peraturan:0tkbpera:e91fa89066b9c6f5320990f5e382122e
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang
mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang
selama ini masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 13. Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi dengan
jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 telah
dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang
menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan undang-
undang yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku
bagi Mahkamah Agung;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Kedudukan Mahkamah Agung
Pasal 1
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978.
Pasal 2
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
BAB II
SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung.
Pasal 5
(1) Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua
Muda.
(2) Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
Pasal 6
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara yang
melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.
(2) Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam
Undang-undang ini.
Pasal 7
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warganegara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, kepada
Proklamasi 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan bangsa
Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau
bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI"
atau organisasi terlarang lainnya;
e. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain dan mempunyai keahlian di bidang hukum;
f. berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun;
g. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10
(sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan
atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun di bidang hukum.
Pasal 8
(1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah
Agung dan Pemerintah.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim
Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan rakyat.
(4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara diantara Hakim Agung yang
diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung,
diusulkan masing-masing 2 (dua) orang calon.
Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut Agama atau Kepercayaannya yang berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta
peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Anggota
Mahkamah Agung. yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung mengucapkan sumpah atau janji dihadapan
Presiden selaku Kepala Negara.
(3) Hakim Anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 10
(1) Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Mahkamah Agung;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa
olehnya;
c. penasihat hukum;
d. pengusaha.
(2) Kecuali larangan perangkapan jabatan lain yang telah diatur dalam Undang-undang, maka jabatan yang
tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung selain jabatan tersebut ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 11
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
(2) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 12
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat
dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan yang dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan tersebut dalam ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah. Agung diatur oleh Mahkamah
Agung.
Pasal 13
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara yang dimaksudkan ayat (1) berlaku juga ketentuan
sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (2).
Pasal 14
(1) Apabila terhadap seorang Hakim Agung ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan
sendirinya Hakim Agung tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim Agung dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana seperti tercantum dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat,
dan pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang diberhentikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Kedudukan protokol Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur
dengan Undang-undang.
(2) Hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur
dengan Undang-undang.
Pasal 17
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan
hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau;
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan tersebut ayat (1) huruf a dan huruf b selambat-lambatnya dalam
waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.
Bagian Ketiga
Panitera Mahkamah Agung
Pasal 18
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera dan dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 19
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 20
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah sarjana hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10
(sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 15 (lima belas) tahun sebagai Panitera Muda
Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 7 (tujuh)
tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai panitera Muda Mahkamah
Agung.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 5 (lima)
tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Mahkamah
Agung.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1)huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.
Pasal 21
Panitera, Wakil Panitera Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 23
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 24
Sebelum memangku jabatannya Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diambil sumpah
atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
Pasal 25
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.
Pasal 26
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 27
Panitera Mahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG
Pasal 28
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung
menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung.
Pasal 29
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat
Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan.
Pasal 30
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari
semua Lingkungan Peradilan karena :
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Pasal 31
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah ini Undang-undang
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat
yang lebih rendah daripada Undang-undang atasalasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil
berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi
yang bersangkutan.
Pasal 32
(1) Mahkamah Agang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 33
(1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan
mengadili :
a. antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
b. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari
Lingkungan Peradilan yang sama;
c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan
Peradilan yang berlainan.
(2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul
karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan
yang berlaku.
Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir
atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur
dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini.
Pasal 35
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian
atau penolakan grasi.
Pasal 36
Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.
Pasal 37
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun
tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.
Pasal 38
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada Pengadilan di semua
Lingkungan Peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 39
Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
BAB IV
HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH AGUNG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 40
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga).orang Hakim.
(2) Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 41
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terdapat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada Majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1).
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
Penuntut Umum, Oditur Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga antara Hakim Agung
dan/atau Panitera Mahkamah Agung dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Pertama serta Hakim
dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Banding, yang telah mengadili perkara yang sama.
(4) Jika seorang Hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah
menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
(5) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus diganti, dan
apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka putusan tersebut
batal dan perkara tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan Majelis yang lain.
Pasal 42
(1) Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas
kehendak sendiri maupun atas permintaan Penuntut Umum, Oditur Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum,
Tergugat atau Penggugat.
