peraturan:0tkbpera:e1d5be1c7f2f456670de3d53c7b54f4a
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 417/PJ./2001
TENTANG
PETUNJUK PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN,
SERTA TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORANNYA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001
tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara
Penyetoran dan Pelaporannya, perlu untuk memberikan petunjuk lebih lanjut dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);
2. Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran Pajak, Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan
Pembayaran Pajak;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001 tentang Penunjukan
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22,
SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN, SERTA TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal 1
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun
di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan
dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-
badan tersebut pada butir 4;
4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG),
PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia,
PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang
yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri;
6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT, dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
Pasal 2
(1) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor ditetapkan sebagai berikut:
a. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari
nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di
bidang impor.
(3) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 2, 3 dan 4 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
(4) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 5 berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
(5) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta
badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas
dalah sebagai berikut:
SPBU Swastanisasi SPBU Pertamina
------------------------------------------------------
Premium 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Solar 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Premix/Super TT 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Minyak Tanah 0,3 % dari penjualan
Gas LPG 0,3 % dari penjualan
Pelumas 0,3 % dari penjualan
Pasal 3
(1) Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan (3) adalah
merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan.
(2) Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dapat bersifat
final berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pungutan Pajak penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) kepada penyalur/
agen bersifat final.
Pasal 4
(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai:
1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2) barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak
memegang paspor Indonesia;
3) barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;
4) barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang
terbuka untuk umum;
5) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6) barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7) peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8) barang pindahan;
9) barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Pabean;
10) barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
11) persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
13) vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14) buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15) kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional;
16) pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17) kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
18) peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia;
c. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
d. Pembayaran yang jumlahya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
e. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-
benda pos;
f. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor;
g. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara;
h. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur JenderaI Pajak.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e, g dan h dilakukan secara otomatis
tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Pasal 5
(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 terutang
dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
(2) Dalam hal pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunda atau dibebaskan,
maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2, 3
dan 4 terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir
5 terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir 6 dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(delivery order).
Pasal 6
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 1 dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan ke bank devisa, atau
bank persepsi, atau bendaharawan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai harus disetor ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu sehari setelah
pemungutan pajak dilakukan.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 2 dan 3 harus disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 4 harus disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.
(5) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 5 harus disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos
dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.
(6) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 6 dilaksanakan dengan cara penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau
Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus.
Pasal 7
(1) Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir dan atau Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), (3), (4) dan (6) menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang
berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
(2) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(5) dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak.
(3) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu:
- lembar pertama untuk pembeli;
- lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 1 harus melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
batas waktu penyetoran pajak berakhir.
(2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 harus melaporkan hasil
pemungutannya paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4, 5 dan 6 harus menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pasal 9
Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ.43/1998 tanggal 4 Juni 1998 tentang Petunjuk
Pemungut PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
b. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ.43/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang
Perubahan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ.43/1998 tanggal 4 Juni 1998 tentang
Petunjuk Pemungut PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2001
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd,
HADI POERNOMO
peraturan/0tkbpera/e1d5be1c7f2f456670de3d53c7b54f4a.txt · Last modified: by 127.0.0.1