peraturan:0tkbpera:b0a3f2a0d6f86051e6ab6c49d6d99e75
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR P - 36/BC/2007
TENTANG
TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
125/PMK.04/2007 tentang Audit Kepabeanan, perlu diatur tentang tatalaksana audit kepabeanan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 10 TAHUN 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 18 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 TAHUN 1996 tentang Penindakan Di Bidang Kepabeanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 36);
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.04/2007 tentang Audit Kepabeanan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 TAHUN 1995 tentang Kepabeanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2006.
2. Audit Kepabeanan yang selanjutnya disebut audit adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku,
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan
usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan,
dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang
kepabeanan.
3. Orang adalah orang perseorangan atau Badan Hukum.
4. Auditee adalah Orang yang diaudit oleh Pejabat Bea dan Cukai .
5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
6. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan
tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.
7. Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian
sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan audit.
8. Ketua Auditor adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai ketua auditor Bea dan
Cukai.
9. Pengendali Teknis Audit yang selanjutnya disingkat PTA adalah auditor yang telah memperoleh
sertifikat keahlian sebagai pengendali teknis audit Bea dan Cukai.
10. Pengawas Mutu Audit yang selanjutnya disingkat PMA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat
keahlian sebagai pengawas mutu audit Bea dan Cukai.
11. Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan audit kepabeanan berdasarkan surat tugas
atau surat perintah dari Direktur Jenderal.
12. Audit Umum adalah audit kepabeanan yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan
menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan.
13. Audit Khusus adalah audit kepabeanan yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan terhadap pemenuhan
kewajiban kepabeanan tertentu.
14. Audit Investigasi adalah audit kepabeanan yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana
kepabeanan.
15. Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan,
dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan
dengan kegiatan di bidang Kepabeanan.
16. Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk
kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi
secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal,
atau cara lain yang sejenis.
17. Daftar Rencana Obyek Audit yang selanjutnya disingkat DROA adalah daftar yang berisi nama-nama
Orang yang akan diaudit beserta alasan dan rencana waktu pelaksanaan audit dalam periode tertentu.
18. Periode DROA adalah jangka waktu dari 1 Januari s.d. 30 Juni dan dari 1 Juli s.d. 31 Desember.
19. Nomor Penugasan Audit yang selanjutnya disingkat NPA adalah nomor yang diterbitkan oleh Direktur
Audit dan berfungsi sebagai sarana pengawasan pelaksanaan audit serta menjadi dasar penerbitan
surat tugas.
20. Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di Kantor Pejabat Bea dan
Cukai.
21. Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di tempat Auditee yang
dapat meliputi kantor, pabrik, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan
kegiatan usaha Auditee.
22. Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang Kepabeanan.
23. Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan,
buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat berkaitan dengan
kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang
kepabeanan, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah
tempat/ruangan, sampai audit dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh
ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan dengan tetap
mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha.
24. Kertas Kerja Audit yang selanjutnya disingkat KKA adalah catatan yang dibuat oleh Tim Audit mengenai
prosedur yang digunakan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang
didapatkan selama penugasan.
25. Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan
kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan audit.
26. Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS.
27. Berita Acara Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat BAPA adalah berita acara yang dibuat oleh
Tim Audit tentang penghentian pelaksanaan pekerjaan lapangan audit.
28. Berita Acara Hasil Audit yang selanjutnya disingkat BAHA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim
Audit atas hasil pembahasan akhir hasil audit.
29. Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan audit yang disusun oleh
Tim Audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan audit.
30. Direktorat Audit adalah Direktorat Audit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
31. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
32. Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
33. Kantor Pengawasan dan Pelayanan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
BAB II
WEWENANG, TUJUAN DAN JENIS AUDIT
Pasal 2
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang yang bertindak sebagai importir,
eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha
pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan.
Pasal 3
Audit bertujuan untuk menguji kepatuhan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas pelaksanaan
pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan kepabeanan.
Pasal 4
(1) Audit terdiri dari audit umum, audit khusus dan audit investigasi.
(2) Audit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu.
(3) Audit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu.
(4) Audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu dalam hal
terdapat indikasi tindak pidana di bidang kepabeanan.
(5) Indikasi tindak pidana di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada
rekomendasi Direktur Penindakan dan Penyidikan atau Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan.
(6) Pelaksanaan audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus didahulukan dari audit umum
dan audit khusus guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 5
(1) Audit secara terencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan berdasarkan DROA.
(2) DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara selektif untuk periode 6 (enam) bulan
berdasarkan manajemen resiko.