(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut ayat (1), maka :
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu
panitia, yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan di antara Hakim Agung yang tertua dalam jabatan.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Kasasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 43
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya
hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
Pasal 44
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat diajukan oleh :
a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau
perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di
Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam
perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di
Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa
Agung karena jabatannya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.
Pasal 45
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam
perkara perdata atau tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau
Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf a.
(2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.
Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 46
(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera
Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.
(2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam
buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara.
(4) Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan
Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan
itu kepada pihak lawan.
Pasal 47
(1) Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat
alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat
dalam buku daftar.
(2) Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan tanda terima atas
penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam
perkara yang dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
(3) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap .memori kasasi kepada Panitera sebagaimana
dimaksudkan ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasasi.
Pasal 48
(1) Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal
47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi,
memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan
membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan
melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Pasal 49
(1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut
kembali oleh pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi
dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau.
(2) Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dilakukan sebelum berkas perkaranya
dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 50
(1) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang
perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat
Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para
saksi.
(2) Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka
dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama.
Pasal 51
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf a, maka
Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan
memutusnya.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c,
maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu.
Pasal 52
Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon
kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.
Pasal 53
(1) Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut.
(2) Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat
Pertama tersebut.
Pasal 54
Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 55
(1) Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau yang
diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan Undang-
undang ini.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer
digunakan hukum acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Militer.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Sengketa Tentang
Kewenangan Mengadili
Paragraf 1
Umum
Pasal 56
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili sebagaimana
dimaksudkan Pasal 33 ayat (1).
(2) Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :
a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama;
b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 57
(1) Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata,
diajukan secara tertulis kepada Mah-kamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam buku daftar sengketa tentang
kewenangan mengadili perkara perdata dan atas perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan salinannya
kepada pihak lawan yang berperkara dengan pemberitahuan bahwa ia dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan jawaban tertulis kepada Mahkamah
Agung disertai pendapat dan alasan-alasannya.
(3) Setelah permohonan tersebut diterima maka pemeriksaan perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya
ditunda sampai sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
(4) Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada :
a. para pihak melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 58
Permohonan untuk memeriksa dan memutuskan sengketa kewenangan megadili perkara pidana, diajukan
secara tertulis oleh Penuntut Umum atau terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.
Pasal 59
(1) Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58 diajukan oleh Penuntut Umum maka surat
permohonan dan berkas perkaranya dikirimkan oleh Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung, sedangkan
salinannya dikirimkan kepada Jaksa Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejaksaan lain
serta kepada terdakwa.
(2) Penuntut Umum pada Kejaksaan lain, demikian pula terdakwa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah menerima salinan permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyampaikan pendapat
masing-masing kepada Mahkamah Agung.
Pasal 60
(1) Apabila permohonan diajukan oleh terdakwa, maka surat permohonannya diajukan melalui Penuntut Umum
yang bersangkutan, yang selanjutnya meneruskan permohonan tersebut beserta pendapat dan berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) mengirimkan salinan surat permohonan dan
pendapatnya kepada Penuntut Umum lainnya.
(3) Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2) mengirimkan pendapatnya kepada Mahkamah
Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan tersebut.
Pasal 61
(1) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1) secepat-cepatnya menyampaikan salinan
permohonan tersebut kepada para Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
(2) Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya
ditunda sampai sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
Pasal 62
(1) Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang memeriksa perkara meminta keterangan dari
terdakwa tentang hal-hal yang dianggap perlu.
(2) Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah tersebut ayat (1) segera memuat berita acara
pemeriksaan dan mengirimkannya kepada Mahkamah Agung.
Pasal 63
(1) Dalam hal sengketa kewenangan sebagaimana dimaksudkan Pasal 58, Mahkamah Agung memutus
sengketa tersebut setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.
(2) Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat (1) kepada terdakwa dan Penuntut Umum dalam
perkara tersebut.
Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 64
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan yang terjadi :
a. di lingkungan Peradilan Agama;
b. di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dilakukan menurut ketentuan Pasal 57
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer,
dilakukan menurut ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.
Paragraf 4
Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan
Mengadili Antar Lingkungan Peradilan
Pasal 65
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara :
a. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan
Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer dilakukan menurut ketentuan Pasal 58 sampai dengan pasal
63.
Bagian Keempat
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap
Paragraf 1
Umum
Pasal 66
(1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut
permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu
perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh
Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang
lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68
(1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya
atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus
dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan
hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 70
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan.
