User Tools

Site Tools


peraturan:kep:1927pj.231983
                       KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR KEP - 1927/PJ.23/1983

                              TENTANG

 BUKU PETUNJUK BERKENAAN DENGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBAYARAN GAJI, UPAH, 
     HONORARIUM, DAN LAIN-LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN (SERI PPh PASAL 21-01)

                         DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk keperluan pemenuhan kewajiban Pemotong Pajak atas Pajak Penghasilan sehubungan dengan 
pekerjaan, perlu diterbitkan Buku Petunjuk berkenaan dengan pemotongan Pajak Penghasilan atas 
pembayaran gaji, upah, honorarium, dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan serta sanksi-sanksinya;


Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2.  Pasal 21 ayat (9) dan Pasal 26 huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
3.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 TAHUN 1983 tentang Pelaksanaan Undang-undang 
    Pajak Penghasilan 1984;
4.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor  948/KMK.04/1983 tentang Tata Cara 
    Pembayaran, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak;
5.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 964/KMK.04/1983 tentang Pelaksanaan 
    Pemotongan Pajak Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan Atas Penghasilan Pegawai, Karyawan 
    atau Karyawati harian dan mingguan serta Penghasilan berupa Honorarium yang tidak teratur;
6.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 980/KMK.04/1983 tentang Besarnya Biaya 
    Untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara Penghasilan Teratur sehubungan dengan Pekerjaan 
    yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

                         MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BUKU PETUNJUK BERKENAAN DENGAN PEMOTONGAN 
PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBAYARAN GAJI, UPAH, HONORARIUM, DAN LAIN-LAIN SEHUBUNGAN DENGAN 
PEKERJAAN.


                        BAB I
                       KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau disingkat PPh Pasal 21 
    adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain 
    dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

(2) Yang dimaksud dengan:
    a.  pegawai, karyawan atau karyawati ialah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan 
        berdasarkan suatu perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk dalam 
        pengertian pegawai, karyawan atau karyawati, ialah setiap orang pribadi yang melakukan 
        pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara dan daerah;
    b.  pegawai, karyawan atau karyawati tetap ialah orang pribadi yang bekerja pada seorang 
        pemberi kerja yang memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala;
    c.  pegawai, karyawan atau karyawati lepas, ialah orang pribadi yang bekerja untuk seorang 
        pemberi kerja, yang memperoleh upah apabila ia bekerja, dan sewaktu-waktu dapat 
        dihentikan tanpa memperoleh jaminan dan tunjangan lainnya;
    d.  pegawai, karyawan atau karyawati Wajib Pajak luar negeri, ialah orang pribadi yang berada 
        di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
    e.  penerima honorarium, ialah orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi yang 
        memberikan jasa dengan memperoleh imbalan tertentu sesuai dengan jasa tersebut;
    f.  penerima upah borongan, ialah orang pribadi yang menerima atau memperoleh upah 
        sehubungan dengan penyelesaian pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian kerja, baik 
        tertulis maupun tidak tertulis;
    g.  upah harian, adalah upah yang besarnya didasarkan atas jumlah hari kerja pegawai, 
        karyawan atau karyawati yang bersangkutan;
    h.  upah satuan, adalah upah yang besarnya didasarkan atas banyaknya satuan yang dihasilkan 
        oleh pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan;
    i.  upah borongan, adalah upah yang besarnya didasarkan atas penyelesaian pekerjaan 
        tertentu;
    j.  penghasilan teratur adalah penghasilan yang pada umumnya secara berkala diterima atau 
        diperoleh dalam setiap masa atau tahun pajak.


                          BAB II
                    PEMOTONG PAJAK DAN WAJIB PAJAK

                          Pasal 2

(1) Pemotong pajak atas PPh Pasal 21, yang selanjutnya disingkat pemotong pajak, ialah:
    a.  pemberi kerja baik orang pribadi maupun badan yang merupakan induk atau cabang 
        perusahaan yang membayar gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain dengan nama 
        apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, karyawan atau 
        karyawati, ataupun orang lain di Indonesia;
    b.  badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;
    c.  bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap dan 
        pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang 
        dibebankan kepada Keuangan Negara;
    d.  perusahaan dan badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan 
        atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli 
        sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.

(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga perwakilan 
    negara asing, perwakilan organisasi internasional dan badan atau organisasi internasional lainnya 
    dengan sifat dan dalam bentuk apapun.

