peraturan:0tkbpera:a159b2e2c6b3cb7bf0e92eb43fe27bdd
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1995
TENTANG
KEPABEANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam
kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk bentuk-bentuk dan praktek
penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional;
b. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut di atas dapat berjalan
sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam garis-garis
besar daripada haluan Negara dan lebih dapat diciptakan kepastian hukum dan kemudahan
administrasi berkaitan dengan aspek Kepabeanan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan
kegiatan perdagangan internasional yang terus berkembang serta dalam rangka antisipasi atas
globalisasi ekonomi, diperlukan langkah-langkah pembaruan;
c. bahwa peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang selama ini berlaku sudah tidak dapat
mengikuti perkembangan perekonomian nasional dalam hubungannya dengan perdagangan
internasional;
d. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk membentuk Undang-undang
tentang Kepabeanan yang dapat memenuhi perkembangan keadaan dan kebutuhan pelayanan
Kepabeanan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEPABEANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang
yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk.
2. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang
udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang
di dalamnya berlaku Undang-undang ini.
3. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau
tempat lain yang ditetapkan untuk lalu-lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya
Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
5. Pos Pengawasan Pabean adalah tempat yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan
pengawasan terhadap lalu-lintas impor dan ekspor.
6. Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang Kepabeanan yang wajib dilakukan untuk
memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.
7. Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan
Kewajiban Pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen
Keuangan di bidang Kepabeanan dan Cukai.
11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam
jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-undang ini.
12. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari Daerah Pabean.
15. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang
yang diimpor.
16. Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan.atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau
pengeluarannya.
17. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan
tertentu yang digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang
untuk dijual dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
18. Tempat Penimbunan Pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
dengan itu yang disediakan oleh Pemerintah di Kantor Pabean yang berada dibawah pengelolaan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang
yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 2
(1) Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang
Bea Masuk.
(2) Barang yang telah dimuat atau akan dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari Daerah
Pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat
dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam Daerah Pabean.
Pasal 3
(1) Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean.
(2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan
pemeriksaan fisik barang.
(3) Pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif.
(4) Tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 4
(1) Terhadap barang ekspor dilakukan penelitian dokumen.
(2) Dalam hal tertentu, dapat dilakukan pemeriksaan fisik atas barang ekspor.
(3) Tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan
Kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pemberitahuan Pabean diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean atau tempat lain
yang disamakan dengan Kantor Pabean dalam bentuk formulir atau melalui media elektronik.
(3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan Kewajiban Pabean, ditetapkan Kawasan Pabean dan
Pos Pengawasan Pabean.
(4) Penetapan Kawasan Pabean, Kantor Pabean, dan Pos Pengawasan Pabean dilakukan oleh Manteri.
Pasal 6
Terhadap barang yang diimpor atau diekspor, berlaku segala ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB II
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Pertama
Impor
Paragraf 1
Kedatangan, Pembongkaran, Penimbunan,
dan Pengeluaran Barang
Pasal 7
(1) Barang impor harus dibawa ke Kantor Pabean tujuan pertama melalui jalur yang ditetapkan dan
kedatangan tersebut wajib diberitahukan oleh pengangkutnya.
(2) Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, dengan tanpa memenuhi ketentuan pada ayat
(1), pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu, kemudian wajib melaporkan hal
tersebut ke Kantor Pabean terdekat.
(3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
(4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tetapi
jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi diluar kemampuannya, disamping wajib
membayar Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar, dikenai sanksi administrasi berupa denda
paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(5) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2),
tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan
Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(6) Barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sementara menunggu pengeluarannya dari
Kawasan Pabean, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
(7) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah
dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk :
a. diimpor untuk dipakai;
b. diimpor sementara;
c. ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat;
d. diangkut ke Tempat Penimbunan Sementara di Kawasan Pabean lainnya;
e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau
f. diekspor kembali.
(8) Barangsiapa yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean sebelum diberikan persetujuan oleh
Pejabat Bea dan Cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Paragraf 2
Impor untuk Dipakai
Pasal 8
(1) Impor untuk dipakai adalah :
(a) memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau
(b) memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh Orang yang
berdomisili di Indonesia.
(2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai :
(a) setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean dan dilunasi Bea Masuknya;
(b) setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42; atau
(c) setelah diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42.
(3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas ke Daerah
Pabean pada saat kedatangan wajib diberitahukan oleh pembawanya kepada Pejabat Bea dan Cukai.
(4) Barang impor yang dikirim melalui yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan
atas persetujuan Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
(6) Importir yang tidak melunasi Bea Masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-undang ini dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar sepuluh persen dari Bea Masuk yang wajib dilunasinya.
Paragraf 3
Impor Sementara
Pasal 9
(1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu impornya nyata-
nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
(2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan pabean.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta penentuan jangka waktu
sementara diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(4) Barangsiapa yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda seratus persen dari
Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Pasal 10
(1) Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan atas barang pribadi
penumpang, awak pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan atau
jumlah tertentu.
(3) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya dapat ditimbun
di Tempat Penimbunan Sementara.
(4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika dibatalkan
harus dilaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspornya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai
saksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan Barang
Pasal 11
(1) Pengangkut pada saat sarana pengangkutnya akan meninggalkan Kantor Pabean dengan tujuan ke
luar Daerah Pabean wajib memberitahukan barang yang diangkutnya dengan menggunakan
Pemberitahuan Pabean.
(2) Pengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan
Pemberitahuan Pabean sepanjang mengenai :
a. barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat dengan
tujuan Tempat Penimbunan Berikat lainnya;
b. barang impor yang diangkut terus dan/atau diangkut lanjut;
c. barang ekspor yang diangkut terus dan/atau diangkut lanjut;
d. barang dari Daerah Pabean yang pengangkutnya melalui suatu tempat di luar Daerah Pabean.
(3) Pengangkut yang tidak memberitahukan barang yang diangkut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf
b, tetapi barang yang diangkutnya tidak sampai ke tempat tujuan atau jumlah barang setelah sampai
di tempat tujuan tidak sesuai dengan Pemberitahuan Pabean, dan tidak dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, disamping wajib membayar Bea Masuk atas barang
yang tidak sampai di tempat tujuan atau kurang dibongkar tersebut, dikenai sanksi administrasi
berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(5) Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau Ekspor dapat dilakukan melalui
transmisi atau saluran pipa.
(6) Persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB III
TARIP DAN NILAI PABEAN
Bagian Pertama
Tarip
Paragraf 1
Tarip Bea Masuk
Pasal 12
(1) Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai
pabean untuk perhitungan Bea Masuk.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. barang impor hasil pertanian tertentu;
b. barang impor termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia pada Persetujuan Umum
Mengenai tarif dan Perdagangan; dan
c. barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(3) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 13
(1) Bea Masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) terhadap :
a. barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
internasional;
b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang
kiriman melalui pos atau jasa titipan; atau
c. barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara
diskriminatif.
(2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Paragraf 2
Klasifikasi Barang
Pasal 14
Untuk penetapan tarif Bea Masuk, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang.
Ketentuan tentang klasifikasi barang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Nilai Pabean
Pasal 15
(1) Nilai pabean untuk penghitung Bea Masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
(2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk dihitung
berdasarkan nilai transaksi dari barang indentik.
(3) Dalam hal nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung
berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.
(4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung
berdasarkan metode deduksi.
(5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung
berdasarkan metode komputasi.
(6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), nilai
pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung dengan menggunakan tata cara yang wajar dan
konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah Pabean dengan pembatasan tertentu.
(7) Ketentuan tentang nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan Tarif dan Nilai Pabean
Pasal 16
(1) Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan tarif atas barang impor sebelum penyerahan Pemberitahuan
Pabean atau dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(2) Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk atas barang
impor dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(3) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan
kekurangan pembayaran Bea Masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (1), importir harus melunasi Bea Masuk yang kurang dibayar sesuai dengan
penetapan.
(4) Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar atau paling sedikit seratus persen dari
Bea Masuk yang kurang dibayar.
(5) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan
kelebihan pembayaran Bea Masuk, pengembalian Bea Masuk dibayar sebesar kelebihannya.
(6) Ketentuan tentang penetapan tarif dan nilai pabean diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk
dalam jangka waktu du tahun terhitung sejak tanggal Pemberitahuan Pebean.
(2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk :
a. melunasi Bea Masuk yang kurang dibayar; atau
b. diberikan pengembalian Bea Masuk yang lebih dibayar.
(3) Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian Bea Masuk yang dibayar lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.
BAB IV
BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN
Bagian Pertama
Bea Masuk Antidumping
Pasal 18
Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
a. harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan
b. impor barang tersebut :
1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
dengan barang tersebut;
2. mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang
sejenis dengan barang tersebut; dan
3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Pasal 19
(1) Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut.
(2) Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk
yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).
Pasal 20
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Bea Masuk Imbalan
Pasal 21
Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
a. ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor terhadap barang tersebut; dan
b. impor barang tersebut :
1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
dengan barang tersebut;
2. mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang
sejenis dengan barang tersebut; atau
3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Pasal 22
(1) Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi dengan :
a. biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh
subsidi; dan/atau
b. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk mengganti subsidi yang diberikan kepada
barang ekspor tersebut.
(2) Bea Masuk Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang
dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).
Pasal 23
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Imbalan serta penanganannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
TIDAK DIPUNGUT, PEMBEBASAN, KERINGANAN, DAN
PENGEMBALIAN BEA MASUK
Bagian Pertama
Tidak Dipungut Bea Masuk
Pasal 24
Barang yang dimasukkan ke Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar Daerah Pabean
tidak dipungut Bea Masuk.
Bagian Kedua
Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk
Pasal 25
(1) Pembebasan Bea Masuk diberikan atas Impor :
a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
c. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk
diekspor;
d. buku ilmu pengetahuan;
e. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;
f. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka
untuk umum;
g. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
h. barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya;
i. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan
bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
j. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan
dan keamanan negara;
k. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
l. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
m. barang pindahan;
n. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
(2) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan berdasarkan tujuan pemakaiannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
(3) Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(4) Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan Bea Masuk yang ditetapkan
menurut Undang-undang ini, jika mengakibatkan kerugian pada penerimaan negara, dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Pasal 26
(1) Pembebasan atau keringanan Bea Masuk dapat diberikan atas Impor :
a. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;
b. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka
waktu tertentu;
c. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
d. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau
perikanan;
e. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;
f. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;
g. barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama;
h. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume
atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam Daerah Pabean dan saat diberikan
persetujuan impor untuk dipakai;
i. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;
j. barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan
umum;
k. barang dengan tujuan untuk diimpor sementara.
(2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau kekeringan berdasarkan tujuan
pemakaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
(3) Ketentuan tentang pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
(4) Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan Bea Masuk yang
ditetapkan menurut Undang-undang ini, jika mengakibatkan kerugian pada penerimaan negara,
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya
dibayar.
Bagian Ketiga
Pengembalian Bea Masuk
Pasal 27
(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar atas :
a. kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17
ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;
b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;
c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah
pengawasan Pejabat Bea dan Cukai;
d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah
yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan batang
yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau
(2) kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat putusan lembaga banding sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99.
(3) Ketentuan tentang pengembalian Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
BAB VI
PEMBERITAHUAN PABEAN DAN TANGGUNG
JAWAB ATAS BEA MASUK
Bagian Pertama
Pemberitahuan Pabean
Pasal 28
Ketentuan dan tata cara tentang :
a. bentuk, isi, dan keabsahan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
b. penyerahan dan pendaftaran Pemberitahuan Pabean;
c. penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan
pabean;
d. pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
e. penggunaan dokumen pelengkap pabean;
diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengurusan Pemberitahuan Pabean
Pasal 29
(1) Pengurusan Pemberitahuan Pabean yang diwajibkan Undang-undang ini dilakukan oleh pengangkut,
importir, atau eksportir.
(2) Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
sendiri, importir atau eksportir menguasakannya kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.
(3) Ketentuan tentang pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab atas Bea Masuk
Pasal 30
(1) Importir bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang sejak tanggal Pemberitahuan Pabean
atas Impor.
(2) Bea Masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang
berlaku pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15.
Pasal 31
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang mendapat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(2) bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang dalam hal importir tidak ditemukan.
Pasal 32
(1) Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang
atas barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementaranya.
(2) Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementaranya :
a. musnah tanpa sengaja;
b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau
c. telah dipindahkan ke Tempat Penimbunan Sementara lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau
Tempat Penimbunan Pabean.
(3) Perhitungan Bea Masuk atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dilunasi,
sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan
pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam Pemberitahuan Pabean pada saat
barang tersebut ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara dan nilai pebean ditetapkan oleh Pejabat
Bea dan Cukai.
Pasal 33
(1) Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang atas
barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Berikatnya.
(2) Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Berikatnya :
a. musnah tanpa sengaja;
b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau
c. telah dipindahkan ke Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat lain, atau
Tempat Penimbunan Pabean.
