peraturan:0tkbpera:8ef93f7f477aa4674324b551ee68529f
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka memelihara kelestarian tanaman rotan yang juga merupakan
komoditas sumber penghasilan bagi para petani dan pengumpul rotan serta sebagai
sumber bahan baku bagi industri pengolahan rotan, industri mebel dan industri
kerajinan di Indonesia;
b. bahwa untuk meningkatkan kepastian ketersediaan bahan baku bagi industri barang
jadi rotan dalam negeri dan kepastian pemanfaatan rotan secara berkesinambungan,
perlu dilakukan penataan kembali pengaturan ekspor rotan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;
Mengingat:
1. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie Tahun 1934 (Staatsblad 1938 Nomor 86);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan
Dan Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4206);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan
Tugas Dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar
Negeri;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 171/M Tahun 2005;
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008;
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi
dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2008;
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan
Industri Nasional;
11. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep/12/1998
tentang Ketentuan Umum Di Bidang Ekspor, sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
01/M-DAG/PER/1/2007;
12. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/3/2005 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Perdagangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/6/2009;
Memperhatikan:
Hasil rapat koordinasi bidang perekonomian mengenai finalisasi kebijakan rotan tanggal 14
Mei 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN EKSPOR
ROTAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Rotan Asalan adalah rotan dalam bentuk asalan, tidak dirunti, tidak dicuci, tidak
diasap/dibelerang, yang termasuk dalam Pos Tarif/ex. HS 1401.20.00.00.
2. Rotan Washed and Sulphurized (W/S), yang selanjutnya disebut Rotan W/S adalah
rotan dalam bentuk natural yang berkulit dan telah mengalami proses pencucian dan
pengasapan belerang, yang termasuk dalam Pos Tarif/ex. HS 1401.20.00.00.
3. Rotan Setengah Jadi adalah rotan yang telah diolah lebih lanjut menjadi rotan poles
halus, hati rotan dan kulit rotan yang termasuk dalam Pos Tarif/ex. HS 1401.20.00.00.
4. Rotan poles halus adalah rotan yang telah dipoles sepanjang batang tanpa kulit ari
yang termasuk dalam Pos Tarif/ex. HS 1401.20.00.00.
5. Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah
industri yang mengolah bahan baku rotan asalan menjadi rotan Washed and
Sulphurized (W/S).
6. Eksportir Terdaftar Rotan yang selanjutnya disingkat ETR adalah perusahaan yang
telah mendapat pengakuan untuk melakukan ekspor Rotan W/S dan/atau Rotan
Setengah Jadi.
7. Tim Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Ekspor Rotan yang selanjutnya disingkat TME
adalah tim yang ditetapkan Menteri Perdagangan untuk melakukan monitoring dan
evaluasi kebijakan ekspor rotan dengan susunan keanggotaan terdiri dari wakil
instansi dan asosiasi terkait serta lembaga surveyor independen.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan.
9. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan.
Pasal 2
(1) Rotan yang dapat diekspor dengan jenis dan jumlah tertentu meliputi:
a. Rotan W/S dari jenis rotan Taman/Sega (Calamus caesius) dan Irit (Calamus
trachycoleus) dengan diameter 4 mm sampai dengan 16 mm; dan
b. Rotan Setengah Jadi dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit, dan Rotan Setengah
Jadi bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit dalam bentuk poles halus, kulit
dan hati.
(2) Rotan yang dilarang diekspor meliputi:
a. Rotan Asalan;
b. Rotan W/S dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit yang diameternya dibawah
4 mm dan diatas 16 mm; dan
c. Rotan W/S bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit.
Pasal 3
(1) Jenis dan jumlah Rotan yang dapat diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan kelestarian tanaman rotan, produksi
rotan nasional dan kebutuhan bahan baku industri rotan dalam negeri. (2) Jenis dan
jumlah rotan yang dapat diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Untuk Rotan W/S dan Rotan Setengah Jadi dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit
sebanyak 35.000 (tiga puluh lima ribu) ton per tahun; dan
b. Untuk Rotan Setengah Jadi bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit
ditetapkan dalam jumlah persentase tertentu dari realisasi bukti pasok oleh
ETR selama periode 3 (tiga) bulan sebelumnya.
(3) Besarnya jumlah persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan
oleh Direktur Jenderal setelah mendapat pertimbangan dari TME.
Pasal 4
(1) Ekspor rotan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hanya dapat dilakukan
oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai ETR dari Direktur Jenderal.
(2) Pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan.
(3) Setiap perusahaan, kelompok perusahaan atau perusahaan yang berafiliasi hanya
dapat memiliki satu pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap perusahaan yang telah memiliki pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar Produk
Industri Kehutanan (ETPIK) tidak dapat diberikan pengakuan sebagai ETR.
(5) Permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
(6) Permohonan ETR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilengkapi dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. fotokopi penetapan Pengusaha Kena Pajak (PKP);
d. fotokopi surat Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK)
yang dilegalisir oleh instansi penerbit untuk ETR W/S, dan fotokopi surat Izin
Usaha Industri (IUI) untuk ETR Rotan Setengah Jadi;
e. Berita Acara Pemeriksaan fisik industri dari Dinas Kabupaten/Kota yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang industri; dan
f. Rekomendasi dari Dinas Provinsi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perdagangan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada huruf e.
(7) Direktur Jenderal menerbitkan pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima
secara lengkap dan benar.
(8) Setiap perubahan data perusahaan, pemegang ETR wajib melaporkan dan
mengajukan permohonan perubahan ETR kepada Direktur Jenderal.
Pasal 5
(1) Ekspor Rotan hanya dapat dilakukan oleh ETR setelah mendapat Persetujuan Ekspor
dari Direktur Jenderal dalam hal ini Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan.