(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d termasuk badan usaha milik negara dan 
    daerah, perusahaan jawatan, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, yayasan-
    yayasan seperti : yayasan kesejahteraan, yayasan rumah sakit, yayasan pendidikan, yayasan 
    kesenian, dan yayasan olahraga. 

(4) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d termasuk badan Pemerintah Republik 
    Indonesia, badan perwakilan negara asing dan badan perwakilan organisasi internasional;


                        Pasal 3

Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mempunyai kedudukan:
a.  pegawai, karyawan atau karyawati tetap;
b.  pegawai, karyawan atau karyawati lepas;
c.  penerima honorarium;
d.  penerima upah borongan;
e.  pegawai, karyawan atau karyawati Wajib Pajak luar negeri.


                        Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian pegawai, karyawan atau karyawati ialah:
a.  wakil diplomatik, konsuler, wakil-wakil lain dari negara asing, orang yang diperbantukan kepada 
    mereka serta bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat mereka bukan 
    warga negara Indonesia, di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, dan 
    negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b.  wakil organisasi internasional.


                        BAB III
                PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21

                        Pasal 5

(1) Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:
    a.  1.  penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur oleh pegawai, karyawan 
            atau karyawati atau orang lain berupa:gaji, upah, honorarium, uang lembur, premi, 
            gaji istirahat, uang sokongan, uang ganti rugi, uang tebusan, uang tunjangan isteri 
            dan/atau tunjangan anak, uang tunjangan kemahalan, uang tunjangan jabatan, uang 
            tunjangan khusus, uang tunjangan cuti, uang tunjangan transport, uang tunjangan 
            berupa pajak, uang tunjangan iuran pensiun, uang tunjangan pendidikan anak, uang 
            tunjangan premi asuransi dan pembayaran lain sejenis dengan nama apapun;
        2.  penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan hari raya termasuk 
            tunjangan tahun baru, bonus, premi dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya 
            tidak tetap dan yang biasanya diberikan sekali saja atau sekali setahun;
        3.  penghasilan berupa upah harian, mingguan, upah satuan dan upah borongan yang 
            diterima oleh pegawai, karyawan atau karyawati lepas.

    b.  uang pensiun, uang tunggu, uang pesangon dan sebagainya yang diterima atau diperoleh 
        pegawai, karyawan atau karyawati atau bekas pegawai, karyawan atau karyawati atau ahli 
        warisnya:
        1.  yang bertempat tinggal di Indonesia, karena perjanjian kerja atau jabatan yang telah 
            dihentikan;
        2.  yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, karena perjanjian kerja atau jabatan yang 
            telah dihentikan sepanjang pembayarannya dibebankan pada Keuangan Umum 
            Indonesia atau dibebankan pada Subyek Pajak dalam negeri.

    c.  penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang dibebankan kepada Keuangan 
        Negara, sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan;

    d.  honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia 
        oleh Wajib Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
        1.  tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli, termasuk dokter dan akuntan;
        2.  pemain musik, perkumpulan musik, penyanyi, bintang film, pemain sandiwara, 
            penari, pemahat, pelukis dsb;
        3.  para olah ragawan;
        4.  penasehat, pengajar, peneliti, penceramah, dan sebagainya sebagai tenaga lepas;
        5.  pengarang;
        6.  kolportir iklan;
        7.  mereka yang menemukan langganan atau membawa pesanan dan sebagainya 
            untuk:
            -   bank, asuransi, dan sebagainya
            -   importir atas dasar inden;
            -   perusahaan industri dan perusahaan lainnya.
        8.  komisaris atau anggota dewan pengawas dari perusahaan.

(2) Dikenakan juga pemotongan PPh Pasal 21 terhadap setiap pembayaran dengan nama apapun kepada 
    orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 
    hari dalam jangka waktu 12 bulan, sehubungan dengan jasa dan/atau pekerjaan yang dilakukan di 
    Indonesia.


                        Pasal 6

Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21, penghasilan yang diterima atau diperoleh berupa uang asing 
dinilai berdasarkan kurs yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.


                        Pasal 7

Uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dihitung sebagai penghasilan untuk 10 
(sepuluh) tahun.