(3) Perhitungan Bea Masuk atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dilunasi
didasarkan pada tarif yang berlaku pada saat dilakukan pencacahan dan nilai pabean barang pada
saat ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat.
Pasal 34
(1) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 tidak lagi dipenuhi, Bea
Masuk atas barang impor yang terutang menjadi tanggung jawab :
a. Orang yang mendapatkan pembebasan atau kekeringan; atau
b. Orang yang menguasai barang yang bersangkutan dalam hal Orang sebagaimana dimaksud
huruf a tidak ditemukan.
(2) Perhitungan Bea Masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (q) didasarkan pada tarif dan
nilai pabean yang berlaku pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor.
Pasal 35
Barangsiapa yang kedapatan menguasai barang impor di tempat kedatangan sarana pengangkutan atau di
daerah perbatasan yang ditunjuk bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang atas barang tersebut.
BAB VII
PEMBAYARAN BEA MASUK, PENAGIHAN UTANG,
DAN JAMINAN
Bagian Pertama
Pembayaran Bea Masuk
Pasal 36
(1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-undang ini,
dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Bea Masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnya
dibulatkan dalam rupiah penuh.
(3) Ketentuan tentang tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran Bea Masuk, denda administrasi,
dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 37
(1) Bea Masuk dan denda administrasi yang terutang wajib dibayar selambat-lambatnya dalam waktu tiga
puluh hari sejak timbulnya kewajiban membayar menurut Undang-undang ini.
(2) Dalam hal tertentu. kewajiban membayar Bea Masuk dan denda administrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan penundaan.
(3) Ketentuan tentang penundaan pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Penagihan utang
Pasal 38
(1) Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-undang ini yang tidak atau kurang dibayar
dikenakan bunga sebesar dua persen setiap bulannya atau selama-lamanya dua puluh empat bulan,
dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung satu bulan.
(2) Penghitungan utang atau tagihan kepada negara Undang-undang ini jumlahnya dibulatkan dalam
rupiah penuh.
Pasal 39
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pebean atas barang-barang milik yang berutang.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Bea Masuk, denda
administrasi, bunga, dan biaya penagihan.
(3) Hak mendahulu untuk tagihan pabean melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali :
a. biaya perkara semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang barang
bergerak dan/atau tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkannya surat tagihan,
kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut diberikan penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dihitung sejak tanggal penundaan pembayaran diberikan.
Pasal 40
(1) Hak penagihan atas utang berdasarkan Undang-undang ini kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak
timbulnya kewajiban membayar.
(2) Masa kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal :
a. yang terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. yang terutang memperoleh penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2); atau
c. yang terutang melakukan pelanggaran Undang-undang ini.
Pasal 41
Pelaksanaan penagihan utang dan penghapusan penagihan utang yang tidak dapat ditagih berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Jaminan
Pasal 42
(1) Jaminan yang disyaratkan menurut Undang-undang ini dapat dipergunakan :
a. sekali; atau
b. terus-menerus.
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk :
a. uang tunai;
b. jaminan bank;
c. jaminan dari perusahaan asuransi; atau
d. jaminan lainnya.
(3) Ketentuan tentang jaminan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB V
TEMPAT PENIMBUNAN DI BAWAH PENGAWASAN PABEAN
Bagian Pertama
Tempat Penimbunan Sementara
Pasal 43
(1) Di setiap Kawasan Pabean disediakan Tempat Penimbunan Sementara yang dikelola oleh pengusaha
Tempat Penimbunan Sementara.
(2) Dalam hal barang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara, jangka waktu penimbunan barang
paling lama tiga puluh hari sejak penimbunannya.
(3) Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang
seharusnya berada di tempat tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar dua puluh
lima persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
(4) Ketentuan tentang penunjukan Tempat Penimbunan Sementara, tata cara penggunaannya, dan
perubahan jangka waktu penimbunan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Tempat Penimbunan Berikat
Pasal 44
(1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan sebagai
Tempat Penimbunan Berikat untuk :
a. menimbun barang guna diimpor untuk dipakai atau diekspor atau diimpor kembali;
b. menimbun dan/atau mengolah barang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;
c. menimbun dan memamerkan barang impor; atau
d. menimbun, menyediakan untuk dan menjual barang impor kepada orang tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan tentang pendirinya, penyelenggaraan,
dan pengusahaan Tempat Penimbunan Berikat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Barang dapat dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat atas persyaratan Pejabat Bea dan Cukai
untuk :
a. diimpor untuk dipakai;
b. diolah;
c. diekspor sebelum atau sesudah diolah; atau
d. diangkut ke Tempat Penimbunan Berikat atau Tempat Penimbunan Sementara.
(2) Barang dari Tempat Penimbunan Berikat yang diimpor untuk dipakai, dipungut Bea Masuk berdasarkan
tarif yang berlaku pada saat diimpor untuk dipakai serta nilai pabean yang terjadi pada saat barang
dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat.
(3) Barangsiapa yang mengeluarkan barang dari Tempat Penimbunan Berikat sebelum diberikan
persetujuan oleh Pejabat Bea dan Cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(4) Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang
seharusnya berada di tempat tersebut, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus
persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Pasal 46
(1) Izin Tempat Penimbunan Berikat dibekukan bilamana penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat :
a. berada dalam pengawasan kurator sehubungan Tempat Penimbunan Berikat.
b. menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan Tempat Penimbunan Berikat.
(2) Pembekuan izin dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi pencabutan bilamana penyelenggara
Tempat Penimbunan Berikat :
a. tidak melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau
b. tidak mampu lagi mengusahakan Tempat Penimbunan Berikat tersebut.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberlakukan kembali bilamana penyelenggara
Tempat Penimbunan Berikat :
a. telah melunasi utangnya; atau
b. telah mengusahakan Tempat Penimbunan Berikat tersebut.
(4) Izin Tempat Penimbunan Berikat dalam hal :
a. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat untuk jangka waktu satu tahun terus menerus
tidak lagi melakukan kegiatan;
b. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat mengalami pailit;
c. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat bertindak tidak jujur dalam usahanya; atau
d. terdapat permintaan dari yang bersangkutan.
(5) Ketentuan tentang pembekuan, pemberlakuan kembali, dan pencabutan izin Tempat Penimbunan
Berikat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Bilamana izin Tempat Penimbunan Berikat telah dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, pengusaha
dalam batas waktu tiga puluh hari sejak pencabutan izin harus :
a. melunasi semua Bea Masuk yang terutang;
b. mengekspor kembali barang yang masih ada di Tempat Penimbunan Berikat; atau
c. memindahkan barang yang masih ada di Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Penimbunan Berikat lain.
Bagian Ketiga
Tempat Penimbunan Pabean
Pasal 48
(1) Di setiap Kantor Pabean disediakan Tempat Penimbunan Pabean yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Penunjukan tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
BAB IX
PEMBUKUAN
Pasal 49
Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat,
pengusaha pengurusan jasa kepabeanan atau pengusaha pengangkutan diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan dan menyimpan catatan serta surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor.
Pasal 50
(1) Atas permintaan Pejabat Bea dan Cukai, Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib
menyerahkan buku, catatan, dan surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor untuk
kepentingan pemeriksaan.
(2) Dalam hak orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk
menyediakan buku, catatan, dan surat-menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor untuk
diperiksa beralih kepada yang mewakilinya.
Pasal 51
Pembukuan dan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 harus menggunakan huruf latin, angka Arab,
mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia atau dengan mata uang asing dan bahasa asing dan bahasa lain
yang ditetapkan oleh Menteri, dan semua buku, catatan, serta wajib disimpan selama sepuluh tahun pada
tempat usahanya di Indonesia.
Pasal 52
Barangsiapa yang tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51 dan
perbuatan tersebut tidak menyebabkan kerugian keuangan negara dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
BAB X
LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR SERTA
PENGENDALIAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG
HASIL PELANGGARAN HAK ATAS
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Bagian Pertama
Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor
Pasal 53
(1) Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi
teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas Impor atau Ekspor barang
tertentu wajib memberitahukan kepada Menteri.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diekspor atau diimpor,
jika telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean, atas permintaan importir atau eksportir
dapat :
a. dibatalkan ekspornya;
b. diekspor kembali; atau
c. dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
(4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pengendalian Impor atau Ekspor Barang
Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual
Pasal 54
Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, Ketua Pengadilan Negeri setempat
dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu
pengeluaran barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga
merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang melindungi di Indonesia.
Pasal 55
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan dengan disertai :
a. bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan;
b. bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan;
c. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan
penangguhan pengeluarannya, agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan
d. jaminan.
Pasal 56
Atas penerimaan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pejabat Bea dan Cukai :
a. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya
perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya;
b. terhitung tanggal diterimanya perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat, melaksanakan
penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari Kawasan Pabean.
Pasal 57
(1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk
jangka waktu paling lama hari kerja.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu,
dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
(3) Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.
Pasal 58
(1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah
penangguhan, Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang
hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.
(2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Negeri setempat setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan
kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.
Pasal 59
(1) Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1),
Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan
pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan Ketua Pengadilan Negeri setempat
tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri
tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan
menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-undangan ini.
(2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib
secepatnya melaporkannya kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerima perintah dan
melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.
(3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan Ketua
Pengadilan Negeri setempat tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan
pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan
ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 60
Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan
permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat
Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan
jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.
Pasal 61
(1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut merupakan
atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor
berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan
pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.
(2) Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai
pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.
Pasal 62
Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat pula dilakukan karena jabatan oleh
Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari
hasil pelanggaran merek atau hak cipta.
Pasal 63
Ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan
intelektual tidak diberlakukan terhadap barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,
atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.
Pasal 64
(1) Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan
intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 63 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
BARANG YANG DINYATAKAN TIDAK DIKUASAI, BARANG
YANG DIKUASAI NEGARA, DAN BARANG
YANG MENJADI MILIK NEGARA
Bagian Pertama
Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai
Pasal 65
(1) Barang yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai adalah :
a. barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara yang melebihi jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2);
b. barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat yang telah dicabut izinnya
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47; atau
c. barang yang dikirim melalui pos :
1. yang ditolak oleh si alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim kembali
kepada pengirim di luar Daerah Pabean;
2. dengan tujuan luar Daerah Pabean yang diterima kembali karena ditolak atau tidak
dapat disampaikan kepada alamat yang dituju, dan tidak diselesaikan oleh pengirim
dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya pemberitahuan dari kantor pos.
(2) barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean dan dipungut
sewa gudang yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 66
(1) barang yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai selain yang dimaksud pada ayat (3) pasal ini,
oleh Pejabat Bea dan Cukai segera diberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya bahwa barang
tersebut akan dilelang jika tidak diselesaikan dalam jangka waktu enam puluh hari sejak disimpan di
Tempat Penimbunan Pabean.
(2) barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang belum dilelang, oleh pemiliknya dapat :
a. diimpor untuk dipakai setelah Bea Masuk dan biaya lainnya yang terutang dilunasi;
b. diekspor kembali setelah biaya yang terutang dilunasi;
c. dibatalkan ekspornya setelah biaya yang terutang dilunasi;
d. diekspor setelah biaya yang terutang dilunasi; atau
e. dikeluarkan dengan tujuan Tempat Penimbunan Berikat setelah biaya yang terutang dilunasi.
(3) Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang :
a. busuk segera dimusnahkan;
b. karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan
biaya tinggi dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya;
c. merupakan barang yang dilarang dinyatakan menjadi milik negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73; atau
d. merupakan barang yang dibatasi disediakan untuk diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka
waktu enam puluh hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
Pasal 67
(1) Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (3) huruf b dilakukan melalui
lelang umum.
2) Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi Bea Masuk yang terutang dan
biaya yang harus dibayar, sisanya disediakan untuk pemiliknya.
(3) Pejabat Bea dan Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya sisa hasil lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu tujuh hari setelah tanggal pelelangan.
(4) Sisa hasil lelang menjadi miliki negara apabila tidak diambil oleh pemiliknya dalam jangka waktu
sembilan puluh setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Harga terendah untuk barang yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri, jika harga yang ditetapkan tidak tercapai, barang dapat dimusnahkan atau untuk tujuan
lain atas persetujuan Menteri.
Bagian Kedua
Barang yang Dikuasai Negara
Pasal 68
(1) Barang yang dikuasai negara adalah :
a. barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4);
b. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1); atau
c. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang
tidak kenal.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b diberitahukan oleh Pejabat Bea dan
Cukai secara tertulis kepada pemiliknya dengan menyebutkan alasan dan barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diumumkan selama tiga puluh hari sejak disimpan di Tempat
Penimbunan Pabean.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
Pasal 69
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) yang :
a. busuk segera dimusnahkan;
b. karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi
sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dapat segera dilelang dengan
memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya; atau
c. merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dinyatakan menjadi barang milik negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73.
