User Tools

Site Tools


peraturan:kep:02pj.1995
                       KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                           NOMOR KEP - 02/PJ./1995

                              TENTANG

     PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 
        DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

                         DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a.  bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana 
    telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, petunjuk mengenai pelaksanaan 
    pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, 
    dan kegiatan, ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b.  bahwa sehubungan dengan hal tersebut dan agar pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas 
    penghasilan dimaksud dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dipandang perlu untuk menetapkan 
    ketentuan-ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak 
    Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, 
    dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah 
    dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 
    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, 
    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2.  Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 
    Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 
    tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara 
    Nomor 3459), dan dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 tentang Perubahan atas 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran 
    Negara Nomor 3567);
3.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 TAHUN 1994 tentang Penghitungan Penghasilan 
    Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 
    Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
4.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 598/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 
    1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final atas Penghasilan Sehubungan dengan 
    Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Tertentu;
5.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 600/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 
    tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto 
    Pegawai Tetap atau Pensiunan;
6.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 601/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 
    tentang Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta 
    Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
7.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 606/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 
    tentang Penentuan tanggal jatuh tempo Pembayaran dalam Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran 
    Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan 
    Penundaan Pembayaran Pajak;
8.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 
    1994 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Perwakilan Organisasi Internasional dan Pejabat 
    Perwakilan Organisasi Internasional;

                        MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN 
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, 
DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.


                        BAB I
                      KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

a.  Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak 
    orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa 
    gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan 
    pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 
    Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang 
    Nomor 10 TAHUN 1994;

b.  Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian atau 
    kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam 
    jabatan negeri atau badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah;

c.  Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh 
    gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan 
    pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung;

d.  Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan 
    apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja;

e.  Pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal 
    di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang 
    menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, 
    jasa, dan kegiatan;

f.  penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan 
    untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang 
    menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua;

g.  Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan 
    dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya;

h.  Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, 
    atau upah satuan;

i.  Upah harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja;

j.  Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan;

k.  Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu;

l.  Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang dihasilkan;

m.  Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan;

n.  Magang adalah kegiatan untuk memperoleh pengalaman dan/atau ketrampilan dan/atau keahlian 
    sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan;

o.  Bea siswa adalah pembayaran kepada  pegawai tetap dan tidak tetap termasuk calon pegawai yang 
    ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja 
    yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja;

p.  Kegiatan adalah keikut sertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat, sidang, 
    seminar, workshop, pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.


                        BAB II
        PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 2

(1) Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak 
    adalah :
    a.  pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik 
        merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, 
        honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan 
        sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
    b.  bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah 
        Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan 
        Besar Republik Indonesia di Luar Negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, 
        tunjangan,dan pembayaran lain dengan nama papun sehubungan dengan pekerjaan atau 
        jabatan, jasa, dan kegiatan;
    c.  dana pensiun, PT Taspen, PT Astek, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja 
        (Jamsostek) lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari 
        Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT);
    d.  perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau 
        pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa 
        tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
    e.  perusahaan badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau 
        pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh 
        orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri;
    f.  yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olah 
        raga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam 
        bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau
        imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang 
        dilakukan orang pribadi; 
    g.  perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau
        imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.

(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) huruf a termasuk juga badan 
    atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan 
    Menteri Keuangan. 

(3) Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e, dan g termasuk badan usaha 
    milik negara dan badan usaha milik daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk 
    apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai 
    Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.


                        Pasal 3

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalah 
orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b sampai dengan huruf h serta orang pribadi lainnya 
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari 
Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.


                        Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
a.  pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang 
    diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan 
    syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan 
    lain di luar jabatannya di Indonesia;
b.  pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri 
    Keuangan Nomor: 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sepanjang bukan warga negara 
    Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk 
    memperoleh penghasilan di Indonesia.


                        BAB III
                PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 5

(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
    a.  Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, 
        upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan 
        pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, 
        tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, 
        tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, 
        bea siswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur 
        lainnya dengan nama apapun;
    b.  penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, 
        gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, 
        dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali 
        dalam setahun; 
    c.  upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
    d.  uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang 
        pesangon, dan pembayaran lain jenis;
    e.  honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, 
        komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, 
        dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari :
        1.  tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7);
            2.  pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew film, 
            foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan 
            seniman lainnya;
            3.  olahragawan;
            4.  penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, dan moderator;
             5. pengarang, peneliti, dan penterjemah;
         6. pemberi jasa dalam bidang teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, 
        elektronika, fotografi, dan pemasaran;
         7. kolportir iklan;
             8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitian, peserta 
        sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
         9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
            10. peserta perlombaan;
            11. petugas penjaja barang dagangan;
            12. petugas dinas luar asuransi;
            13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;

(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula 
    penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh 
    bukan Wajib Pajak.