(2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.
Pasal 71
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-
jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama.
(2) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan
Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut.
Pasal 72
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan
peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
a. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67
huruf a atau huruf b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya;
b. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal 67 huruf
c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
(2) Tenggang waktu bagi fihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a
adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali.
(3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama
dan pada surat jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang
salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui.
(4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada
Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
(5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain
dengan Mahkamah Agung.
Pasal 73
(1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat
Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala
keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud.
(2) Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas
penyidikan apabila diperlukan.
(3) Pengadilan yang dimaksudkan ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera
mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksudkan ayat (1),
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 74
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta
memutus sendiri perkaranya.
(2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permohonan itu tidak beralasan.
(3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) disertai pertimbangan-
pertimbangan.
Pasal 75
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam Tingkat Pertama dan. selanjutnya Panitera Pengadilan Nigeri yang
bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada
pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 76
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 77
(1) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Agama atau oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan
kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75.
(2) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Militer, digunakan hukum acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Sengketa Yang
Timbul Karena Perampasan Kapal
Pasal 78
Pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik
Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-undang.
BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 79
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai
Mahkamah Agung dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan
Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sepanjang mengenai ketentuan tentang Mahkamah
Agung dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 73
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG
I. UMUM
1. Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara
adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Suasana perikehidupan tersebut di atas merupakan bagian dari
gambaran terhadap tata kehidupan bangsa Indonesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian
upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan berkesinambungan. Namun demikian pengalaman dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan
perikehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling berkait satu dengan lainnya. Cita
tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan
hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya
adalah, bahwa hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan dibidang hukum
dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini pula, maka salah satu
pendekatan yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
2. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi
Negara dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk :
a. memeriksa dan memutus:
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi
Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah
Agung melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi :
1) jalannya peradilan;
2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim di semua Lingkungan Peradilan;
3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan;
4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan dari :
1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan;
2) Jaksa Agung;
3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan
bagi kelancaran jalannya peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi peradilan maupun administrasi umum.
3. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
ditegaskan bahwa :
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia;
b. penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan di lingkungan:
- Peradilan Umum;
- Peradilan Agama;
- Peradilan Militer;
- Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung seperti tersebut di atas, perlu diberikan
pengaturan yang mantap, jelas, dan tegas kepada lembaga ini.
Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, adalah bahwa peradilan
harus memnuhi harapan para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat,
tepat, adil, dan biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta sebagai upaya untuk mewujudkan
sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di negara hukum
Republik Indonesia, maka dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.
4. Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh,
baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang
tidak didasarkan sistem karier. Untuk Hakim Agung yang didasarkan sistem karier berlaku ketentuan Pasal 11
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3041). Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik- baiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula
dibuat suatu undang- undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan
yang dikenal sebagai "Contempt of Court".
5. Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksanakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga
memberikan kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri pembidangan tugas dalam susunan
organisasinya sehingga dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah yang berasal dari
berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka untuk memberi dukungan administrasi
yang sebaik-baiknya, dalam Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap oleh
Panitera Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa dengan demikian
penyelenggaraan pelayanan administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan dapat dilakukan dengan lebih
efektif dan terpadu. Untuk itu, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Panitera Mahkamah Agung dibantu oleh
Wakil Panitera Mahkamah Agung untuk tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan
administrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian, peralatan, pemeliharaan, dan lain-lain.
Dengan pemisahan ini, maka panitera dapat lebih memusatkan perhatian- nya kepada tugas-tugas yang
bersifat teknis peradilan, sedangkan pemberian dukungan administrasi yang meliputi administrasi keuangan,
kepegawaian peralatan, pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam
hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas
sistem karier.
Yang dimaksud dengan sarana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) huruf e adalah mereka yang mempunyai keahlian seperti dibidang hukum pidana, hukum perdata,
hukum agama, hukum militer, dan hukum tata usaha negara.
Persyaratan seperti dimaksudkan ayat (1) kecuali huruf g berlaku pula bagi pengangkatan Hakim Agung
berdasarkan ayat (2).
