peraturan:0tkbpera:ef0b9a69f90b1ab0228784ccc7d52136
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
12 Januari 1988
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 03/PJ.56/1988
TENTANG
PEMERIKSAAN UNTUK TUJUAN LAIN DALAM RANGKA MENDAPATKAN BUKTI PERMULAAN TENTANG TELAH
TERJADINYA TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN. (SERI PEMERIKSAAN-28)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
I. Sehubungan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ.5/1986 tanggal 25 April
1986 tentang bukti permulaan tentang terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan , bersama ini
diberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut, dengan maksud agar dipahami, bahwa
pelaksanaan pemeriksaan guna mengungkapkan adanya bukti permulaan tentang telah terjadinya
tindak pidana di bidang perpajakan merupakan kegiatan pemeriksaan yang berkesinambungan, yaitu
rangkaian dari tugas-tugas pemeriksaan pajak, pengusutan/pemeriksaan untuk tujuan lain dalam
rangka mendapatkan bukti permulaan tentang telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan
tugas-tugas penyidikan.
II. Dalam menemukan bukti permulaan ini, pekerjaan yang dilakukan antara tugas-tugas pemeriksaan
pajak (audit) dan tugas-tugas pengusutan (investigation) hampir sama. Pada waktu petugas pemeriksa
pajak menghitung besarnya pajak yang kurang dibayar oleh Wajib Pajak, pemeriksa melakukan
pemeriksaan terhadap buku-buku, dokumen-dokumen pembukuan dan catatan-catatan lain yang
berhubungan dengan kegiatan wajib pajak, ada kemungkinan pemeriksaan memperoleh bukti-bukti
yang dapat merupakan bukti permulaan adanya tindak pidana yang dilakukan wajib pajak. Diagram
terlampir mengambarkan bahwa tugas-tugas pemeriksaan pajak dan pengusutan yang
berkesinambungan satu sama lain, dimana "keadaan" yang dijumpai oleh pemeriksaan pajak
menimbulkan dugaan yang kuat telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan apabila
diperoleh bukti-bukti maka bukti-bukti tersebut mungkin dapat merupakan "bukti permulaan" telah
terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam hal demikian. petugas pemeriksa pajak diminta mengamankan bukti-bukti tersebut dan
memberikan bukti peminjaman kepada wajib pajak.
Apabila diperkirakan adanya tindak pidana perpajakan, hendaknya "keadaan" yang menimbulkan
"dugaan yang kuat telah terjadinya tindak pidana dibidang perpajakan" dan bukti-bukti yang
diperkirakan merupakan pendukung adanya bukti permulaan tersebut, secara khusus dijelaskan dalam
laporan pemeriksaan pajak. Dengan perkataan lain dapat dijelaskan, bahwa dalam hal ada dugaan
kuat telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan, maka dalam laporan pemeriksaan pajak.
dengan perkataan lain dapat dijelaskan, bahwa dalam laporan pemeriksaan pajak tersebut harus
dikemukakan perbuatan-perbuatan, bukti-bukti adanya perbuatan tersebut dan besarnya kerugian
negara yang berupa besarnya pajak yang kurang dibayar dari tiap jenis pajak.
Laporan pemeriksaan pajak tersebut segera dikirimkan kepada Direktur Jenderal Pajak dan bukti-bukti
yang ada beserta berkas WP disimpan tersendiri dengan baik oleh Saudara.
III. Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak tersebut diatas menjadi titik tolak bagi petugas pengusutan untuk
meneliti/mengecek kembali/memeriksa kembali/memperluas bukti permulaan tersebut, sehingga
mencukupi untuk dipergunakan sebagai dasar menerbitkan SP Penyelidik. Oleh karenanya dan untuk
mantapnya dasar-dasar menerbitkan SP Penyelidik, maka dalam laporan hasil pengusutan (laporan
pemeriksaan untuk tujuan mencari Bukti Permulaan) harus dijelaskan usaha-usaha yang telah
dilakukan dalam rangka mengungkapkan adanya bukti permulaan tersebut dan sedapat mungkin
dihubungkan dengan unsur-unsur tidak pidana yang dilakukan, sesuai dengan apa yang tercantum
dalam pasal 38 dan pasal 39 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, yaitu :
1. unsur "Barang Siapa" yang menyangkut tentang subyek/pelaku tindak pidana. Yang dimaksud
dengan Barang Siapa di bidang Perpajakan ialah :
1.1. Wajib Pajak, baik perseorangan maupun Badan.
Dalam hal Badan, maka pelaksanaan Hak dan Kewajiban Badan tersebut diwakili oleh
Pengurus atau Direksi.