(3) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
    ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan 
    status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.


                        Pasal 6

Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh 
dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara berkala.


                        Pasal 7

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a.  pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, 
    asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b.  penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2);
c.  iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri 
    Keuangan dan penyelenggara Taspen serta iuran Tabungan hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) 
    kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d.  penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh 
    Pemerintah;
e.  kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.


                        BAB IV
                  PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN

                        Pasal 8

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap, maka penghasilan bruto dikurangi 
    dengan :
    a.  biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan menagih, dan memelihara penghasilan yang 
        besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 
        setinggi-tingginya Rp 648.000,00 (enam ratus empat puluh delapan ribu rupiah) setahun atau 
        Rp 54.000,00 (lima puluh empat ribu rupiah) sebulan;
    b.  iuran yang terikat pada gaji kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri 
        Keuangan dan penyelenggara Taspen serta iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua 
        (THT) kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pegawai.

(2) Untuk menentukan besarnya penghasilan neto penerima pensiun, penghasilan bruto berupa uang 
    pensiun dikurangi biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang 
    pensiun yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya 
    Rp. 216.000,00 (dua ratus enam belas ribu rupiah) setahun atau Rp. 18.000,00 (delapan belas ribu 
    rupiah) sebulan.

(3) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai, penghasilan netonya 
    dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya adalah sebagai berikut :
    
                                   setahun             sebulan
                            ------------------------------------------------
    a.  Untuk diri pegawai          Rp. 1.728.000,00     Rp.  144.000,00
    b.  Tambahan untuk pegawai yang kawin   Rp.    864.000,00    Rp.    72.000,00
    c.  Tambahan untuk setiap anggota       Rp.    864.000,00   Rp.    72.000,00
        keluarga sedarah dan keluarga semenda
        dalam garis keturunan lurus, serta anak
        angkat yang menjadi tanggungan
        sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang

(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal 
    tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang 
    menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.

(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-
    rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan 
    tambahan PTKP sebesar Rp. 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) setahun atau 
    Rp. 72.000,00 (tujuh puluh dua ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.

(6) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang 
    baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut 
    berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.

(7) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.

(8) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan 
    Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 bagi Wajib Pajak luar 
    negeri adalah penghasilan bruto.


                        Pasal 9

(1) Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak 
    tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan upah saku harian 
    yang besarnya tidak lebih dari Rp. 14.400.000 (empat belas ribu empat ratus rupiah) sehari, tidak 
    dipotong PPh Pasal 21.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas penghasilan bruto dalam satu bulan 
    takwim yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah) dan 
    tidak dibayarkan secara bulanan.

(3) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya 
    melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat 
    dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan 
    yang bersangkutan dibagi dengan 360.

(4) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka PTKP 
    yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.

(5) Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, 
    dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(6) Atas penghasilan berupa beasiswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan 
    ketentuan Pasal 8 ayat (3).

(7) Atas Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, 
    yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris 
    dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.

(8) Perkiraan  penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah sebesar 40% (empat puluh 
    persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun.


                        BAB V
                        TARIF DAN PENERAPANNYA

                        Pasal 10

(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir 
    dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
    a.  pegawai tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai negeri Sipil, anggota ABRI, pejabat negara 
        lainnya, pegawai badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, dan anggota dewan 
        komisaris atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan 
        yang sama;
    b.  penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
    c.  pegawai tidak tetap, pemegang, dan calon pegawai.

(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
    a.  bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun 
        termasuk iuran Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua, dan PTKP;
        b.  bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah penghasilan bruto dikurangi 
        dengan biaya pensiun dan PTKP;
    c.  bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai adalah penghasilan bruto dikurangi 
        dengan PTKP.