Pasal 70
Barang dan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b diserahkan kembali
kepada pemiliknya dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak penyimpanan di Tempat Penimbunan Pabean
dalam hal :
a. Bea Masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan
telah diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau
pembatasan impor atau ekspor; atau
b. Bea Masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan
telah diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau
pembatasan impor atau ekspor serta telah diserahkan sejumlah uang ditetapkan oleh Menteri sebagai
ganti barang yang besarnya tidak melebihi harga barang, sepanjang barang tersebut tidak diperlukan
untuk bukti di pengadilan.
Pasal 71
(1) Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b dilakukan melalui lelang umum.
(2) Harga terendah untuk barang yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri, dan jika harga yang ditetapkan tidak tercapai, barang dapat dimusnahkan untuk tujuan
lain atas persetujuan Menteri.
(3) Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan sebagai ganti barang yang bersangkutan
sambil keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) atau untuk alat bukti di
sidang pengadilan.
Pasal 72
(1) Pemilik barang dan/atau sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak
diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan menyebutkan alasan dan bukti yang menguatkan
keberatannya.
(2) Dalam jangka waktu sembilan puluh hari sejak diterimanya permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan keputusan bahwa :
a. tidak terdapat pelanggaran terhadap Undang-undang ini dan segera memerintahkan agar dan
/atau sarana pengangkut yang dikuasai negara atau uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 huruf b dan Pasal 70 huruf b diserahkan kepada pemiliknya; atau
b. telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini, barang dan/atau sarana pengangkut
atau uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b diselesaikan lebih lanjut
berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Keputusan yang diambil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemiliknya dan
Direktur Jenderal.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri tidak memberikan
keputusan, permohonan yang bersangkutan dianggap diterima.
Bagian Ketiga
Barang yang menjadi Milik Negara
Pasal 73
(1) barang yang menjadi milik negara adalah :
a. barang yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf c;
b. barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf d yang tidak
diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak disimpan di
Tempat Penimbunan Pabean.
c. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b yang
berasal dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal;
d. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c yang
tidak diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2);
e. barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf c; atau
f. barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109 ayat 91) atau ayat (2).
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kekayaan negara dan disimpan di Tempat
Penimbunan Pabean.
(3) Ketentuan tentang penggunaan barang yang menjadi milik negara ditetapkan oleh Menteri.
BAB XII
WEWENANG KEPABEANAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 74
(1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan perudang-undangan lain
yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal, Pejabat Bea dan Cukai untuk
mengamankan hak-hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai
dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan pengawasan sarana pengangkut agar melalui jalur yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) serta untuk melaksanakan pemeriksaan
sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, menggunakan kapal patroli atau sarana
lainnya.
(2) Kapal patroli atau sarana lainnya yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
(1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta
bantuan angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya.
(2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya
berkewajiban untuk memenuhinya.
Pasal 77
(1) Untuk dipenuhinya Kewajibannya Pabean berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai
berwenang menengah barang dan/atau sarana pengangkut.
(2) Ketentuan tentang tata cara pencegahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan dan Penyegelan
Pasal 78
Terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajibannya pabeannya dan barang ekspor atau barang lain
yang harus diawasi menurut Undang-undang ini yang berada di sarana pengangkut atau di tempat penimbunan
atau tempat lain, Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda
pengaman yang diperlukan.
Pasal 79
(1) Segel dan/atau tanda pengaman yang digunakan oleh instansi pabean di negara lain atau pihak lain
dapat diterima sebagai pengganti segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78.
(2) Persyaratan dapat diterimanya segel atau tanda pengamannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 80
(1) Pemilik dan/atau yang menguasai sarana pengangkut atau tempat-tempat yang dikunci, disegel, dan/
atau dilekati tanda pengaman oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
wajib menjamin agar semua kunci segel, atau tanda pengaman tersebut tidak rusak, lepas, atau
hilang.
(2) Kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan
Pasal 79 tidak boleh dibuka, dilepas, atau dirusak tanpa izin Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 81
(1) Di atas sarana pengangkut atau di tempat lain yang berisi barang di bawah pengawasan pebean dapat
ditempat Pejabat Bea dan Cukai.
(2) Apabila di sarana pengangkut atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia
akomodasi, pengangkut atau pengusaha yang bersangkutan wajib memberikan bantuan yang layak.
(3) Pengangkut atau pengusaha yang memberikan bantuan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Bagian Ketiga
Pemeriksaan
Paragraf 1
Pemeriksaan atas Barang
Pasal 82
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan barang impor dan ekspor setelah
Pemberitahuan Pabean diserahkan.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha Tempat
Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, atau yang mewakilinya
menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya dan membuka
setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa.
(3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Pejabat Bea dan Cukai
berwenang memenuhi keperluan tersebut atas resiko dan biaya yang bersangkutan.
(4) Barangsiapa yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(5) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean
atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi
berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit
seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
(6) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean
atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 83
Surat yang dicurigai berisi barang impor atau barang ekspor yang dikirim melalui pos dapat dibuka di hadapan
si alamat, atau jika si alamat tidak dapat ditemukan, surat dapat dibuka oleh Pejabat Bea dan Cukai bersama
petugas kantor pos.
Pasal 84
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta kepada importir atau eksportir untuk menyerahkan buku,
catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor, dan mengambil contoh barang
untuk pemeriksaan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pengambilan contoh barang dapat pula dilakukan atas permintaan importir.
Pasal 85
(1) Pejabat Bea dan Cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah diterimanya Pemberitahuan
Pabean yang telah memenuhi persyaratan dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan
Pemberitahuan Pabean.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal
Pemberitahuan Pabean tidak memenuhi persyaratan.
Paragraf 2
Pemeriksaan Pembukuan
Pasal 86
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang memeriksa buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan
Impor atau Ekspor, dan sediaan barang dari orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk
kepentingan audit di bidang Kepabeanan.
(2) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan
Cukai yang menyerahkan buku, catatan, dan surat-menyurat yang bertalian dengan Impor atau
Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, atau tidak bersedia untuk diperiksa sediaan barangnya
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Paragraf 3
Pemeriksaan Pembukuan
Pasal 87
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas bangunan dan tempat lain :
a. yang penyelenggaraannya berdasarkan izin yang telah diberikan menurut Undang-undang ini;
atau
b. yang menurut Pemberitahuan Pabean berisi barang di bawah pengawasan pabean.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas bangunan dan tempat lain yang
secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bangunan atau tempat sebagimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 88
(1) Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai
berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang
dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan.
(2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas
permintaan Pejabat Bea dan Cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut
wajib menunjukkan surat atau dokumen yang bertalian dengan barang yang berada di tempat
tersebut.
Pasal 89
(1) Pemeriksaan atas bangunan atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) atau
Pasal 88 ayat (1) harus dengan surat perintah dari Direktur Jenderal.
(2) Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan untuk melakukan :
a. pemeriksaan bangunan atau tempat yang menurut Undang-undang ini berada di bawah
pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
b. pengejaran orang dan/atau barang yang memasuki bangunan atau tempat lain.
(3) Pengelola bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 tidak boleh
menghalangi Pejabat Bea dan Cukai yang masuk ke dalam bangunan atau tempat lain dimaksud,
kecuali bangunan atau tempat lain tersebut merupakan rumah tinggal.
(4) Barangsiapa yang menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Paragraf 4
Pemeriksaan Sarana Pengangkut
Pasal 90
(1) Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini Pejabat Bea dan Cukai
berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya.
(2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkut apabila
ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Barangsiapa yang tidak melaksanakan perintah penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 91
(1) Untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) atas permintaan atau
isyarat Pejabat Bea dan Cukai, pengangkut wajib menghentikan sarana pengangkutnya.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang agar sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibawa ke Kantor Pabean atau tempat lain yang sesuai untuk keperluan pemeriksaan atas biaya yang
bersalah.
(3) Pengangkut atas permintaan Pejabat Bea dan Cukai wajib menunjukkan semua dokumen
pengangkutan serta Pemberitahuan Pabean yang diwajibkan menurut Undang-undang ini.
(4) Pengangkut yang menolak untuk memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Paragraf 5
Pemeriksaan Badan
Pasal 92
(1) Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini atau peraturan perundang-
undangan lain tentang larangan dan pembatasan impor atau ekspor barang, Pejabat Bea dan Cukai
berwenang memeriksa badan setiap orang :
a. yang berada di atas atau baru saja turun dari sarana pengangkut yang masuk ke dalam
Daerah Pabean;
b. yang berada di atas atau siap naik ke sarana pengangkut yang tujuannya adalah tempat di
luar Daerah Pabean;
c. yang sedang berada atau baru saja meninggalkan Tempat Penimbunan Sementara atau
Tempat Penimbunan Berikat; atau
d. yang sedang berada di atau saja meninggalkan Kawasan Pabean.
(2) Orang yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan Pejabat Bea
dan Cukai menuju tempat pemeriksaan.
BAB XIII
KEBERATAN, BANDING, DAN LEMBAGA BANDING
Bagian Pertama
Keberatan dan Banding
Pasal 93
(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Pejabat Bea dan Cukai mengenai tarif dan/atau nilai
pabean untuk penghitungan Bea Masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada
Direktur Jenderal dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan
sebesar Bea Masuk yang harus dibayar.
(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu
enam puluh hari sejak diterimanya keberatan.
(3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan
dicairkan dan Bea Masuk yang terutang dianggap telah dilunasi, dan apabila keberatan diterima,
jaminan dikembalikan.
(4) Apabila dalam jangka waktu enam puluh hari sebagimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal
tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap diterima dan jaminan d
ikembalikan.
(5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu enam puluh hari,
Pemerintah memberikan bunga sebesar dua persen setiap bulannya untuk selama-lamanya dua puluh
empat bulan.
Pasal 94
(1) Orang yang dikenai sanksi administrasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada
Direktur Jenderal dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dengan
menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi yang ditetapkan.
(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu
enam puluh hari sejak diterimanya keberatan.
(3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan
dicairkan dan sanksi administrasi dianggap telah dilunasi, dan apabila keberatan diterima, jaminan
dikembalikan.
(4) Apabila dalam jangka waktu enam puluh hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal
tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap diterima dan jaminan
dikembalikan.
(5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu enam puluh hari,
Pemerintah memberikan bunga sebesar dua persen setiap bulannya untuk selama-lamanya dua puluh
empat bulan.
Pasal 95
(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) atau keputusan Direktur Jenderal sebagimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu enam puluh hari sejak tanggal penetapan
atau tanggal keputusan, setelah Bea Masuk yang terutang dilunasi.
(2) Badan peradilan pajak sebagimana dimaksud pada ayat (10) adalah badan peradilan pajak yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994.
Pasal 96
(1) Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dibentuk,
permohonan banding diajukan kepada lembaga banding yang putusannya bukan merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu enam puluh hari sejak penetapan atau keputusan
diterima, dilampiri salinan dari penetapan atau keputusan tersebut.
(3) Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Bagian Kedua
Lembaga Banding
Pasal 97
(1) Untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1),
dibentuk lembaga banding dengan nama Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai.
(2) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta.
(3) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang ketua dan beranggotakan unsur
Pemerintah, pengusaha swasta, dan pakar.
Pasal 98
(1) Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai menunjuk majelis untuk memutuskan permohonan
banding yang diajukan.
(2) Setiap mejelis terdiri dari tiga anggota dengan memperhatikan pertimbangan keanggotaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3).
Pasal 99
(1) Persidangan majelis untuk memutuskan suatu permohonan banding bersifat tertutup.
(2) Putusan majelis diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(3) Dalam hal tidak dicapai permufakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), putusan didasarkan pada
suara terbanyak.
(4) Putusan majelis diberitahukan kepada pemohon banding dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya
empat belas sejak tanggal putusan.
Pasal 100
Anggota majelis yang mempunyai kepentingan pribadi dengan permasalahan yang diperiksa harus
mengundurkan diri dari majelis.
Pasal 101
Susunan organisasi dan tata kerja serta urusan mengenai administrasi, tunjangan, pengeluaran, dan tata tertib
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 102
Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa
mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 103
Barangsiapa yang :
a. menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan
keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
Pabean;
b. mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa
persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/
atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor;
c. membuat, menyetujui, atau serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan; atau
d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan
barang impor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 104
Barangsiapa yang :
a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102;
b. memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang
menurut Undang-undang ini harus disimpan;
c. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan
Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
d. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar
negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-
undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 105
Barangsiapa yang :
a. membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini;
b. tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang
oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 106
Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat,
pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan
kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 107
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atas kuasa yang
diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana
berdasarkan Undang-undang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.
Pasal 108
(1) Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi,
tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut;
dan atau
b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pimpinan atau melalaikan pencegahannya.
(2) Tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan juga oleh atas nama badan hukum, perseroan
atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi
tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(3) Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan,
perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana
penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam
dengan pidana penjara dan pidana denda.
Pasal 109
(1) Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102,
103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara.
(2) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102 dapat dirampas untuk negara.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 73.
Pasal 110
(1) Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/
atau pendapatan terpidana.