                        Pasal 8

(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:
    a)  pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau meninggalnya orang 
        yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;
    b)  penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun, kecuali jika 
        pihak yang memberikan:
        b.1.    perwakilan diplomatik, konsulat dan perwakilan lainnya dari negara asing kepada 
            warga negara Indonesia yang diperbantukan kepada atau bekerja pada mereka;
        b.2.    perwakilan organisasi internasional dan badan atau organisasi internasional lainnya 
            dengan sifat dan dalam bentuk apapun, kepada orang pribadi yang diperbantukan 
            kepada atau bekerja pada mereka.

(2) Kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b termasuk pula pajak yang 
    ditanggung oleh pemberi kerja, pemerintah dan badan dana pensiun.

(3) Penghasilan bruto berupa upah harian, upah satuan dan upah borongan serta penghasilan berupa 
    honorarium sampai dengan jumlah Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) sehari, tidak dikenakan 
    pemotongan PPh Pasal 21.

(4) Untuk mendapatkan jumlah upah harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3):
    a.  upah mingguan dibagi 6;
    b.  dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam 
        satu hari;
    c.  dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya 
        hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud;
    d.  dalam hal honorarium kepada Wajib Pajak dalam negeri yang jumlahnya dihitung atas dasar 
        banyaknya hari yang dipakai, adalah jumlah honorarium dibagi banyaknya hari yang dipakai 
        untuk memberikan jasa yang dimaksud.


                        BAB IV
                PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN

                        Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan netto pegawai, karyawan atau karyawati yang menerima 
    atau memperoleh penghasilan tetap diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto:
    a.  biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 
        Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) setahun atau Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu 
        rupiah) sebulan;
    b.  iuran yang terikat pada gaji kepada dana pensiun yang disetujui oleh Menteri Keuangan.

(2) Biaya untuk mendapatkan, memperoleh dan memelihara uang pensiun, ditetapkan sebesar 5% (lima 
    persen) dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp.120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah) 
    setahun atau Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebulan.

(3) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak pegawai, karyawan atau karyawati penghasilan 
    nettonya dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang besarnya sebagai berikut :

                                  setahun     sebulan
                                _________   _________
    a.  diri pegawai, karyawan atau karyawati       Rp.960.000  Rp. 80.000
    b.  tambahan untuk pegawai atau 
        karyawan yang kawin             Rp.480.000  Rp. 40.000
    c.  tambahan untuk setiap orang keluarga 
        sedarah dan semenda dalam garis lurus,
        serta anak angkat yang menjadi 
        tanggungan sepenuhnya, paling banyak 
        3 orang                     Rp.480.000  Rp. 40.000

(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal 
    tidak kawin potongan PTKP selain dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi 
    tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c.

(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat, bahwa 
    suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sebesar 
    Rp.480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) setahun atau Rp. 40.000,- (empat puluh ribu 
    rupiah) sebulan dan ditambah potongan PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam ayat 
    (3) huruf c.

(6) Terhadap penghasilan yang diterima oleh pegawai, karyawan atau karyawati berupa tunjangan hari 
    raya, jasa produksi, gratifikasi, bonus, tantiem dan penghasilan lain seperti itu, tidak berlaku 
    pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3).

(7) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.

(8) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim atau masa pajak.


                          BAB V
                          TARIF DAN PENERAPANNYA

                        Pasal 10

(1) Tarif menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yang dijabarkan ke dalam tarif 
    tahunan dan tarif bulanan diterapkan atas penghasilan netto dari pegawai, karyawan atau karyawati 
    tetap.

(2) Tarif yang diterapkan terhadap penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberlakukan 
    juga terhadap penghasilan netto dari pekerjaan pegawai negeri sipil, anggota ABRI, pejabat negara 
    lainnya, dan pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Daerah serta terhadap penghasilan netto 
    penerima pensiun.

(3) Tarif tahunan dan bulanan PPh Pasal 21, masing-masing dimuat dalam lampiran I dan lampiran II 
    Keputusan ini.


                        Pasal 11

(1) Tarif efektif rata-rata diterapkan atas penghasilan berupa uang tebusan pensiun yang diterima atau 
    diperoleh sekaligus.

(2) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan cara menerapkan tarif 
    berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap jumlah penghasilan yang 
    terdiri dari penghasilan teratur setahun dalam tahun pajak terjadinya pembayaran uang tebusan 
    pensiun ditambah sepersepuluh penghasilan berupa uang tebusan pensiun yang diterima atau 
    diperoleh sekaligus.