(3) DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau
Kepala Kantor Pelayanan Utama sesuai Periode DROA, dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mengusulkan DROA dan menyampaikannya kepada Direktur Audit selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum Periode DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Direktur Audit melakukan penelitian terhadap usulan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
melakukan koreksi bila diperlukan, memberikan persetujuan, dan mencantumkan NPA.
(6) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya usulan DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usulan DROA, Direktur Audit belum memberikan
persetujuan, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat melaksanakan audit sesuai usulan
DROA.
Pasal 6
(1) Audit secara sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan
berdasarkan:
a. perintah Direktur Jenderal;
b. permintaan dari Direktur, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
c. permintaan instansi diluar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2; atau
d. informasi masyarakat.
(2) Audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skala prioritas.
BAB III
TIM AUDIT
Pasal 7
Audit dilaksanakan oleh Tim Audit Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama.
Pasal 8
(1) Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 terdiri dari seorang PMA, seorang PTA, seorang Ketua
Auditor, dan seorang atau lebih Auditor.
(2) Dalam hal Audit Investigasi, Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan satu atau
lebih Pejabat Bea dan Cukai dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan atau Bidang Penindakan dan
Penyidikan.
(3) Dalam hal dipandang perlu, susunan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat
ditambah:
a. seorang atau lebih pejabat bea dan cukai selain auditor; dan/atau
b. seorang atau lebih pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 9
(1) PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai dalam Tim Audit dapat diganti
apabila dialihtugaskan, dianggap tidak mampu, atau atas permintaan yang bersangkutan.
(2) Jumlah Auditor dapat ditambah dalam hal volume pekerjaan dan/atau tingkat kesulitan tinggi.
BAB IV
SURAT TUGAS DAN SURAT PERINTAH
Pasal 10
(1) Audit Umum dan Audit Khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas yang diterbitkan dan
ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(2) Audit Investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan
contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 11
(1) Pelaksanaan audit di lapangan sesuai surat tugas atau surat perintah Audit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja.
(2) Apabila pelaksanaan audit di lapangan diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum jangka
waktu berakhir PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah
kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(3) Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat
menyetujui permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah untuk pelaksanaan audit
di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran IX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan audit di lapangan diajukan setelah
berakhirnya jangka waktu pelaksanaan audit di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
PMA harus memberikan penjelasan tertulis tentang alasan atas keterlambatan tersebut kepada Direktur
Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
Pasal 12
(1) Apabila terdapat penggantian atau penambahan dalam Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor
Pelayanan Utama harus menerbitkan surat tugas atau surat perintah dengan menggunakan contoh
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dalam hal terdapat penggantian PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai,
surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan pembuatan
Berita Acara Serah Terima Penugasan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XI Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 13
Pelaksanaan audit terhadap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pada periode audit berikutnya harus
dilakukan oleh Tim Audit yang berbeda.
Pasal 14
(1) Surat tugas didasarkan pada NPA.
(2) Dalam hal terjadi keterlambatan pemberian persetujuan DROA sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
ayat (7), surat tugas dapat diterbitkan sebelum ada NPA.
(3) Dalam hal audit dilaksanakan sewaktu-waktu, permintaan NPA diajukan kepada Direktur Audit dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal
ini.
(4) Direktur Audit memberikan keputusan atas permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lama 5 (lima) hari setelah diterimanya permintaan NPA dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Apabila dalam 5 (hari) hari sejak diterimanya permintaan NPA, Direktur Audit belum memberikan
persetujuan, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat melaksanakan audit sewaktu-waktu.
(6) NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal audit khusus yang dilakukan
dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau audit investigasi.
Pasal 15
(1) Surat tugas harus diterbitkan pada Periode DROA berjalan.
(2) Dalam hal Audit dilaksanakan sewaktu-waktu, surat tugas harus diterbitkan paling lama 7 tujuh) hari
sejak diterimanya NPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau (2) terlewati, maka NPA tidak
berlaku.
Pasal 16
(1) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit maka Direktur Audit harus menyampaikan
tembusan surat tugas kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
(2) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama maka Kepala Kantor
Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menyampaikan tembusan surat tugas kepada
Direktur Audit.
Pasal 17
(1) Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee yang
diterbitkan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(2) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Auditee dan dikirim kepada Direktur
Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam amplop tertutup.
(3) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor
Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit.
Pasal 18
(1) Dalam hal audit investigasi berdasarkan Surat Perintah Direktur Jenderal, tembusan surat perintah
disampaikan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
terkait.
(2) Dalam hal audit investigasi berdasarkan Surat Perintah Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor
Pelayanan Utama, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Direktur Audit.