(2) Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda
diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
Pasal 111
Tindak pidana di bidang Kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak
diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya tindak pidana.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 112
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang :
a. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang
Kepabeanan;
b. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang
Kepabeanan;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak
pidana di bidang Kepabeanan;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang
Kepabeanan;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana
pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang
Kepabeanan;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan
pembukuan lainnya yang terkait;
h. mengambil sidik jari orang;
i. menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
j. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di
dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
k. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai
bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
l. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai
bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
m. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
tindak pidana di bidang Kepabeanan;
n. menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan
serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
o. menghentikan penyidikan;
p. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab.
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 113
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan tindak pidana di Bidang Kepabeanan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah Bea Masuk yang tidak atau
kurang dibayar.
BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 114
(1) Semua pelanggaran yang oleh Undang-undang ini diancam dengan sanksi administrasi berupa denda
yang dihitung berdasarkan persentase dari Bea Masuk, jika tarif atau tarif akhir Bea Masuk atas
barang yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut nol persen, maka atas pelanggaran tersebut, si
pelanggar dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Ketentuan tentang pengenaan sanksi administrasi dan penyesuaian besarnya sanksi administrasi serta
penyesuaian besarnya bunga menurut Undang-undang ini ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 115
Persyaratan dan atas cara :
(1) barang yang diimpor dari suatu kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/
atau pelabuhan bebas;
(2) Pemberitahuan Pabean di instalasi dan alat-alat yang berada di Landas Kontinen Indonesia dan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
Dengan mulai berlakunya Undang-undang ini :
a. semua urusan Kepabeanan yang belum dapat diselesaikan, untuk penyelesaian tetap berlaku
ketentuan peraturan perundang-undang Kepabeanan yang lama sampai dengan tanggal 1 April 1997;
b. semua barang yang disimpan di dalam Tempat Penimbunan Pabean, penyelesaiannya berdasarkan
ketentuan Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117
Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :
1. Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
2. Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
3. Tarief Ordonnantie Staatsblad tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.
Pasal 118
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1995
TENTANG
KEPABEANAN
UMUM
1. Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang
mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Akan tetapi, sejak kemerdekaan Undang-undang kepabeanan nasional belum dapat
dibentuk sehingga Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor
35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie
(Ordonansi Tarif) Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan
penambahan untuk menjawab tuntutan pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat
partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah yang melatarbelakangi, perubahan dan
penambahan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan dimaksud sehingga perlu dilakukan
pembaruan.
2. Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota
masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang
mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea
Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus
dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen,
penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong
laju pembangunan nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, aparatur kepabeanan dituntut untuk memberikan
pelayanan yang semakin baik, efektif, dan efisien, sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.
3. Undang-undang Kepabeanan ini telah memperhatikan aspek-aspek:
a. keadilan, sehingga Kewajiban Pabean hanya dibebankan kepada masyarakat yang melakukan
kegiatan kepabeanan dan terhadap mereka diperlakukan sama dalam hal dan kondisi yang
sama;
b. pemberian insentif yang akan memberikan manfaat pertumbuhan perekonomian nasional
yang antara lain berupa fasilitas Tempat Penimbunan Berikat, pembebasan Bea Masuk atas
impor mesin dan bahan baku dalam rangka ekspor, dan pemberian persetujuan impor barang
sebelum pelunasan Bea Masuk dilakukan;
c. netralitas dalam pemungutan Bea Masuk, sehingga distorsi yang mengganggu perekonomian
nasional dapat dihindari;
d. kelayakan administrasi, yaitu pelaksanaan administrasi kepabeanan dapat dilaksanakan lebih
tertib, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat sehingga tidak
terjadi duplikasi. Oleh karena itu biaya administrasi dapat ditekan serendah mungkin;
e. kepentingan penerimaan negara, dalam arti ketentuan dalam Undang-undang ini telah
memperhatikan segi-segi stabilitas, potensial, dan fleksibilitas dari penerimaan, sehingga
dapat menjamin peningkatan penerimaan negara, dan dapat mengantisipasi kebutuhan
peningkatan pembiayaan pembangunan nasional;
f. penerapan pengawasan dan sanksi dalam upaya agar ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini ditaati;
g. Wawasan Nusantara, sehingga ketentuan dalam Undang-undang ini diberlakukan di Daerah
Pabean yang meliputi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana Indonesia
mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat yaitu, diperairan pedalaman, perairan nusantara,
laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional;
h. praktek kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam persetujuan perdagangan
internasional.
4. Undang-undang Kepabeanan ini juga mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam
ketiga peraturan perundang-undangan yang digantikannya, antara lain ketentuan tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak
atas kekayaan intelektual, pembukaan, sanksi administrasi, penyidikan, dan lembaga banding.
5. Selain daripada itu untuk meningkatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang, dan dokumen agar
menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain:
a. pelaksanaan pemeriksaan secara selektif;
b. penyerahan Pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antar komputer);
c. pengawasan dan pengamanan impor atau ekspor yang pelaksanaannya dititikberatkan pada
audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan;
d. peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas Bea Masuk melalui sistem
menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self assessment), dengan tatap
memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau pembatasan yang berkaitan dengan
impor atau ekspor barang, seperti barang pornografi, narkotika, uang palsu, dan senjata api.
6. Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas dan mengingat Pasal 23 ayat (2) Undang-undang
Dasar 1945, serta memperhatikan amanat yang tersurat dan tersirat dalam garis-garis besar daripada
haluan Negara, Undang-undang Kepabeanan ini merupakan produk nasional yang mampu menjawab
tuntutan pembangunan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-undang ini.
Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut, dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah
penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal bersangkutan, sehingga masyarakat akan lebih mudah
memahaminya.
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat ini memberikan penegasan pengertian Impor secara yuridis, yaitu pada saat barang
memasuki Daerah Pabean dan menetapkan saat barang tersebut wajib Bea Masuk serta
merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan.
Ayat (2)
Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian Ekspor. Secara nyata Ekspor terjadi pada
saat barang melintasi Daerah Pabean, namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan
tidak mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang garis perbatasan untuk
memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan ekspor barang, maka secara yuridis
ekspor dianggap telah terjadi pada saat barang tersebut sudah dimuat atau akan dimuat di
sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan "sarana pengangkut" adalah setiap kendaraan, pesawat udara, kapal
laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.
Akan dimuat dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa barang ekspor tersebut telah
dapat diketahui untuk tujuan dikirim ke luar Daerah Pabean (ekspor), karena telah
diserahkannya Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan Cukai. Dapat saja barang
tersebut masih berada di Tempat Penimbunan Sementara atau di tempat-tempat yang
disediakan khusus untuk itu, termasuk di gudang atau pabrik eksportir yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana
pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean, jika dapat dibuktikan barang
tersebut akan dibongkar di dalam Daerah Pabean dengan menyerahkan suatu Pemberitahuan
Pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor.
Pasal 3
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan,
terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen
dan pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang, pemeriksaan atas fisik
barang dilakukan secara selektif dalam arti pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap importasi
yang beresiko tinggi, antara lain barang yang bea masuknya tinggi, barang berharganya bagi negara
dan masyarakat, serta Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai catatan kurang baik.
Pasal 4
Dalam rangka mendorong Ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya
saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir.
Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus
diupayakan seminimal mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan
penelitian terhadap dokumennya.
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan,
pasal ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat menetapkan
ketentuan tentang pemeriksaan fisik atas barang ekspor.
Pasal 5
Ayat (1)
Dilihat dari keadaan geografis negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan
negara kepulauan, maka tidaklah mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang
pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari
Daerah Pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa
pemenuhan Kewajiban Pabean hanya dapat dilakukan di Kantor Pabean. Penegasan bahwa
pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean maksudnya adalah kalau
kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai Kantor
Pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini.
Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi
Kewajiban Pabean seperti penyerahan Pemberitahuan Pabean atau pelunasan Bea Masuk
telah dibatasi dengan penunjukan Kantor Pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan
perdagangan.
Pemenuhan Kewajiban Pabean di tempat selain di Kantor Pabean dapat diizinkan dengan
pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan
kepentingan perdagangan dan perekonomian; atau apabila dengan cara tersebut Kewajiban
Pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah, pemberian kemudahan
tersebut bersifat sementara.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa Pemberitahuan Pabean yang digunakan untuk pemenuhan
Kewajiban Pabean dapat berupa tulisan di atas formulir atau melalui media elektronik berupa
disket atau hubungan langsung antar komputer.
Ayat (3)
Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang serta ketertiban
bongkar muat barang, dan pengamanan keuangan negara, Undang-undang ini menetapkan
adanya suatu kawasan di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain sebagai Kawasan
Pabean yang sepenuhnya berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Demikian pula penunjukan Pos Pengawasan Pabean dimaksudkan untuk tempat Pejabat Bea
dan Cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari Kantor Pabean dan
di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi Kewajiban Pabean.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Pasal ini mengandung arti bahwa sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian Kewajiban Pabean atas
barang impor atau ekspor harus senantiasa didasarkan pada ketentuan dalam Undang-undang ini yang
pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 7
Ayat (1)
Adanya kewajiban untuk melaporkan kedatangan barang impor di Kantor Pabean tujuan
pertama melalui jalur yang ditetapkan dimaksudkan agar pembongkaran dilakukan dengan
memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam pengertian barang impor termasuk
juga sarana pengangkut yang diimpor untuk dipakai atau diimpor sementara.
Yang dimaksud dengan "jalur yang ditetapkan" adalah alur pelayaran, jalur udara, jalan
perairan daratan, dan jalan darat yang ditetapkan, artinya secara pengangkut harus melalui
alur-alur yang dicantumkan dalam buku petunjuk pelayaran. Demikian pula untuk barang yang
diangkut melalui udara harus melalui jalur (koridor) udara yang ditetapkan oleh Departemen
Perhubungan, sedangkan jalan perairan daratan dan jalan darat di perbatasan darat
ditetapkan oleh Menteri.
Yang dimaksud dengan "pengangkut" adalah orang, kuasanya, atau yang bertanggung jawab
atas pengoperasian sarana pengangkut yang nyata-nyata mengangkut barang atau orang.
Pemberitahuan Pabean dibuat dan diserahkan oleh pengangkut dalam jangka waktu yang
ditetapkan.
Ayat (2)
Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan Pemberitahuan Pabean
tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, dalam hal sarana pengangkut dalam
keadaan darurat seperti kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, cuaca
buruk, atau hal-hal lain yang terjadi diluar kemampuan manusia dapat diadakan
penyimpangan dengan melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu
tentang kedatangan sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan "Kantor Pabean terdekat" adalah Kantor Pabean yang paling mudah
dicapai.
Ayat (3)
Pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut atas ketentuan pada ayat (1) merupakan
kesalahan yang dapat terjadi lebih dari satu kali.
Oleh karena itu, sanksi administrasi yang ditetapkan pada ayat ini berupa denda dari jumlah
yang paling sedikit sampai dengan jumlah yang paling banyak. Dengan demikian, pengangkut
yang melanggar ketentuan pada ayat (1) lebih dari satu kali akan dikenai denda yang lebih
besar dari yang hanya satu kali. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut
atas ketentuan pada ayat (2) tidak akan terjadi setiap saat dan terjadi diluar kemampuannya.
Oleh karena itu, sanksi administrasi atas kesalahan tersebut hanya berupa denda minimum
yang diatur pada ayat ini.
Ayat (4)
Kewajiban yang harus dilakukan oleh pengangkut atau kuasanya adalah memberitahukan
kedatangan sarana pengangkut dengan Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan
Cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor yang diangkut di
dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal.
Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam
Pemberitahuan Pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah
memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga, selain wajib membayar
Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi, jika
yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar
tersebut bukan karena kesalahannya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga
penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut
tidak dapat dikeluarkan dengan segera.
Yang dimaksud dengan "pengeluaran" adalah pengeluaran barang dari Kawasan Pabean,
Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat, atau Tempat Penimbunan
Pabean ke peredaran bebas dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai setelah dipenuhinya
Kewajiban Pabean.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "barang diangkut terus" adalah barang yang diangkut dengan sarana
pengangkut melalui kantor Pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu.
Yang dimaksud dengan "barang diangkut lanjut" adalah barang yang diangkut dengan sarana
pengangkut melalui Kantor Pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu.
Yang dimaksud dengan "diekspor kembali" adalah pengiriman kembali barang impor keluar
Daerah Pabean karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan atau oleh karena suatu
ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor ke dalam Daerah Pabean.
Ayat (8)
Meskipun pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan dengan tanpa maksud untuk
mengelakkan pembayaran Bea Masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan Bea
Masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan Pejabat Bea
dan Cukai, maka atas pelanggaran tersebut di pelanggar dikenai sanksi administrasi.
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk mengeluarkan barang
impor untuk dipakai sebelum melunasi Bea Masuk yang terutang dengan menyerahkan
jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan menurut Undang-undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk
memperlancar arus barang.
Yang dimaksud dengan "pelintas batas" adalah penduduk yang berdiam atau bertempat
tinggal wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan
melalui pos pengawas lintas batas.