1.2. Wakil, Kuasa atau pegawai yang mendapat pelimpahan wewenang.
Dalam Laporan harus diuraikan secara jelas siapa yang menjadi pelaku tindak pidana
di bidang perpajakan tersebut.
2. Unsur "Dengan sengaja atau alpa" mengungkapkan bobot kesalahan pelaku tindak pidana.
Sebenarnya yang berwenang menentukan adanya unsur sengaja/alpa ialah Hakim, tetapi
tidak ada salahnya disinggung dalam kesempatan ini untuk lebih mantapnya pelaksanaan
pengusutan.
Undang-undang tidak memberikan definisi yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan
sengaja atau alpa, tetapi dalam ilmu hukum dinyatakan dalam pengertian sengaja terkandung
unsur "dimengerti dan disadari" akan akibat dari perbuatannya.
Pendapat ini dianut oleh Direktorat Jenderal Pajak dan hal ini nampak secara jelas dalam
kolom "pernyataan" yang terdapat pada alinea terakhir dalam Surat Pemberitahuan Pajak
(SPT) yang bunyinya sebagai berikut :
"Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa :
(a) Apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah
benar, lengkap, jelas dan tidak bersyarat;
(b) tidak ada penghasilan lain selain daripada yang telah saya beritahukan di atas."
"Alpa" adalah perbuatan tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati atau tidak memperdulikan
kewajibannya, dengan kata lain dapat disebutkan bahwa alpa adalah perbuatan yang oleh
pelakunya tidak dimengerti dan tidak disadari akan akibat dari perbuatan tersebut.
3. Unsur "Perbuatan" yang dilakukan oleh pelaku.
Jenis perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana secara jelas dicantumkan dalam pasal 38
dan pasal 39 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 KUP, yang perinciannya sebagai berikut :
3.1. Tidak mendaftarkan diri,
3.2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP WP lain,
3.3. Tidak menyampaikan SPT.
3.4. Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan
yang tidak benar,
3.5. Memperlihatkan pembukuan, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar,
3.6. Tidak bersedia memperlihatkan/meminjamkan pembukuan, dokumen pembukuan
dan catatan-catatan yang berhubungan dengan kegiatan wajib pajak,
3.7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut/dipotong.
Perbuatan-perbuatan tersebut diatas telah dijelaskan secara terperinci dalam SE Nomor :
04/PJ.5/1986 tanggal 25 April 1986 mengenai Penjelasan tentang bukti permulaan adanya
tindak pidana di bidang perpajakan.
4. Unsur "Akibat" dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Pembahasan unsur akibat tidak terlepas dari unsur perbuatan pada butir 3 diatas, karena
dalam menguraikan jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku akhirnya harus sampai pada
suatu kesimpulan, berapa besarnya kerugian negara berupa pajak yang kurang dibayar yang
timbul karena perbuatan pelaku tersebut.
IV. Tidak berlebihan kiranya kalau disimpulkan disini, bahwa untuk menentukan ada/tidaknya "Bukti
Permulaan" tersebut diperlukan pengalaman dan pengetahuan khusus, maka sebaiknya petugas
pemeriksa/pengusutnya ialah penyidik atau petugas pajak yang telah mengikuti pendidikan penyidik,
walaupun belum diangkat menjadi penyidik.
V. Untuk mempermudah pembuatan laporan, contoh jenis dan bentuk dari laporan hasil pengusutan
dilampirkan pada surat ini.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd
Drs. SALAMUN A.T
peraturan/0tkbpera/ef0b9a69f90b1ab0228784ccc7d52136.txt · Last modified: by 127.0.0.1