BAB V
PERIODE AUDIT
Pasal 19
(1) Periode Audit dimulai sejak akhir periode audit sebelum sampai dengan akhir bulan penerbitan surat
tugas.
(2) Dalam hal Auditee belum pernah diaudit, maka periode audit dimulai sejak Auditee melakukan kegiatan
kepabeanan sampai dengan akhir bulan penerbitan surat tugas.
(3) PMA dapat mengajukan perubahan periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) kepada
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan
contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui
perubahan periode audit yang diajukan oleh PMA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran XIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
BAB VI
KEGIATAN AUDIT
Bagian Pertama
Perencanaan Audit
Pasal 20
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memanggil Auditee untuk
diberikan penjelasan perihal pelaksanaan audit yang akan dilaksanakan dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 21
Sebelum melaksanakan audit, Tim Audit membuat perencanaan kerja audit yang dituangkan dalam Rencana
Kerja Audit, dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI Peraturan
Direktur Jenderal ini.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Audit
Pasal 22
Dalam melaksanakan audit, Tim Audit berwenang:
a. meminta data audit;
b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait;
c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan data audit, termasuk sarana/
media penyimpan data elektronik, sediaan barang, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang
keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan
d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan
dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan.
Pasal 23
(1) Pelaksanaan audit harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat tugas atau surat perintah.
(2) Apabila pelaksanaan audit diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum jangka waktu penyelesaian
pemeriksaan berakhir PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian
audit kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan
Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVII Peraturan
Direktur Jenderal ini.
(3) Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat
menyetujui permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dengan menggunakan
contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian audit diajukan setelah berakhirnya
jangka waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka PMA harus memberikan
penjelasan tertulis tentang alasan atas keterlambatan tersebut kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit,
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
Pasal 24
(1) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) meliputi Pekerjaan Lapangan dan
Pekerjaan Kantor.
(2) Pekerjaan Lapangan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang terbagi dalam 2 (dua)
kegiatan yaitu:
a. penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi; dan
b. pengumpulan data dan informasi.
(3) Dalam tahap penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, Tim Audit harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. menyerahkan surat tugas/surat perintah, memperlihatkan tanda pengenal, dan menjelaskan
tujuan pelaksanaan audit kepada Auditee atau yang mewakili.
b. meminta Auditee atau yang mewakili untuk memberikan penjelasan tentang Struktur
Pengendalian Intern (SPI) Auditee.
c. melakukan pengujian terhadap pelaksanaan SPI guna penyempurnaan rencana kerja audit.
(4) Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Tim Audit
meminta Auditee atau yang mewakili untuk menyerahkan data sesuai ruang lingkup audit dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIX Peraturan Direktur
Jenderal ini.
Pasal 25
(1) Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b,
tim audit dapat melakukan pencacahan fisik Sediaan Barang.
(2) Sebelum pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim
audit harus memberitahukan rencana pelaksanaannya dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Hasil pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
XXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan pelaksanaan audit, Auditee wajib:
a. menyerahkan data audit dan menunjukkan sediaan barangnya untuk diperiksa;
b. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; dan
c. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Auditee apabila penggunaan data elektronik
memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
(2) Penyerahan dan pengembalian Data Audit dilakukan berdasarkan surat dengan menggunakan contoh
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Data Audit dapat berupa salinan, foto copy, dan/atau data elektronik dengan ketentuan Auditee
membuat Surat Pernyataan bahwa yang diserahkan kepada Tim Audit adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
XXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 27
(1) Batas waktu penyerahan Data Audit secara lengkap paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(2) Sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati, Auditee
dapat mengajukan permohonan perpanjangan batas waktu penyerahan data audit secara tertulis
kepada Pengawas Mutu Audit.
(3) Perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan paling lama 3 (tiga) hari kerja dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Apabila setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau (3), Auditee belum dapat/
tidak bersedia menyerahkan Data Audit secara lengkap, maka kepada Auditee yang bersangkutan
diberikan Surat Peringatan I.
(5) Apabila jangka waktu Surat Peringatan I terlewati dan Auditee masih belum menyerahkan Data Audit
secara lengkap, maka kepada Auditee yang bersangkutan diberikan Surat Peringatan II.
(6) Apabila jangka waktu Surat Peringatan II terlewati dan Auditee masih belum menyerahkan Data Audit
secara lengkap, maka Auditee dianggap menolak membantu kelancaran audit serta dibuatkan Berita
Acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d.
(7) Batas waktu yang diberikan untuk menyerahkan Data Audit dalam Surat Peringatan adalah 3 (tiga) hari
kerja sejak tanggal diterimanya Surat Peringatan I dan/atau Surat Peringatan II.