Yang dimaksud dengan "awak sarana pengangkut" adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana
pengangkutnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan 'Persetujuan Pejabat Bea dan Cukai" adalah penetapan Pejabat Bea
dan Cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi Kewajiban Pabeannya
berdasarkan Undang-undang ini.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini mengenakan sanksi kepada importir yang memperoleh kemudahan
berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk
dipakai sebelum melunasi Bea Masuknya dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak
menyelesaikan kewajiban untuk membayar Bea Masuk menurut jangka waktu yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "importir" adalah orang yang mengimpor.
Pasal 9
Ayat (1)
Tujuan pengaturan impor sementara adalah untuk memberikan kemudahan atas pemasukan
barang dengan tujuan tertentu seperti barang pameran, barang perlombaan, kendaraan yang
dibawa oleh wisatawan, peralatan penelitian, yang digunakan untuk penelitian sains dan
teknologi serta pendidikan, peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan tenaga ahli
untuk digunakan sementara waktu dan pada waktu pengimporannya telah jelas bahwa barang
tersebut akan diekspor kembali.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengawasan pabean" adalah pengawasan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga
penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut
tidak dapat dimuat dengan segera.
Ayat (4)
Pemberitahuan pembatalan tersebut diwajibkan dalam rangka penyelesaian dan tertib
administrasi serta pengawasan terhadap pemberian fasilitas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap
barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur pada huruf a dan b bertujuan untuk pengaman hak-hak negara yang
masih pada barang-barang tersebut mengingat barang yang bersangkutan masih terutang
Bea Masuk. Sedangkan ketentuan pada huruf c dimaksudkan agar barang yang diangkut
tersebut pada dibedakan dari barang impor yang dimuat di pelabuhan di luar Daerah Pabean.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat ini ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh
persen termasuk Bea Masuk Tambahan (BMT) yang pada waktu diundangkannya Undang-
undang ini masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun, dengan tetap
memperhatikan kemampuan saya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang
tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan :
a. meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional;
b. melindungi konsumen dalam negeri; dan
c. mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung
terciptanya perdagangan bebas.
Ayat (2)
Sesuai dengan Notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan
(GATT):
Huruf a
Untuk produk pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam Skedul XXI-Indonesia,
tarif Bea Masuknya diikut pada tingkat yang lebih tinggi dari empat persen, dengan
tujuan untuk menghapus penggunaan hambatan nontarif sehingga menjadi tarifikasi.
Huruf b
Demi kepentingan nasional, produk tertentu yang termasuk dalam daftar ekslusif
Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya tidak diikat pada tingkat tarif tertentu
sehingga dikecualikan dari ketentuan pengenaan tarif maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Namun, dalam jangka waktu tertentu tarif atas produk
tersebut akan diturunkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan internasional yang demikian cepat dan
dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, perlu diberikan pendelegasian wewenang
kepada Menteri untuk menetapkan besarnya tarif Bea Masuk setiap jenis barang dan
melakukan perubahan terhadap besarnya tarif tersebut.
Pasal 13
Ayat (1)
Ayat ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menetapkan tarif Bea Masuk yang
besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Huruf a
Tarif Bea Masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan
Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara
lain, misalnya Bea Masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tarif untuk
Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).
Huruf b
Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian impor barang bawaan
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman melalui
pos atau jasa titipan, dapat dikenakan Bea Masuk berdasarkan tarif yang berbeda
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), misalnya dengan
pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang dibawa
oleh para penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya
terdiri dari beberapa jenis.
Huruf c
Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu
negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan Bea
Masuk, barang-barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang
besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "sistem klasifikasi barang" dalam pasal ini adalah suatu daftar penggolongan
barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan perdagangan,
ditambah dengan :
a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang sebenarnya atau
yang seharusnya dibayar berupa :
1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian;
2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi yang
terpisahkan dengan barang yang bersangkutan;
3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan;
b. Nilai dari barang dan jasa berupa :
1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam
barang impor;
2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang digunakan untuk
pembuatan barang impor;
3. material yang digunakan dalam pembuatan barang impor;
4. teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan dan sketsa yang dilakukan
di mana saja di luar Daerah Pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor,
yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat
barang dan jasa tersebut :
a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan;
b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang
dibelinya;
c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang
seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan.
c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung
sebagai persyaratan jual beli barang impor yang sedang dinilai, sepanjang royalti dan biaya
lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya
dibayar dari barang impor yang bersangkutan;
d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan secara
langsung atau tidak langsung kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian
barang impor yang bersangkutan;
e. biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke pelabuhan atau tempat impor
di Daerah Pabean;
f. biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan
barang impor ke pelabuhan atau tempat di Daerah Pabean.
g. biaya asuransi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dua barang dianggap identik apabila keduanya sana dalam segala hal, setidak-tidaknya
karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama serta :
a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau
b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "metode deduksi" adalah metode untuk menghitung nilai pabean
barang impor berdasarkan data harga dari harga pasar dalam Daerah Pabean dikurangi
biaya/pengeluaran, antara lain komisi/keuntungan, transportasi, asuransi, Bea Masuk, dan
pajak; harga dari katalog dan daftar harga atau data harga lainnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "metode komputasi" adalah metode untuk menghitung nilai pabean
barang impor berdasarkan penjumlahan bahan baku, biaya proses pembuatan, dan biaya/
pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di pelabuhan atau tempat impor di Daerah
Pabean.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan 'pembatasan tertentu" adalah bahwa dalam perhitungan nilai pabean
barang impor berdasarkan ayat ini tidak diizinkan ditetapkan berdasarkan :
a. harga jual barang produksi dalam negeri;
b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila ada dua alternatif nilai
pembanding;
c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor;
d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode komputasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah ditentukan untuk barang identik
atau serupa;
e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke Daerah Pabean;
f. harga patokan;
g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 16
Prinsip yang dianut dalam pembayaran Bea Masuk adalah asas perhitungan sendiri (self assessment).
Namun, Pejabat Bea dan Cukai tetap diberi wewenang untuk meneliti dan menetapkan tarif dan nilai
pabean untuk perhitungan Bea Masuk yang tersebut dalam Pemberitahuan Pabean yang diserahkan
importir.
Penetapan tarif dapat diberikan sebelum atau sesudah Pemberitahuan Pabean atas impor diserahkan,
sedangkan penetapan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk hanya dapat diberikan setelah
Pemberitahuan Pabean diserahkan.
Pengertian "dapat" dalam pasal ini dimaksudkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif dan
nilai pabean hanya dalam hal tarif dan nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada
dan/atau nilai pabean barang yang sebenarnya sehingga :
a. Bea Masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih tinggi;
b. Bea Masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih rendah.
Dalam hal pemberitahuan kedapatan sesuai atau benar, pemberitahuan diterima dan dianggap telah
dilakukan penetapan oleh Pejabat Bea dan Cukai. Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan
penetapan tarif dan nilai pabean untuk pemberitahuan Bea Masuk setelah pemeriksaan fisik, tetapi
sebelum diserahkan Pemberitahuan Pabean, misalnya untuk barang penumpang.
Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, jika Pemberitahuan Pabean
susah didaftarkan, penetapan harus sudah diberikan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal
pendaftaran. Batas waktu tiga puluh hari dianggap cukup bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk
mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan penetapan.
Pasal 17
Ayat (1)
Pada dasarnya penetapan Pejabat Bea dan Cukai sudah mengikat dan dapat dilaksanakan.
Akan tetapi, jika hasil pemeriksaan ulang atas Pemberitahuan Pabean atau Dokumen
Pelengkap Pabean menunjukkan adanya kekurangan atau kelebihan pembayaran Bea dan
Masuk, untuk mengamankan penerimaan negara atau menjamin hak pengguna jasa, Direktur
Jenderal dapat membuat penetapan baru.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Yang dimaksud dengan "harga ekspor" adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar
untuk barang yang diekspor ke Daerah Pabean Indonesia. Dalam hal diketahui adanya hubungan
antara importir dan eksportir atau pihak ketiga, atau karena alasan tertentu harga ekspor diragukan
kebenarannya, harga ekspor ditetapkan berdasarkan :
a. harga dari barang impor dimaksud yang dijual kembali untuk pertama kali kepada pembeli
yang bebas; atau
b. harga yang wajar, dalam hal tidak terdapat penjualan kembali kepada pembeli yang bebas
atau tidak dijual kembali dalam kondisi seperti pada waktu diimpor.
Yang dimaksud dengan "nilai normal" adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk
barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk
tujuan konsumsi.
Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual di pasar domestik negara pengekspor atau volume
penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai
pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan :
a. harga tinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga; atau
b. harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan,
dan laba yang wajar (constructed value).
Yang dimaksud dengan "barang sejenis" adalah barang yang identik atau sama dalam segala hal
dengan barang impor dimaksud atau barang yang memiliki karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi
menyerupai barang impor dimaksud.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "subsidi" adalah :
Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan Pemerintah baik langsung
maupun tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri, atau eksportir; atau setiap
bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung
untuk meningkatkan Ekspor atau menurunkan Impor dari atau ke negara yang bersangkutan.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Pada dasarnya barang dari luar Daerah Pabean sejak memasuki Daerah Pabean sudah terutang Bea
Masuk. Namun, mengingat barang tersebut tidak diimpor untuk dipakai, barang tersebut tidak dipungut
Bea Masuk.
Pasal 25
Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam pasal ini adalah pembebasan yang bersifat mutlak,
dalam arti jika persyaratan yang diatur dalam pasal ini dipenuhi, barang yang diimpor tersebut diberi
pembebasan.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembebasan Bea Masuk" adalah peniadaan pembayaran Bea Masuk yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya"
adalah barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk
pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia. Pembebasan
tersebut diberikan apabila negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang
sama terhadap diplomat Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan badan internasional beserta
pejabatnya" adalah milik atau untuk keperluan badan internasional yang diakui dan
terdaftar pada Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di
Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat badan internasional yang
memegang paspor Indonesia.
Huruf c
Pembebasan Bea Masuk yang diberikan berdasarkan huruf ini merupakan fasilitas
untuk menghilangkan beban yang dipikul oleh importir produsen yang akan
memberikan nilai tambah terhadap barang atau bahan impor dimaksud dengan cara
mengolah, merakit, atau memasangnya pada barang lain, kemudian mengekspor
barang jadinya.
Huruf d
Pembebasan Bea Masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait
terhadap buku-buku yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Huruf e
Yang dimaksud "barang untuk keperluan ibadah umum" adalah barang-barang yang
semata-mata digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang diakui di
Indonesia.
Yang dimaksud dengan "barang keperluan amal dan sosial" adalah barang yang
semata-mata ditujukan untuk keperluan amal/sosial dan tidak mengandung unsur
komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan wabah penyakit.
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan kebudayaan" adalah barang yang
ditujukan untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antarnegara. Pembebasan Bea
Masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan" adalah barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan
penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu
penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembebasan Bea Masuk
diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Yang dimaksud dengan "barang contoh" adalah barang yang diimpor khusus sebagai
contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah
dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Yang dimaksud dengan "barang pindahan" adalah barang-barang keperluan rumah
tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pindah
ke dalam negeri.
Huruf n
Yang dimaksud dengan "barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan
pelintas batas" adalah barang-barang yang dibawa oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3), sedangkan barang kiriman adalah
barang yang dikirim adalah barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri
kepada penerima tertentu di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut persyaratan dan
tata cara yang harus dipenuhi guna memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam pasal ini adalah pembebasan yang relatif, dalam arti
bahwa pembebasan yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu,
sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau hanya keringanan Bea Masuk.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keringanan Bea Masuk" adalah pengurangan sebagian pembayaran
Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri
adalah setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau
perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri.
Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi pendirian perusahaan
atau pabrik baru serta perluasan (diversifikasi) hasil produksi, modernisasi,
rehabilitasi untuk tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau pabrik
yang telah ada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "barang dan bahan" ialah semua barang atau bahan, tidak
melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk
menghasilkan barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam keputusan
pelaksanaannya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bibit dan benih" ialah segala jenis tumbuh-tumbuhan atau
hewan yang diimpor dengan tujuan nyata-nyata untuk dikembangbiakkan lebih lanjut
dalam rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
dan perikanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "hasil laut" ialah semua jenis tumbuhan laut, ikan atau hewan
laut yang layak untuk dimakan seperti ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum
atau sudah diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan "sarana penangkap" ialah satu atau sekelompok kapal yang
mempunyai peralatan untuk menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga
yang mempunyai peralatan pengolahan.
Yang dimaksud dengan "sarana penangkap yang telah mendapat izin" adalah sarana
penangkap yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang telah
memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan atau
pengambilan hasil laut.
Huruf f
Pembebasan Bea Masuk dapat diberikan atas impor barang yang sebelumnya
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, atau pengajuan di luar negeri.
Yang dimaksud dengan "perbaikan" adalah penanganan barang yang rusak, usang,
atau tua dengan mengembalikannya pada keadaan semula tanpa mengubah sifat
hakikinya.