(2) Persetujuan jenis dan jumlah rotan yang dapat diekspor, diberikan kepada ETR setiap
triwulan dalam bentuk Surat Persetujuan Ekspor (SPE) oleh Direktur Jenderal dalam
hal ini Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Departemen Perdagangan.
(3) Persetujuan ekspor untuk rotan setengah jadi bukan dari jenis Taman/Sega dan Irit
dapat diberikan dengan mempertimbangkan:
a. bukti pasok oleh ETR kepada industri di dalam negeri, terhadap jenis rotan
yang terserap di dalam negeri.
b. rekomendasi dari Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen
Kehutanan, terhadap jenis rotan yang tidak terserap di dalam negeri.
(4) Permohonan untuk memperoleh SPE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam hal ini Direktur Ekspor Produk
Pertanian dan Kehutanan Departemen Perdagangan dengan dilengkapi persyaratan
sebagai berikut:
a. Untuk rotan W/S dan Setengah Jadi dari jenis Taman/Sega dan Irit:
1. fotokopi ETR;
2. bukti stok rotan dan kapasitas produksi bagi ETR yang belum pernah
memperoleh SPE; dan
3. bukti realisasi ekspor selama periode 3 (tiga) bulan sebelumnya bagi
yang telah memperoleh SPE.
b. Untuk rotan Setengah Jadi bukan dari jenis Taman/Sega dan Irit:
1. fotokopi ETR;
2. bukti pasok bahan baku rotan kepada Industri barang jadi rotan dalam
negeri selama periode 3 (tiga) bulan sebelumnya, dalam hal jenis rotan
yang akan diekspor terserap oleh industri dalam negeri;
3. surat rekomendasi dari Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Departemen Kehutanan, dalam hal jenis rotan yang akan diekspor tidak
terserap oleh industri dalam negeri;
(5) Bentuk bukti pasok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Setiap permohonan SPE untuk rotan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
b wajib mencantumkan jenis dan nama rotan yang akan diekspor.
(7) Penerbitan SPE untuk rotan W/S dan Setengah Jadi dari jenis Taman/Sega dan Irit
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, diberikan dengan mempertimbangkan
jumlah ETR dan/atau realisasi ekspor.
(8) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) atas pelaksanaan ekspor rotan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kantor Pabean di pelabuhan muat
daerah penghasil rotan.
Pasal 6
(1) ETR yang telah mendapat SPE wajib menyampaikan laporan ekspor rotan, baik
terealisasi maupun tidak terealisasi, secara tertulis setiap tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah masa berlaku SPE berakhir, kepada Direktur Jenderal dalam
hal ini Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan dengan tembusan kepada:
a. Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia dalam hal ini Direktur Industri Hasil
Hutan dan Perkebunan, Departemen Perindustrian; dan
b. Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dalam hal ini Direktur Bina
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.
(2) Bentuk laporan realisasi ekspor rotan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 7
(1) Terhadap setiap pelaksanaan ekspor rotan oleh ETR, terlebih dahulu wajib dilakukan
verifikasi atau penelusuran teknis ekspor.
(2) Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ekspor rotan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh surveyor independen yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis ekspor rotan yang dilakukan oleh surveyor
dituangkan dalam bentuk:
a. Laporan Surveyor (LS), untuk rotan yang diperiksa sesuai dengan ketentuan
yang berlaku; atau
b. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), untuk rotan yang diperiksa tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Laporan Surveyor (LS) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a digunakan
sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan dibidang
ekspor.
(5) Biaya yang timbul atas kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada pemerintah.
(6) Laporan hasil verifikasi atau penelusuran teknis ekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib disampaikan oleh surveyor paling lambat tanggal 15 pada bulan
berikutnya kepada Direktur Jenderal dalam hal ini Direktur Ekspor Produk Pertanian
dan Kehutanan dengan tembusan kepada:
a. Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia dalam hal ini Direktur Industri Hasil
Hutan dan Perkebunan, Departemen Perindustrian; dan
b. Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dalam hal ini Direktur Bina
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.
Pasal 8
(1) Pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dibekukan
apabila pemegang ETR:
a. tidak melaksanakan kegiatan ekspor dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diterbitkan ETR atau sejak pelaksanaan ekspor terakhir;
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (8);
atau
c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(2) Pengakuan sebagai ETR yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diaktifkan kembali apabila pemegang ETR:
a. akan melaksanakan kegiatan ekspor yang dibuktikan dengan kontrak
pemesanan/penjualan;
b. telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (8)
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pembekuan; dan/atau
c. telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal pembekuan.
(3) Pengakuan sebagai ETR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dicabut apabila
pemegang ETR:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (8)
setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pembekuan;
b. dinyatakan bersalah dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan ETR dan/atau pelanggaran ketentuan di bidang ekspor;
c. tidak menyampaikan data dan/atau dokumen yang benar pada saat
mengajukan permohonan ETR atau permohonan perubahan ETR atau
permohonan SPE;
d. telah dilakukan pembekuan ETR sebanyak 2 (dua) kali dan melakukan
pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan; atau
e. tidak melakukan ekspor selama 1 (satu) tahun sejak pembekuan pertama.
Pasal 9
Surveyor yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6)
dikenakan sanksi berupa pencabutan penetapan sebagai surveyor.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
Pasal 11
Pengakuan sebagai ETR yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini
wajib disesuaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33/M-DAG/PER/7/2009 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan dan berlaku selama
2 (dua) tahun.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 11 Agustus 2009
Menteri Perdagangan R.I.
ttd,
Mari Elka Pangestu
peraturan/0tkbpera/8ef93f7f477aa4674324b551ee68529f.txt · Last modified: by 127.0.0.1