                        Pasal 11

Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 diterapkan atas penghasilan bruto berupa :
a.  honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, 
    beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang 
    jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau 
    kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 2 sampai dengan angka 10;
b.  honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak 
    merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
c.  jasa produksi, tantiem, gratifikasi, dan bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
d.  penarikan dana pada dana pensiun lembaga keuangan oleh peserta program pensiun iuran pasti.


                        Pasal 12 

Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau 
terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).


                        Pasal 13

(1) Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah 
    borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 14.400,00 (empat belas ribu empat
    ratus rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah)
    dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam 
    Pasal 9 ayat (2).

(2) Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
    berlaku ketentuan sebagai berikut :
    a.  dalam hal berupa upah mingguan atau uang saku mingguan dibagi 6;
    b.  dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam 
        satu hari;
    c.  dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya
        hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.

(3) Dalam hal penerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari 
    pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, dan komisi dikenakan PPh Pasal 21 
    dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah 
    terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana 
    dimaksud dalam pasal 10 ayat (1).


                        Pasal 14

(1) Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa uang 
    pesangon, uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayarkan sekaligus, 
    dan hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

(2) Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final diterapkan atas komisi yang diterima atau 
    diperoleh petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan, sepanjang petugas 
    tersebut bukan pegawai tetap.


                        Pasal 15

(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan 
    bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan 
    oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 
    (3).

(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai 
    Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.


                        Pasal 16

Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 
ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.


                        Pasal 17

PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan 
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.


                        Pasal 18

Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dimuat dalam lampiran keputusan ini.


                        BAB VI
                 HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK 

                        Pasal 19

(1) Setiap Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor 
    Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

(2) Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi organisasi 
    internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 
    649/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994.

(3) Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan 
    kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.


                        Pasal 20

(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang 
    untuk setiap bulan takwim.

(2) Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke bank persepsi atau 
    Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut pada ayat (2) sekalipun nihil dengan 
    menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan 
    Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

(4) Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26, maka 
    kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang pada bulan 
    berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

(5) Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta 
    maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai 
    tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun 
    iuran pasti.

(6) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, 
    termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur 
    Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.

(7) Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti 
    pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 
    1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
    

                        Pasal 21

(1) Dalam Waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung 
    kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut 
    tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994.

(2) Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang 
    bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 
    sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, dan 
    penghitungannya sebagai berikut :
    a.  Dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja 
        dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang 
        sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dan tidak 
        disetahunkan;
    b.  Dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan pendatang dari 
        luar negeri, dan mulai bekerja di Indonesia dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 
        didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian 
        tahun takwim yang bersangkutan yang disetahunkan;
    c.  Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal 
        dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada akhir bulan berhentinya 
        pegawai tersebut, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang 
        sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian tahun takwim yang bersangkutan yang 
        disetahunkan.

(3) Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak 
    yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan 
    untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.

(4) Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak 
    yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan 
    pada waktu dilakukan penghitungan kembali.


                        Pasal 22

(1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 
    21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak 
    setempat.

(2) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 
    tahun takwim berikutnya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak 
    atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.

(4) Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana 
    dimaksud pada ayat (2).
     
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya 
    tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur 
    Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang 
    terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh 
    Pasal 21 yang terutang.

(6) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang ditentukan 
    dalam Petunjuk Pengisian SPT tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.

(7) Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan 
    harus dilampiri fotokopi surat ijin kerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga kerja atau instansi 
    yang berwenang.

(8) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar 
    dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kekurangannya harus disetor 
    sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim 
    berikutnya.

(9) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih kecil 
    dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kelebihan tersebut diperhitungkan 
    dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan 
    jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun 
    berikutnya.

(10)    Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh 
    pengurus atau direksi.

(11)    Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain dimaksud pada 
    ayat (1) harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.

    
                        BAB VII
                 HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN 
                           YANG DIPOTONG PAJAK

                        Pasal 23

(1) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, 
    penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana 
    dimaksud dalam pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim 
    atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan 
    jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim.


                        Pasal 24

Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan 
pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.


                        BAB VIII
                         KEBERATAN DAN BANDING

                        Pasal 25

Pemotong Pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan 
permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 
Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah 
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994.


                        BAB IX
                    KETENTUAN PENUTUP 

                        Pasal 26  

(1) Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26".
(2) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 1995
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER
peraturan/kep/02pj.1995.txt · Last modified: 2023/02/05 18:16 by 127.0.0.1