Yang dimaksud dengan "pengerjaan" adalah penanganan barang, selain perbaikan
tersebut di atas, juga mengakibatkan peningkatan harga barang dari segi ekonomis
tanpa mengubah sifat hakikinya.
Pengajuan meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan menyangkut mutu serta
kapasitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat diberikan terhadap barang
dalam keadaan seperti pada waktu diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau
ditambah dan biaya perbaikan tetap dikenakan Bea Masuk
Huruf g
Pembebasan Bea Masuk dapat diberikan terhadap barang setelah diekspor, diimpor
kembali tanpa mengalami suatu proses pengerjaan atau penyempurnaan apa pun,
seperti barang yang dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan
pameran, pertunjukan, atau perlombaan.
Terhadap barang lain yang diekspor untuk kemudian karena suatu hal, diimpor
kembali dalam keadaan yang sama dengan ketentuan segala fasilitas yang pernah
diterimanya dikembalikan.
Huruf h
Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya perubahan kondisi barang
sebelum barang diterima oleh pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip
pemungutan Bea Masuk dalam Undang-undang ini diterapkan atas semua barang yang
diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi perubahan kondisi (kerusakan,
penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena sebab
alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai atau memberikan manfaat
sebagaimana diharapkan, wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi
sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut Bea Masuk. Oleh karena itu
pembatasan pada saat kapan terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, adalah
antara waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor untuk dipakai.
Huruf i
Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan adalah :
1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah manusia serta
derivatifnya (turunannya) seperti darah seluruhnya, plasma kering, albumin,
gamaglobulin, fibrinogen, serta organ tubuh;
2) bahan pengelompokan darah yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, atau sumber lain;
3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, atau sumber lain;
Huruf j
Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan masyarakat yang
tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan
lampu jalan umum.
Huruf k
Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang tersebut diberi
pembebasan atau keringanan Bea Masuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Kesalahan tata usaha antara lain adalah kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau
kesalahan pencantuman tarif.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sebab tertentu" pada ayat ini adalah bahwa hal tersebut
bukan merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan Pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak
dapat dimasukkan ke dalam Daerah Pabean sehingga harus diekspor kembali atau
dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dalam kondisi yang sama.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Undang-undang ini memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang
berkenaan dengan Pemberitahuan Pabean, buku cacatan pabean, dan dokumen pelengkap pabean,
misalnya bentuk pemberitahuan Pabean dan dokumen pelengkap pabean dapat ditetapkan baik berupa
tulisan di atas formulir, disket, maupun hubungan langsung antar komputer tanpa menggunakan kertas.
contoh Pemberitahuan Pabean adalah :
a. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
b. pemberitahuan impor untuk dipakai;
c. pemberitahuan impor sementara;
d. pemberitahuan pemindahan barang dari Kawasan Pabean ke Tempat Penimbunan Berikat;
e. pemberitahuan pemindahan barang dari suatu Kantor Pabean ke Kantor Pabean lain dalam
Daerah Pabean;
f. pemberitahuan ekspor barang.
Yang dimaksud dengan "buku catatan pabean" adalah buku daftar atau formulir yang digunakan untuk
mencatat Pemberitahuan Pabean dan kegiatan Kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.
Buku catatan pabean, antara lain adalah daftar untuk mencatat :
a. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
b. pemberitahuan impor untuk dipakai;
c. pemberitahuan ekspor barang;
d. barang yang dianggap tidak dikuasai;
e. barang yang akan dilelang.
Yang dimaksud dengan "dokumen pelengkap pabean" adalah semua dokumen yang digunakan
sebagai pelengkap Pemberitahuan Pabean, misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan
"manifest".
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada dasarnya Undang-undang ini menganut prinsip bahwa semua pemilik barang dapat
menyelesaikan Kewajiban Pabean. Mengingat tidak semua pemilik barang mengetahui atau
menguasai ketentuan tata laksana Kepabeanan atau karena suatu hal tidak dapat
menyelesaikan sendiri Kewajiban Pabean, ayat ini memberi kemungkinan pemberian kuasa
penyelesaian Kewajiban Pabean kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang
terdaftar di Kantor Pabean.
Pengusaha semacam ini sebelumnya telah ada dan di dalam praktik sehari-hari dikenal
dengan nama Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara atau
Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMKU/EMPU), atau pengusaha Jasa Transportasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Bea Masuk atas barang impor merupakan tanggung jawab importir yang bersangkutan, kecuali jika
pengurusan pemberitahuan impor dikuasakan kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan dan
importir tidak ditemukan, misalnya melarikan diri, maka tanggung jawab atas Bea Masuk beralih ke
pengusaha jasa kepabeanan.
Yang dimaksud dengan "pengusaha pengurusan jasa kepabeanan" adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan Kewajiban Pabean untuk dan atas nama pemilik barang.
Pasal 32
Ayat (1)
Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas Bea Masuk barang yang diimpornya. Namun
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang ini, importir baru dinyatakan
bertanggung jawab atas Bea Masuk sejak didaftarkannya Pemberitahuan Pabean. Dengan
Demikian, sebelum didaftarkannya Pemberitahuan Pabean, tanggung jawab atas Bea Masuk
berada pada pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, yaitu tempat penimbunan barang
impor yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila barang impor yang harus dilunasi Bea Masuknya terdiri dari beberapa jenis dengan
satu nama umum (golongan barang), sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat
diketahui, sebagai dasar perhitungan Bea Masuk, diambil tarif tertinggi yang berlaku atas
golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Pembebasan atau kekeringan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26
pada hakikatnya tidak membebaskan importir dari tanggung jawab Bea Masuk yang harus
dilunasi, karena pembebasan atau kekeringan tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu
yang telah ditetapkan secara limitatif pada saat fasilitas tersebut diberikan. Dengan demikian
tidak tertutup kemungkinan bahwa fasilitas tersebut pada suatu saat digunakan tidak sesuai
dengan fasilitas yang diberikan.
Karena prinsip pengenaan Bea Masuk melekat erat pada barang impor, untuk menghindari
kemungkinan penyalahgunaan fasilitas yang telah diberikan sehingga syarat yang telah
ditetapkan tidak lagi dipenuhi, Undang-undang ini menegaskan letak tanggung jawab atas Bea
Masuk yang terutang berada pada orang yang mendapatkan pembebasan atau kekeringan
atau yang menguasai barang tersebut.
Tujuan perluasan tanggung jawab atas Bea Masuk dalam Undang-undang ini adalah untuk
menjamin hak-hak negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Pasal-pasal terdahulu dalam bagian ini telah menegaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap Bea Masuk atas barang impor. Pasal ini juga menegaskan siapa yang bertanggung jawab
atas Bea Masuk barang impor yang kedapatan di bawah penguasaan seseorang yang tidak termasuk
dalam ketentuan pasal-pasal tersebut di atas.
Dalam keadaan demikian dapat saja mereka merupakan penumpang, awak sarana pengangkut,
pelintas batas, atau siapa pun yang kedapatan menguasai barang impor di tempat kedatangan sarana
pengangkut atau di tempat-tempat tertentu di daerah perbatasan yang ditunjuk.
Yang dimaksud dengan "tempat tertentu di daerah perbatasan yang ditunjuk" adalah suatu tempat di
daerah perbatasan yang merupakan bagian dari jalan perairan daratan atau jalan darat di perbatasan
yang ditunjuk sebagai tempat lintas batas (point of entry).
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Kewajiban membayar menurut pasal ini sepanjang mengenai Bea Masuk timbul sejak tanggal
pendaftaran Pemberitahuan Pabean mengenai impor barang dan sepanjang mengenai denda
timbul sejak diterimanya surat pemberitahuan oleh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penundaan" dalam ayat ini adalah pemberian perpanjangan jangka
waktu pelunasan Bea Masuk dan denda administrasi sampai batas waktu yang ditetapkan.
Perpanjangan jangka waktu pembayaran ini diberikan dengan pertimbangan bahwa pihak
yang terutang menunjukkan itikat baik untuk menyelesaikan utangnya, tetapi pada waktu
yang ditentukan belum dapat dilunasinya sehingga perlu diberikan penundaan pelunasan utang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tujuan tempo" adalah :
a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang lihat Pasal 37 ayat (1);
b. dalam hal tagihan pihak yang terpiutang kepada negara adalah tiga puluh hari sejak
tanggal keputusan adanya tagihan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferensi yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik yang terutang. Setelah tagihan pabean
dilunasi, baru diselesaikan pembayaran kepada pihak-pihak lainnya.
Maksud ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk mendapatkan
bagian lebih dahulu dari pihak-pihak lainnya atas harta milik yang berutang untuk melunasi
tagihan pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Hak menagih atas utang berdasarkan pasal ini berlaku, baik untuk tagihan negara yang
terutang maupun tagihan pihak yang berpiutang kepada negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Utang yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, penagihannya
diserahkan kepada instansi pemerintah yang mengurusi penagihan piutang negara.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "jaminan yang dapat digunakan terus-menerus" adalah
jaminan yang diserahkan dalam bentuk dan jumlah tertentu dan dapat digunakan
dengan cara :
1. jaminan yang diserahkan dapat dikurangi setiap ada pelunasan Bea Masuk
sampai jaminan tersebut habis; atau
2. jaminan tetap dalam batas waktu yang tidak terbatas sehingga setiap
pelunasan Bea Masuk dilakukan dengan tanpa mengurangi jaminan yang
diserahkan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Jaminan lainnya dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kemungkinan
diserahkannya jaminan selain yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf c.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Mengingat penyediaan Tempat Penimbunan Sementara dimaksudkan untuk menimbun barang
untuk sementara waktu, perlu adanya pembatasan jangka waktu penimbunan barang-barang
didalamnya.
Jangka waktu tiga puluh hari yang disediakan dianggap cukup untuk memberi kesempatan
kepada yang berkepentingan agar segera mengeluarkan barangnya dari Tempat Penimbunan
Sementara juga agar tidak mengganggu kelancaran arus barang di pelabuhan (kongesti).
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor wajib Bea Masuk yang
hilang dari Tempat Penimbunan Sementara, disamping adanya kewajiban membayar Bea
Masuk yang terutang, kepada pengusaha Tempat Penimbunan Sementara juga dikenai sanksi
administrasi berupa denda.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Tujuan pengadaan Tempat Penimbunan Berikat dalam Undang-undang ini adalah untuk memberikan
fasilitas kepada pengusaha berupa penangguhan pembayaran Bea Masuk serta dapat melakukan
kegiatan penyimpanan, menimbun, memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, dan/atau
mengolah barang yang berasal dari luar Daerah Pabean tanpa lebih dahulu dipungut Bea Masuknya.
Dengan adanya Tempat Penimbunan Berikat ini, akan dapat dijamin adanya kelancaran arus barang
dalam kegiatan Impor atau Ekspor serta peningkatan produksi dalam negeri dalam rangka
pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional.
Yang dimaksud dengan "penangguhan" adalah peniadaan sementara kewajiban pembayaran Bea
Masuk sampai timbul kewajiban untuk membayar Bea Masuk berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "pengusaha Tempat Penimbunan Berikat" adalah orang yang nyata-nyata
melakukan kegiatan usaha menimbun, mengolah, memamerkan, atau menjual barang di Tempat
Penimbunan Berikat.
Yang dimaksud dengan "penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat" adalah orang yang memperoleh
izin untuk menyelenggarakan Tempat Penimbunan Berikat di suatu tempat, bangunan, atau kawasan.
Dalam hal tertentu, penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat dapat juga berfungsi sebagai
pengusaha Tempat Penimbunan Berikat apabila penyelenggaraan Tempat Penimbunan Berikat hanya
diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh penyelenggara Tempat
Penimbunan Berikat.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tarif yang dipergunakan untuk menghitung Bea Masuk atas barang yang dikeluarkan dari
tempat Penimbunan Berikat ke peredaran bebas adalah tarif yang berlaku pada saat tersebut
dikeluarkan. Sedangkan nilai pabean yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan Bea
Masuk adalah nilai pabean dari barang pada saat barang tersebut dimasukkan ke Tempat
Penimbunan Berikat.
Apabila dasar perhitungan Bea Masuk diberitahukan dalam mata usang asing, kurs yang
dipergunakan adalah kurs yang berlaku pada saat barang dikeluarkan dari Tempat
Penimbunan Berikat.
Ayat (3)
Meskipun pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan dengan tanpa maksud untuk
menggelakkan pembayaran Bea Masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan
Bea Masuknya telah dilunasi, tetapi pengeluarannya dilakukan tanpa persetujuan Pejabat Bea
dan Cukai, maka atas pelanggaran tersebut si pelanggar dikenai sanksi administrasi.