Pasal 8
Ayat (1)
Daftar nama calon Hakim Agung.yang berasal baik dari kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan
Hakim karier disusun ber- dasarkan konsultasi antara Dewan Perwaikilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah
Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing.
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan "Pemerintah" adalah Menteri yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan Agama masing-masing,
misalnya untuk penganut Agama Islam kata-kata "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk penganut
Agama Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Yang dimaksudkan dengan "pengusaha" ialah Hakim Agung yang misalnya mempunyai perusahaan, menjadi
pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung.
Pemberhentian dengan hormat para Hakim Agung atas permintaan sendiri, mencakup pengertian pengunduran
diri dengan alasan Hakim Agung yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan
rumah tangganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana dan keteraturan hidup di rumah tangga
setiap Hakim Agung merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu
meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim Agung dan ini harus dimulai dari tertib kehidupan rumah tangga
Hakim Agung itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan "sakit jasmani atau rohani terus menerus" ialah yang menyebabkan si penderita
ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksudkan dengan "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar
dalam menjalankan tugasnya.
Pemberhentian menurut Pasal ini diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan "Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung.
Yang dimaksudkan dengan dipidana menurut Pasal 12 ayat (1) huruf a ialah dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksudkan dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksudkan dengan "tugas pekerjaannya" ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung dalam ayat (1) dan ayat (3) dalam pasal ini adalah Pimpinan
Mahkamah Agung.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan "Mahkamah Agung" adalah Pimpinan Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Pemberhentian sementara dari jabatan berdasarkan alasan tersebut Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan lagi.
Bila jangka waktu pemberhentian sementara yang terakhir telah habis dan yang bersangkutan tidak diusulkan
untuk diberhentikan dengan tidak dengan hormat, maka ia harus direhabilitasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota
Mahkamah Agung ialah semua hak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980. (Lembaran
Negara Tahun 1980 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3182), sedangkan pangkat dan tunjangan-
tunjangan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri diatur tersendiri.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Keputusan Presiden yang dimaksudkan pasal ini ditetapkan atas usul Mahkamah Agung.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan "sarjana hukum" dalam pasal ini termasuk sarjana lain di bidang hukum yang
dianggap cakap untuk jabatan itu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Bunyi sumpah atau janji Panitera Mahkamah Agung dan Wakil Panitera Mahkamah Agung pada dasarnya
sebagaimana dimaksudkan pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Bunyi sumpah atau janji Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung pada dasarnya
sebagaimana dimaksudkan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang
lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya
suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ayat (2)
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung
mengambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah daripada
Undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung
secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewenangan untuk melaksanakan pengawasan oleh Mahkamah Agung dapat didelegasikan kepada Pengadilan
Tingkat Banding.di semua Lingkungan Peradilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan kapal ialah kapal laut dan kapal udara.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Pemberian nasihat hukum yang dimaksudkan pasal ini dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Pasal 36
Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggungjawab
Pemerintah.
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasehat Hukum dan
Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.
Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian
Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing.
Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa
pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing
terlebih dahulu didengar pendapatnya.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukupjelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "tugas dan kewenangan lain" dalam pasal ini misalnya arbitrase dan sebagainya.
Pasal 40
Ayat (1)
Apabila Majelis bersidang dengan lebih dari 3 (tiga) orang Hakim jumlahnya harus selalu ganjil.
Ayat (2)
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini batal menurut hukum.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh
Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Istilah "perkara pidana" yang dimaksudkan huruf b pasal ini diartikan pula perkara pidana militer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan "tidak boleh merugikan pihak yang berperkara" tersebut ayat (3) ialah tidak
menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Mengajukan suatu memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi adalah suatu syarat mutlak
untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukupjelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan "surat-surat" meliputi pula berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dipandang
perlu.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan kasasi seperti tersebut ayat (1) dilakukan berdasarkan nomor urut daftar
pemeriksaan perkara.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Salinan putusan dikirim juga kepada Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut dalam tingkat banding.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63 di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.
Pasal 65
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63 di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Huruf a
Hari dan tanggal diketahuinya kebohongan dan tipu muslihat itu harus dibuktikan secara tertulis.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah
Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian
suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun
oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya
merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan
mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak
pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3316
peraturan/0tkbpera/e91fa89066b9c6f5320990f5e382122e.txt · Last modified: by 127.0.0.1