User Tools

Site Tools


peraturan:kep:281pj.1998
                       KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                          NOMOR KEP - 281/PJ./1998

                              TENTANG

    PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 
       DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

                         DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

Bahwa sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 361/KMK.04/1998 tanggal 
27 Juli 1998 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Keputusan Menteri 
Keuangan Nomor : 462/KMK.04/1998 tanggal 21 Oktober 1998 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 yang 
Bersifat Final atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Tertentu, Keputusan 
Menteri Keuangan Nomor : 520/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Bagian Penghasilan 
Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang 
Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 521/KMK.04/1998 
tanggal 18 Desember 1998 tentang Besarnya Biaya jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari 
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, maka dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan 
mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan 
Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, dengan Keputusan Direktur 
Jenderal Pajak;

Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah 
    terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, 
    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2.  Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 
    Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah 
    terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, 
    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3.  Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian;
4.  Peraturan Pemerintah Nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, 
    Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada 
    Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
5.  Peraturan Pemerintah Nomor 47 TAHUN 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan 
    Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 76, 
    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
6.  Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak 
    Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka 
    Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri;
7.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 606/KMK.04/1994 tanggal 21Desember 1994 tentang Penentuan 
    Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dalam Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran Pajak, Tata Cara 
    Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan   Pajak Serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
    Pembayaran Pajak;
8.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desembar 1994 tentang Perlakuan 
    Pajak Penghasilan Bagi Perwakilan Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi 
    Internasional, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
    314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998;
9.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 361/KMK.04/1998 tanggal 27 Juli 1998 tentang Faktor 
    Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak  Kena Pajak;
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 462/KMK.04/1998 tanggal 21 Oktober 1998 tentang Pemotongan 
    Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Bersifat Final atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, 
    dan Kegiatan Tertentu;
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 520/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Bagian 
    Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak 
    Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 521/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Besarnya 
    iaya jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat Dikurangkan dari penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau 
    ensiunan;

                           MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, 
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, 
DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.


                         BAB I
                        KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

a.  Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak 
    orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa 
    gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan 
    pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali 
    diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994;

b.  Pejabat Negara adalah :
    1)  Presiden dan Wakil Presiden;
    2)  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD I dan DPRD II;
    3)  Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
    4)  Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung;
    5)  Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
    6)  Menteri dan Menteri Negara;
    7)  Jaksa Agung;
    8)  Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
    9)  Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Tingkat II;
    10) Walikotamadya dan Wakil Walikotamadya Tingkat II.

c.  Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan 
    Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974.

d.  Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau
    kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam 
    jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;

e.  Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau
    memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan 
    anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan 
    secara langsung;

f.  Pegawai Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan 
    apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja;

g.  Pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di 
    Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang 
    menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, 
    jasa, dan kegiatan;

h.  Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan 
    untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang 
    menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua;

i.  Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan 
    dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya;

j.  Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, 
    atau upah satuan;

k.  Upah Harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja;

l.  Upah Mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan;

m.  Upah Borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan
    tertentu;

n.  Upah Satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang 
    dihasilkan;

o.  Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan;

p.  Hadiah Undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh 
    orang pribadi yang pemberiannya melalui cara undian;

q.  Hadiah dan penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu 
    perlombaan atau adu ketangkasan;

r.  Magang adalah aktivitas untuk memperoleh pengalaman dan/atau ketrampilan dan/atau keahlian 
    sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan;

s.  Bea Siswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap, dan calon pegawai, yang 
    ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi 
    kerja yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran yang dilakukan oleh suatu 
    institusi kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian kerja untuk 
    mengikuti suatu program pendidikan;

t.  Kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat,sidang, 
    seminar, workshop, pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.


