User Tools

Site Tools


peraturan:0tkbpera:e6acf4b0f69f6f6e60e9a815938aa1ff
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                       6 Juni 1995

                      SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                           NOMOR SE - 18/PJ.23/1995

                        TENTANG

       PPN/PPn BM DAN PPh DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG DIBIAYAI DENGAN 
                         DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

                           DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Bersama ini diinformasikan bahwa sejak tanggal 1 April 1995 telah diberlakukan Keputusan Presiden Republik 
Indonesia Nomor 13 TAHUN 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan 
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah 
yang dibiayai dengan dana Pinjaman Luar Negeri (Lampiran-1), beserta peraturan pelaksanaan berupa 
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 191/KMK.04/1995 tanggal 12 Mei 1995 (Lampiran-2), dan Surat Edaran 
Bersama Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : 
SE-75/A/01/0595, Nomor : SE-39/PJ/1995, Nomor : SE-08/BC/1995 tanggal 24 Mei 1995 (Lampiran-3). 
Adapun latar belakang dan pokok-pokok ketentuan tersebut yang perlu diperhatikan antara lain sebagai 
berikut :

1.  Latar Belakang
    Pada dasarnya Pinjaman Luar Negeri dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah tidak dapat 
    digunakan untuk membayar Pajak Tidak Langsung yaitu Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), 
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pembebanan 
    Pajak Tidak Langsung dapat mengakibatkan kenaikan nilai kontrak yang otomatis menjadi beban 
    pemilik proyek (Pemerintah).Oleh karena itu Keppres Nomor 13 TAHUN 1995 menetapkan perlakuan 
    perpajakan atas pajak-pajak tidak langsung tersebut yang semula ditanggung Pemerintah menjadi 
    dibebaskan/tidak dipungut.

    Pajak Penghasilan (PPh) atas pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana Pinjaman 
    Luar Negeri tersebut tidak lagi ditanggung oleh Pemerintah, tetapi harus dibayar oleh Wajib Pajak 
    Kontraktor, konsultan, pemasok, atau tenaga ahli yang bersangkutan. Adapun pertimbangannya :
    a.  Pada dasarnya PPh tersebut tidak dikenakan atas Dana Pinjaman Luar Negeri, tetapi atas 
        keuntungan yang diperoleh kontraktor, konsultan, pemasok, dan tenaga ahli yang 
        melaksanakan Proyek Pemerintah sehingga pengenaan PPh-nya tidak akan menambah beban 
        atau nilai proyek.

    b.  Apabila PPh-nya tidak dikenakan maka dirasakan tidak adil, karena kontraktor, konsultan, 
        pemasok, atau tenaga ahli yang melaksanakan proyek-proyek yang tidak dibiayai dengan 
        Pinjaman Luar Negeri tetap dikenakan PPh.

    c.  Apabila proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor asing maka atas penghasilan yang 
        diterimanya dari pelaksanaan proyek tersebut juga akan dikenakan PPh di negaranya tanpa 
        adanya tax credit dari Indonesia, sehingga terlihat bahwa selama ini kita telah mengalihkan 
        wewenang pemajakan PPh kita kepada negara lain.

    Untuk itu maka dikeluarkan Keppres Nomor 13 TAHUN 1995.

2.  Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa (KPBJ) yang Ditandatangani Sejak 1 April 1995
    a.  Atas pelaksanaan proyek Pemerintah yang pembiayaannya/dilaksanakan oleh Departemen, 
        Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, atau Lembaga Pemerintah Non Departemen dan sepanjang 
        ditampung dalam DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP;
        1)  yang seluruh dananya dibiayai dengan Pinjaman Luar Negeri diberikan pembebasan 
            BM/BMT, serta tidak dipungut PPN/PPnBM. PPh-nya yang terutang dikenakan/dipungut/
            dibayar.
        2)  yang sebagian dananya dibiayai dengan dana Pinjaman Luar Negeri diberikan 
            pembebasan BM/BMT serta tidak dipungut PPN/PPnBM hanya atas bagian dari Proyek 
            Pemerintah yang dananya dibiayai dengan pinjaman Luar Negeri tersebut. PPh yang 
            terutang dikenakan/dipungut/dibayar atas seluruh pelaksanaan pembiayaan proyek.

    b.  Atas pelaksanaan Proyek Pemerintah yang pembiayaannya dilaksanakan oleh BUMN/BUMD/
        PEMDA yang seluruh atau sebagian dananya dibiayai dengan pinjaman Luar Negeri yang 
        diteruspinjamkan (Subsidiary Loan Agreement/SLA), tetap ditagih BM/BMT serta dipungut 
        PPN/PPnBM yang dibayar dari dana yang disediakan oleh BUMN/BUMD/PEMDA yang 
        bersangkutan. PPh yang terutang dikenakan/dipungut/dibayar.

    c.  Dalam pengertian Pinjaman Luar Negeri adalah termasuk hibah luar negeri.

