMAYA
NIP 140091657
BERITA DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2007 NOMOR 24.
peraturan/perda/22tahun2007.txt · Last modified: by 127.0.0.1