                        BAB II
        PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 2

(1) Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak 
    adalah :
    a.  pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik
        merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah,
        honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan
        sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
    b.  bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah 
        Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan 
        Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji,upah, honorarium, 
        tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau 
        jabatan, jasa, dan kegiatan;
    c.  dana pensiun, PT Taspen, PT Jamsostek, badan penyelenggara Jaminan sosial tenaga kerja 
        lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau 
        Tunjangan Hari Tua (THT);
    d.  perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran 
        lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan 
        status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
    e.  perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran 
        lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi 
        dengan status Wajib Pajak luar negeri;
    f.  yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan,kesenian, 
        olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam 
        bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau 
        imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan,jasa, kegiatan yang dilakukan 
        oleh orang pribadi;
    g.  perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan 
        lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;

(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk juga badan 
    atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan 
    Menteri Keuangan, sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak 
    Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 
    Tahun 1994.

(3) Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e, dan g termasuk badan usaha 
    milik negara dan badan usaha milik daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk 
    apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan 
    sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai dengan sesuai Pasal 21 
    ayat (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa 
    kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994.


                        Pasal 3

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 berdasarkan keputusan ini adalah 
orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b sampai dengan huruf h serta orang pribadi lainnya 
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari 
Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.


                        Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
a.  pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang
    yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
    dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
    penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia;
b.  pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri 
    Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah terakhir 
    dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998,sepanjang 
    bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan 
    lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.


                        BAB III
                PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 5

(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
    a.  penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun   bulanan, 
        upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan 
        pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu,uang ganti rugi, 
        tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, 
        tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, 
        bea siswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur 
        lainnya dengan nama apapun;
    b.  penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, 
        gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, 
        dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
    c.  upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.
    d.  uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang 
        pesangon, dan pembayaran lain sejenis;
    e.  honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, 
        komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, 
        jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari :
        1.  tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (7);
        2.  pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara,crew film, 
            foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,pelukis, dan 
            seniman lainnya;
        3.  olahragawan;
        4.  penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, dan moderator;
        5.  pengarang, peneliti, dan penterjemah;
        6.  pemberi jasa dalam bidang teknik, komputer dan sistem aplikasinya,telekomunikasi, 
            elektronika, fotografi, dan pemasaran;
        7.  agen iklan;
        8.  pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, 
            peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
        9.  pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
        10. peserta perlombaan;
        11. petugas penjaja barang dagangan;
        12. petugas dinas luar asuransi;
        13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.
    f.  Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima oleh Pejabat 
        Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya 
        terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda 
        dan/atau anak-anaknya.

(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula
    penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh 
    bukan Wajib Pajak.

(3) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
    ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan 
    status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.


                        Pasal 6

Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh 
dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku 
pada saat pembayaran atau dibebankan.


                        Pasal 7

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.  pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
    asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b.  penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2);
c.  iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
    Menteri Keuangan dan serta iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) kepada badan 
    penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d.  penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh 
    Pemerintah;
e.  kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;
f.  pembayaran THT-Taspen dari PT Taspen kepada para pensiunan yang berhak menerimanya.


                        BAB IV
                PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN

                        Pasal 8

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap, maka penghasilan bruto dikurangi 
    dengan :
    a.  biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang 
        besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 
        setinggi-tingginya Rp. 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) 
        setahun atau Rp. 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) sebulan;
    b.  iuran yang terikat pada gaji kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh 
        Menteri Keuangan dan iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) kepada badan 
        penyelenggara Taspen dan Jamsostek kecuali iuran THT-Taspen dan THT-Asabri, yang 
        dibayar oleh pegawai.

(2) Untuk menentukan besarnya penghasilan neto penerima pensiun, penghasilan bruto berupa
    uang pensiun dikurangi dengan biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
    memelihara uang pensiun yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang
    pensiun setinggi-tingginya Rp. 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun
    atau Rp. 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan.

(3) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai, penghasilan netonya 
    dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya adalah sebagai berikut :
                                Setahun         Sebulan
                            ---------------------------------------------
    a.  untuk diri pegawai          Rp.2.880.000,00     Rp.240.000,00
    b.  tambahan untuk pegawai yang kawin   Rp.1.440.000,00     Rp.120.000,00
    c.  tambahan untuk setiap anggota keluarga  Rp.1.440.000,00     Rp.120.000,00
        sedarah dan semenda dalam garis 
        keturunan lurus, serta anak angkat yang
        menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
        banyak 3 (tiga) orang

(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri,dan dalam hal 
    tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang 
    menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.

