peraturan:0tkbpera:a22d33b4a00c165507a61f3bed4b5149
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
3 Juli 2003
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 443/PJ.331/2003
TENTANG
USULAN STIMULUS PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 21 April 2003, perihal tersebut pada pokok surat,
dengan ini disampaikan tanggapan sebagai berikut:
1. Usulan penghapusan atau pengurangan beban BPHTB pada transaksi awal pembebasan tanah, dengan
alasan terjadi 2 (dua) kali pembayaran pajak atas bidang yang sama dan lahan baru pada tahap
pengembangan.
Penjelasan :
a. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 20 TAHUN 2000, diatur bahwa yang
menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Oleh karena itu
perolehan hak atas tanah pada transaksi awal dalam rangka pematangan tanah merupakan
objek pajak. Dengan demikian, usulan saudara agar perolehan tersebut dibebaskan dari
pengenaan BPHTB, tidak sesuai dengan UU BPHTB.
b. Dalam Pasal 4 UU BPHTB diatur bahwa yang menjadi subjek adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Oleh karena itu yang menjadi subjek
pajak atas perolehan tanah pada saat transaksi awal adalah pihak yang memperoleh tanah
dalam rangka pematangan tanah (pengembang), sedangkan subjek pajak atas perolehan
tanah dari pengembang kepada pembeli (end user) adalah pembeli. Dengan demikian dari
peristiwa tersebut tidak pernah terjadi pengenaan BPHTB sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana
Saudara maksudkan.
c. Wajib Pajak dalam kondisi tertentu yang ada hubungannya dengan objek pajak atau karena
sebab-sebab tertentu dapat diberikan pengurangan BPHTB sebagaimana diatur dengan
Keputusan Menkeu Nomor : 83/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Pengecualian pemberlakuan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk realestat dan industrial estat atas
dasar NJKP tanah sebagai persediaan (tidak dimanfaatkan langsung) dari tarif 40% dikembalikan ke
20% untuk nilai persediaan di atas Rp 1 Milyar.
Penjelasan:
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang pengenaannya didasarkan pada keadaan objek
pajak. Sehingga pengenaan atas objek pajak tersebut juga didasarkan pada keadaan sebenarnya
dari objek pajak dan bukan didasarkan kepada kemampuan ekonomis wajib pajak.
Dengan demikian apabila pemberlakuan ketentuan NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) dilaksanakan secara
berbeda-beda diantara wajib pajak atas objek pajak yang mempunyai NJOP yang sama atau
sebanding sebagaimana telah dikategorikan tersendiri melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2002 tentang Penetapan NJKP untuk Penghitungan PBB, maka akan menimbulkan rasa ketidakadilan
di antara wajib pajak. Namun demikian berkenaan dengan pengenaan PBB tersebut, kepada wajib
pajak dapat diberikan pengurangan PBB sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkeu Nomor :
362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan PBB.
3. Kenaikan NJOP baik dari kelas maupun nilai tanah agar tidak dilakukan setiap tahun.
Penjelasan:
Pada prinsipnya Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan telah menetapkan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 12 TAHUN 1994, yaitu menetapkan NJOP
yang berlaku selama 3 (tiga) tahun, kecuali untuk daerah tertentu yang mengalami perkembangan
pembangunan yang mengakibatkan NJOP mengalami perubahan, maka ditetapkan tiap tahun.
4. Peninjauan Kembali NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) untuk mewujudkan
kondisi yang lebih adil.
Penjelasan:
Ketentuan mengenai Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTK) yang saat ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 113 TAHUN 2000 tentang Penentuan Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak yang diantaranya mengatur bahwa Menteri Keuangan menetapkan NPOTKP secara
regional setinggi-tingginya Rp 60.000.000,00 dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah dan
perkembangan perekonomian antar daerah/regional, menurut hemat kami lebih memberikan rasa
keadilan apabila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang menetapkan NPOPTKP yang
berlaku secara nasional sebesar Rp 30.000.000,00.
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 248/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menkeu
Nomor : 524/KMK.03/2001 yang masih mengacu pada Keputusan Menkimpraswil Nomor :
139/KPTS/M/2002 agar disesuaikan dengan Keputusan Menkimpraswil Nomor : 24/KPTS/M/2003.
Penjelasan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 524/KMK.03/2001 tentang batasan Rumah Sederhana, Rumah
Sangat Sederhana Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar Serta
Perumahan Lainnya Yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.03/2002 merupakan
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai dibebaskan
atas penyerahan Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta
Perumahan Lainnya dan penyerahan jasa pemborongan bangunan-bangunan tersebut.
Mengingat di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 24/KPTS/M/2003
istilah Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana (RS/RSS) telah diganti menjadi Rumah Sehat
Sederhana (Rs Sehat/RSH), maka sebelum merubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor
248/KMK.03/2002, terlebih dahulu harus dilakukan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun
2000, untuk penyesuaian pengertian atas Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah
Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar. Selanjutnya perlu diinformasikan
bahwa Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah dimaksud pada saat ini sedang dalam proses
pembahasan di Sekretariat Kabinet.
6. Peninjauan secara fleksibel atas beberapa tarif pajak untuk sementara waktu, yaitu:
a. Tarif PPN Tanah dari 10% dikembalikan menjadi 8%.
b. Tarif BPHTB dari 5% menjadi 3%.
c. Tarif PPh Final Sewa Properti dari 10% menjadi 6% atau 8%.
d. Tarif PPN BM dari 20% menjadi 10% atau 15%.
Penjelasan:
a. - Dalam Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN)
sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000, diatur bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian,
Nilai Impor Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
- Dalam pasal 1 angka 18 UU PPN diatur bahwa Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang tercantum dalam
Faktur Pajak.
- Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai dengan UU PPN, maka pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan tanah sama dengan penyerahan Barang Kena
Pajak lainnya, yaitu sebesar 10% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak secara umum
berdasarkan UU PPN.
b. Tarif BPHTB sebesar 5% telah diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun
2000. Berkenaan besarnya tarif BPHTB tersebut diatur dengan UU BPHTB, karena itu apabila
dilakukan perubahan atas besarnya tarif tersebut maka juga harus diubah melalui perubahan
UU BPHTB.
c. Tarif PPh Final Sewa Properti sebesar 10% telah diatur dalam PP Nomor 29 TAHUN 1996
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2002 yang merupakan
amanah dari Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan. Berkenaan besarnya tarif Pembayaran
PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan diatur dengan Peraturan
Pemerintah, karena itu apabila dilakukan perubahan atas besarnya tarif tersebut maka harus
dilakukan dengan cara merubah Peraturan Pemerintah.
d. Hunian mewah seperti apartemen, kondominium, townhouse dikenakan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPn BM) dengan tarif 20% berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 145
Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2003. Tarif PPn BM atas hunian mewah sebesar 20%
tersebut pada saat ini masih dirasakan memenuhi asas keadilan, mengingat hunian mewah
tersebut hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan dikonsumsi untuk
menunjukkan status.
Berkenaan dengan usulan Saudara tentang besaran tarif, hal itu telah diatur sesuai dengan ketentuan
sebagaimana disebutkan di atas. Namun demikian apabila di kemudian hari ada usulan perubahan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang saat ini berlaku, maka usulan Saudara dapat disampaikan sebagai
masukan untuk perubahan tersebut.
Demikian disampaikan untuk dimaklumi.
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
HADI POERNOMO
peraturan/0tkbpera/a22d33b4a00c165507a61f3bed4b5149.txt · Last modified: by 127.0.0.1