(3) Jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikurangi terlebih dahulu dengan 
    penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

(4) Apabila jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih rendah dari PTKP, maka atas 
    uang tebusan pensiun itu tidak dikenakan PPh Pasal 21.

(5) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibulatkan ke bawah apabila angka di 
    belakang koma 5 atau kurang, dan dibulatkan ke atas apabila angka di belakang koma lebih dari 5.


                        Pasal 12

Tarif PPh lapisan terendah sebesar 15% (lima belas persen) menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak 
Penghasilan 1984 diterapkan atas:
a.  penghasilan bruto yang dibayarkan kepada pegawai, karyawan atau karyawati lepas berupa upah 
    harian atau mingguan, upah satuan, upah borongan yang dibayarkan kepada penerima upah 
    borongan, untuk jumlah di atas Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) sehari.
b.  penghasilan bruto berupa honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang diterima 
    oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yang 
    jumlahnya tidak dihitung atas dasar banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan jasa yang 
    diberikan.


                        Pasal 13

Tarif PPh sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan bruto yang 
diterima atau diperoleh, sebagai imbalan atas jasa dan/atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia oleh 
orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 5 ayat (2).


                        Pasal 14

Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dimuat dalam lampiran III keputusan ini.


                        BAB VI
                    KEWAJIBAN DAN HAK PEMOTONG PAJAK ATAS PPh PASAL 21

                        Pasal 15

(1) Setiap pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang belum mempunyai NPWP, wajib 
    mendaftarkan diri ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi organisasi internasional yang 
    mempunyai pegawai, karyawan atau karyawati warga negara Indonesia serta perwakilan negara 
    asing.

(3) Pemotong pajak harus mengambil sendiri formulir-formulir pajak yang diperlukan dalam rangka 
    pemenuhan kewajibannya pada Kantor Inspeksi Pajak, Kantor Dinas Luar Tingkat I dan Tingkat II 
    setempat atau tempat lain yang ditentukan.


                        Pasal 16

(1) Pemotong pajak wajib untuk menghitung, memotong dan menyetor PPh yang terhutang untuk setiap 
    bulan takwim.

(2) Penyetoran pajak harus dilakukan dengan mempergunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara, 
    Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Kas Negara, 
    selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

(3) Pemotong pajak wajib memberitahukan penyetoran tersebut dalam ayat (2) dengan mempergunakan 
    Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan, 
    selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

(4) Pemotong pajak diharuskan memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada orang pribadi 
    yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta maupun tidak.


                        Pasal 17

(1) Pada akhir tahun pajak, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang 
    terhutang menurut tarif tahunan untuk pegawai, karyawan atau karyawati tetap.
    Bagi pegawai, karyawan atau karyawati tetap tersebut harus dibuatkan Daftar Penghasilannya 
    masing-masing.

(2) Jika jumlah pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari jumlah 
    pajak yang telah dipotong, selisihnya dipotongkan dari pembayaran gaji untuk bulan pada waktu 
    dilakukannya penghitungan kembali dan harus disetorkan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan 
    disampaikan.

(3) Jika jumlah pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari jumlah 
    pajak yang telah dipotong, selisihnya dikurangkan dari pajak terhutang atas gaji untuk bulan pada 
    waktu dilakukan penghitungan kembali.

(4) Jika selisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melebihi jumlah pajak yang terhutang atas gaji 
    untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali, kelebihannya dikembalikan kepada 
    pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan.

(5) Jumlah pengembalian atas kelebihan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus 
    dilaporkan oleh pemotong pajak pada masa pajak berikutnya dengan cara melampirkan bukti 
    pengembalian dimaksud pada Surat Pemberitahuan Masa yang bersangkutan.


                        Pasal 18

(1) Setiap pemotong pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan, menanda tangani dan menyampaikannya 
    ke Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan.

(2) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengambil sendiri Surat 
    Pemberitahuan PPh Pasal 21 di Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan oleh 
    Direktur Jenderal Pajak.

(3) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya 3 bulan setelah 
    akhir tiap tahun takwim.

(4) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri Daftar Nominatif dan Daftar Penghasilan 
    pegawai, karyawan atau karyawati tetap dan Daftar Pegawai karyawan atau karyawati harian lepas 
    yang menerima upah satuan, upah borongan serta orang pribadi yang menerima honorarium.