(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-
    rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan 
    tambahan PTKP sebesar Rp. 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) setahun 
    atau Rp. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.

(6) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang 
    baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut 
    berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.

(7) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.

(8) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan 
    Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 bagi Wajib Pajak luar 
    negeri adalah penghasilan bruto.


                        Pasal 9

(1) Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak 
    tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian 
    yang besarnya tidak lebih dari Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari,tidak dipotong PPh 
    Pasal 21.

(2) Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima 
    upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya 
    melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari tetapi dalam satu bulan takwim 
    jumlahnya tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah),maka PPh Pasal 21 yang 
    terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 10% dari penghasilan bruto setelah dikurangi 
    Rp. 24.000,00 tersebut.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas penghasilan bruto dalam satu bulan 
    takwim yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah)dan tidak 
    dibayarkan secara bulanan.

(4) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya 
    melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat 
    dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima 
    penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.

(5) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka
    PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.

(6) Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, 
    dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(7) Atas penghasilan berupa bea siswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan 
    ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(8) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan 
    bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,penilai, dan aktuaris 
    dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.

(9) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah sebesar 40% (empat puluh 
    persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk 
    apapun.


                         BAB V
                    TARIF DAN PENERAPANNYA

                        Pasal 10

(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994,
    diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
    a.  pegawai tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI, pejabat negara 
        lainnya, pegawai badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, dan anggota dewan 
        komisaris atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan 
        yang sama;
    b.  penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
    c.  pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai.

(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
    a.  bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun
        termasuk iuran Tabungan Hari Tua/Tunjangan Hari Tua, dan PTKP, kecuali iuran THT-Taspen 
        dan iuran THT-Asabri;
    b.  bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah penghasilan bruto dikurangi 
        dengan biaya pensiun dan PTKP;
    c.  bagi pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai adalah penghasilan bruto dikurangi
        dengan PTKP.


                        Pasal 11

Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah 
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 diterapkan atas penghasilan bruto 
berupa :
a.  honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, 
    beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang 
    jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau 
    kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 2 sampai dengan angka 9;
b.  penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kegiatan multilevel marketing;
c.  honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak 
    merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
d.  jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
e.  penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh 
    peserta program pensiun.


                        Pasal 12

Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau
terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).


                        Pasal 13

(1) Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah 
    borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 24.000,00 (dua puluh empat ribu 
    rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu 
    bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 
    (2);

(2) Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
    berlaku ketentuan sebagai berikut :
    a.  dalam hal berupa upah mingguan atau uang saku mingguan dibagi 6;
    b.  dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam 
        satu hari;
    c.  dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya 
        hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.

(3) Dalam hal penerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari 
    pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, komisi dikenakan PPh Pasal 21 dengan 
    menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan 
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, atas 
    Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).


                        Pasal 14

(1) Atas uang pesangon, uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang 
    dibayarkan sekaligus dipotong PPh Pasal 21 dengan ketentuan sebagai berikut :
    a.  untuk penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
        dengan tarif 10% (sepuluh persen) dari penghasilan bruto dan bersifat final;
    b.  untuk penghasilan bruto diatas Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dengan tarif 
        15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto dan bersifat final;
    c.  untuk uang pesangon, penghasilan bruto sampai dengan Rp. 17.280.000,00 (tujuh belas juta 
        dua ratus delapan puluh ribu rupiah) tidak dipotong PPh Pasal 21;
    d.  untuk uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan hari tua yang dibayarkan
        sekaligus, penghasilan bruto sampai dengan Rp. 8.640.000,00 (delapan juta enam ratus
        empat puluh ribu rupiah) tidak dipotong PPh Pasal 21;

(2) Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa
    hadiah atau penghargaan sehubungan dengan perlombaan.

(3) Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final diterapkan atas komisi yang diterima atau
    diperoleh petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan, sepanjang petugas
    tersebut bukan pegawai tetap.

(4) Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa
    honorarium yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, dan Anggota ABRI yang bersumber dananya 
    berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah.


                        Pasal 15

(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan 
    bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang 
    dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam 
    Pasal 5 ayat (3);

(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai 
    Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.


                        Pasal 16

Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 
ke bawah hingga ribuan penuh.


                        Pasal 17

PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan 
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.


                        Pasal 18

Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dimuat dalam lampiran keputusan ini.


                        BAB VI
                HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK

                        Pasal 19

(1) Setiap Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor
    Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

(2) Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi organisasi 
    internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan,sesuai Pasal 21 ayat 
    (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994.

(3) Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan
    kewajiban perpajakannya pada Kantor pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.


                        Pasal 20

(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang 
    terutang untuk setiap bulan takwim.

(2) Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke bank persepsi atau 
    Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut pada ayat (2) sekalipun nihil dengan 
    menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan 
    Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

(4) Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka 
    kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada 
    bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

(5) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta 
    maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai 
    pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana 
    pensiun.

(6) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, 
    termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur 
    Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.

(7) Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti 
    Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 
    1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.


                        Pasal 21

(1) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung 
    kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan 
    menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang 
    Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 
    Tahun 1994.

(2) Jumlah Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat 
    (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak 
    Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 
    Tahun 1994, dan penghitungannya sebagai berikut :
    a.  dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja 
        dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang 
        sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dan tidak 
        disetahunkan;
    b.  dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan pendatang dari 
        luar negeri, yang mulai bekerja di Indonesia dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21
        didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diperoleh dalam bagian tahun takwim 
        yang bersangkutan yang disetahunkan;
    c.  dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal 
        dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada akhir bulan 
        berhentinya pegawai tersebut, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah
        penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian tahun takwim yang
        bersangkutan yang disetahunkan.

(3) Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari jumlah
    pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang
    bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.

(4) Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak 
    yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan 
    pada waktu dilakukan penghitungan kembali.


                        Pasal 22

(1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh
    Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak 
    setempat.

(2) Surat Pemberitahuan tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 
    tahun takwim berikutnya;

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak 
    atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.

(4) Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana 
    dimaksud pada ayat (2).

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya 
    tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh
    Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 
    yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun 
    takwim yang bersangkutan.

(6) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang 
    ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang
    bersangkutan.

(7) Apabila terdapat pegawai kebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan 
    harus dilampiri fotocopi surat ijin bekerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja atau 
    instansi yang berwenang.

(8) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar 
    dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kekurangannya harus disetor 
    sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim 
    berikutnya.

(9) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil 
    dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kelebihan tersebut diperhitungkan
    dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan 
    jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.

(10)    Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh
    pengurus atau direksi.

(11)    Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain dimaksud pada 
    ayat (1) harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.


                        BAB VII
        HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 23

(1) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP,
    penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun 
    takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan 
    jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim.


                        Pasal 24

Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan
pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.


                        BAB VIII
                    KEBERATAN DAN BANDING

                        Pasal 25

Pemotong Pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak dan 
permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 
Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah 
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994.


                        BAB IX
                    KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 26

(1) Dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini maka Keputusan Direktur Jenderal
    Pajak Nomor KEP-02/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, 
    Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, 
    Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dan penyempurnaannya yang berupa Keputusan Direktur Jenderal 
    Pajak Nomor KEP-30/PJ./1995 tanggal 31 Maret 1995, serta ketentuan-ketentuan lainnya yang 
    bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26".

(3) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1999.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 1998
DIREKTUR JENDERAL

ttd

A. ANSHARI RITONGA
peraturan/kep/281pj.1998.txt · Last modified: 2023/02/05 18:13 by 127.0.0.1