Ayat (4)
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor yang wajib Bea Masuk
yang hilang dari Tempat Penimbunan Berikat, disamping adanya kewajiban membayar Bea
Masuk yang terutang, kepada pengusaha Tempat Penimbunan Berikat juga dikenai sanksi
administrasi berupa denda.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan"izin Tempat Penimbunan Berikat dibekukan" adalah bahwa Tempat
Penimbunan Berikat tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan sampai diterbitkannya
keputusan pemberlakuan kembali izin dimaksud. Pembekuan izin ini merupakan tindak lanjut
dari hasil audit Pejabat Bea dan Cukai terhadap Tempat Penimbunan Berikat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan menyimpan catatan serta surat menyurat yang
bertalian dengan Impor atau Ekspor diperlukan untuk pelaksanaan audit di bidang Kepabeanan setelah
barang dikeluarkan dari Kawasan Pabean. Audit di bidang Kepabeanan dilakukan dalam rangka
mengamankan hak-hak negara sebagai konsekuensi diberlakukannya sistem "self-assessment" dan
pemeriksaan barang secara selektif.
Yang dimaksud dengan "pengusaha pengangkutan" adalah orang yang menyediakan jasa angkutan
barang impor atau ekspor dengan sarana pengangkut di darat, laut, atau udara.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Buku, catatan, dan surat-menyurat yang berhubungan dengan kegiatan usaha Impor atau Ekspor
harus disimpan selama sepuluh tahun, sehingga apabila dalam batas waktu tersebut diketahui terdapat
pelanggaran terhadap Undang-undang ini, buku, catatan, dan surat-menyurat yang diperlukan masih
tetap tersedia. Keharusan kurun waktu sepuluh tahun penyimpanan buku, catatan, dan surat-menyurat
tersebut adalah taat asas (konsisten) dengan ketentuan Pasal 111 mengenai kedaluwarsanya tuntutan
pidana di bidang Kepabeanan.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Pada hakikatnya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan larangan dan pembatasan atas
impor atau ekspor barang tertentu tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap instansi
teknis yang menetapkan peraturan larangan atau pembatasan pada saat pemasukan atau
pengeluaran barang ke atau dari Daerah Pabean.
Sesuai dengan praktek kepabeanan internasional, pengawasan lalu lintas barang yang masuk
atau keluar dari Daerah Pabean dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar
pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan
terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud
kepada Menteri untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak memenuhi syarat dalam
ayat ini adalah barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan dengan Pemberitahuan
Pabean, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan larangan
atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean dalam pasal ini dapat
berupa pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai,
dan pemberitahuan ekspor barang.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku" adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur
secara khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang, misalnya impor limbah
yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 54
Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
Kawasan Pabean, yaitu tempat kegiatan Impor atau Ekspor tersebut berlangsung.
Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa Kawasan Pabean dalam Daerah Pabean
Indonesia, permintaan perintah tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi Kawasan Pabean pertama, yaitu tempat impor barang yang
bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal Ekspor dilakukan dari beberapa Kawasan Pabean,
permintaan tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi Kawasan Pabean pertama, yaitu tempat Ekspor berlangsung.
Pasal 55
Kelengkapan bahan-bahan seperti tersebut dalam huruf a sampai dengan huruf d sangat penting dan
karena itu kelengkapannya bersifat mutlak. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan
penggunaan ketentuan ini dalam praktik dagangan yang justru bertentangan dengan tujuan
pengaturan untuk mengurangi atau meniadakan perdagangan barang-barang hasil pelanggaran merek
dan hak cipta.
Praktik dagang serupa itu, yang kadang kala dilakukan sebagai cara melemahkan atau melumpuhkan
pesaing, pada akhirnya tidak menguntungkan bagi perekonomian pada umumnya. Oleh karena itu,
keberadaan jaminan yang cukup nilainya memiliki arti penting setidaknya karena tiga hal. Pertama,
melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu. Kedua,
mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak. Ketiga, melindungi Pejabat Bea dan
Cukai dari kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi karena dilaksanakannya perintah penangguhan.
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Jangka waktu sepuluh hari kerja tersebut merupakan jangka waktu maksimum bagi
penangguhan. Jangka waktu tersebut disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak
yang meminta penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan
haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat yang
ketat untuk mencegahan kemungkinan penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk
kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak
yang diduga telah dilanggar.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, kepentingan pemilik
barang juga perlu diperhatikan secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan
untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan, yang digunakan
untuk memproduksi barang impor atau ekspor tersebut. dalam hal demikian, pemeriksaan
hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau mencacah barang-barang
yang dimintakan penangguhan.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat
rusak.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Tindakan karena jabatan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup. Tujuannya untuk
mencegah peredaran barang-barang yang merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau
hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Dalam hal diambil tindakan
serupa ini, berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Merek
atau Undang-undang tentang Hak Cipta.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Dengan tetap memperhatikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, penerapan ketentuan dalam pasal 54
sampai dengan Pasal 63 terhadap hak atas kekayaan intelektual, selain menyangkut merek
dan hak cipta, dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan dan
kesiapan pengelolaan sistem atas kekayaan intelektual.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sepanjang belum dilelang" adalah dua hari kerja sebelum tanggal
pelelangan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan barang :
1) yang sifatnya tidak tahan lama, antara lain barang yang cepat busuk
misalnya buah segara dan sayur segar;
2) yang sifatnya merusak adalah barang yang dapat merusak atau mencemari
barang lainnya, misalnya asam sulfat dan belerang;
3) yang berbahaya adalah barang yang antara lain mudah terbakar, meledak,
atau membahayakan kesehatan;
4) yang memerlukan biaya tinggi adalah barang yang pengurusannya
memerlukan perlakukan khusus, misalnya binatang hidup dan barang yang
harus disimpan dalam ruangan pendingin.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lelang umum" adalah penjualan barang yang dilakukan melalui
kantor lelang negara.
Ayat (2)
Sisa yang disediakan untuk pemiliknya adalah hasil lelang tersebut setelah dikurangi Bea
Masuk dan pajak yang terutang menurut Undang-undang ini serta biaya, antara lain sewa
gudang, upah buruh, ongkos angkut, dan biaya pelelangan. Sisa hasil lelang tersebut tetap
merupakan hak si pemilik barang yang dapat diambilnya dalam jangka waktu yang ditetapkan
berdasarkan Pasal ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud "harga terendah" adalah serendah-rendahnya yang ditetapkan oleh Menteri
yang terdiri dari Bea Masuk, pajak yang terutang menurut Undang-undang ini, sewa gudang,
dan biaya lain, misalnya upah buruh dan ongkos angkut yang harus dicapai dalam pelelangan
umum.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "barang yang dikuasai negara" adalah barang yang untuk sementara
waktu penguasaannya berada pada negara sampai dapat ditentukan status barang yang
sebenarnya. Perubahan status ini dimaksudkan agar Pejabat Bea dan Cukai dapat
memproses barang tersebut secara administrasi sampai dapat dibuktikan bahwa telah terjadi
kesalahan atau sama sekali tidak terjadi kesalahan, sehingga masalah kepabeanannya dapat
diselesaikan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Huruf a
Barang yang dikuasai negara pada huruf a ini adalah barang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan dilarang dan/atau dibatasi
untuk diimpor dan tidak diberitahukan secara tidak benar, kecuali jika peraturan yang
melarang dan/atau membatasinya menentukan penyelesaian lain atas barang tersebut.
Huruf b
Barang yang dikuasai negara pada huruf b ini adalah barang impor atau ekspor yang
ditunda pengeluarannya, pemuatannya atau pengangkutannya atau sarana
pengangkutan yang ditunda keberangkatannya oleh Pejabat Bea dan Cukai guna
pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Sarana pengangkut yang ditinggalkan biasanya adalah sarana pengangkut yang
kepastiannya kecil seperti motor boat yang digunakan untuk mengangkut barang
yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis adalah pemberitahuan yang diberikan secara tertulis kepada
pemilik atau kuasanya yang menyatakan bahwa barang atau sarana pengangkut miliknya
berada dalam penguasaan negara dan pemilik atau kuasanya diminta untuk menyelesaikan
Kewajiban Pabeannya.
Pengumuman yang dilakukan adalah pengumuman yang ditempelkan pada papan
pengumuman yang terdapat di Kantor-kantor Pabean atau diumumkan melalui media massa
seperti surat kabar.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam ayat ini secara tegas ditetapkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai untuk menyelesaikan
pekerjaan yang termasuk wewenangnya dalam rangka mengamankan hak-hak negara, dapat
menggunakan segala upaya terhadap orang atau barang, termasuk di dalamnya binatang
untuk dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang ini.
Jika perlu dapat digunakan berbagai upaya untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa di
bidang Kepabeanan yang diduga sebagai tindak pidana Kepabeanan guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut Undang-undang ini.
Ayat (2)
Penggunaan senjata api sangat dibatasi mengingat besarnya bahaya bagi keselamatan dan
keamanan. Oleh karena itu, syarat-syarat penggunaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 75
Ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang
ditetapkan dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, Pejabat Bea dan Cukai
perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal atau seperti pengawasan lainnya seperti
radio telekomunikasi atau radar.
Yang dimaksud dengan "kapal patroli" adalah kapal laut dan kapal milik Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yang dipimpin oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagai komando patroli, yang
mempunyai kewenangan penegakan hukum di Daerah Pabean sesuai dengan Undang-undang
ini.
Ayat (2)
Mengingat dalam penggunaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ada kemungkinan
menghadapi bahaya yang mengancam jiwa atau keselamatan Pejabat Bea dan Cukai dan
kapal patroli, maka dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, kapal patroli dapat
dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan/atau jumlahnya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76
Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun angkatan bersenjata bila diminta berkewajiban
memberi bantuan dan perlindungan atau memerintahkan untuk melindungi Pejabat Bea dan Cukai
dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagimana dimaksud di atas adalah
sehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Ayat (1)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan tugas
administrasi Kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "menengah barang" adalah tindakan administrasi untuk menunda
pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor atau ekspor sampai dipenuhinya
Kewajiban Pabean.
Yang dimaksud dengan "menegah sarana pengangkut" adalah tindakan untuk mencegah
keberangkatan sarana pengangkut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 78
Wewenang Pejabat Bea dan Cukai yang diatur dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin
pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara karena tidak diperlukan
adanya penjagaan/pengawalan secara terus-menerus oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 79
Pasal ini memuat ketentuan mengenai wewenang Menteri untuk menetapkan bahwa penyegelan atau
pembubuhan tanda pengaman sebagai pengganti segel yang dilakukan oleh pihak pabean di luar
negeri atau pihak lain, dapat diterima.
Dapat diterima mengandung pengertian bahwa penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman
tersebut dianggap telah disegel atau dibubuhkan di dalam negeri berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kemudahan demikian sudah tentu membantu kelancaran perdagangan
Indonesia dengan pihak luar negeri.
Apabila menurut pertimbangan Menteri, penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman yang telah
dilakukan tersebut dianggap tidak cukup atau kurang aman, penyegelan atau pembubuhan tanda
pengaman tidak dapat diterima.
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Penempatan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dilaksanakan
apabila pengamanan dalam bentuk penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tidak
dapat dilakukan atau apabila atas pertimbangan tertentu, tindakan penjagaan oleh Pejabat
Bea dan Cukai merupakan tindakan yang lebih tepat.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini memberikan kewajiban kepada pengangkut atau pengusaha yang
bersangkutan untuk memberikan bantuan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditugaskan,
karena di tempat tersebut tidak tersedia akomodasi, agar dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik, antara lain berupa tempat atau ruang kerja, akomodasi, serta makanan dan
minuman yang cukup.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan
pemeriksaan barang guna memperoleh data dan penilaian yang tepat pemberitahuan atau
dokumen yang diajukan, Pemeriksaan terhadap barang ekspor hanya dapat dilakukan
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
Pemeriksaan dilakukan secara selektif sesuai dengan tata cara yang diatur oleh Menteri. Hasil
pemeriksaan tersebut merupakan salah satu dasar yang digunakan untuk perhitungan Bea Masuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 83
Rahasia surat yang dipercayakan kepada Pos atau perusahaan pengangkutan umum yang ditunjuknya
tidak dapat diganggu gugat, kecuali dalam hal yang diuraikan dalam Undang-undang ini.
Dalam praktik menunjukkan bahwa tidak jarang barang yang kecil ukurannya dikirimkan dalam surat.
Sehubungan dengan itu, surat yang mungkin berisi barang harus dapat pula dibuka untuk keperluan
pemeriksaan.
Walaupun dapat dipertanggungjawabkan bahwa pembukaan surat itu untuk keperluan pemeriksaan
barang di dalamnya tanpa membaca isinya dan tidak bertentangan dengan rahasia pos, pembukaan
surat tersebut harus dilakukan bersama di alamat.
Dalam hal di alamat tidak ditemukan, disyaratkan adanya surat perintah dari Direktur Jenderal Bea
dan Cukai dan dilakukan bersama-sama petugas pos.
Yang dimaksud dengan "si alamat" adalah penerima surat dalam hal Impor atau pengirim dalam hal
Ekspor.
Pasal 84
Ayat (1)
Ayat ini memberikan kewenangan kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk meminta kepada
Importir atau eksportir untuk :
a. menyerahkan buku, catatan, dan surat menyurat yang berkaitan dengan :
1. pembelian;
2. penjualan;
3. impor;
4. ekspor;
5. persediaan; atau
6. pengiriman barang yang bersangkutan.
b. menyerahkan contoh barang untuk tujuan pemeriksaan pemberitahuan.