(5) Kepala Kantor Inspeksi Pajak atas permohonan pemotong pajak dapat memperpanjang jangka 
    waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(6) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan 
    mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terhutang dalam satu tahun pajak dan bukti 
    pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terhutang.

(7) Pemotong Pajak berkewajiban untuk:
    a.  memperlihatkan dan menunjukkan pembukuan atau pencatatan dokumen yang menjadi 
        dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usahanya apabila diminta 
        pada saat dilakukan pemeriksaan;
    b.  memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan 
        memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
    c.  memberi keterangan yang diperlukan apabila diminta.


                        Pasal 19

(1) Pemotong pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 
    dengan benar, lengkap, jelas, dan menanda tanganinya.

(2) Dalam hal pemotong pajak adalah Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus 
    ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi.

(3) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 ditanda tangani dan diisi oleh orang lain selain 
    dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.


                        Pasal 20

(1) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 yang disampaikan langsung oleh pemotong pajak ke 
    Kantor Inspeksi Pajak setempat atau tempat lain yang ditentukan, harus diberikan tanggal 
    penerimaan dan bukti penerimaan.

(2) Pengiriman Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 melalui Kantor Pos dan Giro harus dilakukan 
    secara tercatat, sedangkan tanda bukti serta tanggal pengiriman merupakan tanda bukti dan tanggal 
    penerimaan.


                        Pasal 21

Apabila Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan 
tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (3), 
pemotong pajak dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).


                        Pasal 22

(1) Pemotong pajak dapat membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 dengan 
    menyampaikan pernyataan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang belum dimulai tindakan 
    pemeriksaan.

(2) Dalam hal pemotong pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 yang 
    mengakibatkan hutang pajaknya menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi berupa 
    bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah PPh Pasal 21 yang kurang dibayar, dihitung 
    mulai saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 berakhir sampai dengan tanggal 
    pembayaran karena pembetulan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tersebut.

(3) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan 
    penyidikan mengenai ketidak benaran yang dilakukan oleh pemotong pajak, sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara 
    Perpajakan, terhadap ketidak benaran perbuatan pemotong pajak tersebut tidak akan dilakukan 
    penyidikan, apabila pemotong pajak itu dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidak benaran 
    perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah PPh Pasal 21 yang 
    sebenarnya terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang 
    dibayar.


                        Pasal 23

Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a.  pemotong pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga;
b.  dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan penyetoran pajak sebagai akibat salah 
    tulis dan/atau salah hitung.


                        Pasal 24

(1) Surat Ketetapan Pajak dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal dalam jangka waktu lima tahun 
    setelah berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak, dalam hal:
    a.  pajak yang terhutang kurang atau tidak disetor berdasarkan hasil pemeriksaan atau 
        keterangan lain;
    b.  surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktu dan sesudah ditegor secara tertulis tidak 
        juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat tegoran.
    c.  kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) tidak dipenuhi.

(2) Jumlah kekurangan PPh Pasal 21 yang terhutang menurut SKP dalam hal sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% dua persen) sebulan 
    untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun 
    Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKP.

(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang terhutang menurut SKP dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    huruf b dan c ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) 
    dari PPh Pasal 21 yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang disetorkan dan dipotong tetapi 
    tidak atau kurang disetorkan.

(4) Besarnya PPh Pasal 21 yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak yang diberitahukan oleh pemotong 
    pajak dalam SPT PPh Pasal 21, menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan 
    perpajakan, apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterbitkan 
    SKP.

(5) Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), telah lewat, SKP tetap dapat 
    diterbitkan dalam hal pemotong pajak dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang 
    perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan 
    putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


                        Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu 
    lima tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila 
    diketemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan 
    penambahan jumlah pajak yang terhutang.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan, ditambah dengan 
    sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan, apabila Surat Ketetapan Pajak 
    Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis oleh pemotong pajak atas kehendak 
    sendiri, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

(4) Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan 
    Pajak Tambahan tetap dapat diterbitkan dalam hal pemotong pajak dipidana, karena melakukan 
    tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat 
    waktu, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


                        Pasal 26

Kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan perundang-undangan 
perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak 
karena jabatan atau atas permohonan pemotong pajak yang bersangkutan.


