peraturan:0tkbpera:9f975093da0252e2c0ae181d74c90dc6
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 3 Februari 2000 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 139/PJ.54/2000 TENTANG PENEGASAN PROSES RESTITUSI PPN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 15 Desember 1999 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini kami sampaikan penjelasan sebagai berikut : 1. Dalam surat Saudara diinformasikan bahwa PT. ABC NPWP : X.XXX.XXX.X-XXX telah mengajukan permohonan restitusi PPN ke KPP Jakarta Gambir I dimana kelebihan PPNnya disebabkan karena penyerahan kepada Pemungut PPN (Pemda DKI Jakarta). Permasalahan yang timbul adalah PPN yang disetor oleh Pemda DKI Jakarta salah dalam mencantumkan NPWP. Dan setelah dikonfirmasi ke BANK XYZ sebagai Bank Penerima SSP telah dijawab "ADA". Setoran (SSP lembar ke-2) tersebut oleh KPP Badora dikirimkan ke KPP Bandung Karees dan telah dibukukan sebagai penerimaan tahun 1998. Pertanyaan Saudara adalah : a. Apakah realisasi restitusi PPN di KPP Jakarta Gambir I tetap harus menunggu pemindahbukuan dari KPP Bandung Karees ke KPP Jakarta Gambir I? b. Jika tetap menunggu, kemana harus diajukan permohonan pemindahbukuan karena permohonan ke KPP Bandung Karees telah ditolak. c. Mohon penjelasan mengenai status restitusi PPN yang diajukan PT. ABC mengingat setoran PPN sudah masuk ke Kas Negara. 2. a. Dalam Pasal 9 ayat (4) dan ayat (12) Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 diatur bahwa : a.1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. a.2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai, atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak, sepanjang Pajak Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. b. Dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994 tentang pelaksanaan Undang- undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 ditegaskan bahwa pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. c. Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1287/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Bendaharawan sebagai Pemungut Pajak ditegaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah yang pembayarannya melalui bendaharawan dipungut dan disetorkan oleh Bendaharawan atas nama Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. 3. a. Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan dinyatakan bahwa pemindahbukuan meliputi pemindahbukuan karena salah mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) baik yang menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain. b. Dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-965/PJ.9/1991 tanggal 17 Oktober 1991, permohonan pemindahbukuan karena kesalahan dalam mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilakukan oleh Bendaharawan/Pemungut Pajak dan atau dalam rangka pemecahan SSP, diajukan oleh Bendaharawan/Pemungut Pajak dimaksud. c. Selanjutnya dalam butir 2.2a dan 2.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-26/PJ.9/1991 tanggal 25 Oktober 1991 perihal Petunjuk Teknis Pemindahbukuan, disebutkan yang berwenang melaksanakan pemindahbukuan adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan kode KPP pada NPWP/SSP dan dalam hal KPP menerima permohonan pemindahbukuan sedangkan SSP yang akan dipindahbukukan ditatausahakan di KPP lain, maka KPP penerima berkewajiban meneruskan permohonan pemindahbukuan tersebut ke KPP dimana SSP ditatausahakan; satu lembar Surat Pengantar dikirimkan kepada Wajib Pajak. 4. Berdasarkan uraian butir 2 dan butir 3 tersebut di atas serta memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1, dengan ini kami tegaskan bahwa : a. Realisasi restitusi PPN yang diajukan PT. ABC di KPP Jakarta Gambir I tetap harus menunggu pemindahbukuan SSP yang salah NPWP dari KPP Bandung Karees ke KPP Jakarta Gambir I. b. Permohonan pemindahbukuan atas nama PT. ABC seharusnya diajukan oleh Bendaharawan/ Pemungut Pajak sesuai butir 3.b di atas ke KPP Jakarta Gambir I. Atas Surat Permohonan tersebut, KPP Jakarta Gambir I meneruskan Surat Permohonan Pemindahbukuan ke KPP Bandung Karees. c. Setelah pemindahbukuan selesai dilaksanakan oleh KPP Bandung Karees ke KPP Jakarta Gambir I, restitusi yang diajukan oleh PT. ABC dapat segera diproses oleh KPP Jakarta Gambir I karena sesuai hasil konfirmasi yang dilakukan KPP Jakarta Gambir I ke BANK XYZ Cabang Balai Kota SSP yang salah NPWP tersebut telah disetor. Demikian agar dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR, ttd A. SJARIFUDDIN ALSAH
peraturan/0tkbpera/9f975093da0252e2c0ae181d74c90dc6.txt · Last modified: (external edit)