Atas penyerahan yang dilakukan oleh importir atau eksportir sebagaimana dimaksud di atas,
diberikan tanda bukti penerimaan oleh Pejabat Bea dan Cukai. Dalam hal permintaan Pejabat
Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi Pejabat Bea dan Cukai akan
melakukan penetapan tarif dan/atau nilai pabean berdasarkan data yang ada, dan mungkin
akan mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan.
Segera setelah penelitian selesai, buku, catatan, surat menyurat, dan/atau contoh barang
dikembalikan kepada pemiliknya.
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Untuk memperlancar arus barang, pemeriksaan barang di Kawasan Pabean diupayakan seminimal
mungkin dengan menggunakan metode selektif.
Untuk menjamin kebenaran Pemberitahuan Pabean dalam rangka mengamankan hak-hak negara
dilakukan audit di bidang Kepabeanan setelah barang keluar dari Kawasan Pabean.
Audit di Bidang Kepabeanan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap pembukuan, catatan, surat
menyurat, serta sediaan barang yang bertalian dengan Impor atau Ekspor.
Pasal 87
Ayat (1)
Dilihat dari segi kepentingan pengamanan hak-hak negara, perlu dilakukan pengawasan
terhadap barang, baik yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara, di dalam Tempat
Penimbunan Berikat atau di tempat usaha lain yang barangnya memperoleh pembebasan,
keringanan, atau penangguhan Bea Masuk maupun di tempat yang mempunyai sediaan
barang yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan.
Dalam rangka pengawasan tersebut d atas, ketentuan ini mengatur mengenai kewenangan
Pejabat Bea dan Cukai untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap bangunan dan tempat
lain yang telah diberi izin pengoperasian berdasarkan pemberitahuan atau dokumen pabean
terdapat barang wajib bea atau barang yang dikenai peraturan larangan atau pembatasan.
Ayat (2)
Mengingat pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh Pejabat Bea dan Cukai ada kemungkinan
barang oleh yang bersangkutan telah dipindahkan ke bangunan atau tempat lain yang
mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan bangunan atau tempat lain yang
sedang dilakukan pemeriksaan, maka ditetapkan ketentuan ini.
Berhubungan langsung dalam ayat ini dimaksudkan adalah hubungan secara fisik, sedangkan
berhubungan tidak langsung adalah hubungan yang secara fisik tidak berhubungan secara
langsung, tidak secara operasional saling berhubungan. Dengan demikian, dapat dicegah
usaha untuk menghindari pemeriksaan atau menyembunyikan barang.
Pasal 88
Ayat (1)
Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang dimaksud dalam ayat ini adalah
bangunan dalam Undang-undang ini, misalnya bangunan yang didirikan khusus untuk
menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan dimaksudkan sebagai tempat usaha
berdasarkan Undang-undang ini.
Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut terdapat barang yang
tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang yang wajib Bea Masuk maupun yang dikenai
peraturan larangan dan pembatasan, Direktur dapat memerintahkan Pejabat Bea dan Cukai
untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Sebagai syarat untuk melakukan pemeriksaan, Pejabat Bea dan Cukai harus memiliki surat
perintah dari Direktur Jenderal untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Dalam pelaksanaannya, penerbitan surat perintah oleh Direktur Jenderal dapat didelegasikan
kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai terhadap sarana
pengangkutan bertujuan untuk menjamin hak-hak negara dan dipatuhinya peraturan
perundang-undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana pengangkut serta barang
diatasnya hanya dilakukan secara selektif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam melaksanakan pengawasan atas sarana pengangkut yang melakukan pembongkaran
barang impor, Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika
ternyata barang yang dibongkar berdasarkan peraturan perudang-undangan yang berlaku
tidak boleh diimpor ke dalam daerah Pebean.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "isyarat" adalah tanda-tanda yang diberikan kepada nakhoda atau
pengangkut, berupa isyarat tangan, isyarat bunyi, isyarat lampu, radio, dan sebagainya yang
lazim dipergunakan sebagai isyarat untuk menghentikan sarana pengangkut.
Ayat (2)
Untuk menghindari kesewenangan-wenangan Pejabat Bea dan Cukai, biaya yang timbul akibat
pemeriksaan tersebut dibebankan kepada yang bersalah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dokumen pengangkutan" adalah semua dokumen yang diisyaratkan
baik oleh ketentuan pengangkutan nasional maupun internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Mengingat bahwa beberapa barang yang sedemikian kecil ukurannya sehingga dapat
disembunyikan di dalam badan atau pakaian yang dikenakan, Pejabat Bea dan Cukai perlu
diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan badan.
Pemeriksaan badan harus diusahakan sedemikian rupa sesuai dengan norma kesusilaan dan
kesopanan. Oleh karena itu, pemeriksaannya harus dilakukan di tempat tertutup oleh orang
yang sama jenis kelaminnya, serta dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai
manifestasi dari asas keadilan yang memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan
untuk mengajukan keberatan atas keputusan Pejabat Bea dan Cukai.
Waktu tiga puluh hari yang diberikan kepada pengguna jasa kepabeanan ini dianggap cukup
bagi yang bersangkutan untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan
keberatan kepada Direktur Jenderal. Dalam hal batas waktu tiga puluh hari tersebut dilewati,
hak yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap disetujui.
Ayat (2)
Penetapan jangka waktu enam puluh hari Kepada Direktur Jenderal untuk memberikan
keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan
jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan
data dan informasi dalam memutuskan suatu keberatan yang diajukan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ditolak oleh Direktur Jenderal" adalah penolakan oleh Direktur
Jenderal atas keberatan yang diajukan sehingga penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea
dan Cukai menjadi tetap.
Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan sebagian atas keberatan
yang diajukan, yang seperti bahwa Direktur Jenderal menetapkan lain dari penetapan yang
dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil
dari pada penetapan Pejabat bea dan Cukai tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Badan peradilan pajak yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994 yang dibentuk
khusus untuk memeriksa dan memutus permohonan banding di bidang fiskal (perpajakan).
Dalam pengertian, pajak terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung antara
lain berupa pajak penghasilan, sedangkan yang termasuk dalam pajak tidak langsung antara lain
pajak pertambahan nilai, Bea Masuk, dan cukai.
Untuk itu badan peradilan pajak yang akan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 9 TAHUN 1994 akan mengatur pula peradilan di bidang Bea Masuk dan Cukai. Hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi badan peradilan di bidang fiskal sehingga dapat dihindarkan
adanya dua badan peradilan di bidang fiskal yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri.
Pasal 96
Ayat (1)
Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dibentuk,
permohonan banding diajukan atau upaya untuk memperoleh keadilan di bidang Kepabeanan
dan cukai dilakukan melalui suatu lembaga banding yang keputusannya bukan merupakan
keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak dapat diajukan banding kepada Peradilan Tata
Usaha Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Meskipun anggota Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai diangkat oleh Pemerintah, dalam
memberikan keputusan atas permohonan banding, lembaga tersebut harus netral. Oleh
karena itu susunan keanggotaannya tidak hanya terdiri dari kalangan Pemerintah, tetapi juga
dari kalangan pengusaha swasta dan pakar.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Persidangan majelis untuk memeriksa dan memutuskan suatu permohonan banding bersifat
tertutup mengandung pengertian bahwa persidangan tersebut tidak terbuka untuk umum
sehingga yang hadir dalam persidangan hanyalah anggota mejelis itu sendiri.
Untuk kepentingan pemeriksaan, majelis dapat meminta kehadiran pihak pemohon atau
kuasanya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 100
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai adalah Lembaga netral yang diharapkan dapat memberikan
keputusan yang seobjektif mungkin. Oleh karena itu apabila dalam menyelesaikan atau memeriksa
suatu permohonan banding ada anggota Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai yang mempunyai
kepentingan pribadi dengan pemohon, anggota yang bersangkutan tidak boleh memeriksa
permohonan banding tersebut dan harus mengundurkan diri dari keanggotaan majelis.
Untuk kepentingan pemeriksaan permohonan banding tersebut, Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan
Cukai menunjuk anggota pengganti.
Kepentingan pribadi dalam pasal ini meliputi juga adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, dan hubungan suami istri, meskipun sudah cerai, antara anggota Lembaga
Pertimbangan Bea dan Cukai dan pemohon.
Anggota majelis yang mengundurkan diri harus diganti oleh anggota yang lain dari unsur yang sama.
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Undang-undang ini telah mengatur atau menetapkan tata cara atau kewajiban yang harus dipenuhi
apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau
mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-
undang ini diancam dengan pidana berdasarkan pasal ini dengan hukuman akumulatif berupa pidana
penjara dan denda.
Yang dimaksud dengan "tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini" adalah sama sekali tidak
memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan Undang-undang ini. Dengan
demikian, apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan
ketentuan Undang-undang ini, walaupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk perbuatan yang dapat
dipidana berdasarkan Pasal ini.
Pasal 103
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor,
dapat terjadi hanya dalam hal yang bersangkutan telah mengajukan Pemberitahuan Pabean
dan telah melakukan pembayaran namun mengelakkan pembayaran kekurangannya, tetapi
juga karena sama sekali belum mengajukan Pemberitahuan Pabean dan belum membayar
Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor.
Pungutan negara lainnya dalam rangka impor antara lain berupa cukai atas Barang Kena
Cukai Impor dan Pajak Pertambahan Nilai atas barang kena pajak impor.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan di mana seseorang ditemukan menimbun,
memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang
impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102. Jika barang tersebut ditemukan sebagai hasil dari pemeriksaan buku atau informasi
intelejen, penyidik dapat menyita barang tersebut sesuai dengan wewenang berdasarkan
Pasal 112 ayat (2) huruf k.
Seseorang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar,
memperoleh, atau memberikan barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai
pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang bersangkutan memperoleh barang
tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bila terjadi,
pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat dituntut.
Pasal 104
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan atau pemanipulasian data
pada dokumen pelengkap pabean, misalnya "invoice".
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melakukan pelanggaran terhadap
Undang-undang ini dalam melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir,
yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan ancaman pidana terhadap importir
atau eksportir.
Misalnya, jika pengusaha jasa kepabeanan memalsukan nilai pabean pada "invoice" yang diterima dari
importir sehingga Pemberitahuan pabean yang diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah,
pengusaha pengurusan jas kepabeanan dikenai ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
103 huruf c.
Pasal 108
Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan,
termasuk badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk
usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk persekutuan, firma atau kongsi,
yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan
tindakan dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan tersebut di atas.
Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah
untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan
demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil dari badan tersebut, harus juga
mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah
yang melakukan tindak pidana tersebut.
Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada badan-
badan yang bersangkutan dan/atau pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan
tersebut senantiasa berupa pidana denda.
Pasal 109
Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Penuntut Umum. namun, barang atau
ekspor yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, berdasarkan Undang-
undang ini menjadi milik negara yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Kadaluwarsa penuntutan tindak pidana di bidang Kepabeanan dimaksudkan untuk memberikan suatu
kepastian hukum, baik kepada masyarakat usaha maupun penegak hukum.
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Ayat (1)
Pengenaan denda administrasi yang dihitung berdasarkan persentase Bea Masuk dirasa cukup
memenuhi rasa keadilan karena besar kecilnya sanksi dapat diterapkan secara proporsional
dengan berat ringannya pelanggaran yang dapat mengakibatkan kerugian negara. Namun,
dalam era globalisasi ekonomi, kebijaksanaan umum di bidang tarif ditujukan untuk
menurunkan tingkat tarif sehingga akan terdapat beberapa jenis barang yang tarif Bea
Masuknya nol persen.
Apabila demikian halnya, pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang dihitung
berdasarkan persentase dari Bea Masuk tidak dapat lagi diterapkan secara proporsional,
sedangkan pelanggaran yang timbul atas tidak dipenuhinya suatu ketentuan tetap harus
diberikan sanksi. Oleh karena itu, pelanggaran ketentuan di bidang Kepabeanan yang
dilakukan terhadap impor barang yang tarif atau tarif akhirnya nol persen, dikenai sanksi
administrasi berdasarkan satuan jumlah dalam rupiah.
Ayat (2)
Penetapan penyesuaian besarnya sanksi administrasi dan besarnya bunga dengan Peraturan
Pemerintah bertujuan untuk mengantisipasi adanya perubahan nilai mata uang.
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Huruf a
Meskipun peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang lama telah dicabut dengan
diundangkannya Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian tagihan Bea Masuk dan
pungutan impor lainnya, demikian pula tagihan pihak yang berpiutang kepada negara berupa
kelebihan pembayaran Bea Masuk dan pungutan lain yang pelaksanaannya masih berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang lama, maka Undang-undang ini
menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan
tanggal 1 April 1997.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
peraturan/0tkbpera/a159b2e2c6b3cb7bf0e92eb43fe27bdd.txt · Last modified: by 127.0.0.1