3.  KPBJ Yang Ditandatangani Sebelum 1 April 1995
    a.  BM/BMT yang terutang atas impor barang, PPN/PPnBM yang terutang atas impor barang dan/
        atau jasa dan/atau penyerahan barang dan/atau jasa, dan PPh yang terutang atas sisa nilai 
        kontrak pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana pinjaman Luar Negeri 
        baik yang diteruspinjamkan maupun yang tidak diteruspinjamkan yang semula telah 
        ditanggung oleh Pemerintah, tetap ditanggung Pemerintah yang dalam pelaksanaannya 
        dibebaskan/tidak dipungut hingga berakhirnya masa kontrak berkenaan.

    b.  Pimpro yang bersangkutan harus melakukan addendum KPBJ dengan meniadakan unsur BM/
        BMT serta PPN/PPnBM atas sisa nilai kontrak yang dilaksanakan dari tanggal 1 April 1995 
        sampai berakhirnya KPBJ berkenaan.

4.  PPh yang Dikenakan/Dipungut/Dibayar
    a.  Kontraktor, konsultan, pemasok, dan tenaga ahli (selanjutnya disebut rekanan), disamping 
        diwajibkan memenuhi kewajiban PPh-nya melalui mekanisme SPT PPh Tahunan, juga 
        diwajibkan melakukan pembayaran PPh dan melampirkan bukti pembayarannya pada saat 
        mengajukan permintaan pembayaran kepada Kantor Bayar, Bendaharawan bersangkutan. 

        Pelaksanaan pemungutan/pembayaran PPh dikaitkan dengan saat permintaan pembayaran 
        dana Proyek Pemerintah tersebut yang dilakukan melalui tata cara Letter of Credit (L/C), 
        Pembayaran Langsung (Direct Payment), Pembayaran Rekening Khusus, dan Pembayaran 
        Pembiayaan Pendahuluan. Adapun jenis pajak yang dipungut/dibayar oleh rekanan adalah 
        PPh Pasal 22 Impor (untuk tata cara L/C), sedangkan untuk ketiga tata cara lainnya adalah 
        PPh Pasal 25 (bukan PPh Pasal 23, karena dalam mekanisme pembayaran pada ketiga tata 
        cara pembayaran disebut terakhir tidak terdapat pemotong pajak sehingga dapat 
        digunakannya mekanisme pemotong pajak. Untuk itu rekanan diwajibkan untuk membayar 
        sendiri PPh-nya dengan tarif yang sesuai dengan tarif PPh Pasal 23), atau PPh Pasal 26 yang 
        besarnya sebagai berikut :
        1)  PPh Pasal 22 Impor
            Sehubungan dengan pemasukan barang impor (melalui tata cara L/C), rekanan 
            membayar PPh Pasal 22 Impor terutang sesuai ketentuan yang berlaku ke rekening 
            Kas Negara pada Bank Devisa Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak 
            (SSP). Dalam hal impor barang dilakukan oleh Importir (bukan oleh rekanan), maka 
            SSP diisi dengan identitas Importir qq. Rekanan dan NPWP Rekanan.

        2)  PPh Pasal 25
            Khusus untuk saat penarikan dana melalui tata cara Pembayaran Langsung, 
            Pembayaran Rekening Khusus, dan Pembayaran Pembiayaan Pendahuluan, Rekanan 
            sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) wajib membayar 
            PPh Pasal 25 sebesar :
            a)  1,5% dari jumlah yang diterimanya untuk transaksi penyerahan barang dan 
                jasa konstruksi/pemborong bangunan.
            b)  6% dari jumlah yang diterimanya untuk transaksi jasa teknik, jasa 
                manajemen, jasa konsultan, jasa perancang bangunan, jasa perancang 
                interior, jasa perancang pertamanan, jasa tenaga ahli orang pribadi, dan jasa 
                lainnya.

            PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 25 tersebut diatas merupakan kredit pajak yang 
            dapat diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak rekanan yang 
            bersangkutan.

            Apabila Wajib Pajak dapat membuktikan dengan perhitungan bahwa dengan 
            dipenuhinya PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 25 yang merupakan kredit pajak ini 
            akan menyebabkan kemungkinan kelebihan setor pada perhitungan SPT Tahunan 
            PPh-nya, maka Wajib Pajak dimungkinkan mendapatkan Surat Keterangan Bebas 
            (SKB) dengan mengajukan permohonan SKB PPh Pasal 22 Impor dan/atau PPh Pasal 
            25 ini.

        3)  PPh Pasal 26
            Untuk Wajib Pajak Luar Negeri, PPh yang dimaksud pada butir 2) huruf b) di atas 
            adalah PPh Pasal 26 sebesar 20% dari nilai transaksi atau sesuai dengan Perjanjian 
            Pencegahan Pajak Berganda, yang disetor atas nama Pimpro dengan mencantumkan 
            tanggal dan nomor KPBJ pada SSP. Adapun sampai saat ini Indonesia telah 
            menandatangani Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda yang efektif berlaku dengan 
            29 negara (Lampiran-4).

            Khusus untuk Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora)Apabila 
            tarif PPh Pasal 26 didasarkan pada Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda, maka 
            Rekanan harus meminta Surat Keterangan Tarif (SKT) atau SKB sebagaimana diatur 
            dalam SE-22/PJ.35/1993 tanggal 31 Agustus 1993 (Lampiran-5) dari KPP Badora 
            untuk dilampirkan pada lembar SSP yang disampaikan kepada Pimpro. Rekanan bisa 
            meminta SKB atau SKT dengan menerbitkan Surat Kuasa kepada Pimpro.

            Rekanan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri akan menerima bukti pemotongan PPh 
            Pasal 26 dari Pimpro setelah Wajib Pajak yang bersangkutan menyampaikan SSP 
            pembayaran PPh Pasal 26 tersebut. Dalam hal terdapat SKB PPh Pasal 26 atas nama 
            Rekanan maka Pimpro tidak dibenarkan menerbitkan bukti pemotongan kepada 
            Rekanan.

5.  Faktur Pajak
    Rekanan harus membuat dan menyampaikan Faktur Pajak PPN dan PPnBM dalam rangkap 3 (tiga) 
    kepada Pimpro.

6.  Pajak Masukan
    PPN yang telah dibayar oleh Rekanan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak dan/atau 
    Jasa Kena Pajak di dalam negeri merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak 
    Keluaran.

7.  Penghapusan Mekanisme SPM Nihil
    Direktorat Jenderal Anggaran tidak lagi menerbitkan SPM Nihil BM/BMT, PPN/PPnBM, dan PPh atas 
    pelaksanaan KPBJ. Sebagai penggantinya Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (KPDJBC), 
    Kantor Inspeksi Bea dan Cukai (KINSP.BC), dan Direktorat Jenderal Anggaran cq. Direktorat Tata 
    Usaha Anggaran (Dit. TUA) akan membubuhkan cap yang menyatakan pembebasan BM/BMT, tidak 
    dipungut PPN/PPnBM pada dokumen Masterlist, PIUD, dan Faktur Pajak yang berkenaan sesuai dengan 
    saat penandatanganan KPBJ sebelum atau sejak 1 April 1995.

8.  Kantor Pelayanan Pajak dimana rekanan terdaftar akan menerima KPBJ dan Masterlist lembar VI dari 
    Pimpro. Untuk itu juga diminta perhatiannya agar mengawasi pembayaran pajak para Wajib Pajak 
    rekanan tersebut.

9.  Sehubungan ketentuan ini sudah harus diberlakukan sejak 1 April 1995, maka diminta kepada Kepala 
    Kantor Wilayah DJP dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak mempelajari dengan seksama ketentuan-
    ketentuan terlampir dan segera melakukan pertemuan koordinasi dengan Kanwil Direktorat Jenderal 
    Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, serta instansi terkait lainnya untuk melaksanakan 
    dan sekaligus memasyarakatkannya kepada para Pimpro, Wajib Pajak, dan aparat terkait.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER
peraturan/0tkbpera/e6acf4b0f69f6f6e60e9a815938aa1ff.txt · Last modified: (external edit)