peraturan:0tkbpera:f3c89b7be367aa4246f90aa007efe525
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                      24 Juli 2003

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 489/PJ.341/2003

                            TENTANG

 PENEGASAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN YANG DIPEROLEH 
         WAJIB PAJAK LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN SAHAM

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX, perihal seperti di atas, bersama ini kami sampaikan hal-hal 
sebagai berikut :

1.  Dalam Surat tersebut, Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
    a.  Salah satu pemegang saham perusahaan Saudara, ABC, yang berkedudukan di Jepang akan 
        mengalihkan/menjual sahamnya kepada perusahaan lain yang berkedudukan di Jepang;
    b.  Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 434/KMK.04/1999 tanggal 24 Agustus 
        1999 pada Pasal 2 ayat (2), diatur bahwa WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah 
        mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan pajak atas transaksi pengalihan/
        penjualan saham perseroan hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku hak 
        pemajakannya ada pada pihak Indonesia;
    c.  Dalam P3B Indonesia-Jepang, Saudara tidak menemukan adanya klausul yang mengatur 
        mengenai pemajakan atas penghasilan dari pengalihan/penjualan saham. Saudara memohon 
        penegasan apakah Perusahaan Saudara berkewajiban untuk memotong, menyetorkan, dan 
        melaporkan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut.

2.  Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang antara lain diatur bahwa:
    a.  Pasal 13 ayat (4),
        "Gains from the alienation of any property other than that referred to in the preceding 
        paragraph shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident."
    b.  Pasal 22 ayat (1), "Items of income of a resident of a Contracting State, wherever arising, not 
        dealt with in the foregoing Articles of this Agreement shall be taxable in that Contracting 
        State."

3.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh) antara lain diatur bahwa:
    a.  Pasal 5 ayat (1) huruf a
        yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah penghasilan dari usaha atau kegiatan 
        bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
    b.  Pasal 26 ayat (2)
        atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), 
        yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain bentuk usaha tetap di 
        Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, 
        dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

4.  Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak 
    Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain 
    Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham, antara lain diatur 
    bahwa:
    a.  Pasal 2 ayat (1):
        Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha 
        Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan 
        netto.
    b.  Pasal 2 ayat (2):
        Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan 
        Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak sebagaimana 
        dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak 
        pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
    c.  Pasal 2 ayat (3):
        Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% 
        (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 
        25% atau 5% (lima persen) dan harga jual.
    d.  Pasal 2 ayat (4):
        Pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
    e.  Pasal 3 ayat (1):
        Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk 
        sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
    f.  Pasal 3 ayat (3) : Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut 
        pajak adalah Perseroan.

5.  Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang 
    Penerapan P3B antara lain ditegaskan sebagai berikut:
    a.  WPLN wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang 
        membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor 
        Pelayanan Pajak tempat Pihak yang membayarkan penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut 
        menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 
        sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara 
        tempat kedudukan WPLN tersebut.
    b.  SKD diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara mitra runding. 
        Namun demikian, SKD yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pelayanan Pajak tempat WPLN 
        yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang dibuat 
        Competent Authority.

6.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
    a.  Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh ABC dari 
        pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, tidak dikenakan pemotongan PPh 
        Pasal 26 atau pajak penghasilan, sepanjang ABC tidak mempunyai BUT di Indonesia, yang 
        memiliki saham yang diperjualbelikan.
    b.  Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut diatas, ABC wajib menyerahkan asli SKD yang 
        diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority Jepang, kepada Perseroan 
        yang ditunjuk sebagai pemungut pajak dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor 
        Pelayanan Pajak tempat Perseroan terdaftar.
    c.  Apabila ABC tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas penghasilan yang diterima 
        atau diperoleh dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, dikenakan 
        pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari jumlah 
        bruto.
    d.  Apabila ABC mempunyai BUT di Indonesia, dan saham yang dialihkan merupakan bagian dari 
        harta atau dikuasai BUT tersebut, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh ABC 
        dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, dikenakan pajak di Indonesia 
        dengan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Demikian penegasan kami harap maklum.




A.n. DIREKTUR JENDERAL,
DIREKTUR,

ttd

IGN MAYUN WINANGUN
peraturan/0tkbpera/f3c89b7be367aa4246f90aa007efe525.txt · Last modified: by 127.0.0.1