                        Pasal 27

(1) Kepala Inspeksi Pajak setelah melakukan penelitian atau pemeriksaan, menerbitkan:
    a.  Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas 
        bulan sejak diterima surat permohonan, apabila jumlah pajak yang disetor atau jumlah Pajak 
        Penghasilan yang dipotong lebih besar dari jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan 
        pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang.
    b.  Surat Pemberitaan, apabila jumlah pajak yang disetor atau jumlah Pajak Penghasilan yang 
        dipotong sama dengan jumlah pajak yang terhutang.

(2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Kepala Inspeksi 
    Pajak tidak memberi suatu keputusan, surat permohonan pemotong pajak tersebut dianggap 
    dikabulkan.


                        BAB VII
                KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK YANG DIKENAKAN
                          PEMOTONGAN PPh PASAL 21

                        Pasal 28

(1) Pada saat seseorang mulai kerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan Penghasilan 
    Tidak Kena Pajak, Wajib Pajak harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, 
    bendaharawan pemerintah atau badan dana pensiun yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan 
    jumlah tanggungan keluarga.


                        Pasal 29

Pegawai, karyawan atau karyawati yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.1., tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali apabila 
Wajib Pajak tersebut memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau 
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.


                        Pasal 30

Pegawai, karyawan atau karyawati yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mengajukan surat 
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, apabila pemotongan pajak oleh pemotong pajak tidak sesuai 
dengan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal 
pemotongan.


                        Pasal 31

Pegawai, karyawan atau karyawati yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dapat mengajukan permohonan 
banding kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterbitkannya surat keputusan 
Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya.


                        Pasal 32

Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak, merupakan kredit pajak bagi Wajib Pajak yang 
dikenakan pemotongan, untuk tahun pajak dilakukannya pemotongan.


                        BAB VIII
                          KEBERATAN DAN BANDING

                        Pasal 33

(1) Pemotong pajak dapat mengajukan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
    a.  Surat Pemberitaan;
    b.  Surat Ketetapan Pajak;
    c.  Surat Ketetapan Pajak Tambahan;
    d.  Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak,

    dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan Surat Pemberitaan, Surat Ketetapan Pajak, 
    Surat Ketetapan Pajak Tambahan dan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan-alasannya 
    secara jelas dan jumlah pajak yang menurutnya terhutang.

(3) Jika jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka keberatan tidak dapat 
    diterima, kecuali apabila pemotong pajak atau pegawai, karyawan atau karyawati yang bersangkutan 
    dapat menunjukkan bukti yang kuat, bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena 
    keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Setiap surat keberatan pajak hanya berlaku untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak.

(5) Apabila diminta oleh pemotong pajak atau oleh pegawai, karyawan atau karyawati untuk keperluan 
    pengajuan surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang 
    menjadi dasar pengenaan atau pemotongan.

(6) Terhadap penyampaian surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) 
    diberikan tanda bukti penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

(7) Direktur Jenderal Pajak mengambil keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    dan ayat (3) dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

(8) Keberatan dianggap diterima jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) tidak 
    diambil suatu keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(9) Sebelum surat keputusan diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, pemotong pajak atau pegawai, 
    karyawan atau karyawati yang bersangkutan dapat menyampaikan alasan atau penjelasan tambahan 
    atas surat keberatan yang disampaikan.

(10)    Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang disampaikan, dapat berupa menerima 
    seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.

(11)    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

(12)    Dalam hal pemotong pajak atau pegawai, karyawan atau karyawati karena sesuatu hal tidak dapat 
    menyampaikan surat keberatannya, dapat diwakili melalui kuasanya asalkan dilengkapi dengan surat 
    kuasa khusus untuk itu.


                        Pasal 34

(1) Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak dalam jangka 
    waktu tiga bulan sejak diterbitkannya surat keputusan Direktorat Jenderal Pajak mengenai 
    keberatannya.

(2) Surat permohonan banding harus dilampiri dengan salinan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak 
    mengenai keberatannya dan disertai penghitungan jumlah pajak yang menurutnya seharusnya 
    terhutang.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.

(4) Yang dimaksud dengan badan peradilan pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak.


                        BAB IX
                       KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 35

Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Pajak Langsung.


                        Pasal 36

(1) Keputusan ini dinamakan "Buku Petunjuk berkenaan dengan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas 
    Pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan".

(2) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

SALAMUN A.T.
peraturan/kep/1927pj.231983.txt · Last modified: 2023/02/05 18:14 by 127.0.0.1