(8) Surat Peringatan I dan II diterbitkan dan ditandatangani oleh Pengawas Mutu Audit dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 28
(1) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai,
batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) paling lama 3
(tiga) hari kerja.
(2) Dalam hal batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilewati, maka
berdasarkan pertimbangan Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama,
tim audit membuat BAPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 29
(1) Dalam hal audit investigasi, penyerahan data audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1)
dilakukan pada saat kedatangan tim audit.
(2) Dalam hal Auditee tidak menyerahkan data audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim audit dapat
melakukan tindakan pengamanan.
(3) Dalam hal dipandang perlu, Tim Audit dapat melakukan penindakan di bidang kepabeanan berupa
penegahan alat angkut, penyegelan barang dan/atau alat angkut yang diduga terkait dengan tindak
pidana.
(4) Tindakan pengamanan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengikuti
ketentuan tentang penindakan di bidang kepabeanan yang berlaku.
Pasal 30
Berkaitan dengan Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2):
a. dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk diaudit, maka Auditee atau wakilnya harus
menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini;
b. dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit,
Tim Audit harus membuat Berita Acara Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVII Peraturan Direktur Jenderal ini;
c. dalam hal Auditee atau wakilnya tidak berada di tempat, Audit tetap dilaksanakan dengan terlebih
dahulu meminta pegawai yang ada untuk mewakili Auditee dan mendampingi Tim Audit guna membantu
kelancaran audit;
d. dalam hal menolak membantu kelancaran audit, pegawai Auditee sebagaimana dimaksud pada huruf c
harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan
contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini; atau
e. dalam hal pegawai Auditee menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu
Kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada huruf d, Tim Audit harus membuat Berita Acara
Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran XXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 31
Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dapat dilakukan dalam hal:
a. Auditee atau wakilnya tidak memberi kesempatan kepada Tim Audit untuk memasuki bangunan untuk
kegiatan usaha atau ruangan tempat untuk menyimpan data audit, termasuk sarana/media penyimpan
data elektronik dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang
berkaitan dengan kegiatan kepabeanan;
b. Auditee atau wakilnya menolak untuk diaudit sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 huruf a dan b;
c. Auditee atau wakilnya tidak berada ditempat pada saat dilakukan audit dan pegawai Auditee yang
diminta untuk mewakili Auditee menolak membantu kelancaran audit sebagaimana dimaksud dalam
pasal 30 huruf d dan e; dan/atau
d. Tim Audit memerlukan upaya pengamanan Data Audit.
Pasal 32
(1) Dalam hal pelaksanaan pekerjaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a
tidak dapat dilaksanakan atau pelaksanaan audit tidak dapat dilanjutkan setelah pelaksanaan tindakan
pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, maka berdasarkan pertimbangan Direktur Audit,
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, Tim Audit membuat BAPA dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIII Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(2) Berdasarkan BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun Laporan Hasil Audit.
(3) Terhadap Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkomendasikan kepada direktorat dan/
atau bidang terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal, terhadap Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat direkomendasikan kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 33
(1) Berdasarkan data dan informasi yang diterima dari Auditee, Tim Audit harus membuat KKA.
(2) KKA sebagaimana dimaksud ayat (1) menjadi dasar Tim Audit untuk menyusun DTS sesuai dengan
contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) DTS tidak diperlukan untuk audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan
pejabat Bea dan Cukai dan audit investigasi.
Pasal 34
(1) Tim Audit menyampaikan DTS kepada Auditee dengan menggunakan Surat Pengantar yang
ditandatangani oleh Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit sesuai contoh
formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XXIX Peraturan Direktur Jenderal ini dengan disertai
Lembar Pernyataan Persetujuan DTS sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran
XXXI Peraturan Direktur Jenderal ini .
(2) Auditee harus menanggapi DTS secara tertulis dengan cara mengisi dan menandatangani pada kolom
yang telah disediakan serta mengirimkan kembali kepada Tim Audit selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila diperlukan, sebelum memberikan tanggapan Auditee dapat meminta penjelasan secara tertulis
atas DTS.
(4) Sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Auditee dapat mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan secara tertulis kepada Kepala Sub
Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit.
(5) Berdasarkan permohonan Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Sub Direktorat
Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit dapat memberikan perpanjangan waktu penyampaian
tanggapan.
(6) Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya
diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran XXXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (6) terlewati, Auditee tetap tidak
menyampaikan tanggapan, maka Auditee dianggap menyetujui seluruh DTS.
Pasal 35
(1) Berdasarkan tanggapan DTS sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (2) dan ayat (6), Tim Audit
melakukan pembahasan akhir yang dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya tanggapan Auditee.
(2) Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit mengundang Auditee untuk
mengadakan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Berdasarkan permohonan Auditee, Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit atau Kepala Bidang Audit
dapat memberikan persetujuan perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIV Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(4) Perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya
diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Proses Pembahasan Akhir dituangkan dalam risalah Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6) Pembahasan Akhir ditutup dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran XXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Dalam hal Auditee menyetujui seluruh DTS, Lembar Pernyataan Persetujuan DTS dijadikan dasar
pembuatan BAHA.
(8) Dalam hal Auditee tidak menanggapi DTS sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (7), tidak
menghadiri, atau tidak melaksanakan Pembahasan Akhir maka Auditee dianggap menyetujui seluruh
DTS dan dijadikan dasar pembuatan BAHA.
Pasal 36
(1) BAHA dilampiri dengan :
a. Hasil pembahasan akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XXXVI Peraturan Direktur Jenderal ini;
b. Risalah Pembahasan Akhir; dan
c. Daftar Kehadiran dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XXXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Tim Audit dan Auditee harus menandatangani BAHA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Risalah Pembahasan Akhir dan Daftar Kehadiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari BAHA.
(4) Dalam hal Auditee menolak untuk menandatangani BAHA, maka Auditee dianggap menyetujui hasil
Pembahasan Akhir dan selanjutnya BAHA hanya ditandatangani oleh Tim Audit.
Pasal 37
Hasil pembahasan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a memuat:
a. temuan audit yang disetujui oleh Auditee;
b. temuan audit yang dibatalkan oleh Tim Audit; dan/atau
c. temuan audit yang dipertahankan oleh Tim Audit.
Bagian Ketiga
Pelaporan Hasil Audit
Pasal 38
(1) LHA disusun berdasarkan BAPA atau BAHA.
(2) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai
dan audit investigasi, LHA disusun berdasarkan BAPA atau KKA.
(3) LHA yang disusun berdasarkan BAHA dibuat dalam bentuk panjang dari bentuk pendek.
(4) LHA bentuk panjang disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran XXXIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) LHA bentuk pendek adalah Bab I dari LHA bentuk panjang.
(6) LHA yang disusun berdasarkan BAPA atau KKA dibuat dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XL Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) LHA disampaikan kepada :
a. Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan/atau
b. Auditee.
(8) LHA yang disampaikan kepada Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b adalah LHA
bentuk pendek.
(9) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai
atau audit investigasi, LHA tidak perlu disampaikan kepada Auditee.
Pasal 39
(1) LHA ditindaklanjuti oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
dengan menerbitkan surat penetapan atas nama Direktur Jenderal yang ditujukan kepada Auditee
dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLI Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(2) Dalam hal audit dilakukan oleh Direktorat Audit, tembusan surat penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama
dengan dilampiri LHA bentuk pendek.
(3) Dalam hal audit dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, tembusan surat
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Audit dengan dilampiri
LHA bentuk panjang.
Pasal 40
(1) Dalam hal audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai,
LHA ditindaklanjuti dengan surat tindak lanjut yang berisi pendapat terkait dengan keberatan.
(2) Dalam hal audit investigasi, LHA ditindaklanjuti dengan surat tindak lanjut yang berisi temuan hasil audit.
Pasal 41
(1) Apabila dalam surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) terdapat kekurangan
pembayaran pungutan negara, Direktur Audit atau Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat
pemberitahuan hasil audit yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kepala
Kantor Pengawasan dan Pelayanan yang mengawasi dengan menggunakan contoh formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLII Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit, surat pemberitahuan hasil audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor
Pengawasan dan Pelayanan.
(3) Dalam hal surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Utama, surat pemberitahuan hasil audit ditujukan kepada Kepala Bidang yang melakukan
penagihan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLII
Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan harus menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan tindak
lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Audit dan kepala Kantor
Wilayah.
(5) Kepala Bidang yang melakukan penagihan harus menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan tindak
lanjut hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama.
Pasal 42
(1) Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama harus menatausahakan hasil audit dan
memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil audit.
(2) Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Utama membuat Laporan Semester Pelaksanaan
Audit dan mengirimkannya kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur Audit dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIII Peraturan Direktur
Jenderal ini.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
KEP-12/BC/2000 tentang Tata Laksana Audit di Bidang Kepabeanan dan Cukai yang berkaitan dengan Audit
di bidang Kepabeanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2007
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
ttd,-
ANWAR SUPRIJADI
NIP 120050332
peraturan/0tkbpera/b0a3f2a0d6f86051e6ab6c49d6d99e75.txt · Last modified: by 127.0.0.1