User Tools

Site Tools


peraturan:kep:221pj.2002
                       KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                          NOMOR KEP - 221/PJ./2002

                              TENTANG

      TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

                         DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 
tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan perlu menetapkan Keputusan 
Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
Bangunan;

Mengingat :

1.  Undang-Undang Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 TAHUN 2000 
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Nomor 3988);
2.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan 
    Hak atas Tanah dan Bangunan;

                             MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN 
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.


                        Pasal 1

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
dalam hal :
a.  Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Obyek Pajak yaitu :
        1.  Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang 
        pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
    2.  Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai 
        tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat 
        pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
    3.  Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah 
        Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang 
        diperoleh langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran; atau
    4.  Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai 
        hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu 
        derajat ke bawah.

b.  Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu :
        1.  Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi 
        pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Obyek Pajak;
    2.  Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan 
        oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
    3.  Wajib Pajak badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas 
        pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan 
        restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
    4.  Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi 
        Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam 
        rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
    5.  Wajib Pajak badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha 
        (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh 
        keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan 
        usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
    6.  Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi 
        seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, 
        tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, huru hara yang terjadi dalam jangka waktu 
        paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta; atau
    7.  Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia 
        (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan 
        POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah 
        dinas Pemerintah.

c.  Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata 
    tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, 
    sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial 
    masyarakat.


                        Pasal 2

(1) Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut :
        a.  sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
    b.  sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana 
        dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2, angka 4, huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan 
        angka 6 serta huruf c;
    c.  sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1, huruf b angka 3 dan angka 7; atau
    d.  sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana 
        dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 4.
   
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Kepala Kantor 
    Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau 
    Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


                        Pasal 3

(1) Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan terutang sebesar perhitungan setelah pengurangan.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas wajib mengajukan permohonan
    pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam jangka waktu sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6).

(3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas 
    Tanah dan Bangunan (SSB) dan surat permohonan pengurangan BPHTB dengan menyampaikan 
    pernyataan tertulis sepanjang tidak melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) kecuali terjadi keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak.

(4) Dalam hal Wajib  Pajak membetulkan sendiri Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan (SSB) dan surat permohonan pengurangan BPHTB yang mengakibatkan utang pajak 
    menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua 
    persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak tanggal SSB sebelum 
    pembetulan sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan.

(5) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang seharusnya dibayar lebih besar 
    dari jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak dalam SSB, maka terhadap jumlah yang kurang dibayar 
    tersebut diterbitkan SKBKB ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) 
    sebulan untuk jangka waktu paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat 
    terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

(6) Terhadap pajak yang kurang dibayar dalam SKBKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tidak 
    dapat diajukan pengurangan kembali.


                        Pasal 4

(1) Apabila WajibPajak tidak mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
    3 ayat (2) dan berdasarkan keterangan lain diketahui bahwa pajak terutang tidak atau kurang dibayar 
    maka atas kekurangan pajak terutang tersebut diterbitkan SKBKB.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan 
    permohonan pengurangan kecuali masih memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6).


                        Pasal 5

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang 
    memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6 dan angka 7 
    serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima 
    ratus juta rupiah).

(2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang 
    memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6 dan angka 7 
    serta huruf c dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus 
    juta rupiah) sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(3) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian 
    Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan selain dimaksud dalam ayat (1) dan (2).


                        Pasal 6

(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
    kepada Kepala Kantor pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak 
    tanah dan atau bangunan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 
    1, angka 2, angka 6, dan angka 7, serta huruf c.

(2) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
    kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3, 
    angka 4, dan angka 5.

(3) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas 
    Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan 
    permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor 
    Wilayah Direktorat jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari 
    sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

(4) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas 
    Tanah dan Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 
    (3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea 
    Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu pal­ing 
    lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

(5) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam waktu bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang 
    jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang Bea Perolehan Hak atas 
    Tanah dan Bangunan dan melampirkan :
        a.  fotokopi  lembar 1 Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB);
    b.  fotokopi SPPT PBB untuk tahun terutangnya BPHTB;
    c.  fotokopi Akta/Risalah Lelang/Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim/sertifikat Hak 
        atas Tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun/Dokumen lain;
    d.  fotokopi KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain; dan
    e.  Surat KeteranganLurah/Kepala Desa/Keterangan lainnya yang terkait.

(6) Permohonan pengurangan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas 
    dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat pembayaran dan melampirkan :
    a.  Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB);
        b.  fotokopi Akta Penggabungan Usaha/Akta PPAT untuk penggabungan usaha yang didahului 
        dengan mengadakan likuidasi/Keputusan BPPN atau bukti bahwa telah disetujui oleh 
        Pemerintah untuk restrukturisasi usaha dan atau utang usaha; dan
        c.  Dokumen lain yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(7) Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam 
    ayat (5) dan (6) karena keadaan diluar kekuasaaannya maka Wajib Pajak tersebut harus 
    membuktikan keadaan tersebut.


                        Pasal 7

(1) Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Direktorat Jenderal Pajak memberikan tanda terima 
    kepada Wajib Pajak setelah menerima permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan.

(2) Tanda terima surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dn Bangunan bagi 
    kepentingan Wajib Pajak adalah sebagai berikut :
        a.  Tanda terima surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
        yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau bukti pengiriman surat 
        permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan  melalui pos tercatat
        dan sejenisnya sehubungan dengan Pasal 6 ayat (5);
    b.  Tanda terima surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
        yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan Pasal 6 ayat (6).

(3) Atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari Wajib Pajak, 
    Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal 
    Pajak atau Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan sederhana yang hasilnya dituangkan 
    dalam berita acara pemeriksaan.

(4) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak memenuhi 
    persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, tidak dianggap sebagai surat permohonan 
    pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan, 
    dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat 
    Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan 
    agar persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dipenuhi kecuali apabila permohonan 
    tersebut tidak memenuhi jangka waktu 3 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6).


                        Pasal 8

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal 
    Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), dalam 
    waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan 
    keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan yang 
    diajukan Wajib Pajak.

(2) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 
    (3), dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus 
    memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
    yang diajukan Wajib Pajak.

(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) berupa mengabulkan sebagian, atau 
    mengabulkan seluruhnya, atau menolak.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) telah lewat dan Kepala 
    Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak 
    atau Direktur Jenderal Pajak belum memberikan suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea 
    Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu 
    kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.


                        Pasal 9

Permohonan Wajib Pajak yang diterima sebelum ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dan 
belum diterbitkan keputusan pengurangan, diproses berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.


                        Pasal 10

Bentuk Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini


                        Pasal 11

Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 
KEP - 531/PJ./2000 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
dinyatakan tidak berlaku.


                        Pasal 12

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini 
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

HADI POERNOMO
NIP. 060027375
peraturan/kep/221pj.2002.txt · Last modified: 2023/02/05 20:26